HUISGEWELD... DOMESTIC VIOLENCE... KEKER docx

HUISGEWELD... DOMESTIC VIOLENCE...
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)
June 21, 2009 at 9:37pm
KDRT merupakan topik dan agenda penting untuk dibahas baik di Belanda maupun
di negara-negara lainnya di dunia ini. Pada tahun 2002 Belanda menganggap perlu
untuk mempropagandakan masalah ini dengan semboyannya "Private Violence is a
Public Issue". Mengapa justru di Balanda, negara yg dianggap sebagian besar
penduduknya berpendidikan, mempunyai kesetaraan gender malah justru 40 %
-45% dari penduduknya pernah mengalami KDRT?. Dibawah ini adalah sebuah
tulisan, merupakan bagian "Pengantar" dari studi banding KDRTBelanda-Indonesia.
KDRT merupakan perbuatan yang terjadi di dalam lingkungan keluarga, dan
merupakan perbuatan kekerasan baik secara fisik, seksual maupun psikis yang
bersifat sangat pribadi (dilakukan anggota keluarga atau orang serumah) namun
demikian merupakan masalah publik atau masalah yang menyangkut ketertiban
masyarakat umum. Mengapa KDRT dijadikan issue publik di Belanda?.. karena
korban kematian (unnatural death) akibat KDRT menduduki peringkat nomor dua
setelah korban kematian akibat kecelakaan lalu lintas. KDRT dapat terjadi pada
setiap lapisan masyarakat tanpa memandang kelas /tingkat sosial ekonomi, ras,
kebudayaan dan asal usul serta tidak ada hubungannya dengan tingkat kedewasaan
seseorang. KDRT merupakan perbuatan yang tidak dapat ditoleransi karena setiap
manusia mempunyai hak untuk mendapatkan rasa aman dan tenang tanpa adanya

tekanan dan atau
kekerasan di dalam lingkungannya sendiri.
Diperkirakan bahwa hanya 12 % dari kasus KDRT di Belanda yang dilaporkan
kepada polisi. Hal ini disebabkan adanya rasa malu, ketakutan dari korban dan juga
rasa bersalah jika korban mengambil keputusan untuk melaporkan masalahnya ke
luar lingkungannya apalagi melaporkan masalah di dalam rumahnya kepada pihak
berwenang. Dari data kepolisian Belanda yang ada, 85 % korban menimpa wanita,
sehingga secara de facto KDRT merupakan 'kekerasan terhadap wanita'. KDRT
tentu saja biasanya melibatkan anak2, yang dengan terpaksa menjadi saksi dalam
peristiwa kekerasan ini. Pengalaman yg dialami anak-anak ini sering kali
menimbulkan konsekuensi negatif dalam kehidupan selanjutnya/ masa depan anak
tersebut.
Untuk menanggulangi masalah ini, di Belanda telah didirikan sebuah Badan
Koordinator / Pusat Pemberian Advis dan Bantuan KDRT yang dinamakan ASHG
yang menggunakan "Systematic Approach". Badan ini melibatkan pihak kepolisian,
pshikolog, tenaga kesehatan, pekerja sosial dalam satu wadah, dimana masing2
pihak dalam waktu yang sama yaitu "pada saat terjadinya krisis" secara serentak dan
sistematis melakukan tugasnya masing-masing. ASHG berada dibawah tanggung
jawab dan koordinasi Pemerintah Kota (Gemeente). Pada tahun-tahun terakhir ini,
cara pandang penerapan Peraturan Perundang-undangan KDRT Belanda yang ada,

menjadi berubah. Semula fokus per-UU-an yang ada adalah "HUKUMAN" bagi para
pelaku KDRT, namun kini dirasa perlu bahwa Pelaku mendapatkan
bantuan/treatment (Daderhulpverlening/Perpetrator treatment programmes) berupa
pelatihan/kursus misalnya kursus "cara cara mengontrol emosi" dan melakukan
counselling dengan psikolog. Bantuan kepada pelaku ini diterapkan berdasarkan
hukum pidana melalui putusan pengadilan atau pada saat proses hukum berjalan.

Pada kasus yang ekstreem, pelaku dapat dipaksa untuk masuk RS Jiwa. Selain itu
awal tahun ini UU tentang "Restraining orders for domestic violence perpetrators"
mulai diberlakuan. UU ini mengatur penangkapan sementara pelaku KDRT dan
Pelarangan pelaku untuk memasuki rumah korban (huisverbod), "Pelarangan Pelaku
untuk mengkontak korban (contact verbod) dan atau Pelarangan Pelaku untuk
memasuki
jalan-jalan
disekitar
tempat
tinggal
korban
(straatverbod).
Selain systematic approach, dalam penanggulangan KDRT di Belanda digunakan

pula "Family approach"; dimana keinginan keluarga tersebut mendapatkan prioritas,
apakah keluarga ingin melanjutkan kepengadilan untuk proses perceraian atau
hanya ingin agar KDRT tidak terjadi lagi di dalam keluarga tersebut pada masa
mendatang
(prefentie
in
the
future).
Seringkali negara-negara dan Pemerintah atau wakilnya di LN dengan bangga
menyampaikan bahwa Negaranya telah memiliki UU tentang Anti KDRT. Namun
demikian kebanggaan semacam itu bukanlah suatu jaminan untuk menanggulangi
masalah KDRT di suatu negara secara tuntas. Contohnya di Belanda walaupun
sistem penanggulang KDRT telah berjalan bertahun-tahun yaitu kewajiban
melaporkan peristiwa KDRT yang terjadi di masyarakat kepada pihak berwenang
(Polisi). Kewajiban ini ditujukan kepada para profesional seperti dokter kelurga
(Family doctor) atau dan para tenaga kesehatan lainnya serta para pekerja sosial
yang secara langsung berhubungan dengan para korban KDRT atau para pelaku
KDRT, namun baru tahun ini diberlakukan UU Penangkapan Sementara Pelaku
KDRT, seperti yang diterangkan diatas. Pemerintah Belanda berusaha untuk setiap
tahun memperbaiki dan mengevaluasikan apakah metode-metode penerapan

Peraturan Per Undang-undangan yang ada benar-benar mencapai hasil yang
diinginkan
yaitu
penanggulangan
KDRT
dalam
masyarakat.
Menteri Hukum dan HAM negara-negara Eropa, kemarin, tanggal 19 Juni 2009 telah
mengadakan pertemuan di Norwegia dengan tema “Breaking the silence – united
against domestic violence”. Harapan penulis adalah bahwa KDRT yang terjadi
dimanapun di dunia ini dapat ditanggulangi dan hal ini dapat dimulai dari para korban
sendiri dengan pemikiran bahwa jika KDRT menimpa dirinya maka ia bersedia
membawa KDRT ini keluar rumah, jangan dijadikan sebuah rahasia RT yang harus
disimpan rapih (breaking the silence). Polisi adalah instansi yang memegang
peranan penting dalam penaggulangan KDRT ini. Hal ini berarti dituntut "moral yang
bersih" bagi setiap idividu polisi serta korps kepolisian dalam kesatuan sebagai
aparat negara yang dapat menegakkan keadilan dan menjaga ketertiban umum di
dalam negaranya. Mudah-mudahan hal ini dapat diterapkan pula di Indonesia,
karena KDRT merupakan pelanggaran HAM, pelanggaran terhadap HAK INDIVIDU
UNTUK HIDUP TANPA TEKANAN APAPUN. Tentu saja sudah menjadi suatu

kewajiban Pemerintah / Negara untuk menjamin perlindungan HAM khususnya
perlindungan terhadap hak hidup dan integritas fisik dan psikis bagi setiap orang,
termasuk dalam hubungannya dengan individu lainnya dengan menghormati
kehidupan pribadi (privacy) dan kehidupan berkeluarga. (Recalling that states have a
positive obligation to secure the enjoyment of human rights, in particular to protect
the life and the physical and psychological integrity of every person, including in the
sphere of the relations of individuals between themselves, while ensuring respect for
private and family life as guaranteed by Article 8 of the European Convention on
Human
Rights)
Sumber informasi/ study diperoleh dari
Perkembangan Sosial Masyarakat Belanda.

MOVISIE,

sebuah

Badan

Pusat