makalah Integrasi filsafat Rekonstruksio docx

A. Pendahuluan
Istilah pentingnya pendidikan acapkali kita diperdengarkan oleh berbagai
tokoh dan pentolan-pentolan negara maju dunia. Semua akan sepakat bahwa
pendidikan adalah aset besar untuk membangun sebuah bangsa. Majunya bangsabangsa besar dunia diakibatkan karena majunya pula pendidikan di bangsa tersebut.
Sebut saja Eropa yang hadir di abad pertengahan bermula di abad 14 Masehi melalui
Gerakan Renaissance setelah berabad-abad sebelumnya telah mengalami Dark Ages
atau yang fenomenal kita kenal dengan sebutan masa kegelapan Eropa. Kemudian
Jepang yang bangkit dari keterpurukan setelah jatuhnya bom atom di Kota Hiroshima
pada 6 Agustus 1945 kemudian disusul pula bom dijatuhkan di Kota Nagasaki pada 9
Agustus 1945. Cerita-cerita ini memberikan bukti akan pentingnya pendidikan
terhadap suatu bangsa.
Indonesia dengan sistem pendidikan yang diterapkannya malah menjadikan
kita prihatin dengan bangsa kita sendiri. Hal ini terlihat dari mirisnya angka
pendidikan kita hari ini jika dibandingkan dengan negara-negara lain dunia. Survei
dari majalah BBC yang dimuat pada 13 Mei 2015 menghasilkan data bahwa dari 76
negara yang disurvei bidang matematika dan sains untuk sekolah global, Indonesia
hanya menduduki peringkat ke 69. Berbeda dengan negara-negara tetangga di Asia,
mereka malah melonjak naik ke posisi atas, seperti Singapura yang menduduki di
peringkat pertama kemudian disusul Hongkong, Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan.
Indonesia jauh tertinggal dari Thailand yang menduduki peringkat ke 47 dan Malaysia
duduk di peringkat ke 52.

Asian Week di tahun 2000 menempatkan perguruan tinggi terbaik Indonesia,
yakni Universitas Indonesia (UI) pada urutan ke 63 dan Universitas Gajah Mada
(UGM) pada posisi ke 68 dari 77 perguruan tinggi Asia yang disurvei. Selain itu,
Shang Hai Jiao Institute melaporkan 500 perguruan tinggi peringkat teratas dunia dan
100 perguruan tinggi peringkat teratas di Asia. Laporan tersebut sangat
memprihatinkan karena tidak ada satupun perguruan tinggi Indonesia yang masuk
dalam daftar dari kedua survei yang ada, sedangkan Malaysia malah meloloskan dua
perguruan tingginya ke daftar survei tersebut (Kamaluddin, 2014: 124).
Tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang diungkapkan oleh Pidarta
(2007: 8), yakni untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang pancasilais
1

dengan dimotori oleh pengembangan afeksi, seperti sikap suka belajar, tahu cara
belajar, rasa percaya diri, mencintai prestasi tinggi, punya etos kerja, kreatif dan
produktif, serta puas akan sukses yang akan dicapai. Besar harapan kita agar tujuan
pendidikan nasional dapat tercapai sebagaimana yang dicita-citakan bersama. Salah
satu permasalahan pendidikan Indonesia sebagaimana terlihat dari survei BBC diatas
adalah bidang matematika dan sains. Hal ini dikarenakan siswa masih memiliki minat
yang rendah terhadap kedua mata pelajaran tersebut. Sebut saja matematika, yang
bahkan siswa-siswa mendengar namanya saja sudah mengalami ketakutan, apalagi

mempelajarinya. Sehingga perlu ada telaah lebih dalam terkait hal ini.
Mengintegrasikan filsafat ke dalam proses pembelajaran matematika diasumsikan
dapat meningkatkan angka minat matematika terhadap peserta didik.
Integrasi filsafat ke dalam pendidikan dianggap cukup penting. Hal ini
dikarenakan filsafat mengajarkan seseorang agar cinta pada ilmu atau kebijaksanaan.
Filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang berupaya mengkaji tentang masalahmasalah yang muncul yang berkenaan dengan segala sesuatu, baik yang bersifat
materi maupun immateri secara sungguh-sungguh guna menemukan hakikat sesuatu
yang sebenarnya, mencari prinsip-prinsip kebenaran, serta berpikir rasional logis,
mendalam dan bebas, sehingga dapat dimanfaatkan untuk membantu menyelesaikan
masalah-masalah dalam kehidupan manusia (Susanto, 2011: 6). Begitupun dengan
permasalahan pendidikan yang salah satunya adalah bidang matematika. Problema
kurangnya minat siswa terhadap matematika dapat kita hadirkan alternatif solusi
dengan mengintegrasikan filsafat sebagai paradigma dalam proses pembelajaran.
Diantara berbagai aliran filsafat, salah satu aliran yang diasumsikan cukup relevan
dengan pembelajaran matematika adalah filsafat rekonstruksionisme.
Aliran filsafat rekonstruksionisme beranggapan bahwa sekolah harus
mendominasi atau mengarahkan perubahan (rekonstruksi) pada tatanan sosial
(Sadulloh, 2009: 168). Dalam hal ini proses pendidikan berperan dalam menjadikan
peserta didik sebagai subyek yang kreatif dalam menjalankan sekaligus memposisikan
dirinya dalam kualitas lahir dan bathin. Sebagaimana pula yang diharapkan oleh

Dewantara (1977: 3), pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas
hidupnya lahir, sedangkan merdekanya hidup batin itu terdapat dari pendidikan.
Sehingga siswa-siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang telah memasuki fase
dewasa maksimal akan mampu berpikir kritis, rasional, dan mampu mengkonstruk
dirinya sendiri.
2

Mata pelajaran matematika yang dianggap sulit oleh siswa, jika filsafat
rekonstruionisme diintegrasikan kedalam proses pembelajaran matematika akan
tereduksi secara perlahan. Karena siswa tidak hanya dilepas dengan sekedar gagasan
rumus-rumus, namun ia pun akan dibentuk secara mandiri untuk menemukan rumus
itu lalu di elaborasikan kedalam pola pikir, pola sikap, dan pola laku masing-masing
peserta didik.
B. Filsafat Rekonstruksionisme
Muhmidayeli (2013: 172), kata rekonstruksionisme berasal dari bahasa
Inggris, reconstruct yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat
pendidikan, rekonstruksionisme adalah sebuah aliran yang berupaya merombak tata
susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.
Aliran ini sering pula disebut dengan aliran rekonstruksi sosial. Aliran ini sebenarnya
sependapat dengan aliran filsafat perenialisme dalam mengungkap krisis kebudayaan

modern. Karena kedua aliran ini sama sama bersepakat bahwa keadaan sekarang
merupakan zaman yang kebudayaannya telah terganggu oleh kehancuran,
kebingungan, dan kesimpangsiuran. Jika aliran perenialisme mengambil langkah
dengan kembali di abad pertengahan, maka rekonstruksionisme berupaya membina
suatu konsesus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan pertama dan
tertinggi dalam kehidupan manusia (Anwar, 2015: 167).
Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dai gerakan progresivisme.
Gerakan ini lahir didasari atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya
memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada pada
saat sekarang ini (Sadulloh, 2009: 167). Beberapa pelopor aliran ini mengungkapkan
bahwa mereka ingin membangun suatu masyarakat baru yang pantas dan adil,
diantara mereka adalah George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930. Selain
kedua pelopor diatas, progresivisme juga pada prinsipnya dilandasi oleh pemikiran
John Dewey (1859-1952), kemudian dikembangkan oleh Kilpatrick dan Jhon Child
yang mendorong pendidikan agar lebih sadar terhadap tanggung jawab sosialnya.
Dengan ini pendidikan harus tersadarkan atas perannya sebagai rekonstruksi sosial
masa depan sebuah bangsa. Sehingga tak berlebihan bila mantan presiden Afrika
Selatan, Nelson Mandela mengatakan “Education is the most powerful weapon which

3


you can use to change the world”. Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat
digunakan untuk mengubah dunia.
Muhammad

Iqbal,

ilmuwan

muslim

asal

Pakistan

sebagai

tokoh

rekonstruksionisme dari dunia islam mengatakan bahwa hakikat manusia adalah

segenap kekuatan diri yang akan menentukan siapa ia. Jika dirinya dan tidak ingin
merasakan gejolak batin hidup yang lebih tinggi, maka ruh yang ada padanya akan
mengkristal dan perlahan-lahan akan menjadikan dirinya tereduksi kepada bendabenda mati. Oleh karena itu Iqbal berpendapat bahwa untuk membangun kembali
umat islam yang telah terpuruk pada kemerosotan humanitas, perlu menata dan
membangun kembali tata sistem baru dengan mengembangkan potensi diri dan akal
manusia yang akan menunjuk pada eksistensi manusia dalam memandang realitas
(Muhmidayeli, 2013: 175). Realitas yang dimaksud adalah segala problem sosial baik
perkara ekonomi, politik, maupun budaya. Karena pendidikan mestinya hadir
menawarkan solusi atas berbagai ketimpangan, kemelaratan, peperangan, kemiskinan,
dan lain sebagainya
George S. Counts sebagai pelopor rekonstruksionisme dalam publikasinya
“Dare the School Build a New Social Order”, mengemukakan bahwa sekolah akan
betul-betul beperan apabila sekolah menjadi pusat bangunan masyarakat baru secara
keseluruhan, membasmi kemelaratan, peperangan, dan kesukuan (Sadulloh, 2009:
168). Masyarakat yang menderita himpitan ekonomi dan masalah-masalah sosial
lainnya merupakan tantangan besar bagi pendidikan dalam meminkan perannya
sebagai agen pembaharu dan rekonstruksi sosial, senjata ampuh dalam merubah
sebuah bangsa. Apalagi seiring dengan perkembangan zaman, persoalan yang
dihadapi pun semakin bertambah seperti sistem pendidikan yang tidak sesuai dengan
tujuan, visi, dan misi negara itu. Masuknya pemikiran-pemikiran Barat yang secara

tidak langsung meracuni pemikiran-pemikiran dan berbagai krisis yang melanda
negeri ini menjadi bagian dari polemik dunia pendidikan khususnya pendidikan saat
ini (Kurly, 2016: 113). Dengan demikian, pendidikan tidak terkesan dengan hanya
mempertahankan “Status Quo”. Karena tujuan pendidikan mestinya menumbuhkan
sebuah ketersadaran perihal masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik yang
sedang menimpa dunia belakangan ini, dengan memberikan “Life Skill” sehingga
mereka menjadi seorang “Problem Solver” atas setiap masalah-masalah tersebut.

4

C. Pembelajaran Matematika SMA
Belajar

merupakan

proses

yang

dilakukan


oleh

seseorang

dalam

memaksimalkan panca indera untuk memperoleh sesuatu yang baru dalam dirinya.
Hal ini pun sama dengan ungkapan Sudjana (2009: 28), bahwa belajar merupakan
proses melihat, mengamati, dan memahami sesuatu. Sedangkan pembelajaran adalah
serangkaian aktivitas yang sengaja diciptakan dengan maksud untuk memudahkan
terjadinya proses belajar. Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara
peserta didik dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah
yang lebih baik (Mulyasa, 2002: 100). Karena sudah saatnya pendidikan tidak hanya
Transfer of Knowledge, tetapi juga harus Transfer of Value. Nilai-nilai dan etika
semestinya pula ikut ditranfesrkan melalui keteladanan.
Output pendidikan yang diharapkan tak hanya merubah isi kepala, namun jauh
lebih dari itu, pendidikan mesti merubah kaki, tangan dan hati dalam kapasitas pola
pikir, pola sikap, pola tindak, dan pola laku peserta didik. Dengan demikian dalam
pembelajaran, tugas guru yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan agar

menunjang terjadinya perubahan tingkah laku siswa tersebut. Hal yang sama pula
Menurut Thobroni (2015: 16), pembelajaran merupakan suatu proses belajar yang
berulang-ulang dan meyebabkan adanya perubahan perilaku yang disadari dan
cenderung bersifat tetap. Diantara beberapa bidang studi yang dipelajari, matematika
adalah salah satu bidang studi yang dianggap cukup penting. Hal ini disebabkan
matematika adalah mata pelajaran yang memuat seluruh bidang ilmu yang lain.
Uno (2007: 126), matematika merupakan salah satu jenis dari enam materi
ilmu. Keenam jenis materi tersebut adalah matematika, fisika, biologi, psikologi,
ilmu-ilmu sosial, dan linguistik. Kedudukan matematika sebagai salah satu jenis ilmu,
maka matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib di pelajari di
lembaga pendidikan. Sedangkan pembelajaran matematika adalah upaya untuk
mengorganisasikan lingkungan untuk menciptakan kondisi belajar bagi peserta didik,
yang kegiatannya dirancang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antar
sesama peserta didik, peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar
lainnya dalam menelaah bentuk, struktur, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang
abstrak serta hubungannya, dalam rangka pencapaian kompetensi dasar (Haryanti,
2010: 113).
5

Munawaroh (2011: 26) lebih jauh lagi berpendapat bahwa, pembelajaran

matematika adalah suatu proses atau kegiatan guru matematika dalam mengajarkan
matematika kepada para siswanya, yang di dalamnya terkandung upaya guru untuk
menciptakan iklim dan pelayanan terhadap kemampuan, potensi, minat, bakat, dan
kebutuhan siswa tentang matematika yang amat beragam agar terjadi interaksi optimal
antara guru dengan siswa serta antara siswa dalam mempelajari matematika tersebut.
Matematika merupakan mata pelajaran yang penuh dengan rumus dan angkaangka. Sehingga dalam memahaminya, seorang guru tidak hanya menerapkan metode
yang konvensional berbasis ceramah, akan tetapi juga harus ikut menuntun siswa
untuk memahami rumus-rumus yang ada. Guru-guru semestinya menciptakan
metode-metode yang relevan dengan menghadirkan media pembelajaran berupa alat
peraga matematika. Dengan demikian siswa akan memahami dan ikut senang
terhadap matematika dengan tanpa ketakutan.

D. Integrasi Filsafat Rekonstruksionisme dalam Pembelajaran Matematika SMA
Filsafat merupakan pengetahuan segala sesuatu dalam memperoleh sebuah
kebenaran yang menghantarkan pada kebijaksanaan. Sehingga manusia yang suka
berfilsafat perlahan-lahan akan cenderung pada kearifan atau kebijaksanaan. Mereka
dalam memandang sesuatu selalu didasarkan pada pemikiran yang mendalam dengan
dalil-dalil yang benar. Persoalan pendidikan harus pula ditelaah melalui filsafat, agar
segala permasalahan dapat diselesaikan dengan lebih bijak. Begitupun dengan perkara
matematika, kurangnya angkat minat siswa terhadap mata pelajaran matematika akan

bisa terselsaikan dan minimal tereduksi melalui integrasi filsafat ke dalam proses
pembelajarannya.
Aliran rekonstruksionisme menurut Sadulloh (2009: 169) berpandangan
bahwa tugas sekolah adalah mengembangkan rekayasa sosial, dengan tujuan
mengubah secara radikal wajah masyarakat dewasa ini dan masyarakat yang akan
datang. Sekolah mempelopori masyarakat kearah masyarakat baru yang diinginkan.
Integrasi filsafat rekonstruksionisme ke dalam pembelajaran matematika akan
menghadirkan kelompok generasi muda yang mampu memecahkan masalah-masalah
kematematikaan secara sendiri-sendiri sebagai pengaruh dari progresivitas masingmasing peserta didik.
6

Integrasi filsafat ke dalam pembelajaran matematika, Salah satunya melalui
aliran filsafat rekonstruksionisme. Aliran ini diasumsikan cukup relevan dengan
pembelajaran

matematika.

Hal

ini

dikarenakan

dalam

pandangan

filsafat

rekonstruksionisme beranggapan bahwa sekolah harusnya mampu memainkan
perannya sebagai agen pembaharu terhadap berbagai persoalan yang menimpa zaman.
Selain itu, aliran filsafat rekonstruksionismeakan mengajak siswa lebih berpikir
kreatif, kritis, dan mandiri, melalui kecakapan hidup atau keterampilan yang diberikan
oleh guru. Sehingga pada pembelajaran matematika, guru tidak hanya mengajarkan
rumus-rumus dan hitungan angka-angka, akan tetapi guru juga mesti membantu siswa
dalam menemukan sebuah rumus terhadap persoalan yang diberikan oleh guru. Guru
harus turut serta ikut membentuk pemikiran siswa dalam memahami ilmu
matematika.
Sekolah Menengah Atas (SMA) merupkan fase yang dilewati siswa yang
didalamnya terhimpun kelompok siswa yang telah menginjak tahapan yang
dinamakan fase dewasa maksimal. Pada fase ini, siswa telah mampu berpikir kritis,
keratif, dan lebih mampu menganalisa disbanding dengan fase SMP dan SD. Oleh
karena itu, siswa SMA telah bisa diajak menganalisa sesuatu untuk membentuk
pemikirannya mengenai persoalan matematika. Sehingga siswa tidak hanya dituntut
untuk mempelajari rumus-rumus yang ada namun siswa pun harus pula dituntut untuk
mampu menemukan rumus yang ada. Guru memfasilitasi siswa dengan menyediakan
alat-alat peraga matematika, buku cetak, dan referensi-referensi yang lain, kemudian
siswa dengan berbagai sumber yang disediakan akan mampu membentuk dirinya atas
segala persoalan kematematikaan.
Problematika kematematikaan perihal kurangnya angka minat matematika
diharapkan dapat tereduksi melalui integrasi filsafat rekonstruksionisme ke dalam
proses pembelajaran. Sehingga berbagai survei yang hendak dilakukan akan
mengangkat derajat Indonesia dalam dunia pendidikan, khususnya bidang
matematika. Karena siswa telah siap menjadi Problem Solver atas segala problem
yang hendak menerpa.

7

E. Penutup
Cerita gerakan Renaissance di Eropa dan restorasi Meiji di Jepang mestinya
memantik semangat kita akan pentingnya pendidikan sebagai senjata ampuh dalam
mengubah sebuah bangsa. Problem bangsa hari ini akan terselesaikan dengan baik
diawali dengan membenahi sistem pendidikan sebagai wadah melahirkan talentatalenta bibit unggul dalam sebuah bangsa. Nelson Mandela lagi-lagi mengingatkan
kita dengan kalimat ampuhnya, “Education is the most powerful weapon which you
can use to change the world”. Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat
digunakan untuk mengubah dunia.
Derajat pendidikan Indonesia di mata dunia dan Asia akan kembali hadir
dengan prestasi gemilang melalui bonus demografi yang akan datang pada kisaran
2020-2030. Tantangan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang mengharapkan
hadirnya generasi Indonesia yang mahir berbahasa asing dan mumpuni dibidang
tekhnologi serta memiliki berbagai kualitas keilmuan tentu meminta solusi besar
dibidang pendidikan. Berbagai tantangan akan terselesaikan dengan memperbaiki
pendidikan sebagai rahim lahirnya generasi emas Indonesia. Tak terelakan jugan
masalah matematika, kurangnya angka minat matematika pun akan perlahan
diselesaikan melalui integrasi filsafat ke dalam proses pembelajaran.
Aliran rekonstruksionisme dianggap cukup relevan untuk diterapkan ke dalam
proses pembelajaran matematika. Hal ini dikarenakan aliran ini akan mengajarkan
siswa lebih mandiri dalam menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi. Dengan
demikian, siswa akan menjadi lebih mandiri dalam menyelesaikan segala
permasalahan. Harapan kita adalah mereka akan menjadi Problem Solver atas
masalah-masalah kebangsaan dengan cara pandang yang rasional, karena matematika
adalah salah satu kajian ilmu pasti yang logis dan rasional dalam menyelesaikan
segala persoalan. Sehingga kita berharap Indonesia akan Running menjadi negara
super power dunia dengan memaksimalkan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber
Daya Manusia (SDM) yang telah Tuhan karuniakan untuk bumi pertiwi Indonesia.

8

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Muhammad. 2015. Filsafat Pendidikan. Jakarta: PT. Kharisma Putra Uama.
Dewantara, Ki Hajar. 1977. Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan Taman Siswa.
Haryanti. 2010. Upaya Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematika Sisiwa Kelas VII C
SMP Negeri 2 Depok Sleman dalam Pembelajaran Matematika Melalui Pendekatan
Investigasi. Yogyakarta: UNY.
Kamaluddin, Laode Masihu. 2014. Reorientasi (Strategi) Pendidikan Nasional Indonesia
(2015-2020). Semarang: Unissula Press.
Kurly, Fitria Anis. 2016. Asa Untuk Indonesia: Kumpulan Mimpi Anak Bangsa, Refleksi 70
Tahun Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Malang: Forind.
Muhmidayeli. 2013. Filsafat Pendidikan. Bandung: PT. Refika Aditama.
Mulyasa, E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep, Karakteristik, dan
Implementasi. Bandung: Rosdakarya.
Munawaroh, Siti. 2011. Upaya Peningkatan Motivasi Belajar Siswa Dalam Pembelajaran
Matematika Melalui Pendekatan Scramble Dengan Memanfaatkan Macromedia Flash.
Skripsi. Surakarta.
Pidarta, Made. 2007. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Saduloh, Uyoh. 2009. Pengantar FilsafatPendidikan. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Sudjana, Nana. 2009. Penilaian Hasi Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Susanto, A. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,Epistemologis, dan
Aksiologis. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Thobroni, M. 2015. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Uno, Hamzah B. 2007. Model Pembelajaran. Gorontalo: Bumi Aksara.

9

10