TINJAUAN YURIDIS PELANGGARAN HAM BERAT DI RWANDA SEBELUM BERLAKUNYA STATUTA ROMA

  

TINJAUAN YURIDIS PELANGGARAN HAM BERAT DI

RWANDA SEBELUM BERLAKUNYA STATUTA ROMA

Septian Dirga Putra

Jubair

  

Nurhayati Mardin

Abstrak

  Proses penyelesaian kasus kejahatan di Rwanda sebelum berlakunya

Statuta Roma tahun 1998, untuk mengetahuinya penulis sendiri telah banyak

merangkum dan menganalisis dari setiap literarut-literatur dan beberapa karya

ilmiah yang sudah ada dan menjadikannya satu kesimpulan dengan mengankat

judul tersebut. Dalam metode penelitian ini penulis menggunakan metode

penelitian Yuridis Normatif dengan meninjau dari literatur dan bahan hukum

lainnya sehingga memungkinkan untuk penulis mendapatkan bahan yang bisa

dijadikan suatu kesimpulan atas kasus yang pernah terjadi di Rwanda. Hasil dari

penelitian ini telah membuktikan bahwa proses penyelesaian kasus di Rwanda

dapat berjalan dengan baik dengan adanya badan peradilan yang khusus untuk

mengeksekusi setiap pelaku kejahatan Genosida di Rwanda, badan peradilan itu

yakni International Criminal Tribunal for Rwanda atau yang biasa disingkat

dengan ICTR walaupun badan/lembaga ini masih bersifat Ad-hoc namun

yurisdiksi/kewenangannya masih akan tetap eksis hingga sekarang walaupun

dalam waktu yang panjang sebelum berlakunya Statuta Roma badan peradilan ini

masih akan tetap melaksanakan yurisdiksinya. Dengan demikian dapat diketahui

bahwa kejahatan di Rwanda mengenai Genosida akan tetap berjalan dalam

mengadili setiap pelaku kejahatan tersebut walaupun dalam prosesnya menempu

waktu yang lama.

  

Kata kunci: Genosida, International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) dan

Ad-hoc.

  menginfansi negara sekitar dengan I.

PENDAHULUAN A.

  penjajahan yang brutal dan tak

   Latar Belakang

  Kejahatan yang pernah berprikemanusiaan. Banyaknya terjadi sebelum perang dunia kejahatan yang terjadi saat itu dipandang sebagai bentuk revolusi masih belum ada penanganan yang yang akan menjadi proses serius. Namun bagi sebagian terbentunya suatu negara yang negara jajahan (seperti Indonesia) merdeka walaupun dalam hal dapat merdeka berkat hal itu, sehingga daerah bekas jajahan menulis dan menerbitkan sebuah tersebut bisa berkembang dari treatise , “De Jure belli as pecis keterpurukan dan bisa menjadi libri tes ” (The Las of War and negara yang mandiri dari campur Peace in Three Books) pada tahun tangan negara lain walaupun 1625. Dalam bukunya tersebut negara jajahan tersebut masih Hugo Grotius menyatakan bahwa: mengadopsi beberapa konstitusi a.

  Mereka yang melaksanakan milik negara penjajahannya. perang untuk menang atau Pertumbuhan dan dengan niat tidak benar layak perkembangan hukum pidana untuk dituntut; internasional diawali oleh sejarah b.

  Mereka yang melaksanakan panjang mengenai perang yang perang secara melawan hukum telah terjadi sejak era bertanggung jawab atas akibat perkembangan masyarakat - akibat yang terjadi dan internasional, tradisional, sampai sepatutnya diketahui; dan dengan era perkembangan c. jenderal atau

  Sekalipun masyarakat modern. prajurit yang sesungguhnya Perkembangan pesat mengenai dapat mencegah kejadian atau masalah perang di dalam sejarah kerugian sepenuhnya dapat hukum internasional terjadi pada dipertanggungjawabkan atas

  1 abad 16 - 18, ketika penulis - tindakannya.

  penulis terkenal seperti Alberto Statuta Roma, Statuta ICTY, Gentili (Italia), Francisco Suarez Statuta

  ICTR, dan Piagam (Spanyol), Samuel Punfendorf Pengadilan Militer Internasional (Jerman), dan Enerich Vattel Nuremberg menganut asas (Swiss) telah mambahas dan pertanggungjawaban individu. mencari dasar - dasar hukum suatu Yang berarti tanpa memandang peperangan. Namun salah satu kedudukan atau jabatan seseorang tokoh yang terkenaldari Belanda bertanggungjawab atas yang bernama Hugo Grotius, dia 1 Anis Widyawati. Hukum Pidana sebagai ahli hukum yang telah

  Halaman 1 - 2. keterlibatannya dalam perbuatan pelanggaran HAM berat. Perihal pertanggungjawaban individu itu telah dirumuskan oleh Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) pada tanggal 29 Juli 1950 sebagai berikut: 1.

  Setiap orang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan suatu kejahatan internasional bertanggungjawab atas perbuatannya dan harus dihukum.

  (nasional) tidak mengancam dengan pidana atas perbuatan yang merupakan suatu kejahatan menurut hukum internasional tidaklah membebaskan orang yang melakukan perbuatan itu dari tanggungjawab menurut hukum internasional.

  3. Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan yang merupakan suatu kejahatan menurut hukum internasional bertindak sebagai Kepala Negara atau Pejabat

  Pemerintah yang bertanggungjawab, tidak membebaskan dia dari tanggungjawab menurut hukum internasional.

  4. Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan itu untuk melaksanakan perintah dari Pemerintahnya atau dari atasannya tidaklah membebaskan dia dari tanggungjawab menurut hukum internasional, asal saja pilihan moral (moral choice) yang bebas dimungkinkan olehnya.

2. Fakta bahwa hukum internal

  Menurut Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Genosida Tahun l949 genosida berarti tindakan dengan kehendak menghancurkan sebagian atau keseluruhan kelompok nasional, etnis, ras atau agama; atas salah satu dari lima tindakan berikut ini yaitu:

  a) Membunuh anggota kelompok;

  b) Menyebabkan cacat tubuh atau mental yang serius terhadap anggota kelompok; c) yang merupakan orang-orang Secara sengaja dan terencana mengkondisikan hidup dusun yang tiba di sini sejak abad kelompok ke arah kehancuran ke-15; Hutu, yang merupakan fisik secara keseluruhan atau mayoritas penduduk, merupakan sebagian; petani asal Bantu. Hingga 1959,

  d) suku Hutu membentuk strata Memaksakan langkah-langkah yang ditujukan untuk dominan di bawah sistem feodal mencegah kelahiran dalam yang berdasarkan pada kelompok tersebut; kepemilikan ternak; dan Twa, yang e) dipercayai merupakan sisa

  Dengan paksa memindahkan anak-anak kelompok tersebut pemukim terawal di sini. Suku

  2

  ke kelompok lain. Twa dianggap yang tertua, lalu Kejadian yang terjadi di orang Hutu dan kemudian Tutsi. Rwanda, Afrika, memberikan Rwanda merupakan salah satu gambaran buruk terhadap daerah jajahan Belgia. Pada jaman masyarakat internasional yang penjajahan, terjadilah suatu dimana kejahatan tersebut terjadi diversifikasi suku, yang dilakukan secara meluas dan sistematis oleh Belgia, yaitu suku Hutu. dengan melakukan genosida dan Para penjajah Belgia lebih kejahatan terhadap kemanusiaan memilih orang-orang dari suku lainnya. Tutsi untuk menjalankan

  Republik Rwanda adalah pemerintahan daripada orang- sebuah negara di benua Afrika orang yang berasal dari suku Hutu. bagian tengah yang berbatasan Mereka mempekerjakan suku Tutsi dengan Republik Demokratik untuk pekerjaan “kerah putih”

  Kongo, Uganda, Burundi dan yaitu pekerjaan yang lebih tinggi Tanzania. Penduduk asli Rwanda posisinya sedangkan untuk “kerah terdiri dari tiga suku yaitu Tutsi, biru” yaitu posisi yang lebih 2 rendah, dan pekeja kasar diberikan kepada suku Hutu yang sebenarnya

  http://sendhynugraha.blogspot.co.id/2013/0

  merupakan penduduk mayoritas di

  masalah.html

  Rwanda. Secara tidak langsung, Belgia mengadu domba ke dua suku ini.

  Hal inilah yang menjadi awal dari timbulnya benih - benih kebencian, ke iri hatian, dan kecemburuan sosial yang akut dan mengakar. Menurut Simon Fisher dalam bukunya, Mengelola konflik; Keterampilan & Strategi untuk Bertindak, dalam teori Hubungan Masyarakat disebutkan bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Setelah beberapa tahun kemudian, tepat nya di tahun 1994, masalah ini kembali muncul sehingga menyebabkan timbulnya konflik ketika para Militan Hutu mengadakan genosida massal untuk membantai kelompok Tutsi yang disebut dengan “Cocoroaches”, dan menyamakan mereka dengan tidak lebih dari derajat seekor sapi untuk dibantai. Dengan sandi “LETS CUT THE TALL TREES!!” mereka memulai pembantaian itu.

  Konflik yang terjadi di Negara Rwanda dikategorikan sebagai konflik etnis. Konflik yang terjadi antara etnis hutu dan etnis tutsi. Pada tahun 1994, konflik ini pun memuncak ketika pembunuhan kepada Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana yang berasal dari etnis hutu oleh kaum militan yang menentangnya terjadinya penyatuan etnis tersebut.

  Peristiwa penembakkan tersebut mengawali pembunuhan massal atau yang sering disebut dengan Genocide (genosida) yang berlangsung selama 100 hari. Hanya beberapa jam setelah presiden Rwanda dibunuh, pembantaian pun dimulai diseluruh tempat di Rwanda. Pasukan khusus Pengawal Presiden dengan bantuan instruktur Perancis segera beraksi. Mereka bekerja sama dengan kelompok militan Rwanda, Interahamwe dan Impuzamugambi.

  Dalam seratus hari pembantaian berbagai kalangan mencatat tidak kurang dari 800.000 jiwa atau paling banyak sekitar satu juta jiwa etnis Tutsi menjadi korban pembantaian. Lalu setelah Kigali jatuh ke tangan oposisi RPF pada 4 Juli 1994, sekitar 300 mayat masih saja terlihat di alam terbuka di kota Nyarubuye berjarak 100 km dari timur Kigali. Korban yang jatuh di etnis lain (Twa dan Hutu) tidak diketahui, akan tetapi kemungkinan besar ada walaupun tidak banyak jumlahnya.

  Namun, Pembantaian massal di Rwanda ini tidak mendapatkan perhatian besar dari dunia internasional khususnya Belgia, Perancis, Inggris dan Amerika Serikat. Salah satu penyebab paling dominan adalah karena Negara Rwanda tidak memiliki keuntungan terhadap kepentingan nasional (national interest) Negara- negara tersebut.

  Akhirnya dengan desakan dari masyarakat internasional, PBB mengirimkan pasukan perdamaian untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara hutu dan tutsi melalui sebuah human

  intervention (intervensi

  kemanusiaan). Pengiriman pasukan perdamaian PBB ini tidak sepenuhnya menyelesaikan konflik yang terjadi karena selama pasukan perdamaian PBB melakukan internvensinya di Rwanda masih banyak terdapat pembunuhan massalah terhadap suku tutsi oleh kaum militan. Pada bulan Agustus 1994, sebuah perjanjian untuk membentuk lembaga pengadilan penjahat perang, yang kemudian menjadi International Criminal Tribunal for Rwanda, disetujui.

  Banyak pihak menilai, genosida di Rwanda ini sebenarnya tidak perlu terjadi seandainya PBB mau bertindak untuk melakukan intervensi dari sejak awal sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Konvensi Genosida.

  Memang PBB berusaha untuk “membayar” kegagalannya di Rwanda dengan membentuk Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda [Internationan Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR)] melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB No. S/RES/955 tahun 1994. Pengadilan ad hoc yang masih merupakan bagian dari Mahkamah Internasional Den Haag ini, berlokasi di Arusha, Tanzania.

  ICTR bertujuan untuk menuntut dan mengadili orang- orang yang bertanggung jawab atas terjadinya genosida dan kejahatan berat lain yang melanggar hukum humaniter internasional di Rwanda atau oleh orang Rwanda di negara- negara tetangga selama tahun 1994. Yurisdiksi ICTR meliputi kejahatan genosida; pelanggaran Pasal 3 seluruh Konvensi Jeneva 1949 serta Protokol Tambahan II 1977; dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dengan yuridiksinya,

  ICTR telah mengadili sekitar 70 orang, termasuk Jean Kambanda, mantan

  Perdana Menteri Rwanda.

  menemukan titik penyelesaian ketika pada tahun 2000 ditanda - tanganinya persetujuan damai dari seluruh kelompok politik di Burundi yang menjelaskan rencana menuju perdamaian. Tahun 2003 terjadi genjatan senjata yang disetujui oleh pemerintah Buyoya 3

  • –mata adanya rasa superior yang dimiliki oleh salah satu suku yang ada di Rwanda. Konflik dan

  9/konflik-di-rwanda-an-analysis/

  dan kelompok pemberontak Hutu terbesar. Tetapi meskipun kesepakatan damai telah dicapai, tapi konflik terus menerus terjadi.

  Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut dalam penulisan skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Pelanggaran

  Ham Berat Di Rwanda Sebelum Berlakunya Statuta Roma

  ”.

  B. Rumusan Masalah

  Bagaimana proses penyelesaian kasus kejahatan di Rwanda sebelum berlakunya Statuta Roma? II.

PEMBAHASAN PROSES PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN DI RWANDA SEBELUM BERLAKUNYA STATUTA ROMA

3 Konflik tersebut mulai

  Konflik yang terjadi di Rwanda bukanlah konflik yang begitu saja terjadi hanya dikarenakan kecemburuan sosial, ketimpangan ekonomi, atau semata gesekan yang terjadi antara dua suku ini sudah berakar dimulai dari saat mereka dijajah oleh Belgia. Permulaan adalah saat Belgia menjadi penguasa di Rwanda, di mana dari masalah inilah yang menyebabkan konflik di Rwanda terjadi, dan benar

  • – benar tak terlupakan. Saat itu, Belgia menstratifikasi atau membeda
  • – bedakan suku Hutu, Tutsi dan juga sekelompok suku kecil yaitu Twa.

  Kejahatan genosida yang terjadi di Rwanda Afrika telah menjadi kejadian yang paling memilukan dalam sejarah kejahatan yang pernah terjadi sebelumnya, antara suku Hutu yang telah menewaskan lebih dari 800.000 warga penduduk suku Tutsi di Rwanda.

  Kejadian memilukan ini akhirnya melahirkan pengadilan yang khusus memerangi kejahatan genosida di Afrika pada tahun 1994 dengan berdirinya International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) terhadap kewenangannya yang dapat mengadili kejahatan khususnya genosida di Rwanda itu sendiri secara nyata.

  Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa ICTR ini dibentuk saat tingkat kejahatan tersebut sudah sangat memprihatinkan, masyarakat internasional serta dewan PBB melihat situasi ini merupakan situasi yang dapat mengancam perdamaian dunia sehingga dibentuklah lembaga peradilan yang khusus untuk mengadili genosida di Rwanda saat itu. ICTR merupakan lembaga peradilan ad hoc yang diketahui sebagai peradilan yang bersifat sementara untuk mengadili pelaku kejahatan genosida.

  4 Masa dekolonisasi juga

  membawa suku Tutsi pelan-pelan terpinggirkan dari Rwanda, karena Rwanda telah didominasi oleh Hutu. Hal ini membuat Tutsi harus mengungsi ke negara

  • –negara tetangga sekitar Rwanda. Pada 1990, suku Tutsi membentuk RPF (Rwanda Patriotic Front), yang
  • 4

      html dipimpin oleh Paul Kagame. Mereka adalah sebuah kelompok militer yang terlatih untuk merebut kekuasaan dari Hutu yang terus mendominasi Rwanda. Pada 1990 mereka menginvasi Rwanda dan meminta posisi dalam pemerintahan. Namun Rwanda masih menolaknya. Pada 1993, Juvenal Habyarimana yaitu Presiden Rwanda dari kalangan Hutu yang saat itu berkuasa ingin memberikan posisi bagi para Tutsi serta melakukan perjanjian perdamaian.

      di Negara Rwanda dikategorikan sebagai konflik etnis. Konflik yang terjadi antara etnis hutu dan etnis tutsi.

      Usaha ini dilakukan oleh Presiden dalam rangka pertanggung jawabannya terhadap keadaan Rwanda, dan juga tuntutan dari RPF yang membuat Presiden perlu mempertimbangkan nasib para Tutsi yang juga merupakan bagian dari Rwanda. RPF yang dipimpin oleh Paul Kagame menyerang Rwanda dan 5

      

      meminta dibentuknya perjanjian demi tuntutan mereka mendapatkan bagian dalam pemerintahan. Mereka meminta dibentuknya Arusha Accords, yaitu perjanjian di mana Presiden akan memberikan kesempatan dan juga tempat untuk orang Tutsi memiliki posisi dalam pemerintahan. Namun para Hutu ekstrimis yang sangat anti kepada Tutsi menolak kebijakan itu mentah-mentah dan sama sekali tidak menginginkan adanya Tutsi di dalam pemerintahan. Pada kenyataannya perjanjian ini tidak terimplementasi dengan baik.

    5 Konflik yang terjadi

      6 Pada tahun 1994, konflik ini pun

      memuncak ketika pembunuhan kepada Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana yang berasal dari etnis hutu oleh kaum militan yang menentangnya terjadinya penyatuan etnis tersebut.

      Berkaitan dengan pembentukan mahkamah ICTR beserta Statuta yang berlaku didalamnya, hingga pada tahun 6 Victor Peskin. International Justice in

      Rwanda and The Balkans. Cambridge hlm

      1998 sebelum terjadinya pembembentukan Statuta Roma Tahun 1998 mahkamah ICTR tetap berlaku dalam menindak setiap kejahatan yang pernah maupun sedang terjadi di wilayah Rwanda. Dengan demikian dapat diketahui bahwa ICTR tetap berlaku untuk mengadili kejahatan yang terjadi di Rwanda walau sekalipun Statuta Roma telah berlaku pada tahun yang sama.

      Kewenangan atau yurisdiksi merupakan batasan kahkamah dalam menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

    7 Dalam proses

      penyelesaiannya juga memiliki beberapa yurisdiksi yang mengatur seperti

      Yurisdiksi Personal, Yurisdiksi Kriminal, Yurisdiksi Teritorial dan Yurisdiksi Temporal . Keempat yurisdiksi

      inilah yang dapat mempidana para pelaku kejahatan di Rwanda.

      Mekanisme pemeriksaan perkara yang dilakukan oleh Mahkamah ini, dalam Pasal 14 diatur mengenai hukum acara pembuktiannya. Dalam ketentuan 7 Anis Widyawati. Op.cit Hlm 148 ini bahwa untuk mengatur acara persidangan, para hakim Mahkamah Rwanda akan melakukan pengadopsian dan penerapan peraturan hukum dan tata cara pembuktian dari Mahkamah Bekas Yugoslavia dengan melakukan beberapa perubahan - perubahan yang dipandang perlu oleh hakim Mahkamah tersebut.

      Adanya ketentuan ini menjadi landasan bahwa telah menunjukkan adanya kedekatan dari kedua Mahkamah ini sehingga hal - hal yang sama bisa digunakan peraturan yang sama pula dan tidak perlu membuat peraturan hukum yang baru lagi, jika substansi aturannya sama.

      8 Berdasarkan resolusi 977

      pada 22 Februari 1995, Dewan Keamanan (DK) PBB menetapkan lokasi

      ICTR di Arusha, Tanzania. Dari berbagai resolusi, DK PBB menargetkan ICTR untuk menyelesaikan seluruh investigasi pada akhir 2004, menyelesaikan seluruh aktivitas pengadilan pada akhir 2008, dan menyelesaikan 8 Ibid. Hlm 149. seluruh kegiatan pada 2012. Sejauh ini, ICTR telah meyelesaikan 55 kasus, termasuk di dalamnya 9 kasus naik banding dan 8 dibebaskan. 20 kasus masih dalam proses, 2 kasus dialihkan kepada yurisdiksi nasional, 2 terdakwa meninggal sebelum keputusan pengadilan keluar, dan 1 yang sedang menanti pengadilan.

      dikemukakan disini bahwa Mahkamah Rwanda memiliki status hukum secara mandiri seperti juga pada Mahkamah Yugoslavia yang dalam hukum internasional atau hukum organisasi internasional disebut sebagai memiliki kepribadian hukum internasional (international legal personality).

      yang dapat ditempu untuk menyelesaikan kasus di Rwanda ini bisa di ajukan langsung ke mahkamah pidana ICTR dengan kewenangan atau yurisdiksi yang 9 Wiliam A. Schabas. The UN International

      Criminal Tribunals: The Former Yugoslavia, Rwanda and Sierra Leone. Cambridge University Press: New 10 Anis Widyawati. Op.cit Hlm 203.

      merupakan batasan mahkamah dalam menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, adapun penjelasan - penjelasan mengenai yurisdiksi tersebut adalah sebagai berikut:

      1. Yurisdiksi Personal Merupakan kewenangan

      Mahkamah dalam mengadili terhadap orang - orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran yang serius terhadap hukum humaniter internasional. Yurisdiksi personal ini terbatas pada individu - individu, bukan terhadap pribadi - pribadi hukum lain selain individu misalnya negara, organisasi internasional, badan - badan ataupribadi hukum publik maupun privat. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Statuta, yaitu individu - individu yang merencanakan, memerintahkan, melakukan, memberikan bantuan atau turut serta dalam perencanaan, persiapan atau pelaksanaan kejahatan - kejahatan yang ditentukan dalam

    9 Satu hal yang patut

    10 Dalam upaya atau proses

      Pasal 2 - 4 Statuta, yang mereka itu bertanggung jawab secara

      individual atas kejahatan yang 4.

      Yurisdiksi Kriminal dilakukannya. Merupakan kewenangan

      2. Mahkamah dalam memeriksa Yurisdiksi Teritorial

      Merupakan yurisdiksi yang kejahatan kejahatan yang - berdasarkan dalam Pasal 7 termasuk dalam kategori yurisdiksi mengenai yurisdiksi teritorial kriminal Mahkamah Rwanda,

      Mahkamah ini, yaitu wilayah antara lain: Rwanda yang meliputi permukaan a.

      Pelanggaran serius (the most daratan, ruang udara, termasuk serious crimer ) atas hukum dengan wilayah negara tetangga humaniter internasional yang yang berkenaan dengan meliputi genosida (genocide); pelanggaran serius terhadap

      b. terhadap Kejahatan hukum humaniter internasional kemanusiaan (crimes againts yang dilakukan oleh warga negara humanity ); Rwanda.

      c.

      Pelanggaran atas Pasal 3 3.

      Konvensi - Konvensi Jenewa Yurisdiksi Temporal

      Yurisdiksi ini ditegaskan 1949 dan Protokol Tambahan pula dalam Pasal 7 yang menjadi

      II (violation of Article 3 kewenangan Mahkamah dalam common to the Genewa menangani perkara yang

      Convention and of Additional

      11 berlangsung antara tanggal 1 Protocol II ).

      Januari 1994 sampai dengan Dari Yurisdiksi diatas dapat tanggal 31 Desember 1994. Dalam disimpulkan bahwa upaya maupun ketentuan ini telah dijelaskan proses pengadilan untuk mengadili secara jelas rentang waktu pelaku menjadi memungkinkan mengenai yurisdiksi temporalnya, dan lebih efektif untuk mengadili. berbeda dengan yurisdiksi Dengan keempat yurisdiksi diatas temporal oleh Mahkamah Bekas yakni yurisdiksi pesonal, temporal, Yugoslavia yang tidak menentukan teritorial dan kriminal makhamah batas akhir terjadinya peristiwa 11 Anis Widyawati. 2014. Hukum Pidana kejahatan tersebut.

      147 - 149. dapat dengan mudah melakukan eksekusi yang adil.

      Bertepatan dengan berdirinya Pengadilan Pidana Internasional (ICC) yang dimana yurisdiksi Kriminalnya dari Statuta Roma Tahun 1998 juga turut mengadili salah satu individu yang dianggap terlibat dalam genosida Rwanda, ini mumbuktikan bahwa bukan berarti ICTR sama sekali tidak memiliki yurisdiksi yang tetap dan mengikat dalam memberikan putusan yang final namun karena asas Ne bis in Idem yang terdapat dalam Statuta Roma sehingga dengan pandangan yang adil dari masyarakat internasional maka seseorang tersebut dapat diadili kembali walaupun sebelumnya orang tersebut telah diadili dan mendapat hukuman yang sifatnya final dan mengikat. Tetapi secara garis besar bahwa

      ICTR merupakan mahkamah yang tepat untuk mengadili setiap kejahatan genosida khususnya di Rwanda Afrika.

      Terdapat salah satu kasus yang juga diseret-seret oleh Mahkamah Pidana Internasional

      (ICC) tidak mengurangi yurisdiksi dari pada ICTR itu sendiri dalam menyelesaikan kasus yang adil, namun karena pengadilan ICTR tersebut bisa saja mengalami kesulitan dalam memproses pelaku sehingga kasus yang bersangkutan dengan pelaku tersebut ditangani langsung oleh

      ICC. Ini membuktikan bahwa sesungguhnya pengadilan

      ICC hanyalah sebagai suplemen bagi badan peradilan yang ada didunia. Karena ketentuan ICC sendiri yang menganut Statuta Roma sebagai landasannya memberikan kewenangan yang sangat khusus bagi setiap negara untuk mengadili setiap kejahatan yang terjadi negaranya dalam lingkungan peradilan negara itu sendiri. Sehingga kemudian terdapat salah kasus yang masuk kerana ICC dikarenakan pada Mahkamah

      ICTR tidak mau atau tidak mampu menjatuhi hukuman yang adil dalam menyelesaikan kasus tersebut sehingga dengan ketentuan yang berlaku pada ICC menurut Statuta Roma maka mahkamah pidana internasional dapat secara langsung menggantikan untuk memidanakan pelaku.

    III. PENUTUP A. Kesimpulan

      Mahkamah Internasional Criminal Tribunal for Rwanda memiliki yurisdiksi/kewenangan yang diatur secara tegas dalam menjatuhi hukuman kepada pelaku kejahatan di Rwanda.

      Itu juga dapat dilihat dari upaya dan usaha yang dilakukan oleh mahkamah

      ICTR dari tahun ketahun dalam memidanakan pelaku kejahatan genosida tersebut. Namun kasus ini juga telah sampai ketangan

      ICC dikarenakan mahkamah ICTR tidak mau atau tidak mampu dalam mengeksekusi pelaku tersebut. Tetapi pada hakekatnya walaupun mahkamah ini bersifat Ad-hoc (sementara) dia akan masih tetap eksis dalam mengeksekusi setiap pelaku kejahatan genosida di Rwanda hingga tuntas. Dalam proses penyelesaian kasusnya, yang mampu mengatasi masalah ini ialah ICTR itu sendiri dengan mengadili pelaku di tingkat pengadilan Rwanda terhadap pelanggaran HAM dan Kejahatan Perang.

      B. Saran

      Upaya atau proses penyelesaian kasus kejahatan di Rwanda sebelum berlakunya Statuta Roma ini yakni sebagai badan peradilan yang khusus menangani pelaku kejahatan genosida di Rwanda seharusnya lebih tegas dan efisien lagi dalam mempidanakan para pelaku dengan adil walaupun badan peradilan ini bersifat Ad-hoc, sehingga nantinya kasus ini bisa diselesaikan dalam ruang lingkup ICTR sendiri sebelum jatuh ketangan ICC untuk diadili kembali.

    DAFTAR PUSTAKA A.

       Literatur

      Anis Widyawati. Hukum Pidana Internasional. Sinar Grafika: Jakarta. 2014 Eddy O.S. Hiariej. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Penerbit Erlangga:

      Yogyakarta. 2009

      H. Hata. Individu dalam Hukum Internasional. STHB Press. Cetakan Pertama: Bandung. 2005 Huala Adolf. Aspek - Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Edisi Revisi.

      Rafa Grafindo Persada: Bandung. 2002 I Wayan Parthiana. Pengantar Hukum Internasional. Mandar Maju: Bandung. 2003

      Victor Peskin. International Justice in Rwanda and The Balkans. Cambridge University Press: New York. 2008

      Wiliam A. Schabas. The UN International Criminal Tribunals: The Former

      Yugoslavia, Rwanda and Sierra Leone. Cambridge University Press: New York. 2006.

    B. Sumber Lain: