Menggagas Cetak Biru Industrialisasi Ber

Menggagas Cetak Biru
Industrialisasi (Berbasis) Pertanian
di Indonesia
Oleh:

“Kebijakan pembangunan ekonomi di Indonesia mestinya
difokuskan pada sektor yang menghidupi mayoritas penduduk
yaitu penduduk yang ada di pedesaan dengan profesi sebagai petani.
Pengembangan industri mestinya juga difokuskan pada aktivitas
yang memiliki keterkaitan dengan kepentingan mayoritas.”
(Joseph E. Stighlitz, 2004)
[Di bawah perdagangan bebas] negara-negara miskin terperosok
—dan dipaksa—mengadopsi standar cara produksi dan konsumsi
yang menghancurkan peluang-peluang kemandirian dan keswadayaannya.
Akibatnya, neo-kolonialisme dan keputusasaan
kaum miskin menjadi tak terelakkan lagi.
E.F. Schumacher (1973; 163)

Pengantar
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul dua isu krusial terkait situasi ekonomi di
Indonesia, yaitu krisis pangan dan de-industrialisasi. Sejak tahun 2009, tersinyalir kuat

sektor

industri

sebagai

pilar

ekonomi

nasional

mengalami

masalah

serius.

Pertumbuhannya sangat rendah atau hampir mengalami stagnasi. Sektor ini ditengarai
sejumlah pakar dan peneliti mengalami deindustrialisasi.1 Dengan kata lain, sebelum dapat

mencapai industrialisasi, Indonesia telah menuju deindustrialisasi. Keadaan ini
menunjukkan bahwa Indonesia mengalami de-industrialisasi negatif.2 Gejala deindustrialisasi itu semakin menguat paska krisis pangan global tahun 2007-2008.3
Didik J. Rachbini, Disfungsionalisasi Politik dan Deindustrialisasi dalam Bisnis Indonesia, Senin, 9 Agustus 2010,
hlm 6.
2 Ine Minara Ruky, Gejala De-Industrialisasi di Indonesia, Notulensi Seminar Institute of Global Justice, hlm 1.
3 Krisis pangan global 2007-2008 setidaknya tercatat 75.000 warga Meksiko turun ke jalan menuntut penurunan
harga sembako. Demonstrasi disertai penangkapan massal pecah di Senegal dan Pantai Gading. Mogok masal dan
1

Menggagas Cetak Bir u Industr ialisasi (Ber basis) Per tanian AB.Widyanta

Page 1

Lagi-lagi, pada pekan pertama 2011, sebuah isu gawat kembali menyeruak.
Publikasi bertitel The Great Food Crisis of 2011 dirilis oleh Presiden Earth Policy Institute,
Lester R Brown, di Foreign Policy. Publik tersentak oleh keakuratan datanya. Menurut
Kompas (16/01/2011)4, negara-negara di dunia mulai memburu komoditas pangan.
Harga berbagai komoditas pangan melonjak. Inflasi mendera berbagai negara. Kerusuhan
akibat pangan mulai terjadi. Di Inggris harga gandum tetap tinggi hingga awal tahun. Di
Aljazair terjadi kerusuhan akibat lonjakan harga pangan. Rusia mengimpor bebijian secara

besar-besaran untuk pasokan pangannya. India bergulat dengan harga pangan karena
inflasi yang tinggi. Sementara China dan Meksiko berburu gandum dan jagung di pasar
dunia. Prediksinya, krisis pangan 2011 akut dan lebih besar dari krisis pangan tahun 2008.
Tentu saja, Indonesia tak luput dari krisis itu. Bahkan menurut estimasi FAO,
Indonesia adalah salah satu negara yang akan terkena krisis pangan yang berat selain
China dan India. Harga pangan di Indonesia mengalami lonjakan dari sekitar Rp. 6.000,menjadi di atas Rp. 8.000,- sejak akhir 2010. Sebagai langkah antisipasi, selain melakukan
operasi pasar untuk menekan harga beras di pasar dalam negeri, Indonesia mengimpor
beras sebanyak 500.000 ton beras dari 1,3 juta ton yang akan diimpor pada tahun 2011.5
Menyimak pada persoalan krisis pangan dan de-industrialisasi tersebut, muncul
sejumlah gugatan di benak penulis. Pertama, tidakkah bangsa ini perlu secara lebih radikal
membongkar segenap sesat pikir dan salah urus pembangunannya? Kedua, tidakkah
bangsa ini perlu menjungkirbalikkan kiblat dan kembali pada kitahnya sebagai bangsa
agraris yang gemah ripah loh jinawi dalam artian sejatinya? Ketiga, tidakkah bangsa ini harus
segera merancang basis dan sistem kedaulatan pangan dengan serta merta menyiapkan
cetak biru industrialisasi yang berbasis pada sektor pertanian?
Berpijak dari pokok gugatan di atas, tulisan ini akan mengawali uraian dengan
mengajukan dua pertanyaan kunci berikut: pertama, sejauh manakah sektor pertanian
berpotensi sebagai basis untuk industrialisasi di Indonesia? Kedua, jika itu potensial, sejauh
manakah peluang dan hambatan bagi Indonesia untuk mengimplementasikan itu? Untuk
menjawab dua pertanyaan itu, sistematisasi tulisan ini bisa dipilah dalam beberapa bagian

penjarahan terjadi di Kamerun. Demonstrasi besar-besaran di Bangladesh. Sementara di Haiti protes terhadap
krisis pangan telah membuat pemerintah terpojok ke dalam krisis (Die Zeit, 17 April 2008). Baca Sindhunata,
Amarah dari Perut, Tanda-Tanda Zaman Majalah Basis Nomor 05–06, tahun ke-57, Mei – Juni 2008, hlm.3
4 Andrea s Maryoto, Krisis Pangan 2011 Akut, Kompas 16 januari 2011, hlm.10
5 Andreas Maryoto, Op.Cit.
Menggagas Cetak Bir u Industr ialisasi (Ber basis) Per tanian AB.Widyanta

Page 2

berikut. Bagian pertama, tulisan akan menilik sejarah singkat industrialisasi di Indonesia.
Bagian kedua, tulisan akan mengupas dampak industrialisasi di Indonesia telah
menelantarkan sektor pertanian sebagai basis pengidupan mayoritas rakyatnya. Bagian
ketiga, tulisan akan memapar peluang dan tantangan proses industrialisasi (berbasis)
pertanian di Indonesia. Bagian ketiga, tulisan akan menarik sejumlah catatan dan
rekomendasi untuk strategi kebijakan industrialisasi di Indonesia yang lebih berkelanjutan
dan pro rakyat.
Secara mendasar, tulisan ini meyakini bahwa upaya mengekor sesat pikir
“fundamentalisme pasar” adalah sebuah kemudharatan-batil. Mitos pertumbuhandevelopmentalism yang bermetamorfosis menjadi mitos neoliberalisme secara kasat mata
telah melahirkan perbudakan modern yang despotis. Selain kedaulatan bangsa tergadai,
mayoritas rakyat yang bergantung pada sektor pertanian senantiasa jadi tumbal. Rupanya

sejumlah simptom pembusukan tubuh kapitalisme mutakhir ini harus segera ditangkap
sebagai momentum bagi bangsa ini untuk merancang cetak biru pembangunan sektor
pertaniannya sebagai pondasi kedaulatan pangan maupun industrialisasi (berbasis)
pertanian secara berkelanjutan ke depan.
Sejarah Singkat Industrialisasi di Indonesia
Pada tahun 1960-an dan 1970-an strategi industrialisasi yang digunakan oleh
banyak Negara Sedang Berkembang, setidaknya pada proses awal industrialisasinya
menggunakan pendekatan substitusi impor.6 Di Indonesia, proses industrialisasi baru
berjalan sejak dijalankannya program pembangunan ekonomi oleh pemerintah Orde
Baru. Pada tahun 1960-1967, industri manufaktur hanya tumbuh dengan laju rata-rata
sebesar 1% per tahunnya. Pada kurun waktu 1967-1973, pertumbuhannya melesat
menjadi rata-rata 9,6 % per tahun. Laju yang lebih tinggi lagi, sebesar 14,2 % per tahun,
berlangsung selama kurun waktu 1973-1981. Namun patut dicatat di sini bahwa pesatnya
pertumbuhan sektor industri itu ditengarai bukan hanya ditentukan oleh meningkatnya
konsumsi hasil-hasil industri manufaktur saja, tapi juga karena adanya penanaman modal

6

Mari Pangestu, Raymond Atje dan Julius Mulyadi, Transformasi Industri Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas, Jakarta:
CSIC, 1996, hlm. 4.


Menggagas Cetak Bir u Industr ialisasi (Ber basis) Per tanian AB.Widyanta

Page 3

maupun impor besar-besaran bahan baku dan barang antara yang dibutuhkan oleh
berbagai industri manufaktur.7
Merosotnya harga minyak mentah dunia lantaran resesi ekonomi dunia dan
melemahnya pasar dunia,8 dalam kurun waktu 1981-1983, pertumbuhan industri anjlok
menjadi rata-rata 2,1 % setahun, tapi kembali naik jadi 16,3% pada tahun 1984.
Kemeresotan terjadi lagi menjadi 5,4 % pada tahun 1985 dan 3,2% pada tahun 1986. 9
Pada sepuluh tahun menjelang krisis (1987-1996), industri manufaktur nonmigas tumbuh
rata-rata 12 % per tahun, lima poin lebih tinggi dari pertumbuhan produk domestik bruto
(PDB) pada waktu itu (6,9 persen). Pada krisis ekonomi 1997-1998, industri manufaktur
mengalami penurunan pertumbuhan sangat drastis. Setelah krisis (2000-2008), industri
manufaktur nonmigas rata-rata tumbuh 5,7 persen per tahun, sedikit lebih tinggi dari ratarata pertumbuhan PDB (5,2 persen).10
Belakangan, pertumbuhan industri manufaktur cenderung turun, bahkan menjadi
lebih rendah dari pertumbuhan PDB. Pada lima tahun terakhir (2004-2008),
pertumbuhan industri manufaktur nonmigas tumbuh rata-rata 5,6 persen per tahun, lebih
rendah dari rata-rata pertumbuhan PDB (5,7 persen). Sejalan dengan penurunan

pertumbuhannya, perannya dalam mendorong pertumbuhan PDB makin berkurang.
Peran industri manufaktur makin tergeser oleh sektor jasa, terutama jasa modern di
perkotaan. Pada 2008, industri manufaktur menyumbang 1 poin pada 6,1 persen
pertumbuhan PDB. Lebih rendah dari rata-rata selama 2000-2008 (menyumbang 1,4 poin
pada 5,7 persen pertumbuhan PDB).11
Kurun Waktu

Rata-rata pertumbuhan per

Kurun Waktu

tahun (%)

Rata-rata pertumbuhan per
tahun (%)

1960-1967

1


1985

5,4

1967-1973

9,6

1986

3,2

1973-1981

14,2

1987-1996

12


1981-1983

2,1

1997-1998

Tidak ada data

1984

16,3

2000-2008

5,7

Thee Kian Wie, Industrialisasi di Indonesia Beberapa Kajian, Jakarta: LP3 ES, 1994, hlm.19.
Baca Sawidji Widoatmodjo, Ekonomi Indonesia Pasca Boom Minyak, Analisis Kebijakan Ekonomi Tanpa
Dominasi Migas, Yogyakarta: UGM, 1990, 17-29.
9 Ibid.

10 Membendung Gejala Industrialisasi, Kompas, 20 Oktober 2005.
11 Ibid.
7
8

Menggagas Cetak Bir u Industr ialisasi (Ber basis) Per tanian AB.Widyanta

Page 4

Terabaikannya Sektor Pertanian
Tersadari sejak berlangsungnya proses industrialisasi yang terjadi pada masa Orde
Baru yang dilakukan dengan gencar, cepat dan berhasil melakukan transformasi struktural
perekonomian Indonesia, ternyata belum mengait ke sektor pertanian. Sektor pertanian
tidak mendapatkan perhatian yang cukup seimbang dibandingkan dengan sektor industri.
Ini berakibat pada tertinggalnya sektor petanian dari sektor industri. Tidak saja dalam
struktur PDB, tetapi juga juga dalam struktur masyarakat, dimana sampai saat ini
masyarakat yang hidup di sektor pertanian (petani) tak kunjung sejahtera dibandingkan
masyarakat yang hidup di sektor industri. Nilai tukar produk-produk petani pun tak juga
membaik.12
Meskipun selama 16 tahun di awal-awal pemerintahan Soeharto menjadikan sektor

pertanian sebagai basis utama strategi pembangunannya, namun harus dicatat bahwa
program Revolusi Hijau telah memakan ongkos yang teramat mahal lantaran rusaknya
sendi-sendi ekonomi, sosial dan kultural masyarakat. Dampak kejayaan swasembada beras
di tahun 1984 yang diraih melalui Panca Usaha Tani (berupa pengolahan tanah dengan
traktor, penggunaan bibit unggul produksi pabrik, penggunaan pupuk kimia,
pemberantasan hama dengan pestisida dan pembangunan irigasi yang telah menelan biaya
yang sangat besar)13 harus dipikul oleh kaum tani kita hingga saat ini. Paska swasembada
beras, sektor pertanian pun secara struktural kian terpinggirkan, karena kebijakan lebih
banyak berpihak pada industri dan jasa. Selain itu perkembangan industrialisasi,
liberalisasi, dan konglomerasi kroni semakin memperparah keterpinggiran sektor
pertanian.14
Kendati Revolusi Hijau telah berlalu, namun bukan berarti bahwa kaum petani
kita telah bebas. Laiknya lepas dari mulut buaya, kini kaum petani justru telah masuk ke
rahang harimau. Revolusi Hijau jilid I berlalu, kini sebagian besar kaum tani kita
terhegemoni oleh Revolusi Hijau jilid dua, yakni intensifikasi pertanian dengan bibit

Satria Arif (1997), Pertanian Indonesia dalam Perspektif Industrialisasi dan Perdagangan Bebas: Suatu Pendekatan
Teoritik Empirik, dalam Jurnal Studi Indonesia, Vol. 7 No.2 Jakarta, hlm 84-90.
13 Susetiawan, Ketidakberdayaan Para Pihak Melawan Konstuksi Neolibaralisme, Yogyakarta: PSPK, 2009, hlm.25.
Bandingkan apresiasi positif dari Mubyarto, Ekonomi Pertanian dan Pedesaan, Yogyakarta: Aditya Media, 1996
hlm.21-26.
14 Bustanul Arifin, Pembangunan Pertanian: Paradigma Kebijakan dan Strategi Revitalisasi, Jakarta: Grasindo, 2005, hlm.1-2.
12

Menggagas Cetak Bir u Industr ialisasi (Ber basis) Per tanian AB.Widyanta

Page 5

transgenik, pupuk kimia, pestisida.15 Program penyeragaman secara struktural dan
sistematis diberlakukan untuk menghisap segenap jerih payah kaum tani.
Cara pandang mainstream sepertinya memang terlalu bias pada industrialisasi pada
modal, padat

teknologi tinggi, dan padat bahan impor. Transformasi ekonomi

(peningkatan pertumbuhan) lebih dominan ketimbang transformasi sosial. Padahal
konsep industrialisasi itu sesungguhnya

mencakup konsep perubahan sosial dan

ekonomi. Meminjam konsepsi Marxian, industrialisasi bukan semata mata merupakan
proses tekno-ekonomi tapi berbarengan dengan itu pula berbarengan proses sosioekonomi. Industrialisasi harus menuju pada penghapusan keterbelakangan sosial-ekonomi
serta menciptakan kembali hubungan kelas. Maka menurut kaum Marxis, pembangunan
industrialisasi di Negara Sedang Berkembang harus mencakup proses transformasi
struktur sosial yang mampu mengubah kedudukannya sebagai negara agraris yang
menyediakan bahan baku bagi negara imperialis, menjadi negara industri yang
berkedudukan sejajar dengan negara-negara lain dalam ekonomi dunia.16
Sementara sesat pikir mainstream itu belum sempat terkoreksi, pemberlakukan
sistem ekonomi pasar bebas (neoliberalisme) semakin memperunyam persoalan kaum
tani. Sesat pikir ganda tak terhindarkan lagi. Industrialisasi terpeleset lagi sebagai industri
yang lebih berfokus bukan pada bagaimana memproduksi barang, namun justru
melakukan industri jasa distribusi produk-produk asing. Alih-alih menjadi pusat produsen
bangsa indonesia justru menjadi pusat pasar yang sangat potensial. Tentu saja, liberalisasi
pasar telah menjadi perangkap baru bagi Indonesia yang tidak pernah punya regulasi yang
jelas di bidang industri. Seakan tak terelakkan, muncul double burden bagi Indonesia.
Konsepsi yang sesat atas industrialisasi belum terkoreksi, Indonesia sudah harus
dihadapkan pada persoalan “despotism” pasar bebas berupa banjir produk-produk murah
dari luar negeri. Kondisi itu tentu memukul berbagai sektor usaha/industri yang ada di
Indonesia. Salah satu diantaranya adalah sektor pertanian dan tentunya kaum tani.
Nampak jelas dalam paparan di atas bahwa, kaum tani bukan sekadar diperbudak
oleh negara asing, melainkan juga oleh para penguasa dan pengusaha kita sendiri. Meski
sekarang ini harga pangan nasional maupun dunia melambung tinggi, petani tetap tidak
AB. Widyanta & GS. Purwanto Bermesra dengan Alam: Membangun Kembali Kearifan Petani dalam Basis
Nomor 05-06, Tahun ke-57, Mei-Juni 2008, hlm. 14.
16 M. Dawan Rahardjo, Transformasi Pertanian, Industrialisasi, dan Kesempatan Tenaga Kerja, Jakarta: UIP, 1984, hlm. 89.
15

Menggagas Cetak Bir u Industr ialisasi (Ber basis) Per tanian AB.Widyanta

Page 6

ikut menikmati hasilnya. Petani produsen pangan tetap dibayar rendah, sebab yang
menikmati hasil jerih payah petani adalah pengusaha pupuk dan pestisida, pejabat
pemerintah, pedagang, pengusaha jasa angkutan, penyedia lokasi perdagangan, polisi
lalulintas, dan preman.17
Menggagas Industrialisasi (Berbasis) Pertanian
Sampailah kita pada poin terpenting dalam tulisan ini. Namun sebelum menginjak
uraian yang lebih rinci, penting kiranya untuk menjelaskan makna dari kata “berbasis”
yang berada di dalam kurung di atas. Hal ini perlu dijelaskan karena disitulah letak
argumen yang utuh dalam tulisan ini. Penjelasan atas itu bisa dicermati dalam beberapa
poin berikut.

Pertama, secara mendasar, kata “berbasis” yang berada di dalam kurung itu secara
mendasar ingin menegaskan bahwa industrialisasi di Indonesia harus melibatkan dan
mencakup industrialisasi pertanian (usaha tani) maupun industrialisasi tahap lanjut yang
masih terkait dengan sektor pertanian. Proposisi itu hendak mengartikulasikan pentingnya
proses industrialisasi yang menyeluruh, yaitu mulai dari ranah hulu sampai dengan hilir.
Untuk konteks Indonesia, selain berguna untuk meningkatkan nilai tambah (added value),
itu juga sangat berarti untuk menciptakan peluang kerja sehingga bisa mengurangi
pengangguran, baik di perkotaan maupun di pedesaan.

Kedua, proposisi itu dimaksudkan juga untuk menunjukkan diversifikasi tahapan,
tingkatan, besaran, maupun jenis industrialisasi yang terkait dengan sektor pertanian.
Dengan kata lain industrialisasi menunjukkan kesinambungan proses yang saling
berkaitan. Kendati berbeda dalam hal tahapan, tingkatan, besaran, dan atau jenisnya,
namun proses-proses industrialisasi itu berpautan, dan saling berkoeksistensi.
Pada bagian berikut, tulisan akan mengurai lebih lanjut gagasan atas model
industrialisasi sebagaimana dimaksudkan di atas. Tentu saja bukanlah perkara mudah
untuk menggagas, terlebih menyusun, model atau cetak biru industrialisasi (berbasis)
pertanian ini. Lantaran persoalan atau kendala sektor pertanian sangatlah kompleks, maka

17

Rahardi, F., Budaya Pangan & Perbudakan Modern: Dari Budaya Mesopotamia ke Krisis Pangan Modern dalam
Basis Nomor 05-06, Tahun ke-57, Mei-Juni 2008, hlm. 64.

Menggagas Cetak Bir u Industr ialisasi (Ber basis) Per tanian AB.Widyanta

Page 7

segala usulan dalam catatan ini akan lebih tepat jika diposisikan sebagai daftar inventarisir
atas sejumlah kemungkinan peluang untuk mewujudkan cetak biru tersebut.
Terkait dengan urain berikut penulis akan merujuk pada gagasan komprehensif
dari Stiglitz. Menurut hemat penulis, usulan-usulan Stiglitz ini mendorong terjadinya
perubahan paradigma industrialisasi yang mengarah pada revitalisasi pertanian demi
kesejahteraan mayoritas rakyat. Dengan melihat potensi sumberdaya yang dimiliki Indonesia,
Stighlitz (2004) memberikan beberapa saran yang perlu diperhatikan ketika akan menyusun dan
merumuskan kebijakan pembangunan pertanian. Saran-saran tersebut dapat dirangkum sebagai
berikut:18


Usaha pengembangan ekonomi harus lebih difokuskan pada sektor yang menghidupi
mayoritas penduduk yaitu penduduk di pedesaan yang berprofesi sebagai petani. Dengan
kata lain industrialisasi harus terkait dengan kepentingan petani.



Dalam pembangunan pertanian, prioritas bukan sekedar memproduksi komoditas, tapi
penciptaan nilai tambah (value added). Oleh karena itu sebaiknya produk diolah di dalam
negeri, tidak diekspor dalam bentuk bahan mentah



Peran dan intervensi pemerintah untuk memberi prioritas kepada ”mayoritas” tetap
diperlukan, bukan sepenuhnya diserahkan pada “market mechanism”



Terkait dengan efisiensi, program swastanisasi/privatisasi perlu persiapan, karena
liberalisasi yang terburu-buru akan sangat berbahaya. Perlu keseimbangan antara peran
pemerintah dan peran swasta.



Pendidikan dan pemberdayaan menjadi pra-syarat utama pembangunan dan ini harus
terjangkau oleh golongan mayoritas
Apa yang telah disebutkan di atas hanyalah sebagian kecil dari aspek-aspek yang terkait

dengan sektor pertanian. Terdapat berbagai persoalan yang jauh lebih substil dan vital, yaitu
seputar masalah agraria dan sumber daya air sebagai basis menentukan bagi kaum petani. Dua
persoalan itu tentu saja bukanlah perkara yang mudah untuk mencari solusinya.
Menyoal agraria, Mochammad Tauchid pernah mengungkapkan: “Hukum agraria yang
kita pusakai sekarang, pokoknya bertujuan: menjamin modal besar partikelir di atas kepentingan Rakyat
Indonesia sendiri (sic.), dengan memberikan hak-hak istimewa kepada orang asing akan tanah, di

18

Kompas, 15 Desember 2004, Stiglitz: Indonesia agar Fokus pada Kepentingan Jutaan Warga

Menggagas Cetak Bir u Industr ialisasi (Ber basis) Per tanian AB.Widyanta

Page 8

balik itu mengabaikan hak rakyat. Keadaan semacam ini tidak sepantasnya ada dalam negara yang
akan menjamin kemakmuran bagi rakyat.”19
Dalam cakupan yang lebih luas, negara juga harus membenahi segenap kelembagaan
pendukungnya seperti jajaran birokrasi pemerintahan, lembaga keuangan, lembaga di tingkat
lokal, dan lembaga-lembaga pendukung lainnya. Selain itu juga perlu dipertimbangkan tentang
kesalingterkaitan dan kesalingterdukungan di lintas sektor terkait. Beberapa hal terakhir ini sangat
erat kaitannya dengan bagaimana negara menjamin pemenuhan hak-hak asasi petani.20
Jika persoalan-persoalan mendasar itu tidak mendapatkan prioritas penanganan dari
negara, maka hampir bisa dipastikan itulah kendala/ hambatan terbesar dari proses industrialisasi
(berbasis) pertanian. Dengan kata lain, segenap persoalan yang terkait dengan sektor pertanian
bagaimanapun harus dituntaskan sebelum menginjak pada proses industrialisasi itu sendiri.
Epilog: “Merebut Negara”
Dari seluruh uraian di atas, kita bisa memetik berbagai pemahaman berikut: pertama,
pada saat kita menggagas rancangan industrialisasi (berbasis) pertanian, ternyata kita dihadapkan
bukan pada proses industrialisasi an sich, tetapi kita justru terhadang terutama pada lapis struktur
yang jauh lebih dalam daripada itu, yaitu persoalan di sektor pertanian. Maka ketika kita hendak
menggagas itu berarti harus memilah persoalan / kendala pada dua bidang tersebut: kendala di
sektor pertanian dan kendala dalam proses industrialisasinya itu sendiri.

Kedua, ketika sampai pada pembahasan masalah aktual pertanian, kita ternyata
dihadapakan pada berbagai persoalan mendasar kaum tani. Berabagai produk undang-undang
negeri ini bagaimanapun juga telah memutilasi segenap sumberdaya milik kaum tani. Jika agenda
industrialisasi (berbasis) pertanian itu memang akan dijadikan basis pembangunan negeri ini,
maka tidak ada pilihan lain kecuali merubah secara mendasar berbagai produk perundangundangan negeri ini agar berpihak kepada mayorita rakyatnya.

Ketiga, keterbatasan ruang tidak memungkinkan bagi tulisan ini untuk memasuki
paparan proses industrialisasi itu sendiri. Kendati demikian, satu hal yang perlu untuk
dipertimbangakan adalah apapun bentuk teknologi yang dipilih dalam proses industrialisasi
(berbasis) pertanian itu haruslah terbuka bagi daya topang komuitas lokal, daerah, dan nasional

Mochammad Tauchid, Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia, Jakarta: STPN
Press, 2009, hlm.310-311.
20 Francis Wahono (ed), Hak-Hak Asasi Petani dan Proses Perumusannya, Yogyakarta: CPRC, 2002, hlm. 11-22.
19

Menggagas Cetak Bir u Industr ialisasi (Ber basis) Per tanian AB.Widyanta

Page 9

untuk menggunakan dan memasok suku cadangnya sendiri. Dalam hal ini, gagasan EF.
Schumacher tentang teknologi madya21 perlu dipertimbangkan dengan seksama.

Keempat, terkait dengan agenda industrialisasi (berbasis) pertanian kedepan, penting
kiranya bagi kita di Indonesia untuk mentautkannya dengan agenda sejumlah gerakan masyarakat
sipil yang tengah mengupayakan pengesahan Undang-undang Otonomi Desa. Hal ini penting
dilakukan untuk secara bertahap menginisiasi berbagai praksis alternatif bagi terwujudnya
industrialisasi (berbasis) pertanian itu. Tepat di dalam poin inilah tugas terberat bagi kita untuk
mewujudkan cetak biru industrialisasi berbasis pertanian, yaitu dengan terlebih dulu “merebut
negara”, dan kembali membangun dari desa sebagai basis kemakmuran dan kemaslahatan rakyat
di negeri ini. Mungkinkah itu? Wallahualam bisawab. [abw-02022011]

Referensi
Arif, Satria, 1997. Pertanian Indonesia dalam Perspektif Industrialisasi dan Perdagangan Bebas:
Suatu Pendekatan Teoritik Empirik, dalam Jurnal Studi Indonesia Volume 7 No.2
Jakarta, hlm 84-90.
Arifin, Bustanul. 2005. Pembangunan Pertanian: Paradigma Kebijakan dan Strategi Revitalisasi,
Jakarta: Grasindo.
Kompas, 15 Desember 2004, Stiglitz: Indonesia agar Fokus pada Kepentingan Jutaan Warga.
McRobie, Georg, Small is Possible, London: Jonathan Cape, hlm.19-38.
Mountjoy, Alan B. 1984. Industrialisasi dan Negara-Negara Dunia Ketiga, Jakarta: Bina Aksara.
Mubyarto, Ekonomi Pertanian dan Pedesaan, Yogyakarta: Aditya Media, 1996.
Pangestu, Mari & Raymond Atje, Julius Mulyadi, 1996. Transformasi Industri Indonesia dalam
Era Perdagangan Bebas, Jakarta: CSIC.
Rahardjo, M. Dawan, 1984. Transformasi Pertanian, Industrialisasi, dan Kesempatan Tenaga
Kerja, Jakarta: UIP.
Rahardi, F., Budaya Pangan & Perbudakan Modern: Dari Budaya Mesopotamia ke Krisis Pangan
Modern dalam Basis Nomor 05-06, Tahun ke-57, Mei-Juni 2008.
Susetiawan, 2009. Ketidakberdayaan Para Pihak Melawan Konstuksi Neolibaralisme, Yogyakarta:
PSPK.
Tauchid, Mochammad. 2009. Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat
Indonesia, Jakarta: STPN Press, hlm.310-311.

Wahono, Francis (ed), Hak-Hak Asasi Petani dan Proses Perumusannya, Yogyakarta: CPRC, 2002
Widoatmodjo, Sawidji.1990.Ekonomi Indonesia Pasca Boom Minyak, Analisis Kebijakan
Ekonomi Tanpa Dominasi Migas, Yogyakarta: UGM.
Wie, Thee Kian, 1994. Industrialisasi di Indonesia Beberapa Kajian, Jakarta: LP3ES.
Widyanta, AB. & GS. Purwanto Bermesra dengan Alam: Membangun Kembali Kearifan Petani
dalam Basis Nomor 05-06, Tahun ke-57, Mei-Juni 2008.

Georg McRobie, Small is Possible, London: Jonathan Cape, hlm.19-38. Baca juga argumen Mountjoy, Alan B.
1984. Industrialisasi dan Negara-Negara Dunia Ketiga, Jakarta: Bina Aksara, hlm.165.

21

Menggagas Cetak Bir u Industr ialisasi (Ber basis) Per tanian AB.Widyanta

Page 10