Religiusitas dan Kebermaknaan Hidup Menjelang Masa Pensiun

Hamim Rosyidi

Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya

Abstraksi : Suatu kondisi psikologis yang terjadi pada setiap pekerja yang mengalami dan merasa sudah tiba saatnya untuk berhenti bekerja (pensiun)

tentu saja juga tidak sama. Pensiun oleh beberapa pekerja dapat dianggap sebagai suatu masa yang dinanti-nantikan, tetapi juga ada yang menganggap sebagai suatu masa yang mencemaskan, sehingga tidak tahu apa yang akan dilakukannya kelak apabila dirinya pensiun. Penelitian ini mengkaji bagaimana gambaran religiusitas dan kebermaknaan hidup menjelang masa pensiun pada para dosen di lingkungan IAIN Sunan Ampel Surabaya. Metode kualitatif dipakai sebagai pendekatan dalam penelitian ini, karena teknik ini untuk memahami realitas rasional sebagai realitas subjektif khususnya para dosen. Proses observasi dan wawancara mendalam bersifat sangat utama dalam pengumpulan data. Dari observasi diharapkan mampu menggali religiusitas dan kebermaknaan hidup menjelang pensiun pada dosen dilingkungan IAIN Sunan Ampel Surabaya. Hasil penelitian ini mendeskripsikan bagaimana gambaran informan

mengenai dimensi-dimensi religiusitas menurut Glock dan Stark yang meliputi Religious Practice ( the Ritualistic Dimension); Religious Belief (the Ideological Dimension); Religious Knowledge (the Intellectual Dimension); Religious Feeling (the Experiental Dimension); dan Religious Effect (the Consequential Dimension). Serta dimensi-dimensi kebermaknaan hidup yang mengacu pada Bastaman (1996), yaitu : Dimensi Personal; Dimensi Sosial; dan Dimensi Nilai-nilai

Kata Kunci: Religiusitas, kebermaknaan hidup, masa pensiun

68 | Religiusitas dan Kebermaknaan Hidup . . . .

Pendahuluan

Pensiun merupakan masa ketika seseorang diberhentikan dari pekerjaannya sesuai dengan batas usia pensiun yang telah ditetapkan dalam aturan pensiun yaitu usia 56 tahun, sedangkan untuk pengajar saat mencapai usia 65 tahun. Dalam kajian psikologi perkembangan, usia menjelang pensiun dikategorikan sebagai usia dewasa lanjut (late adolescence). Robert Atchley (dalam Santrock, 2002), menyatakan bahwa individu akan mengalami 7 fase pensiun: Fase Jauh (Remote Phase); Fase Mendekat (Near Phase); Fase Bulan Madu (Honey-Moon Phase); Fase Kecewa (Disenchantment Phase); Fase Re- orientasi (Reorientation Phase); Fase Stabil (Stability Phase) dan Fase Akhir (Termination Phase).

Pada Fase Jauh (Remote Phase), kebanyakan individu kurang melakukan sesuatu untuk mempersiapkan masa pension. Hal ini disebabkan, salah satunya oleh adanya kepercayaan bahwa kita tidak akan meninggalkan pekerjaan, justru akan semakin menikmati pekerjaan. Pada Fase Mendekat (Near Phase), individu mulai memiliki keinginan untuk berpartisipasi dalam program-program pra- pensiun. Program-program pra-pensiun diarahkan untuk membantu memutuskan kapan dan bagaimana seharusnya pensiun, yang dapat meliputi isu-isu komprehensif tentang kesehatan fisik dan mental. Setelah Fase Mendekat, maka individu akan mengalami 5 fase lanjutan setelah pensiun. Fase pertama adalah Fase Bulan Madu (Honey-Moon Phase) dimana individu cenderung merasa bahagia karena mereka dapat melakukan segala sesuatu yang tidak pernah mereka lakukan sebelumnya. Selanjutnya adalah Fase Kekecewaan (Disenchantment Phase) dimana inidividu menyadari bahwa bayangan pra- pensiun tentang fase pensiun ternyata tidak realistik. Namun, Fase Kekecewaan kecil kemungkinan terjadi ketika pada Fase Bulan Madu, individu mampu menciptakan rutinitas aktivitas yang menyenangkan bagi dirinya. Pada tahap selanjutnya, individu akan mengalami Fase Re-Orientasi (Reorientation Phase) dimana para pensiunan mencatat apa yang masih dimiliki, mengumpulkannya bersama-sama dan mengembangkan alternative-alternatif kehidupan yang lebih realistik. Pada fase ini individu mulai menjelajahi dan mengevaluasi jenis-jenis gaya hidup yang meungkinkan mereka menikmati kepuasan hidup. Berdasar pada proses evaluasi tersebut, maka di tahap selanjutnya individu akan menjalani Fase Stabil (Stability Phase), yaitu ketika ada keputusan yang didasarkan pada criteria tertentu untuk mengevaluasi pilihan-pilihan pada fase pensiun dan bagaimana mereka akan menjalani salah satu pilihan yang telah dibuat. Pada Fase Akhir (Termination Phase), peranan fase pensiun digantikan oleh peran sebagai pesakitan atau peran tergantung karena orang-orang dewasa

Hamim Rosyidi | 69

lanjut tidak dapat berfungsi secara mandiri lagi dan mencukupi kebutuhannya sendiri.

Suatu kondisi psikologis yang terjadi pada setiap pekerja yang mengalami dan merasa sudah tiba saatnya untuk berhenti bekerja (pensiun) tentu saja juga tidak sama. Pensiun oleh beberapa pekerja dapat dianggap sebagai suatu masa yang dinanti-nantikan, tetapi juga ada yang menganggap sebagai suatu masa yang mencemaskan, sehingga tidak tahu apa yang akan dilakukannya kelak apabila dirinya pensiun. Beberapa hal yang menyebabkan kecemasannya datang diantaranya adalah : belum tahu apa yang akan dikerjakannya di rumah, penghasilan yang diterimanya akan menurun dari penghasilannya saat ini, kesempatan bertemu dengan teman-teman kerjanya sudah seperti terputus,

bagi yang mempunyai jabatan sudah tidak akan menerima “perlakuan” istimewa lagi (seperti berbagai fasilitas yang dirasakannya saat masih bekerja), dll. Individu yang mengalami hal-hal demikian dapat dikatakan sedang mengalami Post Power Syndrome, yaitu suatu sindroma kecemasan yang dialami oleh seseorang yang kehilangan kekuasaan (power).

Havighurst (dalam Hurlock, 2000) membagi orang usia lanjut dalam dua kategori umum atas sikap mereka terhadap pensiun. Kategori pertama disebut “pengalih peran” (transformer) mereka yang mampu dan mau mengubah

gayahidupnya dengan mengurangi kegiatan-kegiatan berdasarkan pilihan sendiri dengan menciptakan gaya hidup yang baru dan menyenangkan diri mereka sendiri. Hal ini mereka lakukan dengan cara melepaskan berbagai peran lama dan menjalankan peran baru. Mereka sendiri jarang rileks dan tidak mengerjakan apapun, kecuali mereka mengembangkan hobi, melakukan perjalanan, dan menjadi aktif dalam berbagai pertemuan yang diadakan oleh

masyarakat. Kategori kedua disebut “pemelihara peran”(maintainers), seperti yang dijelaskan sebelumnya, mereka jarang rileks dan tidak mengerjakan

apapaun tetapi apa yang mereka lakukan merupakan lanjutan dari apa yang telah mereka lakukan bertahun-tahun sebelumnya.

Berbagai reaksi terlihat pada individu dalam menghadapi masa pensiun. Hal ini tergantung dari kesiapan di dalam menghadapinya. Hartati (2002) mengemukakan ada tiga sikap atau reaksi yang diberikan : (1) menerima, (2) terpaksa menerima, (3) menolak. Untuk mampu menghadapi masa pensiun dengan matang dibutuhkan tingkat religiusitas dan kebermaknaan hidup seseorang. Keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilakuritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktifitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan

70 | Religiusitas dan Kebermaknaan Hidup . . . .

dan terjadi dalam hati seseorang. Karena itu, keberagamaan seseorang akanmeliputi berbagai macam sisi atau dimensi.Dengan demikian, agama adalah sebuah sistem yang berdimensi banyak.Sedangkan Makna hidup adalah hal-hal yang oleh seseorang dipandang penting, dirasakan berharga dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta dapat dijadikan tujuan hidupnya.Lebih lanjut Bastaman, (1995), mengemukakan kebermaknaan hidup adalah kualitas penghayatan individu terhadap seberapa besar individu mampu mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimilikinya, menunjukkan corak kehidupan yang penuh gairah dan optimisme dalam kehidupan sehari-hari serta seberapa jauh individu telah berhasil mencapai tujuan-tujuan hidupnya dalam rangka memberi makna atau arus kepada kehidupannya.

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian diskriptitf kualitatif yaitu penelitian tentang data yang dikumpulkan dan dinyatakan dalam bentuk kata- kata dan gambar, kata-kata disusun dalam kalimat, misalnya kalimat hasil wawancara antara peneliti dan informan. Penelitian kualitatif bertolak dari filsafat konstruktivisme yang berasumsi bahwa kenyataan itu berdimensi jamak, interaktif dan suatu pertukaran pengalaman sosial yang diinterpretasikan oleh individu-individu. Penelitian kualitatif ditujukan untuk memahami fenomena- fenomena sosial dari sudut perspektif partisipan.

Pengambilan sumber data penelitian ini menggunakan teknik “purpose sampling ” yaitu pengambilan sampel didasarkan pada pilihan penelitian tentang aspek apa dan siapa yang dijadikan fokus pada saat situasi tertentu dan saat ini terus-menerus sepanjang penelitian, sampling bersifat purpossive yaitu tergantung pada tujuan fokus suatu saat (Nasution , 2006). Informan penelitian adalah Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya yang menjelang pensiun (maksimal 5 tahun sebelum usia pensiun, 65 tahun) berjumlah 3 orang.

Metode pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian kualitatif pada umumnya menggunakan teknih observasi, wawancara, dan studi dokumenter, atas dasar konsep tersebut, maka ketiga teknik pengumpulan data diatas digunakan dalam penelitian ini.

Teknik analisis data dilakukan dalam suatu proses, proses berarti pelaksanaannya sudah mulai dilakukan sejak pengumpulan data dan dilakukan secara intensif, yakni sesudah meninggalkan lapangan, pekerjaan menganalisis data memerlukan usaha pemusatan perhatian dan pengarahan tenaga fisik dan pikiran dari peneliti, dan selain menganalisis data peneliti juga perlu mendalami kepustakaan guna mengkonfirmasikan atau menjustifikasikan teori baru yang

Hamim Rosyidi | 71

Religiusitas

Religiusitas oleh McDaniel dan Burnett (dalam Vittel, 2009) didefinisikan sebagai kepercayaan kepada Tuhan disertai dengan komitmen untuk mengikuti prinsip-prinsip yang diyakini ditetapkan oleh Allah. Gagasan bahwa religuisitas seseorang (kereligiusan) dapat memengaruhi penilaian individu, keyakinan dan perilaku dalam berbagai situasi, akan muncul menjadi intuitif (Singh, 2005). Religiusitas memiliki pengaruh baik pada sikap dan perilaku manusia (Weaver dan Agle, 2002). Delener (1994) juga mengungkapkan bahwa religiusitas merupakan nilai penting dalam struktur kognitif individu konsumen yang dapat mempengaruhi perilaku individu. Dradjat mengemukakan istilah kesadaran agama (religious consciousness), merupakan segi agama yang terasa dalam pikiran dan dapat diuji melalui introspeksi, atau dapat dikatakan sebagai aspek mental dalam agama. Pengalaman agama (religious experience) atau unsur perasaan dalam kesadaran agama yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan. Apapun yang dikatakan para ahli untuk menyebut aspek religius didalam diri manusia, kesemuanya menunjuk kepada suatu fakta bahwa kegiatan-kegiatan religius itu memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.

Religiusitas menurut Alport dan Ross (Wicaksono dan Meiyanto, 2003) memiliki dua aspek orientasi yaitu orientasi religius intrinsic (instrinsic religious) dan orientasi religius ekstrinsik (extrinsic religious).Orientasi religius intrinsik menunjuk kepada bagaimana individu menghidupkan agamanya (lives his/her religion) sedangkan orientasi religius ekstrinsik menunjuk kepada bagaiman individu menggunakan agamanya (uses his/her religion).Singkatnya, orientasi religius intrinsic melihat setiap kejadian melalui kacamata religius, sehingga tercipta makna Danahue (Wicaksono dan Meiyanto, 2003).Sebaliknya orientasi religious ekstrinsik lebih menekankan pada konsekuensi emosional dan social Swanson dan Byrd (Wicaksono dan Meiyanto, 2003).

Religiusitas merupakan sebuah proses untuk mencari sebuah jalan kebenaran yang berhubungan dengan sesuatu yang sacral (Chatters, 2000). Menurut Majid (1992) religiusitas adalah tingkah laku manusia yang sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaan kepada kegaiban atau alam gaib, yaitu kenyataan-kenyataan supra-empiris. Manusia melakukan tindakan empiris sebagaimana layaknya tetapi manusia yang memiliki religiusitas meletakan harga dan makna tindakan empirisnya dibawah supra-empiris. Secara mendalam Chaplin (1997) mengatakan bahwa religi merupakan system yang konfleks yang terdiri dari kepercayaan, keyakinan yang tercermin dalam sikap dan melaksanakan upacara-upacara keagaman yang dengan maksud untuk

72 | Religiusitas dan Kebermaknaan Hidup . . . .

Menurut Glock dan Stark dimensi religiusitas, yaitu : (dalam Poloutzian, F.R., 1996) ada lima

a. Religious Practice ( the Ritualistic Dimension). Tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban ritual di dalam agamanya, seperti shalat, zakat, puasa dan sebagainya.

b. Religious Belief (the Ideological Dimension). Sejauh mana orang menerima hal-hal yang dogmatik di dalam ajaran agamanya. Misalnya kepercayaan tentang adanya Tuhan, Malaikat, kitab- kitab, Nabi dan Rasul, hari kiamat, surga, neraka dan yang lain-lain yang bersifat dogmatik.

c. Religious Knowledge (the Intellectual Dimension) Seberapa jauh seseorang mengetahuai tentang ajaran agamanya. Hal ini berhubungan dengan aktivitas seseorang untuk mengetahui ajaran-ajaran dalam agamanya.

d. Religious Feeling (the Experiental Dimension) Dimensi yang terdiri dari perasaan-perasaan dan pengalaman- pengalaman keagamaan yang pernah dirasakan dan dialami. Misalnya seseorang merasa dekat dengan Tuhan, seseorang merasa takut berbuat dosa, seseorang merasa doanya dikabulkan Tuhan, dan sebagainya.

e. Religious Effect (the Consequential Dimension) Dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasikan oleh ajaran agamanya di dalam kehidupannya. Misalnya ikut dalam kegiatan konversasi lingkungan, ikut melestarikan lingkungan alam dan lain-lain.

Kebermaknaan Hidup

Menurut pandangan Frankl ( 1970 ) makna hidup harus dilihat sebagai suatu yang sangat objektif karena berkaitan dengan hubungan individu dengan pengalamannya dalam dunia ini, meskipun makna hidup itu sendiri sebenarnya suatu yang objektif, artinya benar-benar ada dan dialami dalam kehidupan. Frankl ( 1985 ) menyebutkan bahwa makna hidup sebagai sesuatu hal yang bersifat personal, dan bisa berubah seiring berjalanya waktu maupun perubahan situasi dalam kehidupannya. Individu seolah-olah ditanya apa makna hidupnya pada

kemudian harus mempertanggungjawabkan. Menurut Yalom (dalam Bastaman, 1996) pengertian makna hidup sama artinya dengan tujuan hidup yaitu segala sesuatu yang ingin dicapai dan dipenuhi.

setiap waktu

Kebermaknaan hidup merupakan perasaan subjektif bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri subjek mempunyai dasar kokoh dan penuh arti

Hamim Rosyidi | 73

(Erikson dalam Cremers, 1989). Benar, beres dan tepat dalam mengambil tindakan atau keputusan baik yang berhubungan dengan dirinya sendiri maupun orang lain akan menimbulkan rasa penuh makna. Rasa penuh makna tersebut tercapai ketika subjek merasa telah menyesuaikan diri secara memadai dengan tata nilai yang menjadi kerangka orientasi hidupnya (Koeswara, 1992). Berdasar penelitian Crurabaugh dan Maholick (dalam Koeswara, 1992) seseorang yang merasa hidupnya bermakna mampu menggunakan mekanisme pertahanan iaf secara memadai dibanding dengan subjek yang kurang bermakna hidupnya.

Penelitian yang dilakukan Crumbaugh dan Maholick tersebut mendukung pernyataan Bastaman mengenai sikap individu yang menghayati hidupnya bermakna. Bastaman (1995) mengatakan bahwa orang yang menghayati hidupnya bermakna menunjukkan kehidupan yang penuh gairah dan optimis, terarah, dan bertujuan, mampu beradaptasi, luwes dalam bergaul dengan tetap menjaga identitas diri dan apabila dihadapkan pada suatu penderitaan ia akan tabah dan menyadari bahwa ada hikmah di balik penderitaan.

Bagi kaum beragama Tuhan merupakan sumber dari segala sumber makna dalam hidup. Jadi agama untuk membantu manusia menginterpretasikan hidup dan kematiannya (Gordon, 1992). Agama mengisi kekosongan akan koordinasi dan adaptasi langsung terhadap ruang habitatnya (Berger dkk, 1992). Frankl (dalam Bastaman, 1996) mengakui adanya makna hidup yang universal, mutlak dan paripurna. Bagi golongan non agamis hal ini mungkin berupa semesta alam, ekosistem, kemanusiaan, ideologi atau pandangan sumber makna Yang Maha Sempurna dengan agama sebagai wujud tuntunannya.

Frankl (dalam Bastaman, 1996) berpendapat seseorang yang memiliki makna hidup orientasi kuat terhadap makna akan memiliki apa saja yang disebut dengan a live prolonging or enven a live saving effect, yaitu pengaruh yang memberikan kekuatan untuk tetap bertahan hidup karena keyakinan adanya makna di balik penderitaan yang dihadapinya. Makna hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting dan berharga, serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Makna hidup bila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini dirasakan demikian berarti dan berharga. ( Bastaman, 1996).

Bastaman (2007) menyatakan bahwa makna hidup merupakan suatu yang dianggap penting, benar dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Makna hidup bila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini dirasakan demikian berarti dan berharga. Pengertian mengenai makna hidup menunjukkan bahwa didalamnya

74 | Religiusitas dan Kebermaknaan Hidup . . . .

Maka hidup ini benar-benar terdapat dalam kehidupan itu sendiri, walaupun dalam kenyataannya tidak mudah ditemukan karena sering tersirat dan tersembuyi didalamnya. Bila makna hidup ini berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan bermakna dan berharga yang pada gilirannya akan menimbulkan perasaan bahagia.

Bastaman (1996), terdapat komponen-komponen yang potensial dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah yang dihadapi dan mengembangkan kehidupan bermakna sejauh diaktualisasikan. Komponen ini ternyata cukup banyak ragamnya, tetapi semuanya dapat dikategorikan dalam menjadi tiga Dimensi yaitu :

a. Dimensi Personal Unsur-unsur yang merupakan Dimensi personal adalah :

1. Pemahaman diri (self insight), yakni meninggkatnya kesadaran atas buruknya kondisi diri pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan ke arah kondisi yang lebih baik.

2. Pengubahan sikap (changing attitude), dari semula tidak tepat menjadi lebih tepat dalam menghadapi masalah, kondisi hidup dan musibah yang terelakkan.

b. Dimensi Sosial Unsur yang merupakan Dimensi sosial adalah dukungan sosial (social

supprot), yakni hdirnya seseorang atau sejumlah orang yang akrab, dpat dipercaya dan selalu bersedia memberikan bantuan pada saat-saat diperlukan.

c. Dimensi Nilai-nilai Adapun unsur-unsur dari Dimensi nilai-nilai meliputi : 1. Makna hidup (the meaning of live), yakni nilai-nilai penting dan sangat berarti bagi kehidupan pribadi seseorang yang berfungsi sebagai tujuan hidup yang

harus dipenuhi dan mengarah kegiatan-kegiatanya. 2. Keikatan diri (self commitment), terhadap makna hidup yang ditemukan dan tujuan hidup yang ditetapkan. 3. Kegiatan terarah (directed activities), yakni upaya-upaya yang dilakukan secara sadar dan sengaja berupa pengembangan potensi-poteni pribadi (bakat, kemampuan, keterampilan) yang positif serta pemanfaatan relasi antar pribadi untuk menunjang tercapainya makna dan tujuan hidup.

Unsur-unsur tersebut bila disimak dan direnungkan secara mendalam ternyata merupakan kehendak, kemampuan, sikap, sifat dan tindakan khas insani, yakni kualitas-kualitas yang terpateri pada eksistensi manusia. Karena pengembangan pribadi pada dasarnya adalah mengoptimalisasi keunggulan- keunggulan dan meminimalisasikan kelemahan-kelemahan pribadi. Dengan

Hamim Rosyidi | 75

yaitu keberhasilan mengembangkan penghayatan hidup bermakana dilakukan dengan jalan menyadari dan mengaktualisasikan potensi kualitas-kualitas insani.

Kesadaran akan pentingnya makna hidup manusia tidak muncul begitu saja, namun didukung oleh beberapa komponen, Bastaman (2007) mendeteksi adanya komponen yang menentukan berhasilnya perubahan hidup tidak bermakna menjadi bermakna, sebagai berikut : (1) Pemahaman Diri (self insight); Meningkatnya kesadaran akan buruknya kondisi pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan kearah kondisi yang lebih baik. (2) Makna Hidup ( the meaning of life); Nilai-nilai penting dan sangat berarti bagi kehidupan pribadi seseorang yang berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus dipenuhi dan pengarah kegiatan-kegiatannya. (3) Perubahan-perubahan Sikap (changing attitude); Dari yang tidak tepat menjadi lebih tepat dalam menghadapi masalah, kondisi hidup, dan musibah. (4) Keikatan Diri (self commitment); Terhadap makna hidup yang ditemukan dan tujuan hidup yang ditetapkan. (5) Kegiatan Terarah (directed activities); Upaya yang dilakukan secara sadar dan sengaja berupa pengembangan potensi pribadi (bakat, kemampuan, dan keterampilan) yang positif serta pemanfaatan relasi antar pribadi untuk menunjang tercapainya makna tujuan hidup. (6) Dukungan Sosial (social support) Hadirnya seseorang atau sejumlah orang yang akrab, dapat dipercaya dan selalu bersedia membantu pada saat-saat yang diperlukan. Menurut Bastaman (1996) menyederhanakan dan memodifikasi metode Logoanalysis sebagai berikut :

a. Pemahaman Pribadi Mengenali secara objektif kekuatan dan kelemahan diri sendiri dan lingkungan, baik yang masih merupakan potensi maupun yang telah teraktualisasi untuk kemudian kekuatan-kekuatan itu dikembangkan dan kelemahan-kelemahan dihambat dan dikurangi.

b. Bertindak positif Mencoba menerapkan dan melaksanakan dalam perilaku dan tindakan-tindakan nyata sehari-hari yang dianggap baik dan bermanfaat. Bertindak positif merupakan kelanjutan dari berfikir positif.

c. Pengakraban Hubungan Secara sengaja meningkatkan hubungan yang baik dengan pribadi- pribadi tertentu ( misalnya anggota keluarga, teman, rekan kerja, tetangga ), sehingga masing-masing merasa saling menyayangi, saling membutuhkan dan bersedia bantu-membantu.

d. Pengalaman Tri-Nilai

76 | Religiusitas dan Kebermaknaan Hidup . . . .

Berupaya untuk memahami dan memenuhi tiga ragam nilai yang dianggap sebagai sumber makna hidup yaitu nilai-nilai kreatif ( kerja, karya ), nilai-nilai penghayatan ( kebebaran, keindahan, kasih, iman ), dan nilai-nilai bersikap ( menerima dan mengambil sikap yang tepat atas derita yang tidak dapat dihindari lagi ).

e. Ibadah. Ibadah merupakan upaya mendekatkan diri pada sang pencipta yang pada akhirnya memberikan perasan damai, tentaram, dan tabah. Ibadah yang dilakukan secar terus-menerus dan khusuk memberikan perasan seolah-olah dibimbing dan mendapat arahan ketika melakukan suatu perbuatan.

Hasil Dan Pembahasan Religiusitas Dosen Menjelang Masa Pensiun

Pada dimensi keyakinan/ideologi yang berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin tersebut, misalnya pada soal antara usaha manusia dan takdir, gambaran penjelasan dari informan menunjukkan hal yang relatif sama yaitu tidak selalu memiliki hubungan yang linier antara keduanya. Antara usaha manusia dan takdir memiliki wilayah yang berbeda, sebagaimana penjelasan berikut :

“usaha manusia dan takdir adalah dua sisi yang berbeda. Usaha manusia merupakan kewajiban, ikhtiar atau usaha manusia, sementara takdir

merupakan hak prerogatif Tuhan, sekaligus batas akhir dari usaha manusia untuk berhasil atau tidak” (TS-03)

Penjelasan ini hendak menandaskan bahwa manusia memiliki keterbatasan untuk memprediksi atau menentukan hasil-hasil atau akibat dari buah tindakannya. Kewajiban manusia hanya dibatasi pada maksimalisasi usahanya, sementara dampak atau akibat adalah murni urusan Tuhan, atau Tuhan-lah yang memiliki kehendak dengan segala ketentuan-ketentuan-Nya.

Pendapat senada disampaikan oleh SAD-02 : “kewajiban manusia berikhtiar dan berdo’a, namun hak Tuhan untuk

mengabulkan atau menolak do’a hambanya. Apapun keputusan Tuhan, sebagai manusia kita mesti berhusnudzon dengan apapun kehendak-Nya, karena hal demikian mest i yang terbaik buat kita”.

Fungsi atau kewajiban manusia purna ketika bentuk-bentuk usaha telah

Hamim Rosyidi | 77

ketentuan-Nya, manusia harus menerimanya, karena sesungguhnya Dia-lah yang mengetahui segala sesuatu yang terbaik buat hambanya.

Pendapat diatas mencerminkan proporsionalitas antara dua peran dan dua wilayah yang berbeda. Peran-peran manusia dilakukan sesuai dengan proporsinya, namun diluar itu ketentuan Tuhan sebagai penentu akhirnya.

Usaha dan do’a menjadi satu paket yang berjalan seiring, disertai dengan keyakinan penuh adanya kekuatan diluar diri manusia, yang diatas segala- galanya.

Pendapat yang berbeda berkaitan dengan “kewenangan wilayah” manusia dan Tuhan disampaikan oleh AC-01, sebagai berikut :

“baik dan buruk adalah takdir Allah, manusia dalam panggung kehidupan ini hanya sekedar wayang, tidak memiliki daya apapun kecuali harus taat

(manut) dengan skenario Allah SWT. Bagi saya tidak ada sedikitpun perilaku manusia termasuk yang jahat tanpa sepengetahuan Allah SWT ”.

Fungsi manusia hanya menjalankan peran (wayang) dari sebuah lakon yang sudah ditentukan oleh dalang/sutaradara (Tuhan). Semua kebaikan atau keburukan sudah digariskan oleh Tuhan, dan manusia tinggal menjalani garis tersebut (pasrah).

Dalam kepasrahan tersebut, seseorang harus bisa menseimbangkan pandangan atau perspektif manusia dan Tuhan-nya untuk mewujudkan sikap nerimo atau ikhlas, karena segala sesuatu yang buruk bagi manusia belum tentu bagi Tuhan, dan demikian juga sebaliknya. Hal ini disampikan AC-01 lebih lanjut :

“Karena itu memahami realita kehidupan termasuk takdir dalam perspektif manusia terkadang tidak cukup dan tidak pas. Karena itu suatu saat kita mesti memposisikan dalam perspektif Tuhan, sehingga dengan lapang hati akan bias memahami apapun yang terjadi”.

Masih pada dimesi keyakinan/ideologi, terkait dengan keyakinan tentang surga dan neraka, informan-informan memberikan penjelasan yang senada, bahwa keberadaan surga dan neraka merupakan konsekuensi kehidupan manusia di dunia. Keberadaan surga dan neraka dipandang sebagai sesuatu yang bisa memotivasi perilaku seseorang selama di dunia, dengan makna lebih jauh bahwa perilaku baik akan memberikan konsekuensi surga, sementara perilaku yang sebaliknya akan memberikan konsekuensi neraka. Hal itu dikatakan oleh informan sebagai berikut :

78 | Religiusitas dan Kebermaknaan Hidup . . . .

“bagi saya, surga dan neraka merupakan konsekuensi dari kehidupan dunia. Ia disediakan sebagai instrumen motivator amaliah manusia dari Tuhannya” (SAD-02)

Penjelasan lain menyebutkan : “surga dan neraka adalah bagian dari amaliah manusia di dunia yang

nanti sama- sama kita buktikan kebenarannya” (TS-03) Untuk menuju ke arah surgawi, maka seseorang harus

mempersiapkannya selama hidup di dunia, dengan segala perbuatan baik. Perbuatan baik akan menjadikan perjalanan akherat kelak mernjadi lancar. Tentang hal ini disampaikan oleh AC-01 :

“bagi saya dunia dan akherat itu satu kesatuan. Kematian harus dipahami sebagai terminal dari etape dunia menuju etape berikutnya. Jika etape awal (dunia) seseorang sudah prepare/siap, maka wajar jika di akherat nanti perjalanannya lebih lancar, tidak ada kendala. Dan lancar itulah maknanya surga bagi kalangan agamawan” (AC-01)

Pada pemahaman akan dinamika kehidupan ketika dikaitkan dengan nilai-nilai ke-Tuhan-an, narasumber memahami bahwa apapun yang terjadi adalah bentuk teguran, sebagai ekspresi kasih sayang Tuhan kepada hambanya.

“bagi saya, ujian, cobaan, dan teguran dari Allah adalah dinamika kehidupan. Agar tidak frustasi saya lebih mengkategorikannya sebagai teguran (rasa sayang) Allah kepada hamba- Nya” (SAD-02).

Cara memaknai yang demikian menjadikan seseorang lebih ‘damai’ dalam menjalani kehidupan dengan segala dinamikanya. Dengan demikian, kalimat kunci dalam situasi ini adalah kemampuan seseorang dalam mengembangkan pikiran positif, yang berimplikasi pada pengendalian dari hal-hal yang negatif. Sudah barang tentu, ketika teguran itu datang, maka kewajiban manusia untuk lebih memperbaiki segala sesuatunya ke arah yang lebih sempurna.

Selain kemampuan mengembangkan pikiran positif, dalam mengahdapi berbagai dinamika kehidupan, maka sikap sabar, selalu bersyukur, dan menghindarkan dari sikap takabur adalah kata kunci berikutnya. Nilai-nilai tersebut ketika dimiliki oleh seseorang, akan menjadikan orang tersebut memiliki kesiapan dalam mengahadapi situasi apapun. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh TS-03 :

“ semua orang melalui perjalanan hidup yang dinamis, terkadang di atas terkadang di bawah. Ketika berada di bawah, atau menghadapi ujian maupun cobaan, maka yang diperlukan adalah sabar. Dan sebaliknya,

banyak bersyukur ketika di atas, serta tidak boleh takabur” (TS-03).

Hamim Rosyidi | 79

Termasuk ujian yang diterima oleh TS-03 adalah anak pertamanya yang mengalami cacat fisik. Ketabahan dan kesabaran untuk menerima kenyataan menjadi energi yang memperkuatnya dalam menjalani dinamika kehidupan.

Pernyataan yang ‘reflektif dan logis’ tentang dinamika kehidupan disampaikan oleh AC-01, sebagai berikut :

“kehidupan ini dinamis memang, kadang dibawah kadang di atas. Ujian, cobaan, hukuman, bahkan teguran adalah sesuatu yang wajar. Tapi bagi

saya semuanya bergantung pada manusianya sendiri. Artinya dalam hidup ini filsafat bakal ngunduh wohing pakerti (memetik amal perbuatan) pasti terjadi. Seperti saya ini, sekarang anak-anak saya tidak mau hormat kepada saya, saya bias memahaminya. Mereka merasa saya khianati dulu ketika saya harus cerai dengan ibunya” (AC-01).

Sementar a pada pemahaman tentang do’a sebagai senjata seorang muslim, informan memahami sebagai bentuk ihtiyar, amaliah, disertai dengan

keyakinan bahwa Tuhan akan mengabulkan do’a hamba-Nya, sebagaimana disampaikan oleh SAD-02 :

“ tiap hari dalam akhir sholat kita mesti berdo’a sebagai wirid (amaliah ubudiyah). Tetapi dalam berbagai hal atau keadaan ketika kita mengharap

atau menghadapi problema, kita mesti berdo’a kepada Tuhan. Dan saya sangat yakin Tuhan akan mengabulkan do’a, terutama do’a yang dipanjatkan o leh ibu bagi anaknya, ditempat dan waktu yang mustajabah” (SAD-02)

Pemahanan lain dari informan, bahwa do’a adalah merupakan energy Tuhan yang harus diminta, dan juga merupakan kebutuhan manusia, terlepas dari apakah Tuhan akan mengabulkan atau tidak do’a tersebut, yang semuanya menjadi otoritas-Nya secara mutlak. Penegasan pengertian ini seperti

disampaikan berikut ini : “do’a itu separo dari ikhtiar kita, dan yang separo lagi harus didapatkan

dari usaha mati- matian. Tapi yang terpenting dari do’a adalah karena do’a itu kebutuhan teologis manusia. Kabul atau tidak, pokoknya kalau sudah berdo’a saya merasa puas” (TS-03)”

Pendapat yang sebangun juga disampaikan berikut : “bagi saya do’a adalah energi Tuhan. Karena itu harus diminta. Nah, yang

penting jangan mekso Tuhan. Sehingga yang terjadi adalah tetap husnudzon dengan Tuhan, bukan suudzon, manakala tidak atau belum dikabulkannya sebuah do’a” (AC-01)

80 | Religiusitas dan Kebermaknaan Hidup . . . .

Pengharapan dan kepasrahan berjalan secara simultan dalam memahami do’a. Sebagai bagian dari ikhtiar, maka do’a harus dilakukan. Selanjutnya, lebih dari itu adalah menjadi kewenangan Tuhan, karena Dia yang memahami segala

sesuatu yang terbaik bagi hamba-Nya. Dalam dimensi praktek agama/peribadatan yang mencakup perilaku

pemujaan, pelaksanaan ritus formal hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya, informan tidak banyak terlibat dalam praktek-praktek atau kegiatan-kegiatan tersebut. Ketersediaan waktu yang habis untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan utama menjadi factor yang tidak memungkinkan bagi informan untuk banyak terlibat dalam kegiatan social, meskipun disadari hal demikian penting adanya, seperti disampaikan oleh AC-01 berikut :

“kegiatan sosial menurut saya harus diikuti, mengingat habitat kita nanti kalau sudah pensiun kan jadi warga masyarakat biasa. Tetapi kan mesti dimaklumi, kayak saya ini kan berangkat pagi dan pulang larut malam (tolak Mojosari-Surabaya) sehingga terbatas sekali waktu untuk kegiatan social, kecuali hari Sabtu dan Minggu. Tapi kan hari Sabtu dan Minggu

sering juga di pakai di IAIN atau dinas” (AC-01) Motivasi dari keterlibatan para informan dalam kegiatan social lebih

cenderung ke motivasi yang pragmatis sifatnya, seperti yang disampaikan oleh AC-01, bahwa keterlibatan dalam kegiatan social masyarakat adalah murni untuk ngguyupi masyarakat dan tidak ada pamrih lain. Ketika ada kegiatan- kegiatan masyarakat yang membutuhkan partisipasi atau kehadiran warga secara fisik, AC-01 cenderung membantu secara financial, karena pertimbangan usia yang mulai tua.

SAD-02 tidak banyak terlibat dalam kegiatan social di kampong, atau dalam bahasa lain bersikap pasif dalam kegiatan masyarakat maupun kegiatan masjid. Organisasi yang pernah diikuti adalah NU (dulu aktif di PBNU dan sekarang sudah tidak aktif lagi). Motivasi keterlibatannya hanya untuk status social saja.

Sementara TS-03 memilih aktif di PNPM dengan keterlibatan sebagai anggota didalamnya. Pilihan tersebut dipahami oleh TS-03 sebagai konsekuensi dari kehidupan social bersama masyarakat.

Selain minimnya keterlibatan dalam kegiatan social, para informan juga minim dalam keterlibatan pada kegiatan-kegiatan keagamaan. Berbagai sebab menjadi pertimbangan dari situasi ini, diantaranya adalah karena kesibukan

Hamim Rosyidi | 81

yang banyak menyita waktu, sebagaimana yang mengenai AC-01 sebagao berikut :

“ tradisi di kampong saya, tahlil dan manakib tetap ada. Tapi ya nggak mungkin saya bias mengikuti. Yang penting saya tidak anti, dan tetap support. Sesekali kita dating sudah cukup membangun perasaan mereka bahwa kita bagian d ari mereka. Toh mereka mafhum bahwa kita PNS” (AC- 01)

Kesibukan sebagai PNS dan jarak yang harus ditempuh antara Surabaya- Mojosari setiap hari, membuat AC-01 tidak banyak memiliki waktu untuk terlibat dalam kegiatan social keagamaan di kampong tempat tinggalnya. Selain kesibukan yang telah menyita waktu, setting kawasan tempat tinggal juga turut mempengaruhi tingkat keterlibatan informan, seperti gambaran penjelasan berikut :

“saya hidup di kawasan perkotaan, yaitu di Kapasan. Saya betul-betul terisolir dari komunitas social, paling-paling kegiatan saya cuma bersih- bersih rumah, seperti nyapu atau yang lain. Selebihnya saya ke kampus

IAIN” (SAD-02) Dalam dimensi pengalaman yang berkaitan dengan pengalaman

keagamaan, perasaan, persepsi dan sensasi yang dialami seseorang, seperti pada pelaksanaan ibadah-ibadah yang menjadi kewajiban seorang muslim (yang mampu) yaitu ibadah haji, para informan memberikan keterangan yang variatif. Ada yang sudah melaksanakan sejumlah delapan kali, ada yang dua kali, dengan ada yang disertai dengan pengalaman spiritual dan ada juga yang tidak. Namun ada juga yang sebaliknya yaitu belum pernah melakukan sama sekali.

SAD-02 telah melakukan haji delapan kali, sebagaimana keterangannya berikut :

“ saya sudah mulai menunaikan ibadah haji delapan kali. Tahun 1983 itu yang pertama. Tiga kali saya biaya sendiri, yang selebihnya biaya dinas atau karena sebagai petugas. Karena saya meniti karir dari bawah hingga kakanwil, maka saya sudah merasa haji sejak dari kelas sederhana sampai

dengan VVIP. Bahkan satu tenda di Arafah dengan menteri pernah saya rasakan. Semuanya saya niatkan untuk ibadah. Namun uniknya tak pernah sekalipun saya mengalami peristiwa magis atau sacral dalam seluruh ritual haji selama delapan kali tersebut” (SAD-02)

Pengalaman berbeda dalam melaksanakan ibadah haji, dirasakan oleh AC-01, sebagai berikut : “saya melaksanakan ibadah haji dua kali, yaitu tahun 1980 dan 2001. Yang

82 | Religiusitas dan Kebermaknaan Hidup . . . .

Mekah yang saya alami adala h ketika saya habis berdo’a yang terbaik keluarga, saya telpon ibu yang di Lumajang. Subhanallaah…. Ibu itu tidak pernah merestui pernikahanku dengan A (inisial). Bahkan sampai aku berangkat haji tidak berani pamit. Tapi begitu saya habis berdo’a dan telpon ibu, hati ini tersentak karena ibu mulai saat itu baru bias memahami pernikahan kami yang kedua ini” (AC-01)

Kondisi berbeda dialami oleh TS-03, yaitu belum pernah menunaikan ibadah haji, meskipun hasrat hati sangat ingin melakukan ibadah tersebut, seperti penyampaiannya berikut :

‘saya belum pernah menunaikan ibadah haji. Saya iri dan kadang menangis kalau memperhatikan rombongan orang naik haji ke juanda. Jika saya bersepeda saya berhenti dan meneteskan air mata. Mungkinkah suatu saat saya menjadi bagian jamaah yang ada dalam bis seperti itu ?” (TS-03)

Pada dimensi pengetahuan agama, yang mengacu pada harapan bagi orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi- tradisi agama, TS-03 memiliki latar belakang pengetahuan agama yang komplet, setidaknya kalau diukur dari sisi pendidikan formal, sebagaimana penyampaiannya berikut :

“sekolah saya MI, Tsanawiyah, PGA, yang semuanya saya jalani dengan bondo nekad dengan nderek kyai. Setelah itu lanjut ke SP IAIN, dan pascasarjana. Tamat MI, orang tua nyuruh saya untuk ngenger agar dapat pedhet (anak sapi) agar saya bias sekolah. Akhirnya saya jual seekor

kambing dan berangkat untuk ngenger pak kyai” (TS-03). Sementara SAD-02 menempuh pendidikan dengan kombinasi antara

pendidikan umum dan agama, yaitu :SR, SMP, PGAP, SP IAIN, IAIN, dan pasca sarjana. Pada pemahaman tentang perbedaan antara pendidikan umum dengan pendidikan agama, ada perbedaan cara pandang dalam melihatnya, antara yang melihatnya keduanya berbeda sebagaimana paparan berikut :

“pendidikan umum dan agama tentu sangat berbeda. Pendidikan agama utamanya di pesantren lebih banyak pada pendidikan perilaku. Tampaknya pendidikan umum di Diknas lebih berorientasi pada teori yang

kering dari moral agama” (TS-03) Pemahaman yang disampaikan TS-03 sebangun dengan karir

pendidikannya yang sejak dini telah menempuh pendidikan agama di MI, yang dilanjutkannya dengan ngenger ke kyai.

Hal senada juga disampaikan oleh SAD-02 :

Hamim Rosyidi | 83

“Bagi saya pendidikan umum dan agama jelas sangat mendasar perbedaannya. Sejelek apapun pendidikan berbasis agama masih lebih bagus ketimbang pendidikan umum semata” (SAD-02).

Pemahaman yang berseberangan disampaikan oleh AC-01, yang melihat bahwa antara pendidikan umum dan agama adalah sama saja, sebagaimana berikut :

“pendidikan umum dan agama itu sama saja. Anak itu apa kata lingkungan keluarga, khususnya ibunya. Lihat sekarang banyak alumni pesantren yang moralitasnya juga tidak lebih baik dari yang sekolah umum. Jadi landasan

moral itu bergantung pada lingkungan keluarganya” (AC-01) Kalau mau di teliti lebih jauh, pemahaman-pemahaman tersebut

sesungguhnya tidak ada perbedaan secara diametral, terutama dari sisi moral pendidikannya. Keduanya sama-sama melihat bahwa factor eksternal memiliki peran signifikan dalam membangun moral; factor eksternal yang pertama di wakili oleh lingkungan pesantren, dan yang kedua diwakili oleh lingkungan keluarga. Dalam kajian sosiologis, semuanya termasuk dalam paradigma fakta social.

Dimensi terakhir dari religiusitas adalah dimensi konsekuensi. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari, atau dengan kata lain, sejauh mana implikasi ajaran agama mempengaruhi perilakunya. Dalam beberapa kasus atau kondisi keberagamaan di Indonesia, misalnya korupsi oleh orang Islam, dan konflik atas nama agama, menurut SAD-02 terjadi karena pemahaman agama yang jauh dari spirit spiritualisme, dan Negara yang tidak serius mengatur kehidupan keberagamaan.

SAD-02 mengatakan : “perilaku tercela di Indonesia tetap ada mengiringi maraknya kehidupan

beragama, karena beragama di Indonesia masih sebatas pengetahuan syar’i belaka, jauh dari spirit spiritualisme. Maraknya kekerasan antar

golongan di Indonesia, terjadi karena pemerintah tidak serius dalam membuat regulasi melalui PP atau UU dan sebagainya. Kayaknya negara sekarang ini mengatur kehidupan beragama seperti samben, main-main saja” (SAD-02)

Pemahaman agama yang hanya pada level permukaan atau kulit saja, dianggap sebagai biang maraknya perilaku-periaku yang tercela, seperti yang diungkapkan oleh AC-01 berikut :

“adanya korupsi yang marak, sementara kehidupan beragama juga marak

84 | Religiusitas dan Kebermaknaan Hidup . . . .

dimensi kulitnya, bukan isinya. Kita terlalu fiqh sentris, tidak pada nilai (value) dari pesan moral ajaran itu. Saya kira kelemahan kita disitu, ketika nyata-nyata barang haram atau korupsi dihalalkan hanya karena aqad yang dirubah. Itu kan bodohnya kita, dan cerdasnya ahli fiqh. Karena itu sudah saatnya kita beragama dengan hati” (AC-01)

Kalangan Islam mestinya tahu tentang korupsi yang dilarang, namun mereka tidak berdaya dan tidak mampu mengendalikan diri dari perilaku- perilaku koruptif. Hal ini disampaikan oleh TS-03 sebagai berikut :

“perilaku korupsi dan penyimpangan lain dilakukan oleh orang Islam, karena mereka tidak berdaya mengendalikan diri. Mereka tahu semua bahwa perilakunya melanggar hokum, hanya tidak berdaya. Menurut saya perilaku kejujuran perlu dikampanyekan secara revolusioner, cultural, sehingga yang diperlukan adalah sanksi social yang berat jika melanggar aturan” (TS-03)

Guna menghindarkan perilaku kekerasan atau konflik atas nama agama, pemerintah harus mengakomodir kelompok-kelompok tersebut, sekaligus sebagai bagian dari tanggung jawabnya ketika terjadi konflik-konflik tersebut. Pendapat-pendapat berikut menggambarkan hal tersebut.

“adanya kelompok agama yang anarkhis, karena mereka tidak mendapatkan apresiasi yang cukup dari negara. Mereka baik, ingin negaranya sehat dari perilaku kemungkaran. Saya setuju keberadaan FPI. Mereka melihat peran polisi lemah, polisi perlu dibantu. Hanya yang perlu dibenahi adalah pada tataran prosedur nya” (TS-03)

“pandangan saya adalah perilaku anarkhis antar kelompok agama, murni menjadi tanggung jawab tokoh agama, kyai atau ulama, dan pemerintah.

Perpecahan itu kadang oleh para politisi di openi untuk ngunduh proyek” (AC-01)

Spirit yang diusung oleh pendapat-pendapat tersebut hakekatnya adalah sama, yaitu penting mendudukkan segala sesuatu secara proporsional. Tradisi beragama haruslah utuh dilaksanakan secara murni dan konsekuen, dengan tidak hanya berhenti pada hal-hal yang artificial saja, tetapi haruslah masuk pada hal-hal yang substansial. Selain itu Negara sebagai pemegang mandate kekuasaan, haruslah menjalankan fungsi sebagaimana mestinya, yaitu serius dalam mengelola keberagaman dan menegakkan hokum sehingga potensi- potensi pelanggaran bias dir edam dan diminimalisir.

Kebermaknaan Hidup Dosen Menjelang Masa Pensiun

Hamim Rosyidi | 85

Menurut Bastaman (1996), bahwa kebermaknaan hidup secara garis besar meliputi tiga dimensi, yaitu : dimnesi personal, dimensi social, dan dimensi nilai-nilai.

Dimensi personal memiliki unsure-unsur antara lain : (1) pemahaman diri, yakni meningkatnya kesadaran atas buruknya kondisi diri pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, (2) pengubahan sikap, yakni dari semula tidak tepat menjadi lebih tepat dalam menghadapi masalah, kondisi hidup, dan musibah yang tak terelakkan.

Pada dimensi personal ini bias digambarkan diri informan yang menjadi subyek kajian ini, antara lain :

- TS-03, Beliau adalah orang yang sederhana, hidupnya neriman apa adanya, dan tidak pernah ngoyo dalam menjalaninya. Taqwim mengalami

cobaan dalam hidupnya, yang dipahaminya sebagai cobaan berat, yaitu merawat anaknya yang mengalami keterbelakangan mental. Dalam menghadapi cobaan ini, Taqwim terus berusaha pada setiap malam memohon kepada Allah untuk diberi ketabahan serta ditunjukkan hikmah di balik ujian atau cobaan ini.

Dalam menjaga keseimbangan dalam hidup, antara social dan keagamaan, Taqwim banyak melibatkan diri dalam kehidupan kampong dan kegiatan masjid. Salah satu kegiatan yang diikutinya adalah PNPM, dengan menjadi anggota aktif, tanpa berhasrat untuk jadi pimpinan. Sementara secara jasmani diimbanginya dengan melakukan olah raga ringan seperti tenis meja. Porsi untuk kebutuhan social dan privasi bias dikelola dengan baik sehingga tidak ada masalah dan tidak ada yang saling dirugikan. Hanya pada porsi hubungan kekerabatan tergolong rendah karena keluarga besar saling berjauhan dan pada umumnya banyak yang menjadi petani miskin di desa. Bagi Taqwim, keluarga dan lingkungan tetangga adalah yang paling utama. Dan bagi Taqwim, kunci yang menjadi dasar dalam menjaga keseimbangan hidup adalah agama, dengan salah satu aplikasi dari nilai agama yang diikutinya adalah tidak boleh kekenyangan ketika makan, yang artinya seseorang harus menghindari isrof atau sikap berlebihan.

TS-03 melihat keluarga adalah segala-galanya. Keluarga adalah sumber kebanggaannya. Termasuk dalam kebanggaannya adalah kekaguman dan apresiasi yang luar biasa atas peran istrinya yang dengan sabar merawat anaknya yang berkebutuhan khusus. Selain itu juga kebanggaan pada anaknya yang lain, yang rela bekerja untuk membiayai kuliahnya secara mandiri. Upaya ini juga tidak terlepas dari pendidikan mental yang dilakukan oleh TS-03, agar

86 | Religiusitas dan Kebermaknaan Hidup . . . .

Namun pada sisi lain, kondisi keluarga ini belum sepenuhnya sesuai dengan harapannya. Kalau boleh, TS-03 tidak menginginkan ada anaknya yang cacat, tapi kenyataannya ada anaknya yang memiliki kebutuhan khusus. Pada sisi pendidikan, sebagai orang tua, TS-03 menginginkan pendidikan yang terbaik bagi putra-putranya, tidak seperti saat ini yang hanya asal kuliah. Tetapi membangun dan mewujudkan harapan lebih, sulit diwujudkan oleh TS-03, karena menyadari posisinya yang hanya PNS.

- SAD-02, Sosoknya lebih cenderung ke birokrat dan lemah dalam kehidupan sosialnya. Kegiatan mengajar dilakukan karena semangat dan ingin tidak segera pension. Salim memiliki prinsip bahwa hidup adalah mengalir, segala sesuatunya dinikmati dengan enak dan nyaman, termasuk ketika mengalami mutasi jabatan. Salim merasakan kebahagiaan dalam hidupnya, dan prinsip yang selalu dipegangnya adalah selalu berhusnudzon pada iradah Allah, disertai dengan keyakinan bahwa tidak mungkin Allah memberikan sesuatu yang jelek bagi hamba- Nya, selama hamba-Nya mau memahami. Seringkali hamba-Nya yang suka nggegemongso (memaksakan kehendak pada Allah). Itu yang tidak tepat bagi kehidupan manusia.