BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1. Bank Syariah 1. Pengertian Bank Syariah - Analisis Kesehatan Keuangan Dan Kinerja Sosial Pada Bank Umum Syariah Di Indonesia
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Teoritis
2.1.1. Bank Syariah
1. Pengertian Bank Syariah
Bank berasal dari kata banque dalam bahasa Prancis, dan dari kata banco dari bahasa Italia, yang berarti peti/lemari atau bangku yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda berharga, seperti peti emas, peti berlian, peti uang dan sebagainya. Al-
Qur’an juga menyiratkan istilah bank secara implisit
sebagai sesuatu yang memiliki unsur-unsur seperti struktur, manajemen, fungsi, hak dan kewajiban yang semuanya disebutkan dengan jelas dalam fungsi zakat,
sadaqah , rampasan perang (ghanimah), jual beli ( ba’i), utang dagang (dayn),
harta (maal), dan sebagainya yang dilaksanakan dalam kegiatan ekonomi dan melibatkan fungsi dan peran pihak-pihak tertentu.
Bank syariah merupakan inovasi dari perbankan internasional yang telah menerapkan prinsip dan syariah Islam dalam aktivitas operasionalnya. Secara umum, bank syariah adalah lembaga keuangan yang kegiatan utamanya memberikan kredit dan jasa-jasa dan dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. (Sudarsono, 2004:27).
Menurut Wikipedia Indonesia (2012) bank syariah adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah). Kemudian ditambahkan lagi dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 pasal 2 dan 3 yang menyatakan bahwa bank syariah juga harus melakukan kegiatan usahanya berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian serta bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
Pengertian bank Islam menurut Rivai dan Arifin (2010:183) adalah: “Bank Islam merupakan lembaga intermediasi dan penyedia jasa keuangan yang bekerja berdasarkan etika dan sistem nilai Islam, khususnya yang bebas dari bunga (riba), bebas dari kegiatan spekulatif yang nonproduktif seperti perjudian (maysir), bebas dari hal-hal yang tidak jelas dan meragukan (gharar), berprinsip keadilan dan hanya membiayai usaha yang halal”.
Bank Islam atau bank syariah melakukan kegiatannya berdasarkan prinsip Islam, yaitu dengan adanya perjanjian (akad) antara pihak bank dan nasabah berdasarkan hukum Islam. Bank syariah juga turut serta secara aktif untuk mencapai sasaran serta tujuam ekonomi Islam yang berorientasi pada kesejahteraan sosial.
2. Sejarah Perkembangan Bank Syariah
Perbankan syariah awalnya tercatat di Malaysia dan Pakistan pertengahan tahun 1940 sebagai upaya pengelolaan dana jamaah haji secara non konvensional.
Kemudian pada tahun 1963 di Mesir didirikan Mit Ghamr Lokal Saving oleh Dr Ahmad el-Najar dimana bank syariah merupakan bank pedesaan yang beroperasi nirbunga dan sudah menerapkan prinsip-prinsip syariah sehingga bertumbuh dengan cukup baik. Namun karena goncangan politik yang sangat dahsyat, akhirnya bank ini pun berhenti beroperasi pada tahun 1967 dan diambil alih oleh
National bank of Egypt dan Central Bank of Egypt yang beroperasi atas dasar
bunga sebelum akhirnya beralih kembali ke sistem tanpa riba dengan berdirinya Nasser Social Bank di Mesir pada tahun 1972 yang bersifat sosial.
Pada Desember 1970, Mesir mengajukan proposal untuk mendirikan bank syariah pada Sidang Menteri Luar Negeri negara-negara Organisasi Konfrensi Islam (OKI) sebagai langkah untuk mempermudah berkembangnya bank syariah di negara-negara muslim. Selanjutnya proposal tersebut disetujui pada sidang Menteri Keuangan di Jeddah tahun 1974 dengan mendirikan Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB).
Didirikannya IDB menjadi motovasi besar bagi negara-negara Muslim untuk mendirikan lembaga keuangan syariah berupa bank Islam (Islamic
Commercial Bank ) dan lembaga investasi dalam bentuk International Holding
Company . Tidak hanya negara muslim saja negara-negara non muslim jugaantusias mendirikan bank Islam seperti yang terjadi Inggris, Denmark, Bahamas, Swiss, dan Luxemburg. Dengan pesatnya perkembangan bank syariah maka banyak bank konvensional yang menawarkan produk-produk bank syariah yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan nasabah tersebut.
Bank syariah pertama yang didirikan di Indonesia adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang mulai beroperasi pada tanggal 1 Mei 1992 sebagai hasil kerja sama dan lokakarya perbankan MUI yang menginginkan untuk mendirikan bank bebas bunga di Indonesia. Pendirian Bank Muamalat Indonesia diperkuat dengan kemunculan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dimana bank sudah diperbolehkan untuk mendirikan bank syariah yang bebas bunga.
Selanjutnya diperbaharui lagi dengan kehadiran Undang-undang No.10 Tahun 1998 yang semakin mempercepat perkembangan bank syariah karena diizinkanya bank beroperasi secara dual system yakni Bank Indonesia mengakui keberadaan bank syariah dan bank konvensional serta bank konvensional diperkenankan untuk membuka kantor cabang syariah serta mengizinkan konversi bank konvensional menjadi bank syariah. Undang-undang ini juga menjadi landasan hukum yang kuat serta dapat menjamin kepastian hukum bagi para pelaku ekonomi serta masyarakat luas untuk kelembagaan dan kegiatan usaha bank syariah. Sehingga keberadaan bank syariah sampai saat ini berkembang sangat pesat dan sangat diminati masyarakat.
3. Fungsi dan Peranan Bank Syariah
Fungsi dan peran bank syariah yang tercantum dalam pembukaan standar akuntansi yang dikeluarkan oleh AAOIFI (Accounting and Auditing Organization
for Islamic Financial Institution ) dalam Sudarsono (2004:39) adalah sebagai
berikut: a.
Manajer investasi, bank syariah dapat mengelola investasi dana nasabah.
b.
Investor, bank syariah dapat menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya. c.
Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran, bank syariah dapat melakukan kegiatan-kegiatan jasa-jasa layanan perbankan sebagaimana lazimnya.
d.
Pelaksana kegiatan sosial, bank syariah juga memiliki kewajiban untuk mengeluarkan dan mengelola (menghimpun, mengadministrasikan, mendistribusikan) zakat serta dana-dana sosial lainnya.
Senada dengan Sudarsono, Rivai dan Arifin (2010:185) juga menjelaskan fungsi bank syariah dengan menggambarkan fungsi bank syariah sebagai berikut:
TAMWIL MAAL
INVESTOR JASA SOSIAL
PERBANKAN
R
Dana Penghimpunan Penyaluran dana Jasa Keuangan
P
Kebajikan dana
Wakalah, Pola Bagi
Kafalah, Hasil
Penghimpunan Prinsip
R
Hiwalah,
Wadiah -Mudharabah dan Penyaluran
Ujr, Sharf,
- Giro -Musyarakah,
ZIS
O Qard, Rahn
,
- Tabungan dll
Penyaluran dll Qardhul Hasan
Prinsip Pola Jual Beli Jasa Non
D
Mudharabah -Murabahah Keuangan
- Tabungan -Isthisna , dll
Wadi’ah yad
- Deposito
U
Pola Sewa Amanah
- Investasi
- Ijarah
Jasa Keagenan
- Obligasi -Ijarah wa
K
Mudharabah Iqtina
Prinsip Ijarah Muqayyadah
- Obligasi
Sumber: Rivai (2010:185)
Gambar 2.1 Fungsi Bank Syariah4. Tujuan Bank Syariah
Menurut Sudarsono (2004:40) tujuan bank syariah adalah sebagai berikut: a. Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk ber-muamalat secara Islam, khususnya muamalat yang berhubungan dengan perbankan, agar terhindar dari praktek-praktek riba atau usaha perdagangan lain yang mengandung unsur tipuan (gharar) dan jenis-jenis usaha lain yang dilarang oleh Islam serta kegiatan yang menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan ekonomi.
b.
Untuk menciptakan keadilan di bidang ekonomi dengan cara meratakan pendapatan melalui kegiataan investasi, agar tidak terdapat kesenjangan yang besar antara pihak surplus dan defisit.
c.
Untuk meningkatkan kualitas hidup umat dengan membuka peluang usaha terutama untuk golongan masyarakat tidak mampu dan diarahkan kepada kegiatan produktif dan menciptakan kemandirian usaha.
d.
Untuk menanggulangi masalah kemiskinan di negara-negara berkembang dengan cara melakukan pembinaan pelaku ekonomi untuk mengembangan kegiatan usaha yang ada.
e.
Untuk menjaga stabilitas ekonomi dan moneter dengan cara menghindari pemanasan ekonomi akibat adanya inflasi serta menghindari persaingan yang tidak sehat antar lembaga keuangan.
f.
Untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap bank konvensional dari adanya bunga yang diharamkan.
5. Produk Bank Syariah
Produk pembiayaan bank syariah yang difokuskan di sini adalah produk pembiayaan yang didasarkan atas prinsip bagi hasil yang terdiri dari al-
musyarakah dan al-mudharabah.
a.
Al-Musyarakah Musyarakah berasal dari istilah sharikah atau syirkah yang berarti
kerjasama antara kedua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan risiko yang ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Musyarakah terdiri dari musyarakah pemilikan dan musyarakah kontrak (akad).
Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan atau wasiat atau kondisi lain
yang berakibat pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Sedangkan
musyarakah kontrak (akad) terjadi karena adanya kesepakatan antara dua
orang atau lebih memberikan modal dan berbagi keuntungan dan kerugian secara bersama-sama.
Yang termasuk dalam golongan musyarakah adalah bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih yang dikenal dengan nasabah dimana mereka secara bersama-sama memadukan sumberdaya baik berupa sumber daya berwujud (tangibel asset) dan sumber daya tak berwujud (intangible
asset ) dalam proyek mereka kemudian mendapatkan hasil berupa
keuntungan maupun kerugian yang dibagi secara bersama dijelaskan dalam
Gambar 2.2 berikut ini:Nasabah Bank Proyek
Usaha
Keuntungan
Bagi hasil Keuntungan Sesuai kontibusi modal
Sumber: Sudarsono (2003:69) Gambar 2.2 Skema al-Musyarakah
b. Al-Mudharabah Kata mudharabah berasal dari kata adhdharbu fil ardhi yang berarti berpergian untuk urusan dagang. Disebut juga dengan qiradh yang berasal dari kata al-qardhu yang berati potongan, karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagaian keuntungan.
Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana
pihak pertama (shohibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan dari usaha dalam
mudharabah dibagi menurut kesepakatan dalam kontrak, dan apabila usaha
mengalami rugi ditanggung pemilik modal selama kerugian bukan hasil dari kelalaian pengelola. Apabila kerugian diakibatkan oleh kelalaian pengelola maka kerugian ditanggung sepenuhnya oleh pengelola. Kegiatan al-
mudharabah dapat dilihat melalui Gambar 2.3 berikut ini.
Perjanjian Bagi Hasil Bank
Nasabah Proyek/Usah
Pembagian Modal
Sumber: Sudarsono (2003:71)
Gambar 2.3 Skema al-Mudharabah2.1.2 Kesehatan Keuangan Bank Syariah
Kesehatan atau kondisi keuangan bank merupakan kepentingan semua pihak terkait, baik pemilik, manajemen bank, bank, pemerintah (melalui Bank Indonesia) dan pengguna jasa bank tersebut (Rivai dan Arifin, 2010:846). Tingkat kesehatan bank juga merupakan penilaian atas suatu kondisi laporan keuangan bank pada periode dan saat tertentu sesuai dengan standar atau ketetapan BI yang berlaku. Analisis kinerja keuangan ini juga sebagai upaya untuk mengetahui kondisi usaha saat ini dan sekaligus untuk memudahkan dalam menentukan kebijakan bisnisnya di masa yang akan datang (Rivai dan Arifin, 2010:846).
Sistem penilaian tingkat kesehatan bank umum berdasarkan prinsip syariah yang menjadi acuan bank syariah dewasa ini adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor:9/PBI/2007. Peraturan itu merupakan pengembangan dan penyempurnaan dari undang-undang sebelumnya yang sudah ada, yaitu tentang Perbankan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 diubah menjadi Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998 serta tentang Bank Indonesia yang diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004.
Peraturan Bank Indonesia Nomor:9/PBI/2007 menetapkan faktor-faktor yang menjadi cakupan dalam penilaian tingkat kesehatan bank. Faktor-faktor tersebut adalah Permodalan (Capital), Kualitas Aset (Assets Quality), Manajemen (Management), Rentabilitas (Earnings), Likuiditas (Liquidity), dan Sensitivitas Terhadap Risiko Pasar (Sensitivity to Market Risk).
Perkembangan produk dan jasa perbankan syariah yang semakin kompleks dan beragam akan meningkatkan ekposur risiko yang akan dihadapi oleh bank sehingga harus diketahui terlebih dahulu kinerja dari bank tersebut. Perubahan ekposur risiko bank dan penerapan manajemen risiko akan memengaruhi profil risiko bank yang selanjutnya berakibat pada kondisi bank secara keseluruhan (Rivai dan Arifin, 2010:846). Dengan diketahuinya kondisi suatu bank dapat digunakan oleh pihak terkait, baik pemilik, manajemen bank, bank, dan pemerintah melalui Bank Indonesia serta pengguna jasa bank untuk mengevaluasi kerja bank dalam menerapkan prinsip kehati-hatian, kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku dan manajemen risiko yang ditetapkan.
Penjelasan Peraturan Bank Indonesia Nomor:9/PBI/2007 digunakan bagi perbankan, hasil penilaian kondisi bank dapat digunakan sebagai salah satu sarana dalam menetapkan strategi usaha di masa yang akan datang, sedangkan bagi Bank Indonesia sebagai pengawas digunakan antara lain sebagai sarana penetapan dan implementasi strategi pengawasan bank dan unit usaha syariah. Selain itu menurut Rivai dan Arifin (2010:167), Bank Indonesia telah melakukan langkah-langkah kebijakan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif, kompetitif, efisien, dan hati-hati bagi industri perbankan syariah. Langkah kebijakan ini dilakukan untuk mendukung sektor riil yang akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia khususnya. Usman (2008:129) menambahkan lagi bahwa ketentuan mengenai tingkat kesehatan bank dimaksudkan sebagai:
1. Tolak ukur bagi manajemen bank untuk menilai apakah pengelolaan bank telah dilakukan sejalan dengan asas-asas perbankan yang sehat dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
2. Tolak ukur untuk menetapkan arah pembinaan dan pengembangan bank, baik secara individual maupun perbankan secara keseluruhan.
Perkembangan metodologi penelitian juga dibutuhkan dalam menilai tingkat kesehatan bank syariah, sehingga diperlukan metodologi penelitian kondisi bank yang bersifat dinamis sehingga sistem penilaian kesehatan bank syariah tetap disesuaikan dengan prinsip agar lebih mencerminkan kondisi bank yang sesungguhnya saat ini dan di waktu yang akan datang. Pengaturan dan penyempurnaan penilaian tingkat kesehatan bank syariah dapat dilakukan melalui pendekatan penilaian kuantitatif, penilaian kualitatif, serta penambahan faktor lainnya bila diperlukan.
Peraturan Bank Indonesia Nomor:9/PBI/2007 menyatakan bahwa penilaian tingkat kesehatan bank adalah hasil penilaian kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu bank umum syariah atau UUS melalui penilaian kuantitatif dan penilaian kualitatif. Penilaian kuantitatif adalah penilaian terhadap posisi, perkembangan, maupun proyeksi rasio-rasio keuangan bank dan UUS. Penilaian kuantitatif digunakan pada faktor- faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, serta sensitivitas terhadap risiko pasar. Selanjutnya penilaian kualitatif adalah penilaian terhadap faktor- faktor yang mendukung hasil penilaian kuantitatif, penerapan manajemen risiko, dan kepatuhan bank atau UUS. Komponen yang menjadi penilaiaan kualitatif adalah faktor manajemen.
Bank Indonesia sebagai penetap kebijakan menetapkan penilaian yang digunakan dalam menilai faktor permodalan, antara lain:
a. kecukupan, proyeksi (trend ke depan) permodalan dan kemampuan
permodalan dalam mengcover risiko; kemampuan memelihara kebutuhan penambahan modal yang berasal dari
b.
keuntungan, rencana permodalan untuk mendukung pertumbuhan usaha, akses kepada sumber permodalan dan kinerja keuangan pemegang saham.
Untuk penilaian terhadap kualitas aset, Bank Indonesia melakukan penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: kualitas aktiva produktif, perkembangan kualitas aktiva produktif a. bermasalah, konsentrasi eksposur risiko, dan eksposur risiko nasabah inti.
b. kecukupan kebijakan dan prosedur, sistem kaji ulang (review) internal,
sistem dokumentasi dan kinerja penanganan aktiva produktif bermasalah.Selanjutnya untuk memberi penilaian terhadap rentabilitas diperlukan penilaian komponen sebagai berikut: kemampuan dalam menghasilkan laba, kemampuan laba mendukung a. ekspansi dan menutup risiko, serta tingkat efisiensi;
b. diversifikasi pendapatan termasuk kemampuan bank untuk mendapatkan fee
based income , dan diversifikasi penanaman dana, serta penerapan prinsip akuntansi dalam pengakuan pendapatan dan biaya.Kemudian penilaian terhadap likuiditas dilaksanakan dengan memberi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a. kemampuan memenuhi kewajiban jangka pendek, potensi maturity
mismatch , dan konsentrasi sumber pendanaan;
b. kecukupan kebijakan pengelolaan likuiditas, akses kepada sumber
pendanaan, dan stabilitas pendanaan.Dan yang terakhir dalam penilaian kuantitatif adalah penilaian terhadap sensitivitas terhadap risiko pasar dengan menilai komponen sebagai berikut:
a. kemampuan modal Bank atau UUS mengcover potensi kerugian sebagai akibat
fluktuasi (adverse movement) nilai tukar; b. kecukupan penerapan manajemen risiko pasar.
Sedangkan untuk penelitian kualitatif digunakan fakor manajemen sebagai penilai. Adapun komponen-komponen yang digunakan untuk menilai dalam pemberian nilai terhadap faktor manajemen adalah sebagai berikut: kualitas manajemen umum, penerapan manajemen risiko terutama a. pemahaman manajemen atas risiko Bank atau UUS; kepatuhan Bank atau UUS terhadap ketentuan yang berlaku, komitmen kepada
b.
Bank Indonesia maupun pihak lain, dan kepatuhan terhadap prinsip syariah termasuk edukasi pada masyarakat, pelaksanaan fungsi sosial.
Peraturan Bank Indonesia Nomor:9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah menyatakan bahwa salah satu faktor yang membentuk tingkat kesehatan bank adalah faktor finansial.
Adapun yang tergolong dalam faktor finansial adalah faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, serta faktor sensitivitas terhadap risiko pasar. Adapun faktor finansial yang dibahas dalam penelitian ini adalah faktor kualitas aset, rentabilitas, dan likuiditas.
Dalam memeringkatkan faktor finansial tersebut dilakukan dengan cara menilai peringkat komponen atau rasio keuangan pembentuk faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, dan sensitivitas terhadap risiko pasar dihitung secara kuantitatif. Kemudian peringkat faktor finansial tersebut ditentukan melalui analisis dengan mempertimbangkan indikator pendukung dan atau pembanding yang relevan (judgement) atas peringkat rasio utama; dan peringkat rasio penunjang. Sedangkan untuk manajemen dilakukan penilaian melalui analisis dengan mempertimbangkan indikator pendukung dan faktor
judgment . Berikut ini dijelaskan faktor-faktor yang diteliti dan berpengaruh
terhadap kesehatan keuangan bank syariah di Indonesia.1. Kualitas Aset ( Asset Quality)
Peraturan Bank Indonesia Nomor:13/13/PBI/2011 tentang penilaian kualitas aktiva pada bank syariah menyatakan kualitas aset atau penilaian kualitas aktiva adalah menilai jenis-jenis aset produktif maupun yang non produktif yang dimiliki oleh bank syariah dalam rangka pengelolaan risiko terhadap potensi kerugian yang telah diperkirakan dan mungkin dialami oleh bank syariah. Penilaian terhadap kualitas aset ini dilakukan dengan menggunakan dua rasio penting, yaitu penilaian terhadap kualitas aktiva produktif dan pembiayaan non performing.
1.1 Kualitas Aktiva Produktif (KAP)
Kualitas aktiva produktif merupakan rasio utama yang digunakan untuk menghitung kualitas aset. Adapun yang termasuk dalam aktiva produktif pada bank syariah terdiri dari pembiayaan, surat berharga syariah, sertifikat bank indonesia syariah (SBIS), penyertaan modal, penyertaan modal sementara, penempatan modal pada bank lain, transaksi rekening dan administratif (komitmen dan kontinjensi), dan bentuk penyedia dana lainnya. Semakin tinggi rasio KAP dari sebuah bank syariah menunjukkan semakin baik aktiva produktif yang dimiliki bank syariah tersebut. Cara menghitung kualitas aktiva produktif adalah sebagai berikut:
KAP = 1- X 100% Aktiva produktif yang diklasifikasikan (APYD) adalah aktiva produktif, baik yang sudah maupun yang mengandung potensi tidak memberikan penghasilan atau menimbulkan kerugian, yang besarnya ditetapkan sebagai berikut: 25% dari aktiva produktif yang digolongkan dalam perhatian khusus; 50% dari aktiva yang digolongkan kurang lancar; 75% dari aktiva yang digolongkan diragukan; dan 100% dari aktiva produktif yang digolongkan macet.
1.2. Pembiayaan Non-Performing
Rasio penunjang yang digunakan untuk menilai kualitas aktiva pada bank syariah adalah pembiayaan non performing. Pembiayaan non performing adalah suatu keadaan dimana nasabah sudah tidak sanggup membayar sebahagian atau seluruh kewajibannya kepada bank syariah sesuai dengan perjanjian yang berlaku. Semakin tinggi rasio NPF, menunjukkan kualitas pembiayaan bank syariah semakin buruk.
Untuk menghitung besarnya tingkat risiko pembiayaan non
performing dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut:
NPF = X 100%
2. Rentabilitas ( Earnings)
Rasio rentabilitas menggambarkan kemampuan bank dalam meningkatkan labanya melalui semua kemampuan dan sumber daya yang ada sehingga diketahui tingkat efisiensi usaha dan tingkat profitabilitas yang telah dicapai oleh bank syariah tersebut. Penilaian kuantitatif faktor rentabilitas dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap lima komponen rasio berikut ini.
2.1 Net Operating Margin (NOM)
Rasio ini adalah rasio utama yang digunakan untuk menghitung rentabilitas. Rasio NOM menggambarkan pendapatan operasional bersih bank syariah sehingga dapat membantu untuk mengetahui rata-rata aktiva produktif dalam menghasilkan laba. Rumus yang digunakan untuk menghitung Net
Operating Margin adalah:
- – X 100%
Nilai NOM dihasilkan dari membagi laba operasional dengan aktiva produktif. Laba operasional diperoleh dari pendapatan operasional setelah distribusi bagi hasil dikurangi biaya operasional. Biaya operasional sendiri mencakup beban operasional termasuk kekurangan PPAP yang wajib dibentuk.
2.2 Return on Assets (ROA)
Rasio ini digunakan untuk mengukur keberhasilan manajemen dalam menghasilkan laba secara keseluruhan dengan cara membandingkan antara laba sebelum pajak dengan total aset serta menggambarkan perputaran aktiva yang diukur dari volume penjualan. Rasio ini dihitung dengan menggunakan rumus:
ROA = X 100% Semakin besar ROA suatu bank, maka semakin besar juga tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan semakin baik posisi bank tersebut dari penggunaan aset. Semakin kecil rasio ini mengindikasikan kurangnya kemampuan manajemen bank dalam hal mengelola aktiva untuk meningkatkan pendapatan dan atau menekan biaya.
2.3 Rasio Efisiensi Kegiatan Operasional (REO)
REO adalah rasio penunjang kedua dalam menentukan besarnya rentabilitas. Rasio ini merupakan perbandingan antara biaya operasional dengan pendapatan operasional dalam mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam menunjang kegiatan operasional. Semakin kecil rasio biaya operasional (BO) akan lebih baik, karena biaya yang dikeluarkan akan lebih kecil dibandingkan dengan pendapatan yang diterima (PO).
Rumus yang digunakan dalam menghitung REO adalah: REO = X 100%
2.4 Diversifikasi Pendapatan (DP)
Diversifikasi pendapatan adalah rasio penunjang terakhir yang digunakan untuk menilai rentabilitas bank syariah. Rasio diversifikasi pendapatan bertujuan untuk mengukur kemampuan bank syariah dalam menghasilkan pendapatan dari jasa berbasis fee. Rasio DP ini dihitung dengan membagi pendapatan berbasis fee dengan pendapatan dari penyaluran dana. Pendapatan berbasis fee merupakan pendapatan yang diperoleh bank dari jasa-jasa perbankan yang diberikan oleh bank syariah. Pendapatan dari penyaluran dana adalah pendapatan yang berasal dari penyaluran dana setelah dikurangi bagi hasil untuk investor dana investasi. Semakin tinggi pendapatan berbasis fee dapat mengindikasikan semakin berkurang ketergantungan bank terhadap pendapatan dari penyaluran dana.
DP = X 100%
2.5 Return on Equity (ROE)
Rasio ini merupakan rasio pengamatan. Return on Equity (ROE) adalah perbandingan antara laba bersih setelah pajak dengan modal sendiri (equity).
Rasio ini juga merupakan indikator yang sangat penting bagi para pemegang saham dan calon investor untuk mengkur kemampuan bank dalam memperoleh laba bersih yang terkait dengan pembayaran deviden.
ROE = X 100% Kenaikan rasio ini menunjukkan kenaikan laba bersih dari laba yang keseluruhan dan dikaitkan dengan kemungkinan pembayaran deviden. Semakin besar ROE maka kemampuan modal disetor bank dalam menghasilkan laba pemegang saham akan semakin besar.
Dalam menghitung rentabilitas bagi bank syariah menurut BI (2007), ROE merupakan rasio pengamatan (observed). Karena rasio pengamatan kriteria penilaian peringkat untuk rasio ini tidak ada. Maka dengan demikian tidak perlu dibuat pemeringkatan, dan komponen ini nantinya tidak dimasukkan dalam penilaian akumulatif kesehatan finansial bank syariah yang dihitung.
3. Likuiditas ( Liquidity)
Penilaian likuiditas terhadap bank syariah merupakan penilaian terhadap kemampuan bank dalam memelihara dan memenuhi kebutuhan likuiditas yang memadai dan kecukupan manajemen risiko likuiditas. Suatu bank syariah dikatakan likuid apabila mempunyai alat pembayaran berupa aset lancar lebih besar bila dibandingkan dengan seluruh kewajibannya sehingga dapat memenuhi semua utang-utangnya, terutama pemenuhan dana amanah dari masyarakat berupa tabungan, giro, deposito pada saat ditarik oleh shohibul maal maupun dalam rangka memenuhi semua komitmen dengan mudhorib terhadap pembiayaan yang telah disepakati.
Penilaian likuiditas terhadap bank syariah dilakukan menggunakan tiga komponen rasio sebagai berikut:
3.1 Short Term Mismatch (STM)
Rasio ini menghitung besarnya aset jangka pendek dibandingkan dengan kewajiban jangka pendek sehingga diketahui kemampuan bank syariah dalam memenuhi kebutuhan likuiditas jangka pendeknya. Rumus yang digunakan untuk menghitung Short Term Mismatch adalah:
STM = X 100% Yang dimaksud dengan aktiva jangka pendek adalah aktiva likuid kurang dari 3 bulan selain kas, Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) dan Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN) dalam laporan maturity profile yang terdapat dalam laporan berkala bank umum syariah. Kewajiban jangka pendek merupakan kewajiban likuid kurang dari 3 bulan yang terdapat dalam laporan maturity profile .
3.2 Short Term Mismatch Plus (STMP)
Rasio ini digunakan untuk menghitung kemampuan yang dimiliki bank syariah dalam memenuhi kewajiban jangka pendek dengan menggunakan aktiva jangka pendek berupa kas dan secondary reserve yang dimilikinya. Rumus yang digunakan untuk menghitung besarnya rasio ini adalah:
STMP= X 100%
Kas adalah uang tunai dan secondary reserve mencakup Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) ditambah dengan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Sedangkan aktiva jangka pendek dan kewajiban jangka pendek sebagaimana telah dijelaskan di atas.
3.3 Rasio Antar Bank Pasiva (RABP)
Rasio Antar Bank Pasiva (RABP) merupakan rasio pengamatan dalam perhitungan likuiditas bank syariah dan tidak ditetapkan kriteria penilaian.
Rasio ini digunakan untuk mengukur tingkat ketergantungan bank syariah pada dana antar bank. Nilai RABP didapatkan dengan membandingkan nilai antar bank pasiva dengan total kewajiban. Nilai antar bank pasiva merupakan semua kewajiban bank syariah kepada bank lain. sedangkan total kewajiban terdiri dari dana pihak ketiga, antar bank pasiva, pinjaman yang diterima, dan surat berharga yang diterbitkan.
Masing-masing komponen penilaian kesehatan keuangan yang telah dijelaskan memiliki kriteria tersendiri. Adapun kriteria komponen penilaian kesehatan keuangan tersebut digambarkan pada Tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1 Kriteria Komponen Penilaian Kesehatan Keuangan Kompoen Penilaian Peringkat1 Peringkat 2 Peringkat 3 Peringkat 4 Pering kat 5 Kualitas Aset
- KAP >99% 96% < KAP ≤ 99% 93% < KAP ≤ 96% 90%<KAP≤ 93% ≤ 90%
- NPF <2% 2% < NPF <5% 5% <NPR < 8% 8% <NPF<12% ≥ 12%
- NOM >3% 2%<NOM<3% 1,5%<NOM<2% 1%<NOM<1,5% <1%
- ROA >1,5% 1,25%<ROA<1,5 % 0,5%<ROA<1,25 %
- REO ≤ 83% 83%<REO≤85% 85%<REO≤87% 87%<REO≤89% >89%
- DP >12% 9%<DP≤12% 6%<DP≤9% 3%<DP<6% ≤3%
- ROE - - - - -
Rentabilitas
0%<ROA<0,5% <0%
Likuiditas
- STM >25% 20%<STM<25% 15%<STM<20% 10%<STM<15% <10%
- STMP >50% 40%<STMP<50% 30%<STMP<40% 20%<STMP<30% <20%
Sumber: Lampiran SE-BI No.9/24/DPbS 2007, Setiawan (2008)
2.1.3 Penilaian Kesehatan Bank Syariah
Setelah kita menghitung rasio-rasio yang dibutuhkan dalam menilai kinerja keuangan bank syariah, maka hal selanjutnya yang dilakukan adalah menghitung nilai kumulatif dari pembobotan faktor keuangan tersebut. Pembobotan ini dilakukan berdasarkan ketetapan BI tahun 2007.
Tabel 2.2 Bobot Penilaian Faktor KeuanganKeterangan Bobot
Peringkat Faktor Permodalan 25% Peringkat Faktor Kualitas Aset 50% Peringkat Faktor Rentabilitas 10% Peringkat Faktor Likuiditas 10% Peringkat Faktor Sensitivitas atas Risiko Pasar 5%
Sumber: Lampiran SE-BI No.9/24/DPbS 2007, Setiawan (2008)
Penelitian kali hanya menggunakan tiga peringkat faktor dalam menghitung kesehatan bank syariah yaitu faktor kualitas aset (Asset Quality), Rentabilitas (Earnings), dan Likuiditas (Liquidity). Untuk itu diperlukan adanya pennyesuaian terhadap bobot penilaian yang menjadi standarisasi BI. Tiga peringkat faktor perhitungan kesehatan keuangan bank syariah tersebut terlihat pada Tabel 2.3 berikut ini.
Tabel 2.3 Penyesuaian Bobot Penilaian Faktor KeuanganKeterangan Penyesuaian Bobot Akhir
50/70 70% Peringkat Faktor Kualitas Aset Peringkat Faktor Rentabilitas 10/70 15% Peringkat Faktor Likuiditas 10/70 15%
Total nilai bobot 70/70 100% Sumber: Penyesuaian dengan mengacu SE-BI No.9/24/DPbS, 2007
Setelah melakukan penyesuaian maka nilai bobot akhir tetap bernilai 100%. Peringkat kualitas aset berubah dari 50% menjadi 70%, untuk bobot rentabilitas berubah dari 10% menjadi 15%, dan yang terakhir likuiditas juga berubah menjadi 15%. Untuk penentuan angka kredit maka diberikan nilai masing-masing sebagai berikut: Peringkat 1 mendapatkan angka kredit 100, Peringkat 2 memiliki angka kredit 80, peringkat 3 mendapat angka kredit 60, dan begitu seterusnya untuk peringkat 4 dan 5 masing-masing mendapatkan angka kredit 40 dan 20.
Tahapan terakhir dalam menentukan kesehatan suatu bank adalah mengklasifikasikan sebuah bank syariah kedalam predikat suatu bank berdasarkan sehat atau tidak sehatnya bank yang dapat dilihat melalui Tabel 2.4 berikut.
Tabel 2.4 Predikat Kesehatan Keuangan BankPredikat Nilai Kredit
81 Sehat
- – 100 66 <81 Cukup Sehat 51 < 66 Kurang sehat 0 < 51 Tidak Sehat
Sumber: Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Mengacu Ketentuan BI, Rivai dan Arifin
(2010:849)2.1.4 Kinerja Sosial
Kinerja sosial adalah aktivitas-aktivitas perusahaan dalam melaksanakan suatu bentuk tanggung jawab sosial selain melakukan kegiatan operasional perusahaan (Zubaidah, 2003). Bank syariah sebagai bagian perusahaan perbankan juga wajib melaksanakan kinerja sosial dalam bentuk tanggung jawab sosial kepada stakeholdernya. Tanggung jawab sosial adalah komitmen perusahaan untuk terus-menerus bertindak secara etik, beroperasi berdasarkan hukum dan bermanfaat dalam upaya meningkatkan ekonomi, bersamaan dengan meningkatkan kualitas hidup dari para pekerja dan keluarganya, juga peningkatan kualitas hidup masyarakat setempat dan masyarakat secara luas (Wibisono dalam Siagian, 2010:64).
Elkington dalam Siagian (2010:49) mengatakan bahwa jika para pelaku usaha ingin aktivitasnya berjalan dengan baik, maka para pelaku usaha tidak boleh berorientasi pada satu fokus berupa keuntungan, melainkan harus tiga fokus yang disebut dengan konsep “3P” yaitu Profit, People, dan Planet. Konsep 3P disebut juga dengan istilah Triple Bottom Line yang digambarkan dalam Gambar 2.4 berikut.
People
Planet Profit
Sumber: Elkington dalam Siagian 2010
Gambar 2.4 Triple Bottom LineGambar 2.4 menjelaskan bahwa suatu perusahaan tidak hanya dihadapkan pada unsur ekonomi yang diukur berdasarkan keadaan keuangan sebagaigambaran tingkat dan besarnya keuntungan perusahaan. Saat ini perusahaan dihadapkan pada tiga dasar tanggung jawab, yaitu selain mengejar keuntungan perusahaan (Profit), harus juga memperhatikan aspek sosial kesejahteraan masyarakat sekitarnya (People) serta pelestarian lingkungan (Planet).
Secara ekonomi Islam, tanggung jawab sosial juga dapat dijelaskan seperti berikut ini. Chapra dalam bukunya Islam dan Tantangan Ekonomi (1999:8) mengatakan bahwa
“Tujuan strategi sistem ekonomi Islam didasarkan pada konsep- konsepnya sendiri mengenai kesejahteraan manusia (falah) dan kehidupan yang baik (hayat thayyibah) yang memberikan nilai sangat penting bagi persaudaraan dan keadilan sosioekonomi dan menuntut suatu kepuasan yang seimbang baik kebutuhan materi maupun rohani dari seluruh umat manusia”. Tujuan dan strategi ekonomi yang dilaksanakan bank syariah sejalan dengan yang dikemukakan oleh Chapra di atas. Bahwa ekonomi Islam menginginkan adanya kesejahteraan, keadilan, dan keseimbangan kebutuhan dalam segala aktivitas termasuk aktivitas perbankan.
Bank syariah dalam operasionalnya menjalankan setiap kegiatannya didasarkan pada prinsip syariah seperti yang dikemukakan dalam pasal 1 ayat 12 Undang-undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Prinsip syariah menekankan bahwa pelaku ekonomi untuk selalu menjunjung etika dan moral hukum dalam kegiatan ekonomi. Realisasi dari konsep syariah, pada dasarnya sistem ekonomi/bank syariah memiliki tiga ciri yang mendasar, yaitu prinsip keadilan, menghindarkan kegiatan yang dilarang, serta memperhatikan aspek kemanfaatan (Zainuddin Ali, 2008:20).
Selain sebagai badan usaha yang menjalankan bisnis, Rivai dan Arifin (2010:210) mengatakan bank syariah juga turut aktif dalam kegiatan sosial melalui berbagai kegiatan antara lain: a)
Mempunyai divisi yang menerima dan menyalurkan zakat, infak, dan sedekah .
b) Memberikan pinjaman kebajikan tanpa bunga (qardhul hasan)
c) Menyisihkan sebagian laba untuk kegiatan sosial,seperti memberikan beasiswa.
Fungsi sosial bank syariah juga dapat dilihat melalui produk yang dikeluarkannya. Produk tersebut adalah Al-Qard, yaitu perjanjian pinjam meminjam uang atau barang dengan tujuan untuk membantu penerima pinjaman. Pada saat pengembalian pinjaman, si peminjam mengembalikan pinjaman dengan sama jumlah yang sama. Apabila tidak mampu membayar, si peminjam tidak boleh diberikan sanksi. Karena prinsip kerelaan hati inilah, maka bank syariah satu- satunya lembanga keuangan yang rela membantu masyarakat yang membutuhkan.
Penelitian pada bank syariah banyak yang hanya terfokus pada penelitian terhadap kinerja bisnis dan keuangan. Padahal sistem yang dilakukan oleh bank syariah lebih unik karena adanya kinerja sosial yang dilakukannya demi terwujudnya tujuan sistem ekonomi Islam dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Karakter unik ini yang mendukung pakar perbankan syariah Internasional untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja sosial pada bank syariah. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Hameed,dkk (2004) yang menggunakan konsep muhasabah. Muhasabah merupakan representasi yang mendasar dari evaluasi kinerja, yang bisa diterapkan untuk individu atau perusahaan. Hal ini kemudian menjadi landasan filosofis penting mengapa perlu dilakukan evaluasi kinerja bagi bank syariah, termasuk kinerja sosialnya yang digunakan bank syariah sebagai kontrol pengukur yang dapat membantu kinerja bank syariah di masa yang akan datang.
Samad dan Hasan (2000) melakukan penelitian terhadap rasio keuangan seperti profitability ratio, liquidity ratio, risk and solvency ratio juga menggunakan rasio-rasio perhitungan komitmen perbankan syariah terhadap pembangunan ekonomi dan masyarakat muslim (commitment to domestic and
Muslim community ). Adapun rasio tambahan tersebut adalah:
1. Long Term Loan Ratio (LTA)
2. Government Bond Investment Ratio (GBD) 3. Mudarabah-Musharakah Ratio (MM/L).
Hameed, et al. (2004) dengan judul penelitian Alternative Disclosure
dan Performance for Islamic Bank’s, merumuskan apa yang disebut “Islamicity Performance Index”. Dalam metode pengukuran kinerja bagi
bank syariah tersebut rasio keuangan yang digunakan antara lain:
1. Profit Sharing Ratio (Mudarabah+Musyarakah/Total Financing) 2.
Zakat Performance Ratio (Zakat/Net Asset) 3. Equitable Distribution Ratio 4. Directors-Employees Welfare Ratio ( Average directors’remuneration/Average employees’ welfare)
5. Islamic Investment vs Non-Islamic Investment Ratio 6.
Islamic Income vs Non-Islamic Income Ratio .
Penelitian yang dilakukan Hameed, et al. (2004) dilakukan pada bank kinerja Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) dan Bahrain Islamic Bank (BIB).
Islamicity Performance Index yang digunakan menghitung seberapa besar
kinerja sosial yang dilakukan oleh kedua bank syariah tersebut.Dengan menggabungkan rasio-rasio yang digunakan oleh Samed dan Hasan (2000), Hameed, et al. (2004), rasio keuangan yang telah menjadi ketetapan Bank Indonesia, serta Setiawan (2008) maka penelitian kinerja sosial saat ini dilakukan melalui pendekatan Kontribusi Pembangunan Ekonomi (KPE), Kontribusi Kepada Masyarakat (KKM), Kontribusi Untuk Stakeholder (KUS), dan Peningkatan Kapasitas SDI dan Riset (PKSR). Adapun penjelasan dari penelitian kinerja sosial tersebut adalah sebagai berikut.
1. Kontribusi Pembangunan Ekonomi (KPE)
Kontribusi Pembangunan Ekonomi (KPE) bertujuan untuk menilai peran perbankan syariah dalam pembangunan ekonomi bagi umat dan masyarakat secara umum. Pembangunan adalah suatu proses yang kompleks: kondisi ekonomi, politik, religius, sosial dan kultural yan menguntungkan (Manan, 1997:380). Evaluasi KPE dihitung dari aspek Intensitas Pembiayaan Profit Sharing (MMR), Intensitas Fungsi Agency (AR), Kontribusi Pembangunan Jangka Panjang (KPJP), dan Pendalaman Fungsi Agency (PFA).
1.1 Intensitas Pembiayaan Profit Sharing (MMR)
Rasio intensitas pembiayaan profit sharing atau mudharabah-musyarakah
ratio (MMR) digunakan untuk mengukur besarnya fungsi intermediasi bank
syariah melalui penyaluran dana dengan akad profit sharing. Hameed, dkk (2004) menyatakan bahwa sasaran utama dari bank syariah adalah profit
sharing , sehingga bank syariah harus bisa melihat seberapa besar profit sharing
yang ia dapatkan. Perhitungan rasio ini dapat dilakukan sebgai berikut: MMR = X 100% Samad & Hasan (2000) semakin tinggi rasio pembiayaan ini menunjukkan komitmen kepada pembangunan komunitas yang lebih tinggi.
Semakin besar hasil rasio MMR maka kontribusi bank syariah untuk pengembangan sektor usaha dan pembangunan ekonomi umat semakin besar.
Kriteria penilaian peringkat untuk rasio MMR adalah: Peringkat 1 = MMR > 50%; Peringkat 2 = 40% < MMR ≤ 50%; Peringkat 3 = 30% < MMR ≤ 40%; Peringkat 4 = 20% < MMR ≤ 30%; dan Peringkat 5 = MMR ≤ 20%.
1.2 Rasio Intensitas Fungsi Agency (AR)
Perhitungan rasio intensitas fungsi agency (AR) pada bank syariah digunakan untuk mengukur besarnya fungsi agency bank syariah dalam menghimpun dana investasi masyarakat. Dana investasi masyarakat ini berupa dana pihak ketiga (DPK) profit sharing yang dikumpulkan dari tabungan dan deposito mudharabah dengan menggunakan metode bagi hasil (profit sharing). Untuk menghasilkan nilai dari rasio AR ini, DPK profit sharing dibagi dengan DPK total.
AR = X 100%