NYAMUK AEDES A E m T I DAN
PATOGENITAS CENDAWAN BEAWERL4 & 4 S S m A TERHADAP
LARYA NYAMUK AEDES A E m T I DAN CULEX PIPZENS QUINQUEFASCL4TUS
DI LABORATORIUM*
Amrul Munii* dan Mardianae*
ABSTRACT
The capability of Beauveria bassiana fiutgus to kill mosquito larvae war challenged with Aedes
aegypti and Culex pipiens quinquefasciatus in a study conducted at the entomology laboratory of
the Health Ecology Research Centre. Cx p. quinquefeasciatus was more sensitive compand to Ae.
aegypti to the B. bassiana sbain from Sukamandi (West lava), which isprobably due to the mosquitoes
behaviour and c o n i d i o s p larvacidal effect. Conidia dust application, with a dosage of 2.2 mglliter;
to water su$ace, within 48 hours was able to kill almost all the Cx p. quinquefasciatus. However
a dosage of 4 mglliter was required to kill all the Ae.aegypti And a dosage of 1.3 mg conidiosporelliter
is able to kill 50% Cx p. quinquefasciatus. It seems that B. bassiana has greater capability to eradicate
Cx p. quinquefasciatus compared to Ae. aegypti
PENDAHULUAN
Pengendalian serangan vektor secara
biotik, yang d i k e d sebagai pengendali hayati
atau "biological control", adalah suatu upaya
dengan manfaatkan penggunaan agen biotik
diantaranya musuh alam sepertiparasit patogen
dan predator. Mekanisme ini merupakan suatu
pengaturan keseimbangan alam terhadap
populasi serangga vektor di alam.
Konsep mengenai pengendalian biotik
sudah dikenal sejak dahulu dan pada tahun 1762
di Afrika telah tercatat dengan ditemukannya
predator burung sebagai pemakan belalang.
Tahun 1889 merupakan tonggak sejarah
keberhasilan pengendalian biotik yaitu
ditemukannya predator Icemya purchasi, yang
dibawa dari Australia ke californial. Sejak
tahun 1940sampai dewasa ini telah berkembang
secara luas usaha pengendalian hayati seperti
yang telah banyak dikerjakan di Canada dan
California. Dari berbagai usaha pengendalian
vektor secara biotik dengan memanfaatkan
musuh dam dari parasit salah satu di antaranya
adalah penggunaan cendawan patogen
terhadap larva nyamuk.
Agostine Basi adalah orang yang
pertama kali mempelajari tentang penyakit
cendawan yang menyerang ulat sutera pa&
tahun 1835. Sejak itu maka lahirlah pemikiran
pemakaian cendawan dalam pengendalian
biotik, suatu usaha yang telah diriitis 50 tahun
sebelumnya. Metschnikoff pada tahun 1879 dan
Krassilschik tahun 1888 merupakan ahli-ahli
yang pertama kali berhasil mengisolasi dan
Makalah ini telah disajikan dalarn pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia di Bogor,
Tgl. 2-3 Des. 1991.
** Staf Peneliti, Puslit Ekologi Kesehatan, Badan Litbang Kesehatan Jakarta.
mengembangbiakkan cendawan dari spesies
Methahizium anisophilae yang digunakan
untuk menanggulangi populasi "Cockchafer"
dari s p i e s Anisoplia austiae2.
Cendawan jenis ini sebelum Perang Dunia
II secara khusus telah digunakan selama 10
sampai 15 tahun dalam pengendalian serangga
hama. Penggunaan cendawan maju pesat karena
pada saat itu telah diketahui bahwa
penanggulangan hama dari vektor dengan
pestisida dapat menimbulkan dampak
lingkungan yang negatif. Langkah ini
merupakan salah satu alternatif mencari cara
penanggulangan yang tidak menimbulkan
dampak negatif. Beberapa genus cendawan
telah clikenal dan dipelajari sejak tahun 1930
yang berperan sebagai agen untuk pengendalian
biotik yang potensial terhadap larva nyamuk
yang hidup di air tawar maupun payau.
Cendawan tersebut di antaranya Beauveria,
Culicinomyces, Lagenidium, Metharhizium,
Coelomomyces dan Saprolegnales 3. Cendawan
Beauveria termasuk kelompok cendawan yang
tidak sempurna "fungi imperfect" dari kelas
Deutereromycetesyang telah diproduksi secara
besar-besaran untuk penanggulangan hama
tanaman sayur di Cina dan Rusia2.
Cendawan ini banyak ditemukan dari hail
isolasi serangga yang telah mati, produksi
konidia berjalan dengan baik dan mempunyai
daya infeksi tinggi merupakan ciri khas dari
Beauveria. Beauveria mempunyai miselium
berwarna putih atau terang dengan kondiospora
sendiri-sendiri. Percabangan miselium
tertumpu pada satu tempat dan secara
mikroskopis pada media terlihat butiran tepung
Konidiospora dapat hidup pada suhu
udara 2 5 ' ~sampai 30°c, dengan pH netral dan
selalu ditemukan bersama-sama Penicillium
urtucae pada tanah berair5. Penelitian
efektivitas B. bassiana terhadap larva nyamuk
spesies Clr tarsalis, Clr p. quinquefarciatus, An.
Ae. siemnsis dan An.
maculahts, B. bassiana menunjukkan bahwa
cendawan ini sangat efektif membunuh larva
genus tertentu saja, dengan cara konidiospora
yang ditebar pada permukaan air. Konidiospora
akan menyerang lubang peris irakel dan bagian
sifon dari larva nyamuk< Aplikasi pada
berbagai genus serangga hama tanaman telah
berhasil menginfeksi dengan baik disertai suatu
pertumbuhan yang optimal (94%) pada
kelembaban 40% sampai 50%~.Jumlah spora
yang biasa digunakan dalam usaha aplikasi
terhadap serangga hama tanaman adalah
seban ak 1013 sampai 1017 untuk satu hektar
lahan . Untuk melihat sejauh mana pengaruh
galur B. bmsiana asal Sukamandi (Jawa Barat)
terhadap larva nyamuk tertentu kiranya perlu
dilakukan suatu pengamatan laboratorium
terlebii dahulu.
albimanus, Ae. ae&
7
BAHAN DAN CARA
Beauveria bassiana yang digunakan
berasal dari tubuh hang serangga Physomerus
sp. (walang sangit) yang terinfeksi di
persawahan Sukamandi. Cendawan diambil
dengan alat scalpel yang steril kemudian
ditanam pada media agar Sabouraud dekstrosa
dan disimpan dalam alat pengeram dengan suhu
25'~. Kemudian dilakukan isolasi cendawan B.
bassiana dalam 50 buah cawan petri untuk
memperoleh konidiospora. Setelah 2 (dua)
minggu, cendawan akan menghasilkan
konidiospora. yang selanjutnya dipanen.
Konidiospora yang terkumpul disimpan dalam
alat pengering pada suhu 8 ' ~sebelum
digunakan. Aplikasi konidiospora pada
permukaan air dilakukan dengan berbagai dosis
yang berbeda, masing-masing 0,s mg, 1 mg,
2 mg, 4 mg dan 8 mg persatu liter air. Dalam
setiap pengujian selain untuk memperoleh
angka kematian separuh dari larva uji juga
ditentukan persentase keberhasilan hidup larva
menjadi nyamuk dewasa.
Inang dari serangga percobaan ini
digunakan lama instar 1 (satu) dari Ae&s
aegypti dan Culex p. quinquefasciatus. Kedua
spesies larva ini diperoleh dari hasil pembiakan
d
i laboratorium Entomologi, Puslit Ekologi
Kesehatan. Di laboratorium larva dikontakkan
dengan konidiospora yang ditebar pada
permukaan air dalam gelas ukur. Setiap gelas
ukur berisi 1OOO cc air ditambahkan 25 ekor
larva pada setiap perlakuan dosis. Pemberian
konidiospora diulang 4 kali untuk setiap
konsentrasi konidiospora dan spesies larva
nyamuk. Sebelum kontak dengan konidiospora,
larva diberi makan pelet yang telah dihaluskan
terlebii dulu.
.
Perhitungan konidiospora pada setiap
dosis dilakukan setelah diaduk dalam satu liter
air kemudian diambid dengan pipet. Pipet yang
berisi air dan konidiospora diteteskan pada
permukaan kaca benda kemudian dilihat
dengan mikroskop dan dihitung jumlah
sporanya. Untuk memperoleh kepastian jumlah
Tabel 1.
spora pada setiap dosis, terlebih dicari nilai
multiplication factor yang dikalikan dengan
jumlah spora yang terlihat pada kaca benda.
Cara mencari nilai multiplication fator
adalah sebagai berikut :
Multiplication factor
10
18 x 13
-1 1
1
avkw
qol
1
7
7
18 x 18
Multiplication factor
Z
2%
1
)(
- m@b
z
20 I416
Jadi hasil jumlah spesimen yang ditemukan di
bawah mikroskop dikalikan dengan
multiplication factor, misalnya ditemukan 10
konidiospora maka jumlah konidiospora dalam
satu liter adalah 253l2,5 spora.
HASIL
Hasil pengujian konidiospora Beauveria
basssiana terhadap larva nyamuk Cx. p.
quinq~~ejiucidus
disajiian dalam tabel 1.Data
~ersentasekematian larva Qc p. quinquefarciufus dengan berbagai
dosis konidiospora B. bczssiana di laboratorium selama 48 jam.
Jumlah konidiospora dalam 1 mgA .= 595 x 1$
34
z
pada dosis paling rendah yaitu 0J @ter air
diperoleh angka kematian s e w a kumulatif
sebesar 35,7%. Setelah larva kontak dengan
konidiospora B. bassima maka larva akan mati
separuhnya pada dosis diantara 1,O mgfliter
dengan 2 mgfliter air.
Analisis secara regresi untuk mematikan
separuh larva uji Czp.quinqucfasciutus pada
dosis 1,2 mg konidiospordl liter air selanjutnya
untuk mematikan seluruh larva uji di perlukan
5 2 @ter air. Secaraumum terlihat B.bassima
Tabel 2.
.sangat efektif untuk mtlltkan pop&& Lm
nyamuk Cr. p. ~ a s c i a t u hal
s ini a m p
dengan hasil penelitian Clark et al, 1%8 @
dosis 1,77 X 1d konidiospora/mg m.nrpu
membunuh larva 88,3 % Clcp.
pada metode spora terapuag.
Hasil uji konidiospora B. barsiaaa
terhadap larva nyamuk Ae&s aegypti
tampaknya kurang efektif dengan cara
penaburan di permukaan air yang tatem p d a
tabel 2.
w-
Persentase kematian larva nyamuk Ae.e
dcngan bubagrri Qfie
konidiospora B. bassima di laboratorium selama 48 jam.
Jumlah konidiospora dalam 1 mg/lt = 1,95 x 1$
Dosis terendah B. bassiana terhadap
larva Ae. aegepti ternyata tidak memberikan
daya bunuh setelah kontak 48 jam. Dosis yang
diperlukan untuk mematikan separuh larva uji
dari hasil regresi diperoleh 1,3 mg/liter air.
Selanjutnya untuk mematikan seluruh larva uji
Ae. uegypti diperlukan dosis 4 mg konidiospord
liter air. Hasil ini nampahya menunjukkanAe.
aegypti lebii tahan dibandingkan larva nyamuk
Cr. p. quinquefasciatus terhadap serbuk
konidiospora pada keadaan dosis yang sama.
Beauveria bassiana terhadap larva nyamuk
Ae-aegypti kurang mempunyai pengaruh daya
bunuh, namun pa& dosis pplibe tinggi y d h ~
4 mg dan 8 mg/liter air tcrlihat cukup toksia
Dilihat dari perkembangan keberhadm hum
menjadi nyamuk dewasa temyata prplUi dengau
besarnya pemberian dasis.Pada do& teruubh
persentase yang menjadi nyamuk, seppruh kkda
pada Cz p. quinqucficiutus, scbaUnya pa&
Ae.aegypti keseluruhannya menjadi dewasa
(%be1 3). Dengan penggunaan dosis &yak
2 mglliter air, hanya 3,s % larva nyamuk
Czp.quinquefarciianc yang berhasil menjadi
bentuk dewasa, tetapi do& ini hanya b e r m
menekan separuh dati populasi 1arv.aAMicgWb'
untuk berkembang ke bentuk dewasa.
Tabel 3.
Perbeclaan keberhasilan larva nyamuk Clc p. quinquefosccioncs don
Ae.aegypti secara kumulatif menjadi nyamuk dewasa setelah kontak
dengan berbagai dosis konidiospora B. bossiona.
PEMBAHASAN
Sebelumnya dilakukan suatu pengamatan
pendahuluan tentang konidiospora B.bassiana
yang ditebarkan pada permukaan air untuk
dapat membunuh larva s e w a efektif. Kepastian
larva yang mati akibat pemberian konidiospora
pada saat pengujian ternyata terlihat pada
bagian lubang perispiracularyang terletak pada
sifon mulai adanya cendawan yang tumbuh.
Setelah aplikasi 24 jam konidiospora tumbuh
dengan baik pada suhu air 2 5 0 ~ .Dua hari
kemudian miselium tumbuh memenuhi ruang
"germ tube" yang kemudian akan melakukan
penetrasi ke lubangperispiracular. Penembusan
miselium pada organ tubuh ini juga dapat
mengakibatkan kematian larva. Hal ini sesuai
yang dikemukakan oleh Cole dan Kendrick,
1981. Dalam waktu tiga hari bagian apex dari
sifon akan berwarna hitam. Warna hitam ini
ternyata disebabkan adanya melanisasi oleh
hipa. Biasanya ukuran sifon yang terkena
mencapai l/2 atau V3 bagian dari panjang sifon.
Sesudah empat hari seluruh ruangan sifon akan
terisi oleh miselium dan badan hipa yang
merupakan tanda terserangnya hemosul. Larva
akan mengalami kematian setelah pemaparan
2 hari sampai 4 hari. Larva yang berhasil tetap
hidup clan berkembang ke bentuk dewasa pada
umumnya terlihat setelah pemaparan 4 hari,
dalam hal ini larva berubah menjadi pupa dan
kemudian bentuk dewasa.
Perbedaan s e w a kumulatif keberhasilan
dua genus larva kemungkinan disebabkan
adanya perilaku larva nyamukAcaegypl dengan
Cr.p.quinquefasciams. Cr.p.quinquefosciatus
lebih aktif bergerak sehingga peluang untuk
memperoleh konidiospora lebih cepat
dibandingkan denganAe.aegypfi Tidak tertutup
kemungkinan lain disebabkan adanya
perbedaan virulensi yang terkandung pada
setiap dosis, sehingga mengakibatkan ada yang
sangat toksii8.
1.
Cara pemberian konidiospora cendawan
B.bassiana akan mempengaruhi virulensi
cendawan terhadap nyamuk.
2.
Larva nyamuk Cxp.quinquefasciatus lebii
peka dibandiigkan dengan larva Aedes
aegypti terhadap pemaparan dengan
serbuk konidiospora pada permukaan air
dengan dosis 2,2 mg/liter air.
DAFTAR RUJUKAN
1.
Legner, H. (1986) Impotation of uotik natural
enemies. Gustaf Fsher Verlag Stuttgart. New Yo*
: 217-231.
2.
Zimmennan (1986) Insect pathogenic fungi as pest
control agent In. cd. J. Franz. Biological Plant and
Health Protection. Gustaf Fsher Yerlaggstuttgast.
New York. 309 hal.
3.
Brown, H. (1973) Mosquito Control Some
Perspectives for developing Countries, National
Academy of Sciences. Washington. 64 hal.
4.
Barnett, H.L (1960) Illustrated genera of imperfect
Fungi. Second Edition. BurgessPublishing
Company.
5.
Linng and Donaldson. (1981) Biotik and Abiotik
factors affecting stability of Beauveria bassiana
conidia in soil. Journal of Invertebrata Fathology.
38; 191-200.
6.
Clark, T. B., W. R Kellan, T. Fukuda and J.E
Lindegren. (1968) Field and Laboratory Studies on
the Pathogenicity of the Fungus Beaweria bassiana
t o three genera of Mosquitoes Journal of
Invertebrata Pathology 11; 1-7.
7.
Fenon, P. (1978). Biological control of insect pest
by entomologenous fungi. Annv. Rev. Entomology.
23; 409-442.
8.
Cole, T.G. and B. Kendrick, (1981). Biology of
Conidial Fungi. Academy Press. New York. Toronto.
Sydney San Fransisco. Vol. 2, 201-207.
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti mengucapkan banyak terima kasih
kepada Kepala Badan Penelitian d a n
Pengembangan Kesehatan dan Kepala Pusat
Penelitian Ekologi Kesehatan atas segala saran
dan petunjuk yang diberikan selama
dilaksanakannya penelitian ini. Terima kasih
disampaikan pula kepada Dr Baehaqi S.E. dan
Ir Yulianto di Pusat Penelitian Tanaman Pangan
Sukamandi,Jawa Barat serta Dr. Moh. Sudomo
yang telah banyak membantu terlaksananya
penelitian ini sarnpai dipublikasikannya tulisan
ini.
BuL Penelit. Kesehat (3) 1991
LARYA NYAMUK AEDES A E m T I DAN CULEX PIPZENS QUINQUEFASCL4TUS
DI LABORATORIUM*
Amrul Munii* dan Mardianae*
ABSTRACT
The capability of Beauveria bassiana fiutgus to kill mosquito larvae war challenged with Aedes
aegypti and Culex pipiens quinquefasciatus in a study conducted at the entomology laboratory of
the Health Ecology Research Centre. Cx p. quinquefeasciatus was more sensitive compand to Ae.
aegypti to the B. bassiana sbain from Sukamandi (West lava), which isprobably due to the mosquitoes
behaviour and c o n i d i o s p larvacidal effect. Conidia dust application, with a dosage of 2.2 mglliter;
to water su$ace, within 48 hours was able to kill almost all the Cx p. quinquefasciatus. However
a dosage of 4 mglliter was required to kill all the Ae.aegypti And a dosage of 1.3 mg conidiosporelliter
is able to kill 50% Cx p. quinquefasciatus. It seems that B. bassiana has greater capability to eradicate
Cx p. quinquefasciatus compared to Ae. aegypti
PENDAHULUAN
Pengendalian serangan vektor secara
biotik, yang d i k e d sebagai pengendali hayati
atau "biological control", adalah suatu upaya
dengan manfaatkan penggunaan agen biotik
diantaranya musuh alam sepertiparasit patogen
dan predator. Mekanisme ini merupakan suatu
pengaturan keseimbangan alam terhadap
populasi serangga vektor di alam.
Konsep mengenai pengendalian biotik
sudah dikenal sejak dahulu dan pada tahun 1762
di Afrika telah tercatat dengan ditemukannya
predator burung sebagai pemakan belalang.
Tahun 1889 merupakan tonggak sejarah
keberhasilan pengendalian biotik yaitu
ditemukannya predator Icemya purchasi, yang
dibawa dari Australia ke californial. Sejak
tahun 1940sampai dewasa ini telah berkembang
secara luas usaha pengendalian hayati seperti
yang telah banyak dikerjakan di Canada dan
California. Dari berbagai usaha pengendalian
vektor secara biotik dengan memanfaatkan
musuh dam dari parasit salah satu di antaranya
adalah penggunaan cendawan patogen
terhadap larva nyamuk.
Agostine Basi adalah orang yang
pertama kali mempelajari tentang penyakit
cendawan yang menyerang ulat sutera pa&
tahun 1835. Sejak itu maka lahirlah pemikiran
pemakaian cendawan dalam pengendalian
biotik, suatu usaha yang telah diriitis 50 tahun
sebelumnya. Metschnikoff pada tahun 1879 dan
Krassilschik tahun 1888 merupakan ahli-ahli
yang pertama kali berhasil mengisolasi dan
Makalah ini telah disajikan dalarn pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia di Bogor,
Tgl. 2-3 Des. 1991.
** Staf Peneliti, Puslit Ekologi Kesehatan, Badan Litbang Kesehatan Jakarta.
mengembangbiakkan cendawan dari spesies
Methahizium anisophilae yang digunakan
untuk menanggulangi populasi "Cockchafer"
dari s p i e s Anisoplia austiae2.
Cendawan jenis ini sebelum Perang Dunia
II secara khusus telah digunakan selama 10
sampai 15 tahun dalam pengendalian serangga
hama. Penggunaan cendawan maju pesat karena
pada saat itu telah diketahui bahwa
penanggulangan hama dari vektor dengan
pestisida dapat menimbulkan dampak
lingkungan yang negatif. Langkah ini
merupakan salah satu alternatif mencari cara
penanggulangan yang tidak menimbulkan
dampak negatif. Beberapa genus cendawan
telah clikenal dan dipelajari sejak tahun 1930
yang berperan sebagai agen untuk pengendalian
biotik yang potensial terhadap larva nyamuk
yang hidup di air tawar maupun payau.
Cendawan tersebut di antaranya Beauveria,
Culicinomyces, Lagenidium, Metharhizium,
Coelomomyces dan Saprolegnales 3. Cendawan
Beauveria termasuk kelompok cendawan yang
tidak sempurna "fungi imperfect" dari kelas
Deutereromycetesyang telah diproduksi secara
besar-besaran untuk penanggulangan hama
tanaman sayur di Cina dan Rusia2.
Cendawan ini banyak ditemukan dari hail
isolasi serangga yang telah mati, produksi
konidia berjalan dengan baik dan mempunyai
daya infeksi tinggi merupakan ciri khas dari
Beauveria. Beauveria mempunyai miselium
berwarna putih atau terang dengan kondiospora
sendiri-sendiri. Percabangan miselium
tertumpu pada satu tempat dan secara
mikroskopis pada media terlihat butiran tepung
Konidiospora dapat hidup pada suhu
udara 2 5 ' ~sampai 30°c, dengan pH netral dan
selalu ditemukan bersama-sama Penicillium
urtucae pada tanah berair5. Penelitian
efektivitas B. bassiana terhadap larva nyamuk
spesies Clr tarsalis, Clr p. quinquefarciatus, An.
Ae. siemnsis dan An.
maculahts, B. bassiana menunjukkan bahwa
cendawan ini sangat efektif membunuh larva
genus tertentu saja, dengan cara konidiospora
yang ditebar pada permukaan air. Konidiospora
akan menyerang lubang peris irakel dan bagian
sifon dari larva nyamuk< Aplikasi pada
berbagai genus serangga hama tanaman telah
berhasil menginfeksi dengan baik disertai suatu
pertumbuhan yang optimal (94%) pada
kelembaban 40% sampai 50%~.Jumlah spora
yang biasa digunakan dalam usaha aplikasi
terhadap serangga hama tanaman adalah
seban ak 1013 sampai 1017 untuk satu hektar
lahan . Untuk melihat sejauh mana pengaruh
galur B. bmsiana asal Sukamandi (Jawa Barat)
terhadap larva nyamuk tertentu kiranya perlu
dilakukan suatu pengamatan laboratorium
terlebii dahulu.
albimanus, Ae. ae&
7
BAHAN DAN CARA
Beauveria bassiana yang digunakan
berasal dari tubuh hang serangga Physomerus
sp. (walang sangit) yang terinfeksi di
persawahan Sukamandi. Cendawan diambil
dengan alat scalpel yang steril kemudian
ditanam pada media agar Sabouraud dekstrosa
dan disimpan dalam alat pengeram dengan suhu
25'~. Kemudian dilakukan isolasi cendawan B.
bassiana dalam 50 buah cawan petri untuk
memperoleh konidiospora. Setelah 2 (dua)
minggu, cendawan akan menghasilkan
konidiospora. yang selanjutnya dipanen.
Konidiospora yang terkumpul disimpan dalam
alat pengering pada suhu 8 ' ~sebelum
digunakan. Aplikasi konidiospora pada
permukaan air dilakukan dengan berbagai dosis
yang berbeda, masing-masing 0,s mg, 1 mg,
2 mg, 4 mg dan 8 mg persatu liter air. Dalam
setiap pengujian selain untuk memperoleh
angka kematian separuh dari larva uji juga
ditentukan persentase keberhasilan hidup larva
menjadi nyamuk dewasa.
Inang dari serangga percobaan ini
digunakan lama instar 1 (satu) dari Ae&s
aegypti dan Culex p. quinquefasciatus. Kedua
spesies larva ini diperoleh dari hasil pembiakan
d
i laboratorium Entomologi, Puslit Ekologi
Kesehatan. Di laboratorium larva dikontakkan
dengan konidiospora yang ditebar pada
permukaan air dalam gelas ukur. Setiap gelas
ukur berisi 1OOO cc air ditambahkan 25 ekor
larva pada setiap perlakuan dosis. Pemberian
konidiospora diulang 4 kali untuk setiap
konsentrasi konidiospora dan spesies larva
nyamuk. Sebelum kontak dengan konidiospora,
larva diberi makan pelet yang telah dihaluskan
terlebii dulu.
.
Perhitungan konidiospora pada setiap
dosis dilakukan setelah diaduk dalam satu liter
air kemudian diambid dengan pipet. Pipet yang
berisi air dan konidiospora diteteskan pada
permukaan kaca benda kemudian dilihat
dengan mikroskop dan dihitung jumlah
sporanya. Untuk memperoleh kepastian jumlah
Tabel 1.
spora pada setiap dosis, terlebih dicari nilai
multiplication factor yang dikalikan dengan
jumlah spora yang terlihat pada kaca benda.
Cara mencari nilai multiplication fator
adalah sebagai berikut :
Multiplication factor
10
18 x 13
-1 1
1
avkw
qol
1
7
7
18 x 18
Multiplication factor
Z
2%
1
)(
- m@b
z
20 I416
Jadi hasil jumlah spesimen yang ditemukan di
bawah mikroskop dikalikan dengan
multiplication factor, misalnya ditemukan 10
konidiospora maka jumlah konidiospora dalam
satu liter adalah 253l2,5 spora.
HASIL
Hasil pengujian konidiospora Beauveria
basssiana terhadap larva nyamuk Cx. p.
quinq~~ejiucidus
disajiian dalam tabel 1.Data
~ersentasekematian larva Qc p. quinquefarciufus dengan berbagai
dosis konidiospora B. bczssiana di laboratorium selama 48 jam.
Jumlah konidiospora dalam 1 mgA .= 595 x 1$
34
z
pada dosis paling rendah yaitu 0J @ter air
diperoleh angka kematian s e w a kumulatif
sebesar 35,7%. Setelah larva kontak dengan
konidiospora B. bassima maka larva akan mati
separuhnya pada dosis diantara 1,O mgfliter
dengan 2 mgfliter air.
Analisis secara regresi untuk mematikan
separuh larva uji Czp.quinqucfasciutus pada
dosis 1,2 mg konidiospordl liter air selanjutnya
untuk mematikan seluruh larva uji di perlukan
5 2 @ter air. Secaraumum terlihat B.bassima
Tabel 2.
.sangat efektif untuk mtlltkan pop&& Lm
nyamuk Cr. p. ~ a s c i a t u hal
s ini a m p
dengan hasil penelitian Clark et al, 1%8 @
dosis 1,77 X 1d konidiospora/mg m.nrpu
membunuh larva 88,3 % Clcp.
pada metode spora terapuag.
Hasil uji konidiospora B. barsiaaa
terhadap larva nyamuk Ae&s aegypti
tampaknya kurang efektif dengan cara
penaburan di permukaan air yang tatem p d a
tabel 2.
w-
Persentase kematian larva nyamuk Ae.e
dcngan bubagrri Qfie
konidiospora B. bassima di laboratorium selama 48 jam.
Jumlah konidiospora dalam 1 mg/lt = 1,95 x 1$
Dosis terendah B. bassiana terhadap
larva Ae. aegepti ternyata tidak memberikan
daya bunuh setelah kontak 48 jam. Dosis yang
diperlukan untuk mematikan separuh larva uji
dari hasil regresi diperoleh 1,3 mg/liter air.
Selanjutnya untuk mematikan seluruh larva uji
Ae. uegypti diperlukan dosis 4 mg konidiospord
liter air. Hasil ini nampahya menunjukkanAe.
aegypti lebii tahan dibandingkan larva nyamuk
Cr. p. quinquefasciatus terhadap serbuk
konidiospora pada keadaan dosis yang sama.
Beauveria bassiana terhadap larva nyamuk
Ae-aegypti kurang mempunyai pengaruh daya
bunuh, namun pa& dosis pplibe tinggi y d h ~
4 mg dan 8 mg/liter air tcrlihat cukup toksia
Dilihat dari perkembangan keberhadm hum
menjadi nyamuk dewasa temyata prplUi dengau
besarnya pemberian dasis.Pada do& teruubh
persentase yang menjadi nyamuk, seppruh kkda
pada Cz p. quinqucficiutus, scbaUnya pa&
Ae.aegypti keseluruhannya menjadi dewasa
(%be1 3). Dengan penggunaan dosis &yak
2 mglliter air, hanya 3,s % larva nyamuk
Czp.quinquefarciianc yang berhasil menjadi
bentuk dewasa, tetapi do& ini hanya b e r m
menekan separuh dati populasi 1arv.aAMicgWb'
untuk berkembang ke bentuk dewasa.
Tabel 3.
Perbeclaan keberhasilan larva nyamuk Clc p. quinquefosccioncs don
Ae.aegypti secara kumulatif menjadi nyamuk dewasa setelah kontak
dengan berbagai dosis konidiospora B. bossiona.
PEMBAHASAN
Sebelumnya dilakukan suatu pengamatan
pendahuluan tentang konidiospora B.bassiana
yang ditebarkan pada permukaan air untuk
dapat membunuh larva s e w a efektif. Kepastian
larva yang mati akibat pemberian konidiospora
pada saat pengujian ternyata terlihat pada
bagian lubang perispiracularyang terletak pada
sifon mulai adanya cendawan yang tumbuh.
Setelah aplikasi 24 jam konidiospora tumbuh
dengan baik pada suhu air 2 5 0 ~ .Dua hari
kemudian miselium tumbuh memenuhi ruang
"germ tube" yang kemudian akan melakukan
penetrasi ke lubangperispiracular. Penembusan
miselium pada organ tubuh ini juga dapat
mengakibatkan kematian larva. Hal ini sesuai
yang dikemukakan oleh Cole dan Kendrick,
1981. Dalam waktu tiga hari bagian apex dari
sifon akan berwarna hitam. Warna hitam ini
ternyata disebabkan adanya melanisasi oleh
hipa. Biasanya ukuran sifon yang terkena
mencapai l/2 atau V3 bagian dari panjang sifon.
Sesudah empat hari seluruh ruangan sifon akan
terisi oleh miselium dan badan hipa yang
merupakan tanda terserangnya hemosul. Larva
akan mengalami kematian setelah pemaparan
2 hari sampai 4 hari. Larva yang berhasil tetap
hidup clan berkembang ke bentuk dewasa pada
umumnya terlihat setelah pemaparan 4 hari,
dalam hal ini larva berubah menjadi pupa dan
kemudian bentuk dewasa.
Perbedaan s e w a kumulatif keberhasilan
dua genus larva kemungkinan disebabkan
adanya perilaku larva nyamukAcaegypl dengan
Cr.p.quinquefasciams. Cr.p.quinquefosciatus
lebih aktif bergerak sehingga peluang untuk
memperoleh konidiospora lebih cepat
dibandingkan denganAe.aegypfi Tidak tertutup
kemungkinan lain disebabkan adanya
perbedaan virulensi yang terkandung pada
setiap dosis, sehingga mengakibatkan ada yang
sangat toksii8.
1.
Cara pemberian konidiospora cendawan
B.bassiana akan mempengaruhi virulensi
cendawan terhadap nyamuk.
2.
Larva nyamuk Cxp.quinquefasciatus lebii
peka dibandiigkan dengan larva Aedes
aegypti terhadap pemaparan dengan
serbuk konidiospora pada permukaan air
dengan dosis 2,2 mg/liter air.
DAFTAR RUJUKAN
1.
Legner, H. (1986) Impotation of uotik natural
enemies. Gustaf Fsher Verlag Stuttgart. New Yo*
: 217-231.
2.
Zimmennan (1986) Insect pathogenic fungi as pest
control agent In. cd. J. Franz. Biological Plant and
Health Protection. Gustaf Fsher Yerlaggstuttgast.
New York. 309 hal.
3.
Brown, H. (1973) Mosquito Control Some
Perspectives for developing Countries, National
Academy of Sciences. Washington. 64 hal.
4.
Barnett, H.L (1960) Illustrated genera of imperfect
Fungi. Second Edition. BurgessPublishing
Company.
5.
Linng and Donaldson. (1981) Biotik and Abiotik
factors affecting stability of Beauveria bassiana
conidia in soil. Journal of Invertebrata Fathology.
38; 191-200.
6.
Clark, T. B., W. R Kellan, T. Fukuda and J.E
Lindegren. (1968) Field and Laboratory Studies on
the Pathogenicity of the Fungus Beaweria bassiana
t o three genera of Mosquitoes Journal of
Invertebrata Pathology 11; 1-7.
7.
Fenon, P. (1978). Biological control of insect pest
by entomologenous fungi. Annv. Rev. Entomology.
23; 409-442.
8.
Cole, T.G. and B. Kendrick, (1981). Biology of
Conidial Fungi. Academy Press. New York. Toronto.
Sydney San Fransisco. Vol. 2, 201-207.
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti mengucapkan banyak terima kasih
kepada Kepala Badan Penelitian d a n
Pengembangan Kesehatan dan Kepala Pusat
Penelitian Ekologi Kesehatan atas segala saran
dan petunjuk yang diberikan selama
dilaksanakannya penelitian ini. Terima kasih
disampaikan pula kepada Dr Baehaqi S.E. dan
Ir Yulianto di Pusat Penelitian Tanaman Pangan
Sukamandi,Jawa Barat serta Dr. Moh. Sudomo
yang telah banyak membantu terlaksananya
penelitian ini sarnpai dipublikasikannya tulisan
ini.
BuL Penelit. Kesehat (3) 1991