Mengutuk Diri Menjadi Petani

  Membela Harga Diri, Menyuarakan Kata Hati: Perspektif Anak Seorang Petani

  Mengutuk Diri Menjadi Petani

  Sebuah Pengantar Singkat Upaya Pengentasan Jerat “Menjadi Buruh di ladang Sendiri”

  Para “Petani Gurem Lahan Marginal” Tepi Hutan Pegunungan Oleh:

  Surojoyo Kabupaten Rembang Dalam Pemenuhan Sektor Pangan KHOLIL LUR ROCHMAN

  Ditengah Konversi dan Eksploitasi Lahan Sebagai Imbas dari Kapitalisme Tebu Oleh

  Kholil Rachman dkk

  Ratapan Petani Kecil By. Anonymous

  Tanah adalah unsur terpenting dalam kegiatan pertanian. Tanah menjadi bagian dari diri

  Aku ini sakit,

  petani yang diikat oleh tradisi dan perasaan. Cara berpikir demikian tidak menuntut petani

  sementara kalian berseminar tentang keadaanku di Hotel-

  memiliki tanah, namun menguasai atau mengelola tanah sudah merupakan bagian dari kehidupan. Tanah subur, jaringan irigasi, dan subsidi pemerintah nyatanya tak cukup Hotel Mewah untuk mengangkat hidup Paiman (65), puluhan tahun membanting tulang di sawah, ia

  Aku ini lapar,

  akhirnya takluk oleh tuntutan kebutuhan hidup. Paiman adalah aktivis petani di

  sementara kalian menumpuk-numpuk laporan tentang

  wilayahnya. Ia menjabat Ketua Kelompok Tani Sido Mukti di Desa Jentir, akan tetapi, kebutuhan keluarga mengubur aktivitas itu. Lahan seluas 0,5 hektar (ha) warisan orangtua,

  keadaanku

  dijual untuk menyekolahkan anaknya. Pasangan Sunarwi (60)- Ngatmi (50) memiliki

  Aku ini terlantar,

  kisah yang nyaris sama. Ketiadaan uang untuk membayar biaya sekolah anak, berobat,

  dan kalian masih melakukan konferensi yang kurang berarti

  dan kebutuhan dapur memaksanya menyewakann 1 ha sawahnya di Desa Nglakeh, seharga Rp 20 juta ke Bos Tebu tahun 2010. Hingga lima tahun kemudian, keduanya

  Kalian Menjual kemiskinanku demi ambisi pribadi

  harus bekerja serabutan sebagai buruh tandur (tanam), tukang ngarambet (pembersih

  Kalian menyelidiki semua yang menjadi kekhawatiranku

  rumput liar), atau buruh panen, sekadar untuk bertahan hidup. Ketidakseimbangan pendapatan dan beban kebutuhan hidup mendorong petani gurem menjual dan namun sampai sekarang aku ini tetap sakit lapar dan terlantar menyewakan lahan. Akibatnya, mereka tidak hanya kian terjebak dalam kemiskinan, tetapi juga pada kekalahan karena kehilangan tanah

  Aku hanyalah anak petani gurem. Lahir jauh dari peradaban kota. Disebuah kampung kecil yang masyarakat sebut kampung Pandansili. Disinilah aku dilahirkan. Ditengah-tengah hiruk-pikuk

  Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kementrian Agama

  para petani yang berjuang untuk mencapai kesejahteraan. Daun

  Republik Indonesia

  tembakau, bulir-bulir padi, biji-biji jagung menjadi roda penggerak

  TAHUN 2015

  perekonomian masyarakat. Namun beberapa waktu lalu, terdengar kabar pembatasan produksi tembakau. Sungguh berita tersebut sangat menyayat masyarakat. Soalnya dari sekian tanaman yang dibudidayakan tembakaulah yang mampu memberikan nafas lebih dari tanaman yang lain. Dengan tembakaulah masyarakat dapat bertahan hidup lebih lama. Walaupun lahan pertanian dikampung kami tak begitu besar, namun menjadi harapan satu-satunya masyarakat.

  Aku ingin menengok kebelakang. Mengenang masa kecilku dulu. Mengenang masa-masa bermain dengan lumpur dan tanaman itu. duapuluh tahun yang lalu atau lebih aku masih kecil. Aku masih duduk di bangku SD. Aku belum mengenal mengenai bertani. Walaupun bapakku seorang petani. Walaupun kakek dan seluruh keluarga besarku seorang petani. Namun lembat laun seiring berjalannya waktu aku mulai terjun. Aku mulai turun. Aku mulai merasakan hidup sebagai petani. Awalnya aku hanya ikut membantu orang tua. Ketika itu usiaku baru menginjak SD. Bukan membantu sih, tapi lebih tepatnya mengganggu pekerjaan orang tua. Namun waktu berganti, hari berganti, minggu, bulan dan tahun berganti. Aku benar-benar terjun sebagai petani. Ketika duduk dibangku SMP aku mulai membantu lebih intensif pekerjaan orang tua. Sebagai petani gurem. Ketika musim tanam tiba. Aku membantu untuk Daud ( memanen benih padi yang telah ditanam untuk dibesarkan). Aku juga ikut tandur (menanam benih padi). Disaat padi mulai tumbuh aku ikut menyiangi atau orang kampung menyebutnya matun. Disaat musim panen tiba aku ikut derep (panen padi). Terus beranjak usia, aku beranikan diri untuk mencoba menerjunkan sepenuhnya untuk bertani. Aku sisikan waktu lebih dimasa SMA untuk mengurus ladang. Ketika itu aku kelas dua SMA. Dimusim tembakau aku niatkan untuk mencoba belajar menanam tembakau dari kecil sampai panen. Walaupun lahan yang aku coba tanami tidak begitu besar. Sekitar 1/8 HA. Dengan bantuan orang tua dan masukan dari berbagai orang didekatku sangat membantuku dalam bertani tembakau. Aku merasakan menjadi petani sebenarnya. Aku merasakan begitu nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan surya yang mengepakkan cahayanya aku telah berada di ladang kecil itu. Ditemani sebuah cangkul, arit, dan beberapa alat pertanian lain aku habiskan masa remaja ku itu. Aku menemukan kenikmatan itu.

  Aku menemukan kenikamatan ketika makan. Disaat keringat mulai bercucur deras di tubuhku. Disaat sinar mentari menghantam wajahku. Disitulah kenikmatan nasi bercampus sayur dan sebuah lauk tempe. Disaat siang yang menyala, disaat sore yang hangat aku merasakan semilirnya angin surga menerpaku. Aku merasakan kedamaain seorang petani. Aku merasakannya itu. Mungkin inilah yang membuat para petani betah menjalani rutinitas hidupnya. Terlepas dari penghasilan dan kebutuhan hidupnya. Terdapat kepuasan yang tak ternilai.

  Andai saja mereka saudara-saudaraku para petani yang selalu setiap menghidupi rakyat negeri kehidupannya lebih sejahtera. Maka itu adalah puncak kepuasan dari sebuah perjalanan hidup petani. Itulah puncak segalanya hidup mereka. Walaupun kini mereka masih berkutat dengan berbagai kendala mulai mahalnya harga pupuk, rendahnya harga hasil panen, minimnya peran pemerintah tak membuat mereka patah arang. Semoga saja mereka saudaraku semua tetap bertahan menjadi petani dan semoga kesejahteraan akan segera datang sebagai puncak kenikmatan hidup sebagai petani.

  Ratapan Petani Kecil merupakan puisi yang aku dapat dari sebuah forum petani, dan inilah yang saya alami sebagai anak seorang petani yang akrab dengan keterbatasan dan kemiskinan. Sebagai pewaris profesi petani kadang saya menjadi sangat emosional jika melihat ulasan atau tulisan yang menjelaskan tentang “kematian” para petani kita, petani Indonesia. Apalagi jika melihat dari dekat fakta bahwa petani kita memang bisa dianggap bukan petani “pengusaha”, melainkan petani “buruh”. Baiklah saya menerima karena itu memang kenyataannya. Saya adalah cucu petani, saudaranya petani dan tetangga para petani. Tapi kenyataan itu tidak lantas membuat kita harus terus menangisi petani kita. Apakah ada solusi dari masalah diatas. Saya yakin selalu ada. Karena tidak ada masalah yang tidak ada jalan keluarnya. Saya ingin melihat masalah ini dari kacamata saya sendiri sebagai orang yang tidak bisa dikatakan dekat tetapi sejak kecil melihat kehidupan para petani.

  Ternyata masalah yang sangat mengganggu para petani yang saya lihat adalah bagaimana sulitnya mereka mengontrol harga dari hasil pertaniannya, kelangkaan pupuk saat tanam dan mahalnya harga-harga obat pembasmi hama yang menyerang tanaman mereka. Selalu itu yang menjadi masalah terutama sejak era reformasi berlangsung. Nenek saya pernah bercerita, dulu menanam apapun di ladang rasanya sangat mudah. Tidak perlu pupuk macam-macam dan obatan-obatan kimia yang aneh- aneh.Ketiga masalah diatas adalah konsekuensi dari adanya tiga pilar utama industri yang menunjang kehidupan seluruh masyarakat kita. Industri pupuk, industri obat-obatan, dan industri tani itu sendiri, yaitu petani yang menjadi pekerja lapangan yang langsung berhadapan dengan sawah, ladang dan kebun yang mereka miliki. Disinilah keuletan dan ketrampilan para petani yang dibutuhkan. Sayangnya untuk menjadi petani umumnya masyarakat kita tidak harus mengenyam pendidikan yang tinggi. Kultur dari masyarakat negara Indonesia adalah kultur tani, sehingga sekuat apapun tenaga yang diberikan oleh para penyelenggara negara untuk menyejahterakan rakyatnya tidak akan pernah berhasil jika negara tidak memberi perhatian yang serius kepada ketiga industri diatas.

  Sedangkan dua industri yang lain yaitu pupuk dan obat- obatan yang notabene para praktisinya harus mengenyam pendidikan yang tinggi selalu menjadi momok yang menakutkan bagi para petani. Industri penunjang pertanian ini juga tidak bisa disalahkan karena mereka berdiri atas dasar dedikasinya yang diperuntukkan untuk para petani, sehingga menghasilkan produk- produk yang bermanfaat untuk memajukan industri pertanian. Bagaimanapun kedua industri tersebut tidak boleh mati, karena sebagai penunjang bagi berlangsungnya kehidupan petani dan industri pertanian itu sendiri.

  Sebuah Solusi

  Malu sebenarnya mengatakan ini sebuah solusi, tapi menurut saya, sah-sah saja kita menyampaikan sebuah pendapat, syukur- syukur jika pendapat itu menjadi pertimbangan bagi penyelesaian sebuah masalah. Menurut hemat saya, para petani yang terhormat itu tidak dapat dipersalahkan karena mereka adalah korban dari buruknya sebuah sistem dan ketidaktahuan, atau ketidakmauan para penyelenggara negara dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada di negeri ini. Mimpi saya kelak jika para penyelenggara negara tidak lagi menganggap dirinya sebagai manusia yang harus dilayani serta dihormati dan berganti menjadi manusia pelayan, maka semua masalah yang melingkupi hidup berbangsa dan bernegara ini akan berangsur-angsur akan selesai dengan sendirinya. Mudah-mudahan itu tidak lama lagi. Lalu apakah kita akan menunggu masalah akan selesai dengan sendirinya ? saya harap tidak.

  Pertama, berkaca kepada fakta di lapangan, saya sering

  melihat ketika seorang tengkulak menawar harga padi yang dipanen seorang petani. Para tengkulak ini menawar dengan harga rendah dengan memberi alasan logis, “karena harga dipasaran memang segitu, kalau tidak segitu nanti saya tidak dapat untung”. Jadi siapa sebenarnya yang menciptakan pasar. Tentu saja penyelenggara negara. Faktanya adalah tempat terakhir dari padi yang dihasilkan oleh petani ini nantinya akan lari ke lumbung- lumbung yang telah disediakan pemerintah. Artinya pemerintahlah yang membeli padi dari para petani. Karena mayoritas dari masyarakat di Indonesia ini adalah petani, maka saya kurang setuju jika pemerintah membuat lumbung (gudang-gudang) hanya di pusat kota yang disiapkan untuk mengantisipasi agar tetap tersedia bahan-bahan pokok untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh Indonesia. Yang saya maksud adalah pemerintah menentukan harga jual bahan-bahan hasil tani ini dengan harga yang menyulitkan masyarakat dengan alasan yang sekali lagi “logis” karena mahalnya proses pembelian bahan pangan ini dari petani sampai berada di lumbung milik pemerintah. Proses itu adalah termasuk transportasi, pemeliharaan tempat, dan manajemen penyaluran kembali kepada masyarakat.

  Mungkin saat inilah saatnya pemerintah memberikan keleluasaan kepada para petani untuk menentukan nasibnya sendiri sesuai dengan daerah-daerahnya masing-masing, kemana hasil tani itu akan disalurkan. Gambaran jelasnya adalah menggalakkan kembali penyediaan lumbung-lumbung di desa-desa seperti jaman dulu jadi tidak hanya di pusat kota saja. Jaman dulu masyarakat dikenal makmur dalam hal pertanian karena di setiap rumahnya memiliki lumbung-lumbung untuk menaruh bahan makanan yang tahan lama. Para petani menentukan sendiri harga dari hasil taninya kepada pedagang, sehingga petani bisa dianggap sebagai petani pengusaha, karena penentu harga pertama dari bahan pokok yang dihasilkan dari keringatnya. Tidak ada salahnya jika saat ini pemerintah menyelenggarakan kajian ke desa-desa penghasil pangan. Jika memungkinkan membuat lumbung di setiap desa, kecamatan dan kabupaten sehingga proses distribusi bahan pangan dari petani ke pemerintah tidak memakan biaya mahal. Pemerintah cukup membuat regulasi yang mengatur bagaimana bahan-bahan makanan ini bisa sampai kembali ke masyarakat dengan harga terjangkau. Sedangkan penentuan berapa persen alokasi dari hasil pertanian yang didistribusikan kepada daerah lain yang bukan darah petani sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, semisal di kota- kota dan daerah lainnya. Disinilah nanti akan tercipta pasar daerah, jadi sederhananya pemerintah tidak bisa memberikan harga beras di kota sama dengan harga beras di desa karena dampaknya akan sangat menyengsarakan masyarakat desa yang notabene adalah petani.

  Kedua, Pemerintah secara ketat mengawasi jika perlu

  mengkaji bahan-bahan obat pembasmi hama yang digunakan petani harus benar-benar aman dari lingkungan. Saya sering mendengar para petani berujar “jaman sekarang hama yang memakan tanaman sepertinya lebih kuat dari jaman dulu, dan bahkan kadang lebih banyak”. Jaman sekarang tidak mungkin menghasilkan tanaman yang baik tanpa obat-obat kimia. Yang dimaksud pak tani adalah mereka tidak akan bisa membasmi hama yang meyerang tanaman mereka jika tidak membeli obat dengan harga mahal. Para petani sudah pengalaman bahwa obat yang mahal harganya ternyata lebih baik dan bisa membunuh hama dengan cepat. Ironisnya yang saya dengar dari petani sendiri, obat-obat yang mahal itu bisa membunuh hama penyerang tanamannya sekaligus membunuh hewan-hewan yang semestinya menjadi penunjang bagi keberlangsungan kehidupan tanamana mereka, seperti katak-katak kecil, cacing tanah dan hewan-hewan lain yang seharusnya tidak ikut mati.

  Sedangkan mengenai masalah harga yang tidak terjangkau, pemerintah harus turun tangan membereskan kejahatan mafia industri obat-obatan bagi pertanian yang sengaja mencari untung sebesar-besarnya tanpa mengindahkan efek dari lingkungan akibat produk yang dihasilkan mereka. Para akademisi yang nantinya bergerak dibidang industri obat-obatan pembasmi hama tanaman juga harus diperhatikan. Jika perlu memberikan alokasi dana yang besar untuk melakukan riset dan kajian-kajian yang mendalam bagaimana menghasilkan obat yang aman bagi lingkungan yang menjadi media bagi kelangsungan industri pertanian. Juga harus berani memberikan kesejahteraan lebih bagi para insinyur-insinyur terbaik yang menyumbang lebih banyak dibidang pertanian.

  Ketiga, Masalah kelangkaan pupuk sebenarnya hanyalah

  sandiwara yang sudah diketahui umum. Pupuk yang disediakan pemerintah tidak terdistribusi dengan baik dikarenakan ulah nakal para distributor dan kentalnya kong kalikong antara penegak hukum dan para distributor penimbun pupuk. Jika memang pemerintah serius mengatasi masalah kelangkaan pupuk dan pemalsuan pupuk maka harus berani jika perlu membentuk satgas mafia industri perpupukan Indonesia.

  Melihat kenyataan diatas, mungkin kita tidak perlu ikut campur terlalu banyak dengan keadaan politik negara kita. Sudah banyak orang yang akan mengurusnya. Lebih baik kita peduli dengan keadaan petani kita. Karena sudah tidak ada yang peduli lagi kepada mereka. Kita kaum muda yang mulai harus memperhatikannya. Agar dikemudian hari anak cucu kita tetap bisa melihat sawah, tetap tahu padi itu sepeti apa, beras itu asalnya dari mana. Dan agar anak cucu kita bisa menghargai usaha jerih payah nenek moyang. Karena Indonesia adalah titipan anak cucu kita. Bukan warisan nenek moyang. Perlu dibedakan dan dipahami artinya. Agar tidak salah dalam mengambil tindakan.

  Peduli dengan kehidupan petani berarti sama halnya dengan peduli kepada seluruh rakyat Indonesia. Karena petani lah yang menjadi tulang punggung dari masalah pangan rakyat Indonesia. Bisa dibayangkan jika ditiap daerah ada gerakan peduli terhadap petani yang jika dikumpulkan akan berkumpullah anak muda Indonesia yang bisa membawa perubahan besar terhadap kehidupan rakyat Indonesia selanjutnya. Pastinya juga akan membantu mengurangi kemiskinan, kelaparan dan membantu mensejahterakan kehidupan petani. Ini adalah hal yang sangat bagus jika bisa dilakukan. Karena akan membawa dampak positif ke berbagai bidang. Jika masyarakat Indonesai sudah terpenuhi kebutuhan pangan, maka kehidupan pun akan membaik. Selain itu anak muda Indonesia akan dipandang dengan baik pula. Karena telah melakukan hal yang sangat baik untuk kehidupan rakyat Indonesia selanjutnya.

  Ada Contoh bagus dari Bunga Amalia Safitri, anak muda dari Bali yang berkesampatan memberikan resentasi di 10 SMA tentang keadaan pertanian Indonesia di Belgia. Dia menceritakan keadaan sebenarnya tentang pertanian Indonesia. Luar biasa tanggapan anak muda disana. Mereka mau bekerja menjadi apa yang mereka mau dalam 1 hari, lalu upahnya mereka sumbangkan untuk program pertanian di Indonesia. Bayangakan mereka yang jauh disana, tidak mempunyai sawah, tidak pernah melihat sawah seperti apa, tidak tahu bertani itu seperti apa tapi mau membantu kehidupan petani di Indonesia.

  Tulisan ini hanyalah sikap emosional saya terhadap “yang katanya” matinya petani indonesia. Maka mohon jangan dianggap sebagai sikap pembelaan terhadap petani, walaupun saya adalah anak petani. Para petani adalah orang-orang luar biasa yang sangat berjasa bagi keberlangsungan hajat hidup orang banyak, tanpa dibela pun mereka dengan ikhlas berusaha menyuburkan tanah mereka dan berusaha memberikan hasil tani terbaiknya untuk orang banyak. Karena manusia tidak akan bisa hidup tanpa petani. Apabila hal-hal diatas terlaksanan mungkin fenomena “menjadi buruh diladang sendiri” tidak akan terjadi dan saatnya diakhiri.

  Aku hanyalah anak petani gurem. Lahir jauh dari peradaban kota. Disebuah kampung kecil yang masyarakat sebut kampung Pandansili. Disinilah aku dilahirkan. Ditengah-tengah hiruk-pikuk para petani yang berjuang untuk mencapai kesejahteraan. Daun tembakau, bulir-bulir padi, biji-biji jagung menjadi roda penggerak perekonomian masyarakat. Namun beberapa waktu lalu, terdengar kabar pembatasan produksi tembakau. Sungguh berita tersebut sangat menyayat masyarakat. Soalnya dari sekian tanaman yang dibudidayakan tembakaulah yang mampu memberikan nafas lebih dari tanaman yang lain. Dengan tembakaulah masyarakat dapat bertahan hidup lebih lama. Walaupun lahan pertanian dikampung kami tak begitu besar, namun menjadi harapan satu-satunya masyarakat.

  Aku ingin menengok kebelakang. Mengenang masa kecilku dulu. Mengenang masa-masa bermain dengan lumpur dan tanaman itu. duapuluh tahun yang lalu atau lebih aku masih kecil. Aku masih duduk di bangku SD. Aku belum mengenal mengenai bertani. Walaupun bapakku seorang petani. Walaupun kakek dan seluruh keluarga besarku seorang petani. Namun lembat laun seiring berjalannya waktu aku mulai terjun. Aku mulai turun. Aku mulai merasakan hidup sebagai petani.

  Awalnya aku hanya ikut membantu orang tua. Ketika itu usiaku baru menginjak SD. Bukan membantu sih, tapi lebih tepatnya mengganggu pekerjaan orang tua. Namun waktu berganti, hari berganti, minggu, bulan dan tahun berganti. Aku benar-benar terjun sebagai petani. Ketika duduk dibangku SMP aku mulai membantu lebih intensif pekerjaan orang tua. Sebagai petani gurem. Ketika musim tanam tiba. Aku membantu untuk Daud ( memanen benih padi yang telah ditanam untuk dibesarkan). Aku juga ikut tandur (menanam benih padi). Disaat padi mulai tumbuh aku ikut menyiangi atau orang kampung menyebutnya matun. Disaat musim panen tiba aku ikut derep (panen padi). Terus beranjak usia, aku beranikan diri untuk mencoba menerjunkan sepenuhnya untuk bertani. Aku sisikan waktu lebih dimasa SMA untuk mengurus ladang. Ketika itu aku kelas dua SMA. Dimusim tembakau aku niatkan untuk mencoba belajar menanam tembakau dari kecil sampai panen. Walaupun lahan yang aku coba tanami tidak begitu besar. Sekitar 1/8 HA. Dengan bantuan orang tua dan masukan dari berbagai orang didekatku sangat membantuku dalam bertani tembakau. Aku merasakan menjadi petani sebenarnya. Aku merasakan begitu nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing bersamaan surya yang mengepakkan cahayanya aku telah berada di ladang kecil itu. Ditemani sebuah cangkul, arit, dan beberapa alat pertanian lain aku habiskan masa remaja ku itu. Aku menemukan kenikmatan itu. Aku menemukan kenikamatan ketika makan. Disaat keringat mulai bercucur deras di tubuhku. Disaat sinar mentari menghantam wajahku. Disitulah kenikmatan nasi bercampus sayur dan sebuah lauk tempe. Disaat siang yang menyala, disaat sore yang hangat aku merasakan semilirnya angin surga menerpaku. Aku merasakan kedamaain seorang petani. Aku merasakannya itu. Mungkin inilah yang membuat para petani betah menjalani rutinitas hidupnya. Terlepas dari penghasilan dan kebutuhan hidupnya. Terdapat kepuasan yang tak ternilai. Andai saja mereka saudara-saudaraku para petani yang selalu setiap menghidupi rakyat negeri kehidupannya lebih sejahtera. Maka itu adalah puncak kepuasan dari sebuah perjalanan hidup petani. Itulah puncak segalanya hidup mereka. Walaupun kini mereka masih berkutat dengan berbagai kendala mulai mahalnya harga pupuk, rendahnya harga hasil panen, minimnya peran pemerintah tak membuat mereka patah arang. Semoga saja mereka saudaraku semua tetap bertahan menjadi petani dan semoga kesejahteraan akan segera datang sebagai puncak kenikmatan hidup sebagai petani.

  Ada pameo yang mengatakan: ”kalau ingin hidup tentram

  jadilah petani, kalau ingin dihormati jadilah pegawai negeri, dan kalau ingin kaya jadilah pedagang” Nampaknya kini pomeo

  tersebut sudah tidak sepenuhnya berlaku. Kehidupan petani jauh dari kesan tentram dan sejahtera. Bahkan menurut Sastraatmadja (2006) petani hidup dalam suasana ketertinggalan dengan kondisi kehidupan yang mengenaskan. Kita yang selalu bangga mengklaim diri sebagai bangsa agraris dan atau negara maritim, ternyata setelah sekian lama membangun, masih belum meraih kemakmuran dari kedua bidang tersebut. Impor beras dan produk- produk pertanian lainnya masih saja terjadi.

  Kesan kuat yang muncul sekarang ini adalah bahwa petani merupakan profesi inferior, dan sektor pertanian identik dengan sektor marjinal. Kesan tersebut tidak sepenuhnya salah karena data secara umum menunjukkan hal tersebut. Padahal pada tahun 1970- an antara kesejahteraan petani dengan kesejahteraan tenaga kerja industri tidak begitu jauh berbeda. Namun kini, keadaan tidak lagi berpihak pada petani. Industri melaju jauh lebih cepat dibandingkan sektor pertanian. Serapan tenaga kerja pertanian memang bertambah, namun kalau sektor pertanian lebih banyak dijejali dengan petani gurem maka sektor pertanian akan menjadi penyumbang kemiskinan yang signifikan. Dalam periode 10 tahun antara 1993-2003 jumlah petani gurem yang semula 10,8 juta telah bertambah menjadi 13,7 juta orang. Oleh karenanya kesejahteraan petani hingga kini masih merupakan mimpi. Pada tahun 2002 dari total penduduk miskin di Indonesia, lebih dari separonya adalah petani yang tinggal di pedesaan. Jumlah rumahtangga pertanian pada tahun 2003 adalah 24,3 juta, sekitar 82,7% di antaranya termasuk kategori miskin. Demikian juga data persentase penduduk miskin usia 15 tahun keatas menurut provinsi/kabupaten/kota dan sektor bekerja pada tahun 2003 (BPS, 2004) menunjukkan prosentase terbesar penduduk miskin hampir di seluruh kabupaten/provinsi adalah bekerja di sektor pertanian.

  Sektor pertanian terus saja terpuruk, sehingga nasib petani tak kunjung sejahtera. Pendapatan keluarga petani disinyalir hanya Rp 500 ribu per bulan sehingga kemiskinan petani menjadi masalah kronis yang sulit terpecahkan. Ketua HKTI pernah mengkritisi kebijakan pertanian yang belum konsisten antar instansi. Contohnya adalah penetapan harga dasar gabah. Kebijakan Deptan untuk menetapkan harga dasar gabah adalah untuk mensejahterakan petani, namun di tempat lain Deperindag membuka kran impor beras sehingga petani tak bisa menikmati harga dasar yang telah ditetapkan pemerintah. Sementara Bulog belum berperan sebagaimana yang diharapkan sebagai penyangga harga gabah dan mengamankan harga beras. Selain itu nasib petani semakin tidak menentu karena bencana alam seperti banjir atau kekeringan yang menyebabkan hancurnya persawahan Tampaknya nasib petani Indonesia belum secerah yang diharapkan, mereka harus rela hidup prihatin entah sampai kapan.

  Besarnya angka kemiskinan di sektor pertanian, mungkin juga berkaitan dengan kemampuan pertanian sebagai buffer pengangguran. Di masyarakat, mata pencaharian sebagai petani kadang digunakan sebagai perlindungan dari status pengangguran. Daripada disebut nganggur, ya mendingan bekerja di pertanian, walau dengan ala kadarnya dan dengan curahan waktu dan kapasitas yang sangat minimal. Hal tersebut turut menjelaskan laporan dalam World Development Report 2003, dimana penduduk desa yang tinggal di area “fragile” (dan umumnya bermata pencaharian petani), meningkat dua kali lipat dalam 50 tahun ini.

  Telah banyak dilakukan penelitian dan kajian faktor-faktor yang mempengaruhi keterpurukan petani. Salah satu diantaranya adalah kesulitan pembiayaan usahatani dan kebutuhan dana cash untuk keperluan hidup selama masa menunggu penjualan hasil panen, menyebabkan banyak petani terjebak sistem ijon dan atau hutang kepada para tengkulak yang mematok harga pertanian dengan harga rendah, dimana para petani sudah tidak memiliki

  bargaining position lagi. Demikian halnya dengan rendahnya

  produktivitas petani kecil sebagai konsekuensi beragam masalah seperti keterbatasan sumber daya manusia petani, penyusutan luas lahan produksi, tidak memadainya sarana produksi dan prasarana yang dibutuhkan usaha tani yang efisien, dan berbagai masalah lainnya. Merujuk World Development Report 2003, penduduk desa miskin yang umumnya petani berhadapan dengan beberapa tantangan yang mempengaruhi potensi pembangunan/ perkembangannya yaitu : 1) terbatas bahkan rusaknya sumberdaya alam, 2) terbatasnya kebijakan dalam pengembangan teknologi produksi dan proses “secondary crops”, 3) jeleknya infrastruktur (transportasi, komunikasi, energi) dan tidak memadainya perhatian dari institusi pembangunan (pendidikan, kesehatan, investasi), 4) marjinalnya Social budaya (kekuasaan, suara, hak tanah, tenure) dan terbatasnya kesempatan ekonomi lokal (pertanian, off-farm, kesempatran kerja di kota). Demikian banyak permasalahan yang dihadapi petani kecil dan miskin, menyebabkan kedaulatan petani semakin jauh dan sepertinya masih sekedar wacana dan angan- angan.

  Dibalik kuatnya kesan keterpurukan kehidupan petani, dalam kenyataannya di lapang terdapat sekelompok petani yang maju dan hidupnya sejahtera. Namun karena jumlahnya yang relatif sedikit, keragaan sekelompok petani maju tersebut seakan-akan seperti sebuah penyimpangan yang positif (meminjam istilah yang berkembang dalam penelitian pertumbuhan dan perkembangan psikososial anak "positive deviance”). Bayangan yang segera muncul dalam mengasosiasikan petani sukses adalah kepemilikan lahan yang luas. Padahal tidak semuanya demikian. Petani ikan hias atau petani tanaman hias terkadang memiliki lahan yang relatif sempit atau tidak jauh berbeda dengan petani tanaman pangan pada umumnya, namun bisa memberikan keuntungan yang jauh lebih besar. Bagi petani maju, kepemilikan lahan yang luas bisa disebabkan baik karena kemampuannya mempertahankan asset yang sudah dimiliki dan diturunkan keluarga besar (warisan) sebelumnya, dan atau kemampuan mengembangkan dan menambah luasan kepemilikan lahan sebagai konsekuensi keberhasilan usahataninya. Kedua penyebab tersebut sama-sama berkaitan dengan kemampuan manajerial usaha pertanian sebagaimana pengelolaan bisnis-bisnis lainnya.

  Pada umumnya petani maju memiliki visi yang lebih baik berkaitan dengan usahataninya; bahwa menjalankan usaha pertanian bukan hanya kegiatan usaha rutin yang harus dijalani, melainkan sebagai pilihan hidup yang membutuhkan kreativitas dan prasyarat bisnis lainnya. Para petani maju adalah mereka yang berani menanggung resiko dan mampu keluar dari situasi yang membelenggu dinamika dan kreativitas usaha. Mereka menjalankan usaha tani sebagaimana bisnis lainnya dengan prinsip- prinsip bisnis, dan bukan semata menjalankan usahatani sebagai kegiatan budaya terkait dengan kegiatan turun temurun yang telah dilakukan nenek moyangnya. Pengamatan secara acak menunjukkan bahwa petani maju dan sukses kebanyakan yang bergerak dalam usaha pertanian yang memiliki kekhasan seperti tanaman hias, ikan hias, komoditas perkebunan seperti karet, kopi, lada, atau petani yang mengelola lahannya dengan beragam komoditas yang memiliki nilai jual yang baik. Hal tersebut berbeda dengan para petani tanaman pangan yang menunjukkan keterampilan pengelolaan usahatani yang sangat beragam. Karena besarnya prosentase petani Indonesia yang mengusahakan pertanian tanaman pangan, maka jumlah petani miskin banyak yang bergerak di sektor ini.

  Pertanian adalah kegiatan usaha yang sama saja dengan usaha lainnya, di dalamnya bekerja kaidah-kaidah bisnis seperti pengambilan keputusan, pengelolaan sumberdaya, tuntutan untuk menciptakan nilai tambah, ke-uniq-an produk, kepioniran, juga dinamis. Jika kaidah tersebut dijalankan maka pertanian dapat mensejahterakan petaninya. Beberapa contoh aplikasi kaidah bisnis tersebut antara lain adalah :

  Menuntut daya inovasi, kepioniran, juga keunikan. Hal tersebut ditunjukkan oleh kisah sekelompok pemuda yang pertama kali memperkenalkan buah Melon di Indonesia tahun 1980-an. Juga kisah petani yang pertama mengintroduksi kultivar baru tanaman hias Aglonema di tahun 2000-an. Daya inovasi dan kepionirannya berbuah kesejahteraan bagi yang bersangkutan.

  Berlaku kaidah efisiensi, produktivitas dan nilai tambah. Sama dengan bisnis lainnya, pertanian adalah kegiatan pengelolaan sumberdaya untuk memperoleh nilai tambah. Keberhasilan optimal akan diperoleh jika pengelolaan dilakukan dengan efisien, DAFTAR ISI produktivitas yang tinggi dan nilai tambah yang tinggi pula.

  Menuntut kemampuan leadership dan manajerial. Pertanian dalam skala yang paling kecil sekalipun tidak dapat dikerjakan Bab I: Pendahuluan sendiri, tetapi harus dikerjakan oleh lebih dari satu orang, sehingga

  A. Obyek penelitian mebutuhkan kemampuan leadership dan managerial si petaninya.

  B. Alasan memilih obyek dampingan Pada skala yang lebih besar kemampuan tersebut akan lebih

  C. Kondisi subyek dampingan saat Ini menonjol dan menjadi salah satu faktor kunci keberhasilan.

  D. Kondisi subyek dampingan yang diharapkan Leaderhip dibutuhkan dalam mengelola para pekerja yang

  E. Staregi yangdilakukan digunakan. Manajerial dibutuhkan untuk mengelola semua sumberdaya yang dikerahkan mulai dari managemen personalia, keuangan, pemasaran, produksi, persediaan dan sebagainya. Butuh

  Bab II: Memperjuangkan Nasib: Deskripsi Keberadaan Petani Padi informasi akurat dan teknologi. Bagi petani /pelaku bisnis dan Petani Tebu dalam Belenggu Kemiskinan pertanian, disamping kemampuan penguasaan teknologi budidaya,

  A. Nasib petani padi: kemiskinan di lumbung pangan pasca panen dan pengolahan, juga dituntut penguasaan atas

  1. Tanah subur petani tak makmur: belajar dari Pak informasi yang akurat. Bagi komoditas hortikultura (sayuran) yang Sukardi perubahan harganya harian, informasi harga sangat penting bagi

  2. Belajar dari kisah petani miskin penentuan waktu panen dan tanam.

  3. Kemiskinan Petani ditengah kenaikan produktifitas Oleh karena itu, salah satu masalah sekaligus tantangan padi pembangunan pertanian selama ini adalah bagaimana

  B. Nasib petani tebu: tak semanis yang diharapkan meningkatkan keterampilan petani agar mengimplementasikan C. Beragam upaya pemberdayaan dari belenggu kaidah bisnis dalam usahataninya. Peningkatan keterampilan kemiskinan usahatani petani dapat dilakukan baik melalui penyuluhan pertanian maupun melalui peningkatan keterpaparan petani

  Bab III: Mengutuk Diri Menjadi Petani: Telaah terhadap Realitas terhadap informasi pembangunan pertanian. Dengan demikian Kehidupan Petani Gurem Lahan Marginal Pegunungan petani dapat mengambil keputusan penting terkait komoditas Surojoyo Kabupaten Rembang pertanian yang layak diusahakan, karena diprediksi akan memberi

  A. Petani Gurem: Tipologi Masyarakat Tepi Hutan keuntungan yang besar serta resiko yang terkontrol. B. Diagnosis Kemiskinan Masyarakat Tepi Hutan

  1. Konsep Kemiskinan

  2. Gambaran Umum Rembang Desember 2012

  3. Permasalahan Kemiskinan

  4. Kegagalan Pemenuhan Hak Dasar

  a. Terbatasnya Kecukupan dan Mutu Pangan

  b. Terbatasnya Akses dan Rendahnya Mutu Layanan Kesehatan

  c. Terbatasnya Akses dan Rendahnya Mutu Layanan Pendidikan

  BAB I

  d. Terbatasnya Kesempatan Kerja dan Berusaha PENDAHULUAN

  e. Terbatasnya Akses Layanan Perumahan

  f. Terbatasnya Akses Terhadap Air Bersih

  g. Lemahnya Kepastian Kepemilikan dan Penguasaan Tanah

  Selama ini kita hanya memahami bahwa, petani adalah produsen pangan. Kalau direnungi mendalam, kenyataan tidak h. Memburuknya Kondisi Sumberdaya Alam sesederhana itu. Di tengah mainstream penafsiran produsen i. Kurangnya Keamanan dan Ketertiban Umum pangan, petani sebenarnya konsumen. Seluruh tahapan proses j. Lemahnya Partisipasi produksi petani jadi konsumen sejati. Sebelum olah tanah, petani k. Ketidaksetaraan dan Ketidakadilan Gender C. membeli benih (padi), setelah olah sawah, petani membeli segala

  Isu Strategis jenis pupuk. Hingga tahap pertumbuhan padi, petani membeli

  1

  2

  segala macam obat-obatan, pestisida sampai insektisida . Petani Bab IV: Upaya Pemberdayaan Ditengah Konversi dan Eksploitasi juga pangsa pasar aktif, jadwal konsumsinya jelas dan pasti. Menggiurkan bagi perusahaan saprotan (sarana produksi

  Lahan sebagai Imbas Dari Kapitalisme Tebu pertanian). Tak ada proteksi signifikan terhadap petani selaku konsumen. Pupuk, komoditas paling banyak menguras modal,

  Bab V: Collective Parming: sebagai Alternatif Strategi meski telah disubsidi, kenyataan petani tak pernah menikmatinya. Pemberdayaan Di sentra pangan, pupuk sampai ke tangan petani, selalu lebih mahal. Subsidi hanya dinikmati pedagang di rantai distribusi

  Bab VI: Kesimpulan pupuk. Belum lagi benih yang "nir-subsidi", juga obat-obatan. Proses transaksi sepenuhnya liberal, produsen seenaknya menaikkan harga. Perusahaan saprotan berpikiran, bila petani tidak membeli, dengan apa hama sundep, kelep atau wereng cokelat yang menyerang sawah diberantas. Petani jelas tak mau kehilangan momen satu-satunya yang jadi andalan, ialah panen. Apakah 1 Pestisida adalah substansi kimia dan bahan lain serta jasad renik dan

  virus yang digunakan untuk mengendalikan berbagai hama, yang dimaksud hama di sini adalah sangat luas, yaitu serangga, tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi (jamur), bakteria dan virus, kemudian nematoda (bentuknya seperti cacing dengan ukuran mikroskopis), siput, tikus, burung dan hewan lain yang dianggap merugikan. Pestisida juga diartikan sebagai substansi kimia dan bahan lain yang mengatur dan atau menstimulir pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman. Sesuai konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT), penggunaan pestisida ditujukan bukan untuk memberantas atau membunuh hama, namun lebih dititiberatkan untuk mengendalikan hama sedemikian rupa hingga berada dibawah batas ambang ekonomi atau ambang kendali. 2 Insektisida adalah senyawa kimia yang digunakan untuk membunuh serangga (biasanya dengan mengusapkan atau menyemprotkannya); obat pembunuh serangga setelah panen petani senang. Tidak demikian. Memang ada proteksi harga dasar (HD), tetapi mekanisme pasar bebas yang mengepung HD jauh lebih kuat hingga gabah tetap saja berharga rendah. Dominasi mafia gabah lebih ampuh dalam memainkan harga. Kapan harga dikerek dan kapan harus dibanting, mereka lebih paham, dan memiliki instrumen riil di lapangan.

  Liberalisme di sektor pertanian penyebab petani tak memiliki posisi tawar. Dalam proses produksi pangan, kewenangan terbatas di lingkup on-farm, sedangkan off-farm

  3

  , sepenuhnya di luar kuasa petani. Belum lagi ketimpangan sosiologi, bahwa apa yang disebut petani kenyataannya buruh tani. Modal produksi cuma tenaga, sedangkan tanah, sepenuhnya milik tuan tanah yang punya gabah menumpuk tanpa sebercak pun lumpur sawah mengotori bajunya. Proses produksi pertanian tak ubahnya industri manufaktur. Ada buruh dan pemilik modal. Buruh jual tenaga lalu dibayar, pemilik modal mutlak memegang policy perusahaan. Hal sama pada buruh tani. Celakanya, tidak ada undang-undang yang memproteksi "hubungan industrial" di petak-petak sawah berlumpur itu, termasuk dalam kapasitas petani (buruh tani) sebagai konsumen.

  Berdasarkan lapangan pekerjaan, dari 95,5 juta penduduk yang bekerja, sekitar 42,05% dari mereka bekerja di sektor pertanian. Sektor-sektor lain yang cukup besar peranannya dalam penyerapan tenaga kerja di antaranya sektor perdagangan (20,13%), industri (12,46%) dan jasa (11,90%). Di negara yang 3 Kegiatan on farm yaitu usaha budidaya tanaman dilakukan petani pada

  musim hujan, sedangkan pemeliharaan ternak dilakukan secara tidak intensif. Kegiatan of farm yang umum dilakukan yaitu sebagai buruh tani di lahan kering pada musim hujan sedangkan pada musim kemarau menjadi buruh tani di lahan sawah. Kegiatan non farm yang umum dilakukan petani adalah sebagai tukang, buruh bangunan dan menjadi TKI ke luar negeri. Allokasi waktu yang digunakan petani untuk kegiatan on farm lebih sedikit dibandingkan kegiatan of farm dan non farm. Di bidang on farm yaitu dalam hal budidaya tanaman, petani umumnya tidak bertanam secara monokultur tetapi lebih banyak bertanam secara tumpangsari. Jenis tanaman yang ditumpangsarikan umumnya yang memiliki umur panen berbeda atau tanaman tersebut sengaja ditanam dengan waktu tanam yang berbeda sehingga waktu panennya berbeda pula. Teknik bertanam ini merupakan strategi petani untuk mendapatkan sumber pendapatan berkesinambungan selama satu tahun disamping mengurangi resiko kegagalan panen karena ketidak pastian curah hujan

  didominasi penduduk yang menggantungkan ekonominya pada sektor pertanian (baik secara langsung maupun tak langsung) ini, sektor pertanian ibarat "benang kusut". Carut-marutnya problem pertanian di Indonesia tak menemui ujung dan pangkal. Kompleksnya permasalahan menempatkan petani pada strata masyarakat yang lemah dari jaman ke jaman. Selama itu pula, petani selalu hanya menjadi objek dalam setiap peristiwa politik dan "pembangunan". Sebagai objek, petani selalu ditempatkan pada posisi tidak menguntungkan dalam setiap kondisi. Pada saat musim penghujan datang (air melimpah dan banjir) petani harus merugi karena tanamannya rusak. Begitu musim kemarau tiba kondisi juga tidak membaik, petani dihadapkan pada kekeringan yang membuat menurunnya tingkat produksi atau bahkan gagal panen karena puso. Hal yang sama terjadi pada persoalan harga produk pertanian, terutama padi. Pada saat produktivitas tinggi, petani berharap mendapat untung. Nyatanya saat produksi melimpah harga pun jatuh. Lebih buruk lagi saat produktivitas kurang yang berarti stok pangan menipis. Harga yang tinggi justru menimbulkan masalah karena mayoritas petani kita (75 persen) hanya buruh tani atau petani gurem dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar

  4

  yang merupakan net consumer (mengonsumsi lebih banyak daripada yang dihasilkan).

  Fenomena yang sama terjadi pada masalah saprodi atau asupan pertanian. Pada saat harga saprodi (pupuk, bibit, pestisida) mahal dan distribusi kurang, petani tidak dapat menjangkau. Ironisnya saat petani kita mampu menghasilkan sendiri bibit/benih unggul dengan harga murah, justru mereka dihadapkan dengan masalah baru di "meja hijau" dengan dalih hak paten. Ujungnya bisa ditebak, argumentasi sederhana dari orang sederhana seperti petani jarang menang bertarung pendapat dalam logika hukum yang berpihak pada pemodal. Seringkali justru terjadi kriminalisasi kepada rakyat sebagai korban sehingga menimbulkan trauma 4 Pada tahun 2000, sekitar 42 juta keluarga di Indonesia (sekitar 124 juta

  orang) terdata sebagai petani. Sekitar 10 juta dari keluarga-keluarga petani ini tidak punya tanah sama sekali, sedangkan 10 juta keluarga lainnya hanya memiliki tanah kurang dari setengah hektar. Dari 190 juta hektar bidang tanah, petani memiliki 8 juta hektar, sedangkan perkebunan negara memiliki 23 juta hektar psikologis. Fakta lain paling mutakhir petani juga dihadapkan pada persoalan semakin meyempitnya lahan pertanian. Nyatanya ada sekitar 120.000 hektar lahan pertanian beralih fungsi pada setiap tahunnya.

  Me-review sejarah panjang pertanian di negeri ini, membuat kita mendapatkan gambaran (meski tidak lengkap) tentang berbagai persoalan yang dihadapi petani dari jaman ke jaman. Beberapa persoalan tersebut dapat dikategorikan dalam beberapa simpul, diantaranya adalah:

  Pertama, salah satu persoalan pokok dalam pembangunan pertanian di Indonesia adalah sempitnya rata-rata penguasaan lahan oleh petani, sehingga petani tidak dapat melakukan produksi pertanian secara efisien. Termasuk beberapa program yang dijalankan pemerintah melalui Kementrian Pertanian juga kurang berjalan. Ini merupakan problem mendasar yang dialami oleh kaum tani di Indonesia. Kepemilikan lahan kecil sangat susah untuk memacu penghasilan dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tahun 1993-2003, rata-rata luas lahan pertanian turun dari 0,80 ha menjadi 0,72 ha. Di Jawa, rata-rata luas lahan pertanian turun dari 0,47 ha menjadi 0,38 ha. Akibatnya, jumlah petani gurem, yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha, meningkat 2,17 persen per tahun, jumlahnya 13,3 juta rumah tangga tahun 2003. Ini berarti bahwa lebih dari 55% rumah tangga pengguna lahan adalah kategori petani gurem. Penyempitan lahan pertanian selain karena penambahan jumlah rumah tangga tani juga karena industrialisasi dan konversi lahan. Celakanya, struktur petani di Indonesia didominasi oleh pemilik lahan sempit itu. Hasil penelitian Departemen Pertanian pada tahun 2000 menunjukkan bahwa 88 persen rumah tangga petani hanya menguasai lahan sawah kurang dari 0,5 ha. Dengan luas lahan ini, petani hanya mendapatkan keuntungan semusim berkisar antara Rp 325.000 hingga Rp 543.000, atau hanya Rp 81.250 hingga Rp 135.000 per bulan (Kompas, 21/5/2002). Jika setiap rumah tangga petani memiliki anggota keluarga lima orang, maka pendapatan per kapita komunitas petani hanya sekitar Rp 25.000 per bulan atau setara dengan Rp 300.000 per tahun (pendapatan ini bahkan lebih rendah dari tingkat upah minimum per bulan yang diterima oleh tenaga kerja di sektor formal).

  Kedua, masalah ketersediaan dan keterjangkauan saprodi (pupuk, bibit, pestisida). Banyaknya kebocoran dalam sistem distribusi selalu menyulitkan petani untuk mendapatkan pupuk dengan mudah dan harga terjangkau. Padahal, saat ini petani kita sudah terlanjur tergantung dengan penggunaan pupuk kimia, pestisida, dan herbisida akibat program revolusi hijau yang dipaksakan oleh pemerintah Orde Baru. Jika ada yang memulai kembali ke sistem pertanian organik, petani masih dihadapkan pada persoalan pasar.

  Ketiga, lemahnya peran pemerintah dalam memberikan proteksi terhadap petani. Jika ada upaya untuk itu, pemerintah seringkali memberikan program yang tidak tepat. Baik waktu, sasaran, dan kebutuhan terutama dalam peningkatan infrastruktur. Hal ini diperparah dengan liberalisasi impor beras yang telah memukul produksi petani dalam negeri, sehingga keuntungan yang mereka dapatkan hampir tidak ada. BPS mencata penuruan NTP (Nilai Tukar Petani) pada tahun 2006 hingga sebesar 15,55% yang disebabkan oleh kenaikan biaya produksi pertanian tidak diimbangi dengan jaminan harga di pasar. Salah satu pendorong dari liberalisasi perdagangan dunia adalah World Trade Organization (WTO), dimana Indonesia merupakan salah satu negara anggotanya. Dengan menjadi anggota WTO, Indonesia harus tunduk atas aturan di dalamnya, yang mengikat secara hukum (legally binding). Dalam konteks pertanian, negosiasi WTO tertuang dalam Agreement on Agriculture (AOA). Negara kaya sangat kuat mengendalikan AOA untuk kepentingan pasar mereka dan sesungguhnya yang terjadi adalah perdagangan yang tidak adil. Pemerintah Indonesia tidak berani mengambil resiko berhadapan dengan kepentingan negara maju dalam melinduangi dan membuka akses perdagangan yang menguntunkan untuk produk pertanian.