Manajemen Pertahanan Doktrin Pertahanan Negara

  KEMENTERIAN PERTAHANAN KEAMANAN DIREKTORAT JENDERAL KEKUATAN PERTAHANAN TANGGUNG JAWAB WARGA NEGARA DALAM PENYELENGGARAAN PERTAHANAN NEGARA BERDASARKAN SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Disampaikan Oleh : Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Kementerian Pertahanan RI dalam rangka Wisuda Sarjana Universitas Haluoleo Tgl 30 Juni 2010 di Kendari Pendahuluan.

  Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 merupakan titik puncak perjuangan bangsa Indonesia melepaskan diri dari penjajahan dan merupakan titik awal bagi bangsa Indonesia dalam menyelenggarakan kehidupan bangsa dan negara guna mencapai cita-cita luhur yaitu masyarakat yang merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur.

  Cita-cita tersebut diejawantahkan dalam alinea IV Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bahwa tujuan pembentukan pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

  1 berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, …dst.

  Dengan demikian melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari setiap bentuk ancaman dari dalam negeri dan/atau luar negeri yang pada hakikatnya merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara menjadi dasar dalam upaya penyelengaraan kesejahteraan dan penyelenggaraan keamanan serta perdamaian dunia.

  Era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern khususnya teknologi informasi, komunikasi dan transportasi, dunia seakan-akan sudah menyatu menjadi kampung sedunia tanpa

  2

  mengenal batas negara. Kondisi tersebut berdampak pada aspek kehidupan bangsa dan negara yang dapat mempengaruhi pola pikir, pola sikap, dan pola tindak bangsa Indonesia. Era globaliasi akan membuka dan meluasnya hubungan antar negara yang bersifat bilateral maupun multilateral, memposisikan Indonesia untuk segera melakukan langkah-langkah konkrit dalam pembangunan nasional, guna mengantisipasi dan merebut posisi pasar bebas sesuai keunggulan yang dimiliki.

  Kondisi tersebut akan sangat berpengaruh terhadap pola ancaman yang membahayakan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang semula bersifat konvensional (fisik) baik berasal dari dalam dan/atau luar negeri. Ancaman yang bersifat multi dimensi tersebut dapat bersumber dari permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya maupun permasalahan pertahanan dan keamanan. Upaya mengatasi ancaman tersebut menjadi tanggung jawab seluruh warga negara baik sipil maupun militer. Oleh karena itu hubungan yang harmonis antara sipil dan militer dalam rangka penyelenggaraan pertahanan negara perlu lebih ditingkatkan.

  Pendidikan merupakan manifestasi dari amanat konstitusi dan merupakan tanggung jawab negara dalam rangka mewujudkan warga negara yang memiliki kepribadian sebagai insan yang beriman dan bertaqwa, cerdas dan berpengetahuan luas serta memiliki keterampilan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kalangan pendidikan diharapkan dapat memberikan konstribusi dalam keikutsertaan penyelenggaraan pertahanan negara.

  Dari uraian tersebut di atas pada kesempatan ini disampaikan beberapa hal yaitu tentang manajemen pertahanan, hubungan sipil dengan militer, dan wujud tanggung jawab warga negara dalam penyelenggaraan pertahanan negara.

  Manajemen Pertahanan Doktrin Pertahanan Negara

  Doktrin pertahanan pada hakikatnya adalah suatu ajaran tentang prinsip- prinsip fundamental pertahanan negara yang diyakini kebenarannya, digali dari nilai- nilai perjuangan bangsa dan pengalaman masa lalu untuk dijadikan pelajaran dalam mengembangkan konsep pertahanan sesuai dengan tuntutan tugas pertahanan dalam dinamika perubahan, serta dikemas dalam bingkai kepentingan nasional. Doktrin pertahanan negara tidak bersifat dogmatis, tetapi penerapnnya disesuaikan

  3 dengan perkembangan kepentingan nasional.

  Doktrin pertahanan negara memiliki arti penting yakni sebagai penuntun dalam pengelolaan sistem dan penyelenggaraan pertahanan negara. Pada tataran strategis, doktrin pertahanan negara berfungsi untuk mewujudkan sistem pertahanan yang bersifat semesta, baik pada masa damai maupun pada keadaan perang. Dalam kerangka penyelenggaraan pertahanan negara, esensi doktirn pertahanan negara adalah acuan bagi setiap penyelenggara pertahanan dalam menyinergikan pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter secara terpadu, terarah dan berlanjut sebagai satu kesatuan pertahanan.

  Pada masa damai, doktrin pertahanan negara sebagai penuntun dan pedoman bagi penyelenggara pertahanan negara dalam menyiapkan kekuatan dan pertahanan dalam kerangka kekuatan untuk daya tangkal yang mampu mencegah setiap hakikat ancaman serta kesiapsiagaan dalam meniadakan ancaman, baik yang berasal dari luar maupun yang timbul di dalam negeri. Pada keadaan perang, Doktrin pertahanan negara memberikan tuntutan dan pedoman dalam mendayagunakan segenap kekuatan nasional dalam upaya pertahanan guna menyelamatkan negara dan bangsa dari ancaman yang dihadapi.

  Pertahanan pada hakikatnya merupakan segala upaya pertahanan yang bersifat semesta, yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran akan hak dan kewajiban seluruh warga negara serta keyakinan akan kekuatan sendiri untuk mempertahanankan kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Kesemestaan mengandung makna pelibatan seluruh rakyat dan segenap sumber daya nasional, sarana dan prasarana nasional, serta seluruh wilayah negara sebagai satu kesatuan pertahanan yang utuh dan menyeluruh.

  Upaya pertahanan yang bersifat semesta adalah model yang dikembangkan sebagai pilihan yang paling tepat bagi pertahanan Indonesia, yang diselenggarakan dengan keyakinan pada kekuatan sendiri, serta berdasarkan atas hak dan kewajiban warga negara dalam pertahanan negara. Meskipun Indonesia telah mencapai tingkat kemajuan yang cukup tinggi nantinya, model tersebut tetap menjadi pilihan strategis untuk dikembangkan, dengan menempatkan warga negara sebagai subjek pertahanan negara sesuai dengan perannya masing-masing.

  Sistem Pertahanan Negara yang bersifat semesta bercirikan kerakyatan, kesemestaan, dan kewilayahan. Ciri kerakyatan mengandung makna bahwa orientasi pertahanan diabdikan oleh dan untuk kepentingan seluruh rakyat. Ciri kesemestaan mengandung makna bahwa seluruh sumber daya nasional didayagunakan bagi upaya pertahanan negara. Sedangkan ciri kewilayahan mengandung makna bahwa gelar kekuatan pertahanan dilaksanakan secara menyebar di seluruh wilayah NKRI, sesuai dengan kondisi geografi sebagai negara kepulauan.

  Strategi Pertahanan Negara

  1. Kecenderungan Perkembangan Lingkungan Strategis. Salah satu faktor utama dalam penyelenggaran pertahanan negara adalah perkembangan lingkungan strategis, baik global, regional, maupun kondisi dalam negeri. Esensi dari analisis terhadap perkembangan lingkungan strategis adalah menentukan dugaan ancaman terhadap pertahanan negara. Dugaan ancaman tersebut menjadi dasar dalam pemilihan strategi pertahanan.

  2. Ancaman. Ancaman militer memiliki karakter yang beragam. Ancaman militer dapat berupa jenis ancaman yang sifatnya terorganisasi dengan menggunakan kekuatan bersenjata, yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman militer dapat pula berupa jenis ancaman yang dilakukan oleh militer suatu negara atau ancaman bersenjata yang datangnya dari gerakan kekuatan bersenjata, yang dinilai mengancam atau membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Dari batasan tentang ancaman seperti diuraikan di atas, ancaman yang dikatagorikan sebagai Ancaman militer yang dapat membahayakan kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dapat berupa agresi, pelanggaran wilayah, spionase, sabotase, pemberontakan bersenjata, aksi teror bersenjata, dan ancaman keamanan laut atau udara, serta

  4 perang saudara atau konflik komunal.

  3. Sasaran Strategis. Tujuan Strategi Pertahanan Negara dijabarkan dalam Sasaran Strategis, yang terdiri atas lima sasaran strategis, dimana satu dengan yang lainnya saling terkait. Substansi sasaran strategis mencakupi saran di bidang penangkalan, sasaran dalam menghadapi ancaman agresi militer, sasaran untuk mengatasi ancaman nirmiliter, serta sasaran dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia dan stabilitas regional. Kepentingan nasional Indonesia yang vital dan permanen adalah tegak dan utuhnya NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam mewujudkan kepentingan nasional tersebut, pertahanan negara Indonesia diselenggarakan untuk menangkal dan mencegah segala bentuk ancaman dan gangguan, baik yang bersumber dari luar maupun dari dalam negeri. Dalam mewujudkan komitmen bangsa Indonesia yang anti penjajahan dan penindasan suatu bangsa terhadap bangsa yang lain, maka orientasi penyelenggaran pertahanan negara diarahkan untuk sebesar-besarnya mewujudkan daya tangkal bangsa yang handal.

  4. Konsep Umum Strategi Pertahanan. Dalam mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan menjamin keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman, upaya pertahanan negara diselenggarakan dengan strategi pertahanan berlapis.

  5. Formulasi Strategi Penangkalan. Pertahanan Militer dalam mewujudkan kemampuan penangkalan dikembangkan dalam formula sebagai berikut : Pertama. Pertahanan Indonesia membangun konsep pertahanan berlapis. Pertahanan militer dilaksanakan secara Tri-Matra terpadu dengan pusat kekuatan berupa dukungan rakyat atas peran TNI sebagai satu kesatuan dan totalitas pertahanan Indonesia.

  Kedua. Pertahanan Indonesia yang dikembangkan dalam pola pertahanan

  berlapis yang mengedepankan kemampuan penangkalan dengan menggabungkan penangkalan dengan cara penolakan dan penangkalan dengan cara pembalasan, terdiri atas kekuatan TNI sebagai komponen utama yang didukung oleh seluruh rakyat Indonesia dalam susunan komponen cadangan dan komponen pendukung.

  Ketiga. Pertahanan berlapis yang dilaksanakan dengan perlawanan

  berlarut, selain untuk tujuan penangkalan dengan cara penolakan, juga untuk tujuan strategi penangkalan dengan cara pembalasan. Implementasi yang dipersiapkan untuk menghadapi situasi ketika upaya pertahanan konvensional tidak efektif, yang dimiliki oleh unsur-unsur pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter dengan basis-basis perlawanan yang tersebut di seluruh wilayah Indonesia.

  Keempat. Dalam rangka penangkalan dengan cara penolakan

  kemampuan khusus perorangan untuk melakukan pertempuran, didukung oleh penguasaan medan, dikembangkan dalam pola pembinaan yang berkesinambungan.

  Kebijakan Pembangunan Postur Pertahanan Negara

  1. Kerangka Pokok Postur Pertahanan Negara. Postur Pertahanan Negara yang dikembangkan untuk mewujudkan sistem pertahanan yang bersifat semesta. Postur Pertahanan Negara disusun berdasarkan strategi pertahanan negara, yang merefleksikan kekuatan, kemampuan dan gelar kekuatan pertahanan. Dalam rangka melaksanakan strategi pertahanan, Postur Pertahanan Negara dikembangkan untuk

  (deterrence standard),

  mencapai standar penangkalan yakni Postur Pertahanan Negara yang mampu menangkal dan mengatasi ancaman agresi terhadap kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan bangsa. Dalam lingkup tersebut, Postur Pertahanan Negara dikembangkan untuk menghadapi untuk menghadapi kondisi terburuk berupa perang. Jika Postur Pertahanan Negara yang dibangun dengan standar konvensional, mampu mempertahanankan diri dari agresi, niscaya tugas-tugas pertahanan lainnya akan dapat diemban.

  Berdasarkan substansi tersebut, Postur Pertahanan Indonesia yang bersifat semesta, dalam arti melibatkan seluruh rakyat dan segenap sumber daya nasional, sarana dan prasarana nasional, serta seluruh wilayah negara sebagai satu kesatuan pertahanan yaitu Sishankamrata (sistem pertahanan keamanan rakyat semesta) akan menyinergikan kekuatan pertahanan militer yang berbasis alutsista. Postur Pertahanan Militer dikembangkan dalam pola Tri-Matra terpadu antara kekuatan Matra Darat, kekuatan Matra Laut,dan kekuatan Matra Udara dan dibangun dengan

  (capability based defence)

  berbasis kemampuan sesuai dengan kondisi kemampuan anggaran.

  Selain itu, Postur Pertahanan Negara berbasis kemampuan tersebut pada menghadapi ancaman militer dari suatu negara yang mengancam Indonesia. Postur tersebut dibangun berdasarkan kebutuhan pertahanan dihadapkan dengan besarnya ancaman yang diperkirakan akan dihadapi dalam kurun waktu tertentu. Oleh karena itu, Postur Pertahanan Negara harus mencerminkan kapabilitas pertahanan

  detterence standard

  Indonesia ( pertahanan negara) yang melebihi tingkat Minimum Essential force.

  2. Perancangan Postur Pertahanan Negara. Pembangunan Postur Pertahanan Negara didasarkan pada kemampuan negara dalam mengalokasikan anggaran pertahanan dengan tidak menggangu keseimbangan sektor-sektor pembangunan nasional secara menyeluruh. Meskipun demikian dalam membangun Postur Pertahanan Negara harus pula memperhatikan urgensi fungsi pertahanan berdasarkan dinamika kondisi lingkungan strategi yang berdimensi ancaman aktual yang dihadapi.

  3. Kekuatan. Postur Pertahanan militer yang dibangun di masa datang tidak diarahkan untuk menambah personel. Penataan organisasi menjadi salah satu aspek yang dibenahi dalam membangun Postur Pertahanan Negara. Penataan organisasi harus dapat mewujudkan strategi militer yang bersifat Tri-Matra terpadu. Pembentukan organisasi baru atau pengembangan organisasi yang ada tidak otomatis berimplikasi kepada penambahan personel untuk memperbesar kekuatan. Jumlah kekuatan personel TNI yang ada saat ini akan dipertahankan dan relatif tidak dilakukan penambahan. Pengisian organisasi bentukan baru atau organisasi yang dikembangkan diprioritaskan dari personel yang ada. Pelaksanaannya diintegrasikan dengan penataan Markas Besar (termasuk Departemen Pertahanan), Badan Pelaksana Pusat ( Balakpus), dan Markas Komando di tingkat Komando Utama (Kotama). Dalam hal ini penambahan personel TNI secara signifikan, hanya dilaksanakan dalam situasi yang sangat khusus.

  4. Kemampuan. Pengembangan kemampuan pertahanan militer diarahkan pada 5 (lima) kemampuan utama, yakni kemampuan intelijen, kemampuan pertahanan, kemampuan keamanan, kemampuan pembedayaan wilayah dan kemampuan dukungan.

  5. Penggelaran. Gelar kekuatan pertahanan militer diselenggarakan dalam militer dalam menghadapi ancaman, dengan memaksimalkan keterpaduan Tri- Matra. Dalam rangka gelar penangkalan, pembentukan Komando wilayah Pertahanan diselenggarakan dalam keterpaduan matra darat, matra laut dan matra

  5 udara sesuai dengan kondisi geografi wilayah indonesia.

  Gelar kekuatan TNI AD mencakupi Gelar Kekuatan Terpusat. Gelar kekuatan kewilayahan, dan Gelar kekuatan satuan pendukung. Gelar kekuatan terpusat terdiri atas Gelar Kostrad dan Gelar Kopassus, Gelar kekuatan kewilayahan bertumpu pada Gelar Kodam yang diintegrasikan dengan Gelar Komando Gabungan Wilayah Pertahanan, sedangkan Gelar Kekuatan Satuan pendukung bertumpu pada Gelar Pusat Kecabangan Fungsional.

  Gelar kekuatan TNI AL diselenggarakan dalam rangka Strategi Pertahanan untuk menjaga kedaulatan negara dan keutuhan wilayah NKRI yakni mampu menjangkau seluruh wilayah perairan NKRI, sekaligus mengintegrasikan Sistem Senjata Armada Terpadu (SSAT) dengan Komando Gabungan Wilayah (Kogabwil) sehingga menjadi kekuatan yang disegani kawan dan lawan. Pelaksanaan gelar kekuatan TNI AL diarahkan untuk mampu memberikan efek penangkalan yang tinggi dalam mengawal dan menjaga wilayah NKRI, serta disesuaikan dengan Pertahanan Laut Nusantara yang meliputi gelar permanen untuk tujuan penangkalan maupun gelar penindakan.

  Gelar kekuatan TNI AU diselenggarakan dalam rangka Strategi Pertahanan Udara Indonesia dengan konsep strategi untuk memberikan efek deterrence dan mengamankan wilayah dirgantara Indonesia sampai di luar wilayah ZEE Indonesia.

  Fungsi yang diemban dalam penggelaran kekuatan TNI AU diarahkan untuk memberikan payung udara yang melindungi Kekuatan TNI dalam penyelenggaraan operasi, baik laut, maupun di darat. Gelar kekuatan TNI AU tersebut dikembangkan dalam kerangka Tri Matra Terpadu. Dalam rangka itu, penggelaran empat Koopsau akan disesuaikan dengan penggelaran Devisi Kostrad dan Armada TNI AL sehingga mewujudkan suatu keterpaduan.

  Sipil Dan Militer Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Masyarakat Sipil dan Hubungan Sipil-Militer .

  Menurut M. Mahfud MD. Dilihat dari sudut teori sosial dan politik yang baku mengaitkan persoalan hubungan antara sipil dengan militer dan masyarakat sipil sebenarnya kurang relevan, sebab pada mulanya konsepsi masyarakat sipil atau masyarakat madani (civil society) itu tidak terkait dengan masalah kedudukan militer dalam politik terutama dalam hubungannya dengan sipil. Namun di luar teks yang baku, membicarakan masyarakat sipil, terlebih lagi di Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang hubungan antara sipil dengan militer. Alasannya sederhana saja; upaya-upaya membangun demokrasi dan membongkar struktur politik yang dihegemoni oleh negara atau otoriter disamakan dengan pemerintahan yang militeristik. Apalagi, aktor utama politik Orde Baru yang otoriter

  6 itu adalah militer yang masuk ke ranah politik melalui konsepsi Dwifungsi ABRI.

  Oleh sebab itu upaya membangun masyarakat madani yang berarti membongkar struktur politik yang otoriter, tidak dapat dihindarkan dari persoalan posisi militer di dalam politik dan ketatanegaraan Indonesia. Disinilah letak relevansi topik yang mengaitkan soal upaya membangun masyarakat sipil dengan persoalan hubungan antara sipil dengan militer.

  Untuk memahami konsepsi masyarakat sipil, yang dalam konteks ini dianggap sama dengan istilah Civil Society, berikut ini akan dijelaskan asal muasal dan perkembangan istilah tersebut.

  Akar Konsepsi Masyarakat Sipil .

  Jika dilacak berdasarkan perkembangan socio-legal dan kultural, konsepsi civil society (yang kemudian diterjemahkan sebagai masyarakat sipil, masyarakat warga atau masyarakat madani) sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari proses terjadinya sekularisasi kekuasaan di Eropa pada abad pertengahan. Konsep dasar masyarakat sipil dalam wacana ilmu sosial, semula seperti yang banyak diperbincangkan orang. Ia lebih merupakan lawan dari konsep masyarakat negara

  7 (state society) atau masyarakat politik.

  Semula konsep ini dimunculkan di Eropa pada zaman enlightment sebagai jawaban atas alternatif dari sekularisasi kekuasaan. Dengan sekularisasi kekuasaan yang mempunyai arti penugasan dari Tuhan sesuai dengan dictatus papae (yang dikeluarkan oleh Paus Gregorius VII pada tahun 1075), muncullah pertanyaan tentang sumber kekuasaan (legitimasi) pemerintah di dalam negara. Sebelum terjadinya sekularisasi, masalah sumber legitimasi tidak dipersoalkan karena dasar kekuasaan diyakini bersumber dari Tuhan seperti halnya Paus dengan gerejanya. Tetapi, ketika raja-raja melakukan ekspansi dan penguasaan atas teritori di luar teritori kekuasaan gereja timbullah pertanyaan tentang sumber kekuasaan raja. Selanjutnya Paus Gregorius VII mengeluarkan Dictatus Papae (1075) yang mengatakan bahwa raja berkuasa dalam urusan duniawi yang tidak terkait dengan urusan agama sehingga kekuasaannya pun tidak dapat dikatakan bersumber dari Tuhan (teokrasi). Karena itu muncullah pertanyaan “darimana sumber kekuasaan pemerintah kalau bukan dari Tuhan ?. Jawaban atas pertanyaan itu adalah munculnya teori “social contract” yang mengatakan bahwa sumber kekuasaan pemerintah atau raja itu adalah perjanjian masyarakat. Salah seorang tokoh pemikir tentang teori ini, Thomas Hobbes, mengatakan bahwa pemerintah memiliki kekuasaan karena adanya perjanjian masyarakat yang menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah untuk mengurus hak mereka. Karena itu pemerintah atau raja memiliki kekuasaan yang tidak terbatas dan tidak boleh dilawan didalam sistem pemerintahan yang absolut. Beberapa pemikir lain tentang teori ini seperti JJ. Rousseau, John Locke dan Montesquieu mengatakan bahwa perjanjian masyarakat itu mengamanatkan terbentuknya pemerintahan yang demokratis dan bertanggung jawab. Dan, jika pemerintah melakukan tindakan-tindakan diluar kekuasaan yang diberikan secara terbatas oleh masyarakat, sewaktu-waktu mereka bisa dilawan oleh masyarakatnya. Maka, muncullah sistem pemerintahan yang memisahkan kekuasaan kedalam poros-poros yang berbeda dan mempunyai batas sendiri-sendiri untuk dipertanggungjawabkan kepada rakyat, seperti yang kemudian dikenal sebagai sistem atau konsep Trias Politika. Gagasan dasar dari konsep ini adalah bahwa untuk menghindari menumpuknya kekuasaan di satu tangan, kekuasaan harus dipisah kedalam poros-poros yang berbeda yakni poros pembuat undang- undang (legislasi), pelaksana undang-undang (eksekutif) dan poros yang melakukan peradilan (yudikatif).

  Dwifungsi : Pembelokan Upaya Kudeta .

  Dari penjelasan di atas, tampak jelas bahwa mempersoalkan hubungan sipil- militer menjadi konsekuensi dari upaya membangun masyarakat sipil. Artinya, kehendak untuk membangun masyarakat madani yang berbeda dengan msyarakat negara yang militeristik seperti era Orde Baru, setidaknya harus dirumuskan kembali hubungan antara sipil dan militer dalam struktur politik dan tata hukum Indonesia. Pada masa lalu hubungan sipil-militer senantiasa dikaitkan dengan konsepsi Dwifungsi ABRI yang sejak tahun 2000 oleh Markas Besar (Mabes) TNI Konsepsi Dwifungsi dinyatakan dihapus. Walau demikian untuk merancang hubungan sipil- militer sesuai dengan masyarakat sipil yang diinginkan, perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang latar belakang dan akses dari Dwifungsi. Sebab, yang kita inginkan bukan sekedar hilangnya dwifungsi sebagai istilah, melainkan juga hilangnya konsepsi tersebut di dalam praktek kehidupan politik dan ketatanegaraan

  Posisi Militer di Era Reformasi .

  Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa salah satu agenda pokok dari reformasi paling tidak sebagaimana dikemukakan oleh para penggeraknya di kampus-kampus, adalah penghapusan Dwifungsi ABRI. Maka agenda ini harus dielaborasi menjadi konsep-konsep yang kuat. Hal ini penting karena dalam kenyataannya ekses penerapan Dwifungsi telah merusak proses demokrasi yang sedang dibangun. Masyarakat menjadi tidak otonom karena selalu diintervensi oleh negara melalui pendekatan yang militeristik. Masyarakat menjadi takut kepada negara bukan merasa memiliki dan harus berpartisipasi dalam pembangunan negara. Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan negara hanyalah karena mobilisasi, bukan partisipasi dan keterlibatannya dalam proses politik hanyalah formalitas dalam demokrasi formal karena harus mengikuti proses dan persyaratan yang tidak adil yang dibuat oleh negara. Dalam situasi seperti itu kekuatan masyarakat sipil (masyarakat madani) tidak dapat tumbuh wajar, karena yang diutamakan dan dipaksakan tumbuh adalah masyarakat negara. Kedaulatan rakyat berpindah titik beratnya menjadi kedaulatan negara. Didalam pembangunan masyarakat negara itulah militer melalui konsepsi Dwifungsinya menjadi pemeran utamanya dengan cara-cara yang sangat represif.

  Itulah sebabnya setelah rezim Orde Baru runtuh, militer dianggap sebagai salah satu penyebabnya yang dominan sehingga agenda reformasi tak dapat dibendung untuk mempersoalkan peran militer dalam politik melalui konsepsi Dwifungsinya. TNI sendiri menyadari bahwa tuntutan reformasi harus direspons secara positif karena mereka tidak dapat mengelak dari kenyataan tentang akibat- akibat buruk dan penerapan Dwifungsi itu. Berdasarkan kesadaran itulah pada April tahun 2000 konsepsi Dwifungsi ABRI dihapus secara resmi dari khazanah institusi TNI setelah sebelumnya TNI bersedia mengurangi porsinya di DPR dengan janji bahwa pada akhirnya akan ditiadakan juga melalui tahap-tahap yang disepakati. TNI harus disambut positif sebagai langkah awal yang dapat memberi sumbangan bagi pembangunan masyarakat madani di Indonesia. Selanjutnya pihak TNI sendiri merumuskan pedoman peran sertanya dalam kehidupan bernegara di Indonesia melalui kebijakan dasar dan langkah-langkah tertentu.

  Ada empat kebijakan dasar yang digariskan oleh TNI, yaitu :

  1. Redefinisi jatidiri TNI yang menegaskan bahwa TNI adalah Tentara Rakyat, Tentara Pejuang dan Tentara Nasional

  2. Reposisi TNI di dalam supra dan infrastruktur politik dengan menghilangkan konsepsi Dwifungsi TNI.

  3. Reaktualisasi peran TNI dengan 4 paradigma. Pertama, posisi TNI tidak harus di depan. Kedua, TNI tidak menduduki tetapi akan mempengaruhi dalam arti tidak dengan intervensi. Ketiga, TNI akan mempengaruhi secara tidak langsung agar masyarakat dan bangsa ini menjadi independen. Keempat, TNI akan melakukan political and role sharing dengan masyarakat lainnya.

  9 4. Pembenahan hukum dan penegakan HAM.

  Militer adalah alat negara, dan tugasnya adalah membantu negara dalam mencapai tujuan nasionalnya. Dalam kontek Indonesia, TNI adalah alat negara yang bertujuan melindungi segenap rakyat Indonesia dan menegakkan kedaulatan negara terlepas dari dinamika sosial politik yang terjadi. Implikasinya TNI harus dapat menjadi tentara yang profesional dan memiliki keahlian yang mencukupi dalam bidang pertahanan negara serta dapat memposisikan diri dalam kedudukan netral dan tidak terbawa oleh arus distorsi perpolitikan yang terjadi atau bahkan mencoba menginterpretasikan keadaaan di masyarakat dan mengambil tindakan atas nama

  10

  masyarakat secara sepihak. Hal tersebut sesuai dengan amanat Panglima Besar Jenderal Sudirman pada tanggal 1 Januari 1946 dalam maklumat pimpinan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bahwa TNI bukan anak emas artinya TNI bukan merupakan suatu golongan di luar masyarakat, bukan suatu kasta yang berdiri sendiri di atas masyarakat, TNI tidak lain dan tidak lebih dari salah satu bagian masyarakat yang mempunyai kewajiban tertentu.

  Citra TNI yang profesional itu sendiri didasarkan pada empat pandangan, 1) konsep bangsa Indonesia tidak dibangun berdasarkan atas ras, suku, agama dan sebagainya, tetapi atas dasar keinginan untuk bersatu, 2) di dalam konstitusi disebutkan bahwa tugas negara adalah melindungi setiap warga negara dan tanah tumpah darah, 3) konsep pertahanan Indonesia yang tidak akan menyerang bangsa lain apabila tidak diserang, 4) hakikat perjuangan bangsa ini adalah melanjutkan perjuangan masa kini yang berorientasi pada bidang-bidang lain yang tidak melulu pada perjuangan bersenjata, tetapi dalam aspek politik, ekonomi dan sosial budaya

  11 dengan menyusun suatu kebersamaan di dalam mencapai-cita-cita.

  

Wujud Tanggung Jawab Warga Negara Dalam Penyelenggaraan Pertahanan

9 Negara. 10 Ibid, hal 126 Aditya Batara Gunawan , Doktrin Pertahanan Negara, dan Kebutuhan akan Komponen Cadangan, dalam 11 Pertahanan Semesta Dan Wajib Militer, Lesperssi, Jakarta, Th. 2008. hal. 24 Dr. Kusnanto Anggoro, Dr Anak Agung Banyu Perwita, Rekam Jejak Proses SSR Indonesia 2000-2005, Pro

  Para pendiri negara sangat sadar bahwa membela negara dan mempertahankan negara merupakan hak dan kewajiban yang hakiki oleh setiap warga negara yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam

  Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (1). Implementasi dari hal tersebut maka negara Indonesia tidak cukup dipertahankan oleh tentara saja, tetapi perlu sekali mengadakan kerjasama yang serat-eratnya dengan golongan serta badan-badan di

  12

  luar tentara. Sejarah mengingatkan tentang perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada saat perang kemerdekaan dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat secara spontan dan simultan. Dengan demikian yang wajib mempertahankan dan membela negara Republik Indonesia serta menyelamatkan rakyat dan bangsa Indonesia seluruhnya dari marabahaya itu

  13

  tidak lain, yang mempunyai hak milik sendiri, yaitu rakyat Indonesia seluruhnya. Hal tersebut selaras dengan apa yang disampaikan oleh mantan Menteri Pertahanan Prof. Dr. Juwono Sudarsono, bahwa rasa aman di semua aspek kehidupan yang meliputi tata kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya serta pertahanan dan keamanan bukanlah tanggung jawab pemerintah saja, akan tetapi menjadi

  14 kewajiban seluruh rakyat.

  Dalam rangka membangun pertahanan negara modern yang mampu menghadapi ancaman yang lebih kompleks diperlukan industri yang handal. Industri tersebut harus menghasilkan alat utama sistem senjata (alutsista) yang dirancang oleh sumber daya manusia yang profesional dan didukung oleh sumber daya alam

  15 dan sumber daya buatan yang bersumber dari dalam negeri.

  Dalam mempertahankan kedaulatan negara salah satu hal yang harus diutamakan adalah pembangunan industri pertahanan dalam negeri yang dikelola oleh putra-putra terbaik Indonesia termasuk yang dihasilkan oleh Perguruan Tinggi,

  12 Wawasan Kejuangan Panglima Besar Jenderal Sudirman, Disiapkan Pusat Pembinaan Mental ABRI, Yayasan 13 Kejuangan Panglima Besar Jenderal Sudirman, Jakarta, Th. 1972 hal 7. 14 Ibid, hal 220.

  Prof. Dr. Juwono Sudarsono, Pengantar Buku Penataan Kerangka Regulasi Keamanan Nasional, dalam T. 15 Hari Prihatono, Penataan Kerangka Regulasi Keamanan Nasional, ProPatria, Jakarta, Th. 2006, hal. xiii.

  

Jenderal Mayor TB Simatupang, Pelopor Dalam Perang Pelopor Dalam Damai, Kupasan Mengenai Masalah sehingga diperlukan kerjasama di antara stakeholders terutama pimpinan TNI, kalangan industri dan Perguruan Tinggi.

  Sebagai contoh peranan putra terbaik di negara lain telah disampaikan Jenderal Mayor TB Simatupang Kepala Staf Angkatan Perang Tahun 1954, seperti misalnya Archimides (257-212 SM) seorang sarjana yang ternama menciptakan senjata baru ketika tempat tinggalnya diserang oleh pasukan dari armada Romawi. Berkat temuan tersebut Sirakusa tempat tinggal Archimides dapat bertahan lebih dari tiga tahun. Leonardo da Vinci dan Galileo dua sarjana lain yang ahli dalam pembuatan jembatan, alat penyemprot api, dan meriam sebagai sarana untuk perang. Michelangelo, juga sarjana dan seniman yang ternama dari zaman itu, memperkuat perbentengan kota Florence, Lavoiser, yang meletakkan dasar-dasar bagi ilmu kimia modern, bekerja dalam pembuatan mesiu di Perancis. Descartes adalah seorang prajurit, seorang ahli ilmu pasti dan seorang ahli filsafat yang besar. Prosede Bessemer untuk membuat baja dalam memenuhi kebutuhan pembuatan meriam.

  Dalam konteks kekinian contoh tersebut di atas masih sangat relevan dalam hal kontribusi warga negara dalam penyelenggaraan pertahanan negara. Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menyebutkan bahwa sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman, yang dilaksanakan melalui usaha membangun dan membina kemampuan, daya tangkal negara dan bangsa.

  Yang dimaksud secara dini adalah pembangunan pertahanan negara dilakukan pada masa damai sebagai daya tangkal dan kesiapan menghadapi ancaman dari invasi negara lain. Secara total pengerahan dan penggunaan segenap komponen pertahanan negara yaitu TNI sebagai komponen utama yang didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung. Secara terpadu berarti pemerintah dalam mewujudkan sistem pertahanan semesta bersifat lintas sektoral dengan melibatkan pemangku kepentingan lainnya. Secara terarah berarti wujud kesemestaan tersebut harus disiapkan dengan membuat berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur seluruh warga negara, wilayah negara, dan sumber daya nasional serta sarana dan prasarana nasional. Secara berlanjut berarti

  16 dilaksanakan sesuai dengan program tahapan pembangunan nasional.

  Sistem pertahanan yang bersifat semesta diwujudkan dalam tiga komponen pertahanan yang meliputi; 1) Komponen Utama, yaitu TNI, 2) Kompnenen Cadangan yang terdiri warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, sarana dan prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama, 3) Komponen Pendukung yang terdiri warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, sarana dan prasarana nasional yang secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan.

  Dengan demikian tanggung jawab warga negara dalam penyelenggaraan pertahanan negara diwujudkan melalui 1) keanggotaan TNI baik secara sukarela karena menggunakan haknya maupun secara wajib memenuhi panggilan negara, 2) keanggotaan Komponen Cadangan atau Komponen Pendukung dan 3) pengabdian warga negara sesuai dengan profesi yang disebut dengan Tenaga Profesi Pertahanan Negara.

  Kesimpulan

  1. Penyelengaraan Pertahanan Negara diarahkan sebagai wujud kepentingan nasional dalam menjaga pilar berbangsa dan bernegara yang meliputi tetap tegaknya nilai-nilai Pancasila, konsistensi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta terpeliharanya Bhinneka Tunggal Ika.

  2. Masalah pertahanan negara bukan semata tanggung jawab TNI, tetapi merupakan tanggung jawab semua elemen bangsa melalui komponen pertahanan negara.

  3. TNI konsisten dalam rangka mewujudkan cita-cita reformasi termasuk menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat sipil didalamnya dengan Perguruan Tinggi dalam rangka penyelenggaraan pertahanan negara.

  Rekomendasi

  Melalui forum ini atas nama Kementerian Pertahanan merekomendasikan :

  1. Perlunya melestarikan nilai-nilai kebangsaan dalam pengelolaan pendidikan sebagai wujud kepedulian terhadap penyelenggaraan pertahanan negara.

  2. Kementerian Pertahanan mengharapkan adanya masukan dan saran dalam rangka perumusan kebijakan di bidang pertahanan negara untuk dapat diaplikasikan ditengah masyarakat.

  Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Suryadi, M.Sc Mayor Jenderal TNI

  Daftar Pustaka

  1. Aditya Batara Gunawan, Doktrin Pertahanan Negara, Dan Kebutuhan Akan

  Komponen Cadangan, Dalam Pertahanan Semesta Dan Wajib Militer, Lesperssi, Jakarta, Th. 2008.

  2. Nomenson Sinamo, Hukum Tata Negara, Suatu Kajian Kritis, Jala Permata Aksara, Jakarta, Th. 2010.

  3. Jenderal Mayor TB. Simatupang, Pelopor Dalam Perang Pelopor Dalam

  Damai, Kupasan Mengenai Masalah Pertahanan Negara Dan Angkatan Perang RI, Yayasan Pustaka Militer, Jakarta, Th. 1954.

  4. Dr. Kusnanto Anggoro, Dan Anak Agung Banyu Perwita, Rekam Jejak Proses SSR Indonesia 2000 – 2005, ProPatria, Jakarta, Th. 2006.

  5. Prof. Dr. Juwono Sudarsono, Pengantar Buku Penataan Kerangka Regulasi

  Keamanan Nasional, Dalam T Hari Prihatono, Penataan Kerangka

Regulasi Keamanan Nasional, ProPatria, Jakarta, Th. 2006.

  6. Buku Himpunan Perundang-undangan Yang Terkait dengan

  Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pertahanan, Biro Hukum Setjen Dephan,

  Jakarta, Th. 2007 7. Pendidikan Kewarganegaraan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Th. 2001

  8. Doktrin Pertahanan Negara, Departemen Pertahanan, Jakarta, Th. 2007 9. Strategi Pertahanan Negara, Departemen Pertahanan, Jakarta, Th. 2007.

  10. Postur Pertahanan Negara, Departemen Pertahanan, Jakarta, Th. 2007.

  11. Wawasan Kejuangan Panglima Besar Jenderal Sudirman, Disiapkan Pusat Pembinaan Mental ABRI, Yayasan Kejuangan Panglima Besar Jenderal Sudirman, Jakarta, Th. 1972.

  12. Peran Komponen Pendukung Sebagai Kekuatan Pertahanan Negara Ditinjau Dari Aspek Aplikasi di Lapangan (Binter), Staf Teritorial TNI, Jakarta, Th.

  2002.