DAMPAK SISTEM SILVIKULTUR INTENSIF (SILIN) TERHADAP KOMUNITAS BURUNG BAWAH TAJUK DI PT TRIWIRA ASTA BHARATA, KALTIM
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak TPTII/SILIN di hutan produksi dipterokarpa terhadap komunitas burung. Pengamatan populasi burung dilakukan pada dua tapak hutan yaitu (1) tapak hutan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), (2) tapak hutan Tebang Pilih Tanam Intensif Indonesia (TPTII/SILIN). Pada setiap tapak 10 jala kabut berukuran 10 X 4 m dipasang dan dipindah ke titik lain setiap tiga hari. Jala dibuka dari jam 06:00 – 17:00 dan diperiksa setiap 15 menit. Burung yang terperangkap diukur, diidentifikasi dan dilepaskan kembali. Analisis data dilakukan dengan menggunakan Indeks Nilai Penting, Indeks Keragaman Jenis Shannon-Weinner, Indeks Kekayaan Jenis Margalef, Indeks Dominansi Simpson, Indeks Kesamaan Komunitas Sorensen. Jumlah individu, jumlah spesies dan indeks keragaman Shanon- Wiener dibandingkan dengan uji statistik student t-test. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pada tapak hutan TPTI, Ceyx erithacus merupakan spesies dengan nilai penting tertinggi. Pada tapak hutan TPTII/SILIN, Arachnotera longirostra merupakan burung yang memiliki nilai penting tertinggi. Kelimpahan burung, nilai indeks keragaman jenis Shannon-Weinner dan kekayaan jenis Margalef pada tapak hutan TPTI lebih rendah dibanding TPTII/SILIN, sedangkan nilai indeks dominansi Simpson pada tapak hutan TPTI lebih tinggi dibanding tapak hutan TPTII/SILIN. Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan yang nyata pada jumlah individu, jumlah jenis dan indeks keragaman hayati Shannon-Weinner burung di antara kedua lokasi penelitian. TPTII/SILIN lebih baik dalam menopang keragaman burung bawah tajuk dibanding TPTI.
Kata kunci: Silivikultur intensif, keragaman jenis, burung bawah tajuk, konsesi hutan
ABSTRACT
The objective of the research is to identify the impact of Intensive Indonesian Selective Cutting and Replanting System (TPTII/SILIN) at dipterocarp production forest on understory birds community. Two forest blocks were compared, one with TPTII/SILIN and the other with Indonesian Selective Cutting and Replanting System (TPTI). At each forest block, 10 of 4 x 10 m mist nets were installed for three days and then they were moved to other spot for other three days. Mist nets were opened from 06:00 to 17:00 and monitored every 15 minutes. The trapped bird was identified and body size measured, then subsequently released. Data was analyzed by using Important Value Index, Shannon-Weinner Diversity Index, Margalef Species Richness Index, Simpson Dominance Index, and Sorensen Similarity Index. Number of individu, number of species, Shanon-Wiener Diversity Index were compared statistically using student t-test. The result showed that Ceyx erithacus and Arcahnotera longirostra hold the highest important value index in TPTI and TPTII/SILIN respectively. Bird abundance, Shannon-Weinner Diversity Index and Margalef Species Richness Index were lower in TPTI than TPTII/SILIN. Meanwhile Simpson Dominance Index was higher at TPTI than TPTII/SILIN. Statistical analysis for the data of the two forest blocks showed significant differences on number of individual, number of species and Shannon-Weiner Diversity Index. TPTII/SILIN was better in supporting understory birds community than those of TPTI.
Keywords: Intensive silviculture, species diversity, understory bird, forest concession
©JPKW-2016. Permalink/DOI: http://dx.doi.org/10.18330/jwallacea.2016.vol5iss2pp135-149
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea
Vol. 5 No.2, Agustus 2016: 135-149
I. PENDAHULUAN
pelaksanaannya
TPTI menemui berbagai kendala dan kelemahan. Hal ini disebabkan
Pola pengelolaan
hutan
sangat
pada TPTI, teknik pembalakan yang dilakukan berpengaruh terhadap keragaman hayati secara konvensional menimbulkan tingkat dalam suatu kawasan hutan (Putz dan Romero, kerusakan yang tinggi (28 - 48%) pada tegakan 2014). Pemanenan kayu pada hutan produksi tinggal (Budiansyah, 2006; Nurtjahjawilasa et akan
al., 2013). Hal ini masih ditambah dengan keseimbangan ekosistem hutan, yang juga
diterapkannya mekanisme akan berdampak pada keragaman hayati
belum
dapat
secara optimal (Istomo, 2006), (Ernst et al., 2006; Cleary et al., 2007; Tavankar
kontrol
pemantauan terhadap dan Bonyad, 2015). Peningkatan gangguan proses pengayaan akibat tersebarnya bibit terhadap keragaman hayati juga makin pengayaan di antara tegakan sisa. Sulitnya bertambah
mengontrol dan memantau proses pengayaan produksi yang rusak akibat pengelolaan yang dan keberhasilan pengayaan yang telah tidak dilakukan dengan benar (Edwards et al., dilakukan oleh pemegang HPH pada areal TPTI 2011; Yuniar, 2013) dan menjadikan kawasan
salah satu penyebab hutan
dianggap
sebagai
produksi menjadi
salah
satu
terjadinya kegagalan pada proses regenerasi penyumbang
deforestasi
terbesar
dan pemulihan hutan bekas tebangan pada (Nurtjahjawilasa et al., 2013; Purba et al., areal TPTI. Nurtjahjawilasa et al. (2013) 2014). menyatakan bahwa dampak dari kegagalan
Berbagai terobosan telah ditempuh agar pengelolaan areal hutan produksi terlihat dari keberadaan kawasan hutan produksi tetap
perubahan sebagian besar kawasan hutan lestari dan dinamis, yang dicirikan dengan
bekas tebangan menjadi kawasan hutan non- selalu meningkatnya potensi dan fungsi hutan,
produktif, lahan kritis bahkan padang alang- baik dari segi kuantitas maupun kualitas
alang.
(Indrawan, 2008). Pengelolaan hutan produksi
dianggap merupakan tidak lagi hanya difokuskan pada bagaimana
TPTII/SILIN
TPTI (Indrawan, 2008; menghasilkan
TPTII/SILIN, yang banyaknya, tetapi juga bagaimana agar fungsi
Butarbutar,
pada areal bekas tebangan, hutan sebagai habitat flora dan fauna tetap dianggap mampu mempertahankan kelestarian dapat dipertahankan agar keragaman hayati keragaman hayati (Soekotjo, 2009). Hal ini dalam kawasan hutan produksi tetap terjaga. disebabkan karena adanya jalur pada lokasi Berbagai terobosan tersebut dilakukan dengan pengayaan, memberi kemudahan melakukan menerapkan berbagai sistem pengelolaan di pengontrolan, pemantauan dan pengukuran kawasan hutan produksi, mulai dari sistem TPI terhadap pelaksanaan TPTII/SILIN (Hasanah, (Tebang Pilih Indonesia), TPTI (Tebang Pilih
diterapkan
dapat meningkatkan Tanam Indonesia), THPB (Tebang Habis keberhasilan proses pengayaan yang dilakukan Permudaan Buatan), THPA (Tebang Habis oleh perusahaan pemegang konsesi IUPHHK Permudaan Alam), TPTJ (Tebang Pilih Tanam (Hasanah, 2009; Butarbutar, 2014). Selain itu, Jalur) serta TPTII (Tebang Pilih Tanam TPTII/SILIN juga hanya menggunakan ruang Indonesia Intensif) atau yang dikenal dengan sebesar 25%, sedangkan ruang sisanya (75%) istilah
sehingga
digunakan untuk mempertahankan keragaman (Hardiansyah, 2013). hayati (Hardiansyah, 2013). Dengan tetap
dipertahankannya keanekaragaman dari sistem TPI, dilaksanakan pada kawasan
TPTI yang dicanangkan sebagai perbaikan
dapat
hayati, diharapkan fungsi hutan akan menjadi hutan alam yang menjadi bagian dari hutan
lebih baik. Meskipun demikian, belum produksi. Pada TPTI, dilakukan sistem
diketahui dengan pasti apakah penerapan silvikultur dengan penanaman berbagai jenis
sistem TPTII/SILIN di hutan produksi benar- pohon bernilai komersial tinggi (Departemen
mampu mempertahankan Kehutanan, 1993). Pena-Claros et al. (2002)
benar
lebih
keragaman hayati dibanding penerapan TPTI. menyatakan bahwa proses pengayaan atau
Oleh karena itu, penelitian untuk menjawab penanaman jenis tumbuhan komersial, dapat
dampak TPTII/SILIN terhadap keragaman meningkatkan regenerasi dan pertumbuhan
hayati perlu dilakukan. Penelitian ini pohon komersial bernilai ekonomi tinggi
mengetahui dampak dibanding dengan mengandalkan regenerasi
bertujuan
untuk
komunitas burung alami.
TPTII/SILIN terhadap
bawah tajuk.
Dampak Sistem Silvikultur Intensif (Silin) Terhadap Komunitas Burung .... Adi Susilo dan Indra A.S.L.P.Putri
II. METODE PENELITIAN
C. Analisis data
A. Lokasi
Populasi
burung hanya dianalisis
berdasarkan data burung yang terperangkap Penelitian dilakukan di areal ujicoba dalam jala kabut pada hari cerah tanpa hujan TPTII/SILIN di PT. Triwira Asta Bharata yang dan dibuka selama kurang lebih 11 jam. Data merupakan eks areal PT. East Kalimantan yang terkumpul hanya setengah hari atau pada Timber Industries (PT. EKTI). Areal tersebut hari hujan tidak dipakai. Selama penelitian terletak di Kutai Barat, Provinsi Kalimantan berhasil dikumpulkan 12 ulangan pengamatan. Timur, dengan luas areal kerja 51.000 ha. Data diolah untuk menghitung kelimpahan Secara geografis areal kerja PT. Triwira Asta
Nilai Penting, Indeks Bharata terletak antara 0 05’ - 0 14’ Lintang Selatan dan 115 0 32’- 115 0 57’ Bujur Timur. Keragaman Jenis Shannon-Weinner, Indeks Kekayaan Jenis Margalef, Indeks Dominansi Berdasarkan
kesamaan komunitas pemerintahan, areal kerja PT. Triwira Asta Sorensen (Fachrul, 2007). Bharata termasuk ke dalam Kecamatan Melak, Untuk mengetahui adanya perbedaan dan Kecamatan Long Iram, Kabupaten Kutai pada komposisi burung bawah tajuk, dilakukan Barat,
analisis secara statistik. Dalam uji statistik ini, Berdasarkan pembagian wilayah pemangkuan jumlah hari pengamatan dipakai sebagai hutan, areal ini termasuk ke dalam wilayah ulangan, sehingga satu buah sampel statistik RPH Senduru, BKPH Long Iram, Dinas adalah hasil penangkapan 10 mistnet yang Kehutanan Pemerintah Kabupaten Kutai Barat, dibuka selama 11 jam. Populasi burung di dua Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur.
habitat
tersebut
dibandingkan dengan
B. Prosedur Kerja
hipotesis berupa ada perbedaan jumlah Untuk mengetahui dampak TPTII/SILIN
individu, kekayaan spesies (species richness) terhadap komunitas burung bawah tajuk, maka
dan indeks keanekaragaman jenis (Shannon- pada penelitian ini digunakan dua perlakuan
Weinner Index) dari kedua habitat yang yaitu hutan produksi dengan sistem TPTI
dibandingkan. Pada tahap awal dilakukan uji (bekas tebangan tahun 1997) dan hutan
normalitas. Bila sebaran data normal, maka produksi dengan sistem TPTII/SILIN (uji coba
dilakukan uji statistik parametrik (student t- TPTII/SILIN tahun 2009). Holbech (2005)
test) untuk membedakan rata-rata jumlah menyatakan bahwa penggunaan jala kabut
individu, jumlah spesies dan indeks keragaman merupakan metode yang sangat tepat dalam
jenis pada kedua tapak hutan yang diteliti. Bila mengamati populasi burung bawah tajuk. Hal
sebaran data tidak normal maka dilakukan uji ini terutama disebabkan karakter burung
statistik non parametrik dengan menggunakan bawah tajuk yang umumnya tergolong jenis
uji Kruskal-Wallis.
pemalu, sering bersembunyi di balik kerapatan vegetasi bawah tajuk dan pendiam, sehingga
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
sulit untuk diamati dengan menggunakan
A. Hasil
metode pengamatan langsung. Pada penelitian Kelimpahan suatu spesies merupakan ini burung ditangkap dengan menggunakan 10 nilai yang menggambarkan seberapa banyak buah jala kabut berukuran 10 m (panjang) x 4 individu spesies tersebut per satuan luas. m (tinggi) yang dipasang bersambungan. Jala Makin besar nilai kelimpahannya maka makin kabut dibuka jam 06.00, ditutup 17.00 (per banyak pula jumlah individu yang berada hari ± 11 jam) dan diperiksa setiap 15 menit dalam satuan luas tersebut. Secara umum, sekali. Pada kedua lokasi penelitian, untuk selama penelitian berhasil ditangkap 112 ekor setiap titik pengamatan, jala kabut dipasang burung yang berasal dari 33 spesies. Namun secara serempak selama tiga hari berturut- bila melihat pada masing-masing lokasi turut (Plumptre et al., 2001; Ralph et al., 2004; penelitian, maka terlihat adanya perbedaan Rozzi et al., 2014) kemudian dipindahkan kelimpahan burung yang ditangkap pada untuk dipasang di titik lain selama tiga hari kedua lokasi penelitian. Tapak hutan (Ralph et al., 2004; Rozzi et al., 2014), TPTII/SILIN memiliki jumlah individu burung demikian
yang jauh lebih banyak dibanding tapak hutan terperangkap segera diambil, diidentifikasi,
TPTI. Hal ini terlihat dari pada tapak hutan dipotret
dan diukur dimensi
tubuhnya
TPTII/SILIN berhasil ditangkap 90 ekor kemudian dilepaskan kembali. Identifikasi burung (dengan nilai kelimpahan sebesar burung dilakukan menggunakan panduan 2.250 ekor burung per hektare). Pada tapak lapangan burung (MacKinnon et al., 2010).
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea
Vol. 5 No.2, Agustus 2016: 135-149
hutan TPTI, berhasil ditangkap 22 ekor burung pada kedua lokasi penelitian, akan terlihat (dengan nilai kelimpahan sebesar 550 ekor
bahwa jumlah individu burung pada kedua burung per hektare). Bila dilakukan uji
lokasi penelitian secara statistik berbeda statistik untuk mengetahui apakah terdapat
sangat nyata (P < 0.1) (Tabel 1). perbedaan nyata pada jumlah individu burung
Tabel 1. Sidik ragam rata-rata jumlah individu burung pada tapak hutan TPTI dan TPTII/SILIN Table 1. Analysis of variance of the number of individual bird at TPTI and TPTII/SILIN
F table Keragaman
Keterangan: Berbeda sangat nyata pada taraf
Remarks: Significant difference at 0.1
kepercayaan 0.1
Selain terdapat perbedaan kelimpahan dijumpai di kedua tapak hutan yang diteliti, 3 burung yang hidup pada kedua lokasi
spesies terperangkap hanya di tapak hutan penelitian, maka terdapat juga perbedaan
TPTI dan 25 spesies terperangkap hanya di jumlah spesies burung yang dijumpai di lokasi
tapak hutan TPTII/SILIN. Bila dianalisis lebih penelitian. Jumlah spesies burung yang
berdasarkan nilai indeks dijumpai pada tapak hutan TPTI jauh lebih
lanjut,
maka
kesamaan komunitas Sorensen, terlihat jika sedikit dibanding jumlah spesies burung yang
kesamaan jenis burung pada kedua lokasi dijumpai pada tapak hutan TPTII/SILIN. Pada
penelitian tergolong rendah (Tabel 6). Bila tapak hutan TPTI hanya dijumpai 11 spesies
spesies burung yang dijumpai di kedua lokasi burung yang berasal dari 8 familia. Pada tapak
penelitian diuji secara statistik, maka terlihat hutan TPTII/SILIN dapat dijumpai 29 spesies
adanya perbedaan yang sangat nyata pada burung yang berasal dari 12 familia. Selain itu,
tingkat kepercayaan 0,1 (P<0,1) (Tabel 2). hanya terdapat delapan spesies yang dapat
Tabel 2. Sidik ragam rata-rata jumlah spesies burung pada tapak hutan TPTI dan TPTII/SILIN Table 2. Analysis of variance of the number of bird species at TPTI and TPTII/SILIN
F Tabel Keragaman
Sumber Derajat
Jumlah
F hitung
Bebas
Kuadrat
Kuadrat Total
Keterangan: Berbeda sangat nyata pada taraf
Remarks: Significant difference at 0.1
kepercayaan 0.1
INP suatu jenis merupakan nilai yang memiliki nilai penting tertinggi adalah Ceyx menggambarkan peranan keberadaan suatu
erithacus (Gambar 1a). Jenis burung ini juga spesies burung dalam komunitas burung.
memiliki nilai kelimpahan relatif dan frekuensi Makin besar INP suatu jenis makin besar pula
relatif yang tertinggi dibanding jenis lain. Di peranan jenis tersebut dalam komunitas
sekitar lokasi penelitian pada tapak hutan (Odum, 1971). Penguasaan spesies tertentu
TPTI, memang terdapat rawa atau genangan dalam suatu komunitas terjadi apabila spesies
air, yang merupakan habitat yang sesuai bagi yang bersangkutan berhasil menempatkan
Ceyx erithacus. Hal ini dapat menyebabkan sebagian
Ceyx erithacus terlihat lebih mampu untuk dibandingkan dengan spesies yang lainnya
besar sumberdaya
yang
ada
beradaptasi dengan kondisi habitat yang ada (Saharjo dan Cornelio, 2011).
dibanding spesies burung lainnya. Pada tapak Hasil penelitian memperlihatkan bahwa
hutan TPTII/SILIN, jenis burung yang memiliki pada tapak hutan TPTI, jenis burung yang
nilai penting tertinggi adalah Arachnotera
Dampak Sistem Silvikultur Intensif (Silin) Terhadap Komunitas Burung .... Adi Susilo dan Indra A.S.L.P.Putri
longirostra (Gambar 1b). Burung ini juga berisitirahat maupun mencari makan bagi memiliki nilai kelimpahan relatif dan frekuensi
burung tersebut di tapak hutan TPTII/SILIN, relatif yang tertinggi. Jumlah individu yang
menyebabkan makin besarnya peluang burung banyak serta disediakannya tempat bermain,
tersebut untuk terperangkap pada jala kabut.
(a)
(b)
Gambar 1. a). Ceyx erithacus, spesies dominan pada tapak hutan TPTI. b). Arachnothera longirostra, spesies dominan pada hutan yang dikelola dangan sistem SILIN. Figure 1. a). Ceyx erithacus, dominant species at TPTI area. b). Arachnothera longirostra, dominant species at SILIN area
demikian, makin kecil jumlah spesies dan keragaman jenis Shannon-Weinner pada lokasi
Secara keseluruhan
nilai
indeks
variasi jumlah individu dalam tiap spesies penelitian
maka keragaman akan mengecil. Demikian Sementara itu bila dipisah pada setiap tapak
juga jika ada spesies yang memiliki jumlah hutan, maka nilai indeks keragaman Shannon-
individu yang jauh lebih besar dibanding yang Weinner (H’) pada tapak hutan TPTI adalah
lain, maka keragaman juga akan mengecil. 2,28 (Tabel 3). Nilai ini tergolong rendah
Pada lokasi penelitian, burung yang hidup pada (Brower dan Zar, 1998) sedangkan pada tapak
tapak hutan TPTII/SILIN memiliki jumlah hutan TPTII/SILIN adalah 3,11 (Tabel 4) nilai
spesies dan individu yang lebih tinggi ini tergolong sedang (Brower dan Zar, 1998).
dibanding burung yang hidup pada tapak Menurut Odum (1971), keragaman mencakup
hutan TPTII, sehingga tapak hutan TPTII/SILIN dua hal penting yaitu banyaknya spesies yang
memiliki indeks keragaman Shannon-Weinner ada dalam suatu komunitas dan kelimpahan
(indeks H’) yang lebih tinggi. dari masing-masing spesies tersebut. Dengan
Tabel 3. Indeks keragaman jenis Shannon-Weinner burung-burung bawah tajuk pada tapak hutan TPTI Table 3. Shannon-Weinner diversity index of under-storey bird at TPTI area
INP H’ (Shannon- No
Nama latin (Latin name)
(Number of
(Relative
(Relative
(Important Weinner
value index) diversity index)
42,73 0,33 2 Ceyx rufidorsa
1 Ceyx erithacus
11,21 0,16 3 Rhinoymias umbratilis
31,52 0,29 4 Rhipidura perlata
11,21 0,16 5 Hypogramma hypogrammicum
22,42 0,25 6 Sasia abnormis
11,21 0,16 7 Alophoixus phaecephalus
11,21 0,16 8 Malaconcicla malaccense
11,21 0,16 9 Malacopteron albogulare
15,76 0,20 10 Harpactes duvaucelii
15,76 0,20 11 Trichixos pyrrhopygus
Total
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea
Vol. 5 No.2, Agustus 2016: 135-149
Tabel 4. Indeks keragaman jenis Shannon-Weinner burung-burung bawah tajuk pada tapak hutan TPTII/SILIN Table 4. Shannon-Weinner diversity index of under-storey bird at TPTII/SILIN area
INP H’ (Shannon- No
Jumlah
KR (Relative
FR
Nama latin (Latin name)
(Number of
abundance)
(Relative
(Important Weinner
individual)
frequency)
value index) diversity index)
6,39 0,11 2 Ceyx erithacus
1 Alcedo meninting
9,58 0,15 3 Ceyx rufidorsa
7,50 0,12 4 Pelargopsis capensis
3,19 0,07 5 Chalcophaps indica
3,19 0,07 6 Platysmurus leucopterus
3,19 0,07 7 Prionochilus maculatus
3,19 0,07 8 Muscicapa sibiraca
7,50 0,12 9 Hypothymis azurea
3,19 0,07 10 Philentoma pyrhopterum
3,19 0,07 11 Rhinoymias umbratilis
9,72 0,15 12 Arachnothera longirostra
37,22 0,31 13 Hypogramma hypogrammicum
7,50 0,12 14 Sasia abnormis
7,50 0,12 15 Alophoixus ochraceus
3,19 0,07 16 Alophoixus phaeocephalus
11,81 0,17 17 Criniger finschii
5,42 0,10 18 Pycnonotus erythropthalmos
3,19 0,07 19 Pycnonotus eutilotus
6,39 0,11 20 Pycnonotus melanoleucos
3,19 0,07 21 Pycnonotus simplex
7,50 0,12 22 Orthotomus sericeus
7,50 0,12 23 Macronous gularis
3,19 0,07 24 Macronous ptilosus
10,69 0,16 25 Malacopteron albogulare
4,31 0,08 26 Malacopteron magnum
4,31 0,08 27 Stachyris erythroptera
9,72 0,15 28 Stachyris nigricollis
3,19 0,07 29 Enicurus leschenaulti
Berdasarkan hasil uji statistik yang keragaman Shannon Weinner pada kedua dilakukan terhadap nilai indeks keragaman
lokasi penelitian, pada tingkat kepercayaan 0,1 Shannon-Weinner terlihat bahwa terdapat
(P < 0,1) (Tabel 5).
perbedaan yang sangat nyata pada nilai indeks Tabel 5. Sidik ragam rata-rata indeks keragaman Shannon-Weinner burung pada tapak hutan TPTI
dan TPTII/SILIN Table 5. Analysis of variance of Shannon-Weinner diversity index of bird at TPTI and TPTII/SILIN
Keterangan: Berbeda sangat nyata pada taraf
Remarks: Significant difference at 0.1
kepercayaan 0.1
indeks dominansi mengetahui apakah terdapat suatu jenis
Nilai indeks dominansi berguna untuk
menunjukkan bahwa terdapat spesies yang tertentu yang mendominasi suatu komunitas.
mendominasi komunitas tersebut. Secara
Dampak Sistem Silvikultur Intensif (Silin) Terhadap Komunitas Burung .... Adi Susilo dan Indra A.S.L.P.Putri
umum, nilai indeks dominansi pada tapak tergolong kurang stabil. Namun lebih tingginya hutan TPTI lebih tinggi dibanding tapak hutan
nilai indeks dominansi Simpson pada tapak TPTII/SILIN (Tabel 6). Walaupun nilai indeks
hutan TPTI menunjukkan jika komunitas dominansi Simpson komunitas burung pada
burung pada tapak hutan TPTI lebih tidak tapak hutan TPTII/SILIN tergolong rendah,
lebih mendapat tekanan namun nilai tersebut tidak serta merta
stabil
karena
dibanding pada tapak hutan TPTII/SILIN. menunjukkan bahwa pada tapak hutan
Akibatnya spesies burung yang dapat hidup di tersebut tidak terdapat jenis yang dominan,
tapak hutan TPTI jumlahnya jauh lebih sedikit sebab menurut Heddy dan Kurniati (1996),
dibanding pada tapak hutan TPTII/SILIN. nilai indeks dominansi di atas 0,05 sudah
Tapak hutan TPTII/SILIN lebih kaya akan menunjukkan
jumlah jenis burung terlihat dari nilai indeks mendominasi atau spesies yang jumlah
kekayaan jenis Margalef. Hasil penelitian individunya lebih banyak (lebih melimpah)
memperlihatkan bahwa tapak hutan TPTI dibanding jenis lainnya. Adanya spesies yang
memiliki nilai indeks kekayaan jenis Margalef dominan
dibanding tapak hutan menunjukkan bahwa komunitas burung yang
pada kedua
TPTII/SILIN (Tabel 6).
berada di kedua tapak hutan sebenarnya Tabel 6. Nilai indeks dominansi Simpson, indeks kekayaan jenis Margalef dan indeks kesamaan
komunitas Sorensen pada areal penelitian Table 6. Simpson dominance index, Margalef species richness index and Sorensen similarity index at reseach location
Indeks (Indexes)
TPTI
TPTII/SILIN
TPTI & TPTII/SILIN
Indeks Dominansi Simpson (Simpson
0,08 dominance index)
Indeks kekayaan jenis Margalef (Margalef
6,78 species richness index)
Indeks kesamaan Sorensen (Sorensen similarity index)
B. Pembahasan
permukaan tanah hingga lapisan atas tajuk dan mulai dari interior hutan hingga areal terbuka.
1. Dampak TPTII/SILIN terhadap kekayaan
Jenis burung yang umum dijumpai di
burung bawah tajuk
permukaan tanah antara lain Chalcopaps Merujuk pada jumlah individu, jumlah indica. Jenis burung yang umum dijumpai di spesies dan jumlah familia, nilai indeks
antara lain Rhinoymias keragaman jenis Shannon-Weinner dan nilai
lapisan
bawah
Stachyris erythropthera. indeks kekayaan jenis Margalef, tapak hutan Lapisan tajuk tengah dihuni oleh jenis burung TPTII/SILIN tergolong lebih kaya akan jenis dari familia Pycnonotidae dan Timaliidae, burung dibanding tapak hutan TPTI. Selain itu, sedangkan burung yang umum dijumpai pada bila melihat jumlah individu, jumlah spesies lapisan tajuk atas atau kanopi antara lain dan jumlah familia, nilai indeks keragaman Platysmurus leucopterus. Tertangkapnya jenis jenis Shannon-Weinner dan nilai indeks burung yang umum dijumpai di lapisan atas kekayaan jenis Margalef burung pada tapak tajuk atau kanopi, menunjukkan bahwa lapisan hutan TPTII/SILIN yang lebih tinggi dibanding tengah juga digunakan oleh jenis burung tapak hutan TPTI, maka dapat dikatakan kanopi sebagai shelter, tempat bermain, dan bahwa tapak hutan TPTII/SILIN dapat menjadi tempat beristirahat (Lampiran 1). habitat yang lebih baik bagi burung bawah Burung yang hidup di tapak hutan tajuk. Hal ini dapat disebabkan karena variasi TPTII/SILIN juga memiliki lebih banyak variasi relung habitat burung lebih tinggi pada tapak preferensi habitat. Schulze dan Riedl (2008) hutan TPTII/SILIN dibanding dengan tapak
umbratilis
dan
burung memiliki hutan TPTI. Burung tertangkap di tapak hutan spesifikasi habitat tertentu yang menjadi TPTI seluruhnya merupakan jenis burung yang preferensinya. Pada tapak hutan TPTI, memiliki relung (niche) pada lapisan bawah preferensi habitat jenis burung yang hidup di dan tengah tajuk. Sebaliknya tapak hutan tempat tersebut hanya berupa hutan dengan TPTII/SILIN, jenis burung yang tertangkap banyak tumbuhan bawah (familia Timaliidae) memiliki beragam tipe relung, mulai dari
menyatakan
bahwa
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea
Vol. 5 No.2, Agustus 2016: 135-149
serta jenis burung berasosiasi dengan habitat TPTII/SILIN (28% dari total jumlah tangkapan, yang basah (perairan), seperti jenis burung
INP 39,399). Burung berparuh panjang yang
melengkung ini merupakan jenis burung Sebaliknya, preferensi habitat dari berbagai
berasal dari
familia
Alcedinidae.
pemakan madu, nektar dan pollen, dan jenis burung yang hidup di tapak hutan
menjadi penghuni semak sekunder (Holmes TPTII/SILIN lebih beragam, mulai dari jenis
dan Nash, 1999). Jenis ini sangat umum yang menyukai habitat yang berada didekat
ditemui di hutan hujan dataran rendah dan perairan
dapat hidup hingga pada ketinggian 2000 m. kerimbunan
Jenis ini sulit diamati karena pemalu dan biasa Timaliidae) bahkan di areal terbuka (familia
terbang cepat melintasi rintisan di hutan Pycnonotidae) (Lampiran 1). Jenis-jenis
(MacKinnon et al., 2010), namun mudah burung yang berasal dari familia Pycnonotidae
terperangkap dalam mistnet. Jenis ini tidak merupakan jenis burung yang dapat hidup di
terperangkap pada mistnet yang dipasang di berbagai tipe habitat dan toleran terhadap
hutan TPTI. Banyaknya jumlah individu perubahan habitat serta menyukai areal yang
burung ini di tapak hutan TPTII/SILIN dapat sedikit terbuka (Soendjoto et al., 2015),
dipakai sebagai indikator bahwa pembukaan sedangkan burung-burung yang berasal dari
jalur bersih pada areal hutan produksi yang familia Timaliidae umumnya merupakan jenis
dikelola dengan sistem TPTII/SILIN memicu yang menyukai hidup di antara kerimbunan
berbagai jenis tumbuhan dan kelebatan semak, belukar dan tumbuhan
pertumbuhan
penghasil bunga dan areal tersebut memiliki bawah lain (MacKinnon et al., 2010).
banyak tumbuhan yang sedang berbunga. Faktor
Kawasan hutan produksi PT. Triwira Asta memperlihatkan
Bharata juga menjadi habitat bagi jenis burung TPTII/SILIN dapat menjadi habitat yang lebih
bawah tajuk yang berdasarkan IUCN (2015) baik bagi burung bawah tajuk adalah
masuk kategori near threatened. Terdapat dua dijumpainya jenis burung migran pemakan
belas jenis burung (36,33%) yang telah masuk serangga yaitu Muscicapa sibirica (Lampiran
kategori near threatened. Pada tapak hutan 1). McGrath et al. (2009) menyatakan bahwa
TPTI dijumpai lima jenis burung yang telah burung migran pemakan serangga akan
tergolong dalam kategori near threatened, memilih lokasi beristirahat saat sedang
sedangkan di tapak hutan TPTII/SILIN sepuluh bermigrasi atau lokasi migrasi berdasarkan
jenis burung yang telah masuk kategori near ketersediaan pakan. Dijumpainya jenis burung
threatened. Jenis yang telah masuk kategori migran pemakan serangga menunjukkan tapak
near threatened yang dijumpai pada areal yang hutan TPTII/SILIN juga menjadi habitat yang
dikelola dengan sistem TPTI namun tidak baik bagi
TPTII/SILIN adalah menyediakan cukup banyak serangga pakan
banyak
jenis
serangga dan
malaccense dan Trichixos burung, sehingga menjadi tempat yang dipilih
Malaconcicla
Tingginya persentase jenis oleh burung migran untuk bermigrasi.
pyrrhopygus.
burung yang telah tergolong near threatened Hasil penelitian juga memperlihatkan
yang hidup di areal hutan produksi PT. Triwira bahwa pada semua tipe pengelolaan hutan,
Asta Bharata menunjukkan bahwa areal hutan terdapat jenis yang mendominasi dan dapat
produksi ini masih menjadi habitat penting dijumpai dengan tingkat pertemuan konstan
tersebut, sehingga pada setiap periode. Burung yang dapat
penerapan pola pengelolaan yang tidak hanya dijumpai dengan tingkat pertemuan konstan
mengutamakan peningkatan produksi kayu tersebut dapat disebut sebagai jenis penetap
dan tidak mengabaikan faktor menjaga atau jenis yang telah merespon dengan baik
keragaman hayati menjadi hal yang penting pertumbuhan
untuk diterapkan guna mempertahankan kompleks habitat yang terbentuk. Pada tapak
fungsi hutan yang optimal. hutan TPTI jenis penetap ini antara lain Ceyx erithacus dan Rhynomias umbratilis. Jenis
2. Mengapa areal TPTII/SILIN kaya akan
penetap pada tapak hutan TPTII/SILIN adalah
jenis burung bawah tajuk?
Arachnothera longirostra,
Berbagai faktor dapat menjadi penyebab phaecephalus,
Alophoixus
mengapa tapak hutan TPTII/SILIN lebih kaya Stachyris erythroptera.
akan berbagai jenis burung bawah tajuk dan Arachnothera longirostra (Pijantung kecil,
dapat menjadi habitat yang lebih baik bagi Litle spiderhunter) (Gambar 1b) adalah burung
burung bawah tajuk. Salah satu faktor utama yang paling dominan pada tapak hutan
adalah ketersediaan pakan.
Dampak Sistem Silvikultur Intensif (Silin) Terhadap Komunitas Burung .... Adi Susilo dan Indra A.S.L.P.Putri
Bila melihat jenis pakannya, umumnya jumlah buah yang dihasilkan oleh areal burung yang dijumpai di PT. Triwira Asta
rumpang (gap) lebih tinggi dibandingkan areal Bharata memakan buah, pollen, nektar dan
hutan yang memiliki kanopi yang rapat. Areal serangga. Jumlah individu dan jumlah jenis
rumpang juga memiliki jumlah jenis tumbuhan burung pemakan buah pollen, nektar maupun
yang lebih banyak serangga yang dijumpai di tapak hutan
penghasil
buah
dibandingkan areal hutan berusia tua. Dengan TPTII/SILIN
demikian, kombinasi jalur bersih dan jalur dengan di tapak hutan TPTI. Hal ini
lebih banyak
dibandingkan
lebih meningkatkan jumlah jenis menunjukkan bahwa areal hutan produksi
kotor
tumbuhan yang dapat tumbuh di areal yang dikelola dengan sistem TPTII/SILIN
TPTII/SILIN. Hal ini menyebabkan di areal memiliki lebih banyak pakan baik bunga, buah
SILIN memiliki lebih banyak jenis-jenis maupun serangga.
tumbuhan penghasil pakan dan lebih mampu Areal penelitian di hutan produksi yang
menyediakan pakan secara melimpah bagi dikelola dengan sistem TPTII/SILIN memiliki
burung pemakan buah. jalur bersih dan jalur kotor yang dibuat
berbagai
jenis
Berbagai jenis tumbuhan penghasil bunga dan berselang-seling (Gambar 2). Kondisi ini
buah yang menjadi pakan burung, yang menyebabkan tersedianya berbagai intensitas
terdapat di areal hutan yang dikelola dengan cahaya yang jatuh di lantai hutan, yang dapat
sistem TPTII/SILIN antara lain karamu memicu
(Dacroyides sp.), gakamuno, manggis hutan tumbuhan bawah penghasil bunga dan buah,
sp.), karemunying/karemunting/ sebagai bentuk dari suksesi alami. Swaine dan
(Garcinia
masisin (Ochthocharis bornensis Bl), Carissa Whittmore (1988); Raich dan Khoon (1990);
carandas.
Dupuy dan Chazdon (2006); Yu et al. (2007); Banyaknya pertumbuhan semai dan Sapkota dan Oden (2009) menyatakan bahwa
anakan, serta banyaknya tumbuhan penghasil biji tumbuhan memerlukan intensitas cahaya
akan menyebabkan yang berbeda-beda agar dapat berkecambah
banyaknya serangga yang datang ke areal dan tumbuh dengan baik, sehingga terdapat
tersebut (Ghazoul, 2006; Stang et al., 2006; jenis tumbuhan yang menyukai intensitas
Elzinga et al., 2007), misalnya serangga cahaya penuh, seperti jenis tumbuhan pionir,
pemakan daun, atau serangga pollinator yang namun juga terdapat jenis tumbuhan yang
tertarik pada melimpahnya pollen dan nektar dapat berkecambah dan tumbuh dengan baik
(Ghazoul, 2006; Stang et al., 2006). Pendapat di bawah naungan, seperti tumbuhan yang
serupa juga dikemukakan oleh McGrath et al. tergolong dalam non-pionir. Adanya jalur
(2009) yang menyatakan bahwa melimpahnya bersih menyebabkan terdapatnya areal yang
berhubungan erat dengan mendapat intensitas cahaya penuh, sedangkan
serangga
melimpahnya bunga, sebab kehadiran lebih keberadaan
banyak bunga akan mendatangkan lebih terdapatnya areal yang memiliki naungan.
banyak serangga. Banyaknya serangga yang Kondisi
dijumpai di areal yang memiliki banyak bunga diakomodirnya
ini menyebabkan
dapat
tersebut dapat pertumbuhan lebih banyak jenis tumbuhan,
menyediakan banyak pakan bagi burung karena dapat mengakomodir perkecambahan
pemakan serangga. McGrath et al. (2009) juga dan
menyatakan bahwa burung migran memiliki membutuhkan
preferensi yang lebih tinggi terhadap areal maupun
yang memiliki tumbuhan yang menghasilkan naungan. Pendapat serupa dikemukakan oleh
lebih banyak bunga karena lebih banyaknya Chan et al. (2006); Royo dan Carson (2006),
serangga yang dijumpai pada areal yang yang menyatakan bahwa terbukanya tajuk
memiliki banyak bunga. Kondisi ini dapat hutan akibat penebangan pohon dapat memicu
menjelaskan mengapa pada areal yang dikelola tumbuhnya berbagai jenis tumbuhan bawah.
dengan sistem TPTII/SILIN memiliki lebih Costa dan Magnusson (2003); Wagner et
banyak jumlah jenis dan jumlah individu al. (2011) menyatakan jenis-jenis tumbuhan
burung pemakan serangga dibanding tapak bawah penghasil bunga dan buah melimpah
hutan TPTI.
pada areal yang terbuka setelah penebangan. Faktor lain yang dapat menyebabkan Terbukanya hutan juga dapat mempercepat
hutan produksi yang dikelola dengan sistem pembungaan
TPTII/SILIN dapat menjadi habitat yang lebih mempercepat dihasilkannya buah. Selain itu,
baik bagi burung bawah tajuk adalah adanya Restrepo et al. (1999) menemukan bahwa
areal yang dibersihkan dan kemudian banyak
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea
Vol. 5 No.2, Agustus 2016: 135-149
ditumbuhi oleh berbagai jenis
TPTII/SILIN sebagai tempat beristirahat dan tumbuhan
vegetasi
pada areal hutan kerimbunan dari jalur kotor, yang berupa jalur
produksi yang dikelola dengan sistem TPTI, bekas tebangan yang tidak dibersihkan, yang
kondisi yang serupa. ditumbuhi oleh pepohonan pada berbagai
tidak
dijumpai
Kurangnya kerimbunan semak belukar pada tingkatan dengan diameter dibawah batas
areal yang dikelola dengan sistem TPTI dapat tebangan dan dbiarkan tumbuh besar secara
disebabkan karena tegakan tinggal yang alami. Kombinasi dari jalur bersih dan jalur
terdapat di areal tersebut telah berusia belasan kotor ini, ternyata mampu menyediakan
tahun, sehingga telah memiliki kanopi yang shelter dan tempat berlindung yang baik bagi
cukup rapat dan menyebabkan kurangnya berbagai jenis burung bawah tajuk, sehingga
tumbuhan bawah di areal tersebut. burung bawah tajuk menggunakan areal
Gambar 2. Areal TPTII/SILIN yang memiliki jalur bersih selebar 3 m dan jalur kotor selebar 17 m Figure 2. TPTII/SILIN areal with 3 m clean stripe and 17 m residual logging stripe
3. Implikasi manajemen
dengan waktu yang diperlukan oleh hutan Masih
untuk dapat memulihkan diri (Costa dan keragaman hayati burung pada areal hutan
produksi yang dikelola
Hal lain yang dapat dilakukan untuk tetap TPTII/SILIN menunjukkan bahwa upaya untuk
dengan
sistem
menjaga keragaman hayati dalam kawasan menjaga kekayaan keragaman hayati di
hutan produksi adalah dengan patuh dan tertib kawasan hutan produksi bukan merupakan hal
menerapkan pengelolaan hutan produksi yang yang mustahil dilakukan. Bahkan seiring
sesuai dengan aturan dan ketentuan yang dengan makin meningkatnya tekanan terhadap
berlaku, sehingga tidak terdapat lagi areal hidupan liar akibat makin meluasnya areal
hutan produksi yang ditelantarkan setelah hutan yang rusak oleh gangguan manusia,
kayunya dibalak habis. Selain itu, upaya untuk areal hutan produksi masih menempati posisi
tetap dapat mempertahankan keragaman penting sebagai alternatif habitat satwa lair.
hayati di dalam kawasan hutan produksi juga Makin pentingnya upaya menjaga keragaman
dapat dilakukan dengan tetap menyediakan hayati dalam kawasan hutan
areal hutan yang tidak terganggu di dalam menyebabkan perlunya diterapkan pola-pola
produksi,
areal konsesi, menerapkan teknik pembalakan pengelolaan hutan produksi yang bersifat lebih
yang dapat meminimalisir kerusakan dan ramah terhadap keragaman hayati. Salah satu
menerapkan pembalakan kayu dalam jumlah contoh pola pengelolaan hutan produksi yang
yang minimum untuk meminimalisir dampak bersifat
pembalakan terhadap keragaman hayati. keanekaragaman
Langkah berikutnya yang dapat dilakukan menjalankan
agar keragaman hayati di kawasan hutan meminimalisir dampak penebangan terhadap
produksi tetap dapat dipertahankan adalah keragaman
dengan mengetahui letak areal di dalam pemanenan kayu yang dilakukan secara hati-
kawasan hutan produksi yang sebenarnya hati,
menjadi habitat penting bagi satwa liar yang keseimbangan antara intensitas penebangan
maupun dengan
memperhatikan
telah tergolong langka dan dilindungi dan tidak
Dampak Sistem Silvikultur Intensif (Silin) Terhadap Komunitas Burung .... Adi Susilo dan Indra A.S.L.P.Putri
membalak areal tersebut. Pengelola hutan Brower, J.E., J.H. Zar, (1998). Field and Laboratory produksi sebaiknya aktif melakukan kerjasama
Methods for General Ecology. Dubuque Lowa: dengan berbagai pihak dalam melakukan
W. M. Brown Company Publ. monitoring kekayaan keragaman hayati yang
D.J., Maas-Hebner, K.G., hidup di areal hutan produksi dan melibatkan
Chan, S.S., Larson,
Emmingham, W.H., Johnston, S.R., Mikowski, berbagai pihak termasuk orang-orang dengan
D.A. (2006). Overstory and understory latar belakang konservasi dalam membangun
development in thinned and underplanted rencana pengelolaan dan saat menjalankan
Oregon Coast Range Douglas-fir stands. pengelolaan hutan produksi. Monitoring
Canadian Journalof Forestry Research, 36, kekayaan keragaman hayati yang hidup di 2696 –2711.
areal hutan produksi sebaiknya tertuang Cleary, D.R., Boyle, T.J.B., Setyawati, T., Anggraeni, C., secara resmi dalam perjanjian pengelolaan
Van Loon, E.E., Menken, S.B.J. (2007). Bird hutan produksi dan dapat menjadi aturan yang
species and traits associated with logged and memiliki kekuatan hukum yang tetap. Selain
forest in Borneo. Ecological itu, pemerintah harus senantiasa melakukan Applications, 17(4), 1184 –1197.
unlogged
monitoring terhadap pelaksanaan pengelolaan Costa, F.R.C., Magnusson, W.E. (2003). Effects of hutan produksi dan menerapkan sanksi hukum
selective logging on the diversity and yang tegas bagi pengelola yang melakukan
of flowering and fruiting pelanggaran. Pemulihan areal hutan produksi
abundance
understory plants in a central Amazonian yang telah rusak juga sangat penting bagi tetap
forest. Biotropica, 35(1), 103 –114. terjaganya
kelestarian keragaman hayati Departemen Kehutanan. (1993). Pedoman dan dalam kawasan hutan produksi.
Petunjuk Teknis Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) pada Hutan Alam Daratan. Jakarta:
IV.
KESIMPULAN DAN SARAN Direktorat Jenderal Pengusahaan Kehutanan.
A. Dupuy, J.M., Chazdon, R.L. (2006). Effects of Kesimpulan
vegetation cover on seedling and sapling Pengelolaan hutan produksi dengan
dynamics in secondary tropical wet forests in sistem TPTI maupun TPTII/SILIN memberikan
Costa Rica. Journal of Tropical Ecology, 22, 65 – dampak bagi komunitas burung bawah tajuk
yang terlihat dari adanya spesies yang mendominasi, Edwards, D.P., Larsen, T.H., Docherty, T.D.S., Ansell, dan menunjukkan adanya
tekanan terhadap populasi burung. Namun, F.F., Hsu, W.W., Derhe, M.A., Hamer, K.C., Wilcove, D.S. (2011). Degraded lands worth
hutan produksi yang dikelola dengan sistem protecting: the biological importance of TPTII/SILIN lebih baik dalam mendukung
Southeast Asia’s repeatedly logged forests. kehidupan
Proceeding of The Royal Society B 278: 82 –90, dibanding hutan produksi yang dikelola
Doi:10.1098/rspb.2010.1062. dengan sistem TPTI.
Elzinga, J.A., Atlan, A., Biere, A., Gigord, L., Weis, A.E., Bernasconi, G. (2007). Time after time:
B. Saran
flowering phenology and biotic interaction. Dampak TPTII/SILIN terhadap komponen
Trends in Ecology and Evolution, 22(8), 423- biodiversitas lain belum diketahui. Untuk
dapat menjawab secara
Ernst, R., Linsenmair, K.E., Rodel, M. (2006). menyeluruh perlu dilakukan penelitian serupa
lengkap
dan
Diversity erosion beyond the species level: dengan target jenis satwa lain misalnya
Dramatic loss of functional diversity after kelelawar, primata, dan mamalia kecil.
selective logging in two tropical amphibian communities. Biological Conservation, 133,
DAFTAR PUSTAKA
143 –155. Doi:10.1016/j.biocon.2006.05.028. Budiansyah, B. (2006). Komposisi dan Struktur
Fachrul, M.F. (2007). Metode Sampling Bioekologi. Tegakan Areal Bekas Tebangan dengan Sistem
Jakarta: Bumi Aksara. 208 h. Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia
Intensif (TPTII) di Areal IUPHHK PT. Erna Ghazoul, J. (2006). Floral diversity and the Djuliawati, Kalimantan Tengah. Fakultas
facilitation of pollination. Journal of Ecology, Kehutanan Institut Pertanian Bogor (Skripsi).
Doi: 10.1111/j.1365- Tidak dipublikasikan. 98p.
Butarbutar, T. (2014). Sistem silvikultur tebang Hardiansyah, G.(2013). Studi pertumbuhan tanaman pilih untuk mitigasi perubahan iklim melalui
Merantisistem TPTJ di IUPHHK PT.SJM Kalbar. kerangka REDD+. Jurnal Analisis Kebijakan
Jurnal Hutan Tropis, 1(1), 71-75. Kehutanan, 11(2): 163 – 173.
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea
Vol. 5 No.2, Agustus 2016: 135-149
Hasanah, P. (2009). Kajian Aspek Vegetasi dalam Implementasinya. Jakarta: Program Terestrial Penerapan TPTI Intensif Di IUPHHK/HA PT.
The Nature Conservancy Indonesia. Sarmeinto Parakantja Timber, Kalimantan
Odum, E.P., (1971). Fundamental of Ecology. Tengah (Skripsi). Bogor: Fakultas Kehutanan
Philidelphia: W.E Saunders, 574p. Institut
dipublikasikan. 48p. Pena-Claros, M., Boot, R.G.A., Dorado-Lora, J., Zonta,
A. (2002). Enrichment planting of Bertholletia Heddy, S., Kurniati, M. (1996). Prinsip-prinsip dasar
excels in secondary forest in the Bolivian ekologi: Suatu bahasan tentang kaidah ekologi
Amazon: effect of cutting line witdh on dan penerapannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo
survival, growth and crown traits. Forest Persada. 271 h.
Ecology and Management, 161, 159-168. Holbech, L.H. (2005). The implications of selective
Plumptre, A. C. Dranzoa, I. Owiunji. (2001). Bird logging and forest fragmentation for the
communities in logged and unloggeda African conservation of avian diversity in evergreen
forests: Lessons from Uganda and Beyond. In forests of south-west Ghana. Bird Conservation
The Cutting Edge: Conserving Wildlife in International,
Logged Tropical Forests. R.A. Fimbel, A. Grajal. Doi:10.1017/S0959270905000031.
J.G. Robinson (eds), 700 p. New York. United States of America: Columbia University Press.
Holmes, D., Nash, S. (1999). Burung-burung di Sumatera dan Kalimantan. Jakarta: Pusat
Purba, C.P.P, Nanggara, S.G., Ratriyono, M., Apriani, Penelitian dan Perkembangan Biologi LIPI.
I., Rosalina, L., Sari, N.A., Meridian, A.H. (2014). Potret Keadaan Hutan Indonesia 2009 - 2013.
Indrawan, A. (2008). Sejarah perkembangan sistem Bogor: Forest Wacth Indonesia. silvikultur di Indonesia. Prosiding Lokakarya
Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur Putz, F.E., Romero, C. (2014). Futures of Tropical pada Pengusahan Hutan Produksi dalam
Forest (sensu lato). Biotropica, 46(4), 495 – Rangka
505. Doi: 10.1111/btp.12124. Pemanfaatan Kawasan Hutan. Tanggal 23
Raich, J.W. dan Khoon, G.K. (1990). Effects of canopy Agustus 2016. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB
openings on tree seed germination in a dan Direktorat Jenderal Bina Produksi
Malaysian dipterocarp forest. Journal of Departemen Kehutanan.
Tropical Ecology, 6, 203-217. Istomo. (2006). Evaluasi dan penyesuaian sistem
Ralph, C.J., E. H. Dunn, W. J. Peach, C. M. HandeL. silvikultur hutan rawa gambut, khususnya
(2004). Recommendations for the use of mist jenis ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz.)
nets for inventory and monitoring of bird di Indonesia. Prosiding Workshop Nasional
populations. Studies in Avian Biology, 29, 187 – Alternatif Kebijakan dalam Pelestarian dan
Pemanfaatan Ramin. Bogor, 22 Februari 2006. Restrepo, C., Gomez, N., Heredia, S. (1999). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Anthropogenic edges, treefall gaps, and fruit – Hutan dan Konservasi Alam bekerjasama
frugivore interactions in a neotropical dengan ITTO PPD 87/03 Rev.2(F).
montane forest. Ecology, 80(2), 668 –685. IUCN. (2015). The IUCN Red List of Threatened
Royo, A.A., Carson, W.P. (2006). On the formation of Species. http://www.iucnredlist.org/. Diakses
dense understory layers in forests worldwide: 1-3 Juli 2015.
consequences and implications for forest dynamics,
biodiversity, and succession. Lindh, B.C. (2008). Flowering of understory herbs Canadian Journal of Forestry Research, 36, following thinning in the western Cascades,
Oregon. Forest Ecology and Management, 256, 1345-1362. Doi: 10.1 1391x06-02. 929 –93. doi:10.1016/j.foreco.2008.05.055.
Rozzi, R., J.E. Jimenez, F. Massardo, J.C. Torries-Mura, R. Rijal. (2014). The Omora Park Long-term
MacKinnon, J., Phillips, K., van Balen, B. (2010).LIPI- ornithological researchprogram; study sites Seri Panduan Lapangan: Burung-burung di
methods. In Magellanic Sub-Antarctic Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Jakarta:
and
Ornithology: The First Decade of Long-Term BirdLife-Indonesia Programme.
Bird Studies at the Omora Ethnobotanical Park, McGrath, L.J., van Riper III, C., Fontaine, J.J. (2009).
Cape Horn Biosphere Reserve, Chile. R. Rozzi Flower power: tree flowering phenology as a
dan J. E. Jimenez (eds). The University of North settlement cue for migrating birds. Journal of
Texas Press & Ediciones Universidad de Animal
Magallanes. Denton, Texas. United States, 10.1111/j.1365-2656.2008.01464.x.
Nurtjahjawilasa, Duryat, K., Yasman, I., Septiani, Y., Saharjo, B.H., G. Cornelio. (2011). Suksesi alami Lasmini. (2013). Konsep dan Kebijakan
paska
kebakaran pada hutan sekunder di Desa Fatuquero, Kecamatan
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan
Railaco,
Kabupaten Ermera
Dampak Sistem Silvikultur Intensif (Silin) Terhadap Komunitas Burung .... Adi Susilo dan Indra A.S.L.P.Putri
Timor Leste. Jurnal Silvikultur Tropika, 2(1), Swaine, M.D. dan Whitmore, T.C. (1988). On the 40-45.
definition of ecological species groups in Sapkota, I.P. dan Oden, P.C. (2009). Gap
tropical rain forests. Vegetatio, 75, 81-86. characteristics
Tavankar, F., Bonyad, A.E. (2015). Effects of timber regeneration, dominance and early growth of