ANALISIS PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU RESIDIVIS TINDAK PIDANA PENYEBARAN PORNOGRAFI (Studi Putusan Nomor: 604/Pid.B/2014/PN.TJK)

ANALISIS PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU
RESIDIVIS TINDAK PIDANA PENYEBARAN PORNOGRAFI
(Studi Putusan Nomor: 604/Pid.B/2014/PN.TJK)
( Jurnal Skripsi )

Oleh:
AGUNG PRIYANTO

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014

ANALISIS PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU
RESIDIVIS TINDAK PIDANA PENYEBARAN PORNOGRAFI
(Studi Putusan Nomor 604/Pid.B/2014/PN.TJK)
Agung Priyanto, Firganefi, Rinaldy Amrullah.
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Lampung
Email: agungpriyanto102@yahoo.com

ABSTRAK

Pemanfaatan Internet tidak hanya membawa dampak yang positif, tetapi juga
dampak negatif. Salah satu dampak negatif adalah banyaknya terjadi penyebaran
informasi bermuatan pornografi melalui media sosial. Penulis ingin mengetahui
bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara residivis tindak
pidana penyebaran pornografi melalui media sosial dan penerapan sanksi pidana
terhadap residivis tindak pidana penyebaran pornografi melalui media sosial.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dasar pertimbangan Hakim dalam
memutus perkara terhadap terdakwa menggunakan beberapa teori penjatuhan
pidana antara lain, Teori Keseimbangan, Teori Pendekatan Seni dan Intuisi, serta
Teori Ratio Decidendi. Dalam penerapan sanksi pidana terdakwa terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melanggar ketentuan Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal
45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Inforamsi dan Transkasi
Elektronik karena telah memenuhi unsur obyektif dan unsur subyektif yaitu
terdakwa memiliki dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan dan terdakwa
“dengan sengaja” mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat
diaksesnya dokumen elektronik dalam hal ini yaitu gambar yang memuat bentuk
tubuh manusia tanpa busana yang melanggar kesusilaan sehingga terdakwa
dijatuhi pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan pidana denda sebesar Rp
100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsideir 4 (empat) bulan pidana kurungan.
Saran yang diberikan adalah Semestinya, Jaksa yang diberikan kewenangan dalam

proses penuntutan terhadap terdakwa harus benar-benar teliti agar tidak
merugikan pihak yang berperkara dan Hakim dalam memutus suatu perkara yang
ditanganinya harus lebih berani untuk menghukum terdakwa jauh lebih ringan
atau lebih berat sesuai dengan perbuatan yang dilakukan agar tidak terjadi
kekeliruan dikemudian hari atas putusannya tersebut.
Kata Kunci : Penerapan Pidana, Residivis, Penyebaran Pornografi.

ANALYSIS OF THE APPLICATION IN CRIMINAL SANCTIONS
AGAINST THE RECIDIVIST OF CRIMINAL ACTS SPREAD
PORNOGRAPHY
(Study Verdict Number 604/Pid.B/2014/PN.TJK)
Agung Priyanto, Firganefi, Rinaldy Amrullah.
Science Course in Law, Faculty of Law University of Lampung
Email: agungpriyanto102@yahoo.com

ABSTRACT
The use of internet is not only brings positive effect, but also it brings negative
effect. One of the negative effect is there are many information about pornography
content through social media. The writer would like to know the basic
considerations in deciding a case of the recidivist criminal offense toward spread

of pornography through social media and the application of criminal sanctions
against the recidivist of criminal offense that spreads pornography through social
media. Based on the results of research and discussion, the basic consideration of
the Judge in deciding the case against the defendant using some theories criminal
punishment include, Balance Theory, Theory approach of Art and Intuition and
also Ratio Decidendi Theory. In the application of criminal sanctions defendant
were proven legally and convince guilty of violating certainty Article 27
Paragraph (1) juncto Article 45 Law No. 11 of 2008 about informations and
Electronic Transactions because it has fulfilled the objective and subjective
element that is the defendant has an electronic document who violated decency
and defendant “willfully” distributes, transmits, and make accessible electronic
documents in this case that the image which contains the shape human body
without clothes which is violation of decency so the defendant was sentenced to
the prison for 3 (three) years and criminal fines Rp 100.000.000,- (one hundred
million rupiah) a subsidiary of 4 (four) months of imprisonment. Advice given is,
the Prosecutor should be given sufficient authority in the prosecution for
defendant must be really careful in order not to adverse parties of litigants and
The judge in deciding a case which handled should be more willing to convict a
much lighter or heavier according to the actions committed in order to avoid
mistakes in the future on its decision.


Key Word : The Application of Criminal, Residivis, Spreading Pornography.

1

I. Pendahuluan
Kemajuan Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK) dan pemanfaatannya
dalam berbagai bidang kehidupan
menandai sebuah perubahan peradaban
manusia menuju masyarakat informasi.
Pemanfaatan Internet tidak hanya
membawa dampak positif, tetapi juga
dampak negatif. Secara sederhana
internet didefinisikan sebagai jaringan
global yang mengkoneksikan jutaan
computer. Melalui internet jutaan orang
dapat saling berhubungan secara
sistematis dalam dunia maya, sehingga
saat ini dunia maya tidak hanya sebatas

menghadirkan informasi, hiburan, dan
pendidikan, tetapi sanggup memenuhi
sejumlah kebutuhan manusia seperti
pertemanan, penghargaan dan cinta
Perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi telah pula menyebabkan
hubungan dunia menjadi tanpa batas
(borderless)
dan
menyebabkan
perubahan sosial, ekonomi, dan budaya
secara signifikan berlangsung demikian
cepat.1
Salah satu dampak negatif dari
pemanfaatan internet adalah penyebaran
informasi bermuatan pornografi yang
menjadi sebuah perhatian serius dari
Pemerintah diberbagai Negara termasuk
Indonesia.2
Media

sosial
telah
memberikan andil yang cukup besar
terhadap tumbuh dan berkembangnya
penyebarluasan
pornografi
di
masyarakat. Menjamurnya berbagai
1

Agus Raharjo, Cyber Crime Pemahaman dan
Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi,
Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002, hlm.34
2
Ridwan Sanjaya, Parenting Untuk Pornografi
di Internet, Jakarta, Elex Media Computerindo,
2010, hlm.4

media sosial seperti facebook, twitter,
BBM, instagram, path, line, dan masih

banyak lainnya dalam masyarakat yang
dimanfaatkan sebagai sebuah sarana
penyebarluaskan pornografi dalam
bentuk informasi elektronik berupa
gambar, foto, kartun, gambar bergerak,
dan bentuk lainnya
Pencegahan dan pemberantasan dalam
penyebaran pornografi lewat komputer
dan internet, Indonesia telah memiliki
peraturan perundang-undangan yang
memuat
larangan
penyebaran
pornografi dalam bentuk informasi
elektronik
yakni
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik
dalam Pasal 27 Ayat (1) menyatakan

”Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar
kesusilaan”. Sanksi pidana akan
dikenakan bagi setiap orang yang
melakukan perbuatan seperti dinyatakan
dalam Pasal 27 Ayat (1) UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik
yakni pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Kasus tersebarnya foto tanpa busana
seorang wanita cantik yang merupakan
anggota polisi di media jejaring sosial
pertemanan Facebook beberapa waktu
yang lalu sempat mengebohkan

masyarakat dan para pengguna media
sosial. Ternyata pelaku penyebaran
tersebut adalah mantan kekasihnya
sendiri yang melakukan penyebaran

2

foto syur polwan melaui jejaring
pertemanan facebook lantaran merasa
sakit hati terhadap korban. Akibat
perbuatannya tersebut Majelis Hakim
menyatakan
terdakwa
dianggap
bersalah melanggar Pasal 27 Ayat 1 jo
Pasal 45 UU No 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
Majelis hakim yang diketuai Poltak
Sitorus menjatuhkan vonis 3 (tiga)
tahun penjara dan denda Rp100 juta

subsider 4 (empat) bulan penjara.3
Belum selesai menjalani hukuman
pidana penjara selama 3 (tiga) tahun
atas kasus penyebaran foto bugil milik
Briptu RS (polwan Polda Lampung).
Bayu Perdana kembali menjadi
terdakwa dalam kasus penyebaran foto
syur milik FJ (polwan) yang menjadi
Asisten Pribadi istri Kakorlantas Mabes
Polri. Bayu dinyatakan bersalah
melanggar Pasal 4 Ayat (1) huruf d UU
No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
subsidair Pasal 45 Ayat (1) jo Pasal 27
Ayat (1) UU No 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
"Menyatakan terdakwa Bayu Perdana
secara sah dan meyakinkan bersalah.
Menjatuhi pidana penjara kepada
terdakwa selama 3 (tiga) tahun," kata
Ketua Majelis Hakim FX Supriyadi.

Selain pidana penjara selama 3 (tiga)
tahun, Bayu juga dijatuhi denda
sebanyak Rp 100 juta dengan hukuman
pengganti 4 (empat) bulan penjara.4

3

http://www.radarlampung.co.id/read/bandarla
mpung/hukum-a-kriminal/68223-divonis-tigatahun
4
http://lampung.tribunnews.com/2014/08/29/lag
i-penyebaran-foto-bugil-polwan-divonis-tigatahun-bui

Berdasarkan uraian pada latar belakang
di
atas,
maka
yang
menjadi
permasalahan dalam penelitian ini
adalah:
a. Apakah dasar pertimbangan hakim
dalam memutus perkara pelaku
residivis tindak pidana penyebaran
pornografi melalui media sosial ?
b. Bagaimanakah penerapan sanksi
pidana terhadap pelaku residivis
perkara tindak pidana penyebaran
pornografi melalui media sosial ?
II. Pembahasan
A. Karakteristik Responden
1. Nama
: Firza A, S.H.
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Umur
: 45 Tahun
Jabatan
: Hakim
Instansi
: PN kelas 1A
Tanjung Karang
2. Nama
Jenis Kelamin
Umur
Jabatan
Instansi

3. Nama
Jenis Kelamin
Umur
Jabatan
Instansi

: Dr. Heni
Siswanto, M.H
: Laki-laki
: 49 Tahun
: Dosen
Hukum Pidana
: Universitas
Lampung
: Tri Wahyu A.
Pratekta S.H.
: Laki-laki
: 35 Tahun
: Jaksa Pratama
: Kejari Bandar
Lampung

3

B. Dasar
Pertimbangan
Hakim
Dalam Memberikan Putusan
Terhadap
Pelaku
Residivis
Perkara Penyebaran Pornografi
Melalui Media Sosial.
Kekuasaan kehakiman merupakan
badan yang menentukan dan kekuatan
kaidah-kaidah hukum positif dalam
konkretisasi oleh hakim melalui
putusan-putusannya. Sebagai pelaksana
dari kekuasaan kehakiman adalah
hakim, yang mempunyai kewenangan
dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh
hakim melalui putusannya.5
Hakim dalam menjatuhkan pidana
kepada orang yang menyebarkan
pornografi melalui media sosial harus
didasarkan pada tahap pembuktian
sesuai dengan pedoman Pasal 183
KUHAP yang menjelaskan bahwa
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada
seseorang
kecuali
telah
memiliki sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah dan yang ia yakini
sendiri akan kebenarannya bahwa
terdakwalah yang melakukan tindak
pidana tersebut. Pasal 184 Ayat (1)
KUHAP menjelaskan bahwa dalam hal
pembuktian, adapun alat bukti yang sah,
yakni:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
5

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim
dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta,
Sinar Grafika, 2010, hlm.102

Dalam menjatuhkan putusannya hakim
telah sesuai dengan ketentuan Pasal 183
KUHAP dan Pasal 184 KUHAP yaitu
adanya lebih dari 2 (dua) alat bukti
yang diajukan di persidangan oleh jaksa
yaitu petunjuk berupa barang bukti 1
(satu) unit HP merk Samsung warna
putih
tipe
GT-19500,
IMEI
3555420004814124,S/N.
RFI
D47XVD1
L
berikut
simcard
Telkomsel, 1 (satu) unit HP merk
Blackberry warna merah jambu tipe
9300, IMEI 357437041457808 berikut
simcard Telkomsel, 1 (satu) unit
Memory card 2 GB, 1 (satu) buah
Micro SD merk V-Gen kapasitas 4 GB,
1 (satu) bundel dokumen salinan yang
sesuai aslinya hasil pemeriksaan barang
bukti digital berupa HP Blackberry
Tersangka Bayu Perdana, 1 (satu)
bundel dokumen salinan yang sesuai
aslinya hasil pemeriksaan barang bukti
digital berupa HP Blackberry Saksi
Reka
Safitri,S.H
serta
adanya
keterangan saksi, keterangan ahli dan
keterangan terdakwa di persidangan.
Majelis hakim menimbang, bahwa
sesuai dengan ketentuan pasal 197 ayat
(1) huruf f perlu dipertimbangkan
dalam hal-hal yang meringankan dan
hal-hal yang memberatkan bagi
terdakwa dalam menjatuhkan putusan
sebagai berikut:
1. Adanya hal-hal yang meringankan
terdakwa adalah :
a. Terdakwa menyesali perbuatannya
dan mengakui perbuatannya;
b. Terdakwa bersikap sopan dan tidak
menyulitkan jalannya persidangan;
c. Terdakwa berjanji tidak
mengulangi perbuatannya;

akan

4

2. Adanya hal-hal yang memberatkan
tersebut adalah :
a. Terdakwa sudah pernah dihukum
dalam tindak pidana yang sama;
b. Perbuatan Terdakwa yang dapat
meresahkan masyarakat;
Pada perkara yang pertama dengan
nomor: 09/PID.B/2014/PN.TJK., ketua
majelis hakim telah menjatuhkan vonis
terhadap terdakwa dengan pidana
penjara 3 (tiga) tahun dan pidana denda
100 juta subsideir 4 (empat) bulan
pidana kurungan dan untuk putusan
kedua dengan perkara yang sama
dengan
nomor
perkara:
604/PID.B/2014/PN.TJK.,ketua majelis
hakim kembali menjatuhkan vonis yang
sama terhadap terdakwa dengan pidana
penjara 3 (tiga) tahun dan pidana denda
100 juta subsideir 4 (empat) bulan
pidana kurungan.
Firza
Andriyansyah6
menyatakan
mengapa bisa terjadi seperti ini karena
adanya
penilaian-penilaian
bahwa
sebenarnya perkara ini masih dalam
satu tempo waktu terjadinya dimana
ketika terjadi penyebaran foto itu juga
sebenarnya berikut foto dari 2 (dua)
orang korban yang dilakukan disaat
terdakwa belum menjalani hukumannya
tersebut. Tetapi dalam perkara ini
dipisahkan antara perkara pertama
dengan perkara yang kedua ini, bahwa
yang dikatakan terjadinya suatu
pengulangan
apabila
seandainya
seseorang pernah dihukum kemudian
setelah bebas dia melakukan kejahatan
lagi, namun untuk terdakwa Bayu ini
dia belum bebas karena masih dalam
6

Hasil wawancara pada tanggal 14 Oktober
2014.

proses menjalani masa hukuman tetapi
masuk perkara baru yang sama dengan
yang sebelumnya, yang sebenarnya
masih dalam waktu yang bersamaan,
karena
terdakwa
belum
selesai
menjalaninya jadi seolah-olah terdakwa
melakukan pengulangan (residivis).
Heni Siswanto7 menyatakan bahwa
dalam ilmu hukum residive diartikan
sebagai pengulangan yang perkara
pertama sudah dijatuhi pidana yang
memiliki kekuatan hukum tetap
sehingga harus diterapkan residivis
karena orang itu sudah mendapatkan
putusan pada perkara sebelumnya dan
kembali melakukan kejahatan.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat
ditegaskan bahwa seseorang dikatakan
residive karena sudah ada putusan
pengadilan terhadap perbuatan pidana
yang dilakukan sebelumnya8. Penulis
juga menambahkan untuk perkara ini
dimana terdakwa sudah pernah
mendapatkan putusan dari pengadilan
yang memiliki kekuatan hukum tetap
atas perbuatan sebelumnya dan
terdakwa kembali mendapatkan putusan
pengadilan atas perbuatannya, maka
terdakwa sudah dikatakan sebagai
residivis karena terdakwa melakukan
pengulangan yang sebelumnya sudah
pernah dijatuhi putusan pengadilan
maka seharusnya majelis hakim melihat
hal itu sebagai dasar pertimbangan
untuk memberatkan hukuman terhadap
terdakwa.
Penulis juga menambahkan terlepas
dari kelalaian atau bukan yang
7

Hasil wawancara pada tanggal 14 Oktober
2014.
8
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta,
RajaGrafindo Persada, 2012, hlm.192

5

dilakukan jaksa penuntut umum yang
telah memisahkan perkara tersebut
dalam berkas dakwaan yang berbeda
pada penuntutannya, seharusnya hakim
yang memutus perkara ini harus lebih
berani menajatuhkan hukuman yang
lebih berat terhadap terdakwa karena
telah
terjadi
pengulangan
yang
sebelumnya sudah pernah mendapatkan
putusan pengadilan sehingga hakim
menjadikan
putusan
sebelumnya
sebagai dasar pemberatan dalam
menjatuhkan putusan.
C. Penerapan Sanski Pidana
Terhadap Pelaku Residivis Tindak
Pidana Penyebaran Pornografi
Melalui Media Sosial.
Salah satu dampak negatif dari
pemanfaatan internet adalah penyebaran
informasi bermuatan pornografi yang
menjadi
perhatian
serius
dari
Pemerintah
di
berbagai
Negara
termasuk Indonesia. Media sosial telah
memberikan andil yang cukup besar
terhadap tumbuh dan berkembangnya
penyebarluasan
pornografi
di
masyarakat. Menjamurnya berbagai
media sosial seperti facebook, twitter,
BBM, instagram, path, line dan masih
banyak lainnya yang berisi gambar,
foto, tulisan, ilustrasi dan bentuk pesan
lainnya yang secara eksplisit maupun
secara
terang-terangan
memuat
kecabulan atau eksploitasi seksual dan
melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat adalah sebab kenapa media
sosial mempunyai andil yang besar
dalam penyebaran pornografi di
masyarakat.
Dalam
upaya
pencegahan
dan
pemberantasan pelaku penyebaran

pornografi melalui media sosial,
pemerintah Indonesia telah memiliki
peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang larangan penyebaran
pornografi dalam bentuk informasi
elektronik yaitu Pasal 27 Ayat (1)
juncto Pasal 45 Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang ITE
“Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar
kesusilaan.”
Pasal diatas menegaskan bahwa
penyebarluasan dilarang dan telah
diatur dalam UU ITE, yang diatur
dalam Pasal 45 tentang ketentuan
pidana yang menyatakan bahwa:
“Setiap orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (1), ayat (2), dan Ayat (3), atau
Ayat (4) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Tri
Wahyu
A.Pratekta
juga
menambahkan bahwa untuk perkara
yang kedua ini dengan nomor perkara
604/Pid.B/2014/PN.TJK., kami tim
penuntut umum yang dilimpahkan
wewenang
melakukan
penuntutan
terhadap terdakwa menjerat terdakwa
dengan Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal
45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik dan Pasal 4 Ayat (1) juncto
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44

6

Tahun 2008 tentang Pornografi dengan
tuntutan pidana penjara 5 (lima) tahun
10 (sepuluh) bulan dan pidana denda
sebesar 250 juta
Berdasarkan
pendapat
responden,
penulis menganalisis bahwa jaksa
penuntut umum dalam melakukan
penuntutan
terhadap
terdakwa
penyebaran pornografi melalui media
sosial dengan melihat kondisi terdakwa
yang sudah pernah dan sedang
menjalani
masa
hukuman
atas
perbuatan yang sama (pengulangan)
dimana sebelumnya sudah diputuskan
oleh pengadilan
yang memiliki
kekuatan hukum tetap serta akibat
perbuatan terdakwa yang menyebabkan
nama baik korban beserta keluarga
tercemar dan perbuatan terdakwa telah
meresahkan
masyrakarat
atas
penyebaran pornografi melalui media
sosial sehingga jaksa menjadikan itu
sebagai dasar pemberatan dalam
penuntutan terhadap terdakwa.
Ketua Majelis Hakim menjatuhkan
pidana terhadap terdakwa Bayu
Perdana, S.H. alias Bayu Bin Bambang
Sahrun, Menyatakan terdakwa telah
terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana
“Dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar
kesusilaan” dan Menghukum Terdakwa
oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 3 (tiga) tahun dan pidana denda
sebesar RP 100.000.000,- (seratus juta
rupiah) dengan ketentuan apabila tidak
dibayar dapat diganti dengan pidana
kurungan selama 4 (empat) bulan.

Penulis menganalisis bahwa untuk
menilai suatu putusan itu dikatakan
sesuai atau tidak tentu akan berbeda
pendapat karena kita harus melihat
keadilan itu bagi korban atau terdakwa
yang sedang berperkara di pengadilan
karena dengan hukuman berat bagi
korban merasa telah sesuai namun di
sisi lain menurut terdakwa itu tidak
sesuai ataupun sebaliknya sehingga
dalam menjawab sesuai atau tidak harus
sesuai dengan peruntukannya dalam
melihat keadilan tersebut.
Firza Andriyansyah9
menjelaskan
Perkara ini sebenarnya bisa dijadikan
dalam satu berkas tuntutan apabila jaksa
penuntut umum di dalam dakwaannya
menyertakan bahwa terdapat 2 (dua)
orang yang menjadi korban sehingga
proses persidangannya hakim bisa
untuk
menjadikan
dalam
satu
persidangan
sebelumnya.
Apabila
dalam berkas perkara yang bertumpuk
kita ketahui bahwa ancaman perkara itu
tinggi dan berkas perkara itu dibuat
terpisah-pisah karena terjadi lebih dari
satu perkara dan masing-masing diputus
lalu dijumlahkan tentu akan menjadi
berat untuk terdakwa, kecuali apabila
dia melakukan tindak pidana yang
berbeda tentu tidak masalah berkas
perkara dipisahkan namun untuk kasus
yang terdakwanya sama dan perkaranya
juga yang sama lebih baik apabila
dijadikan satu berkas.
Penulis menganalisis bahwa menurut
ketentuan Pasal 10 Ayat (1) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2008 tentang
Kekuasaan
Kehakiman
yang
menyatakan
“pengadilan
dilarang
9

Hasil wawancara pada tanggal 14 Oktober
2014.

7

menolak untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib
untuk
memeriksa
dan
mengadilinya”. Sehingga hakim yang
diberikan
kewenangan
untuk
menangani suatu perkara wajib
memeriksa dan mengadilinya apabila
ada yang kurang jelas dalam suatu
perkara maka hakim wajib untuk bisa
menggalinya seperti yang diatur dalam
pasal 5 ayat (1) “hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan dalam
masyarakat”.
Penulis menganalisis bahwa penunut
umum dalam melakukan penuntutan
terhadap terdakwa
dengan cara
memisahkan masing-masing perkara
(Splitsing) atas perbuatan terdakwa
yang seharusnya bisa dijadikan dalam
satu dakwaan karena terjadinya disaat
terdakwa belum dijatuhkan hukuman
oleh pengadilan. Sehingga penulis
berpendapat bahwa sesorang yang
melakukan beberapa perbuatan dalam
satu tindak pidana, dan masing-masing
perbuatan itu berdiri sendiri dalam
persidangan sebagai suatu tindak pidana
(concursus realis) tentu yang merasa
dirugikan adalah dari pihak terdakwa.
Idealnya dalam sistem peradilan pidana
di
Indonesia,
majelis
hakim
menggunakan mekanisme musyawarah
mufakat untuk memutus suatu perkara.
Namun, terkadang musyawarah majelis
tidak mencapai kesepakatan karena ada
beberapa
hakim
anggota
yang
menyatakan pendapat berbeda. Anggota
majelis hakim dapat mengajukan
dissenting opinion apabila menganggap
ada yang tidak sesuai dalam putusan

majelis hakim. Dissenting opinion
adalah pendapat yang berbeda dengan
apa yang diputuskan dan dikemukakan
oleh satu atau lebih hakim yang
memutus perkara, merupakan satu
kesatuan dengan putusan itu karena
hakim itu kalah suara atau merupakan
suara minoritas hakim dalam sebuah
majelis hakim.
III. Simpulan
1. Dalam pertimbangannya hakim
cenderung
tidak
menjatuhkan
pidana
maksimum
terhadap
terdakwa karena melihat kasus ini
terjadinya hampir bersamaan dan
sikap terdakwa dipersidangan yang
sopan dan mengakui perbuatannya,
seharusnya majelis hakim melihat
perkara ini sebagai pengulangan
kejahatan yang dilakukan terdakwa
dimana atas perbuatan sebelumnya
sudah pernah dijatuhi putusan
pengadilan sehingga hal itu bisa
dijadikan
sebagai
dasar
pertimbangan untuk memberatkan
hukuman terhadap terdakwa karena
sudah dikatakan sebagai residivis.
2. Dalam penerapan pidana Majelis
Hakim menggunakan ketentuan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik sebagai dasar
hukum dalam memutus perkara ini.
Terdakwa terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melanggar
ketentuan Pasal 27 Ayat (1) juncto
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik karena telah
memenuhi unsur obyektif dan unsur
subyektif yaitu terdakwa memiliki

8

dokumen
elektronik
yang
melanggar kesusilaan dan terdakwa
“dengan sengaja” mendistribusikan,
mentransmisikan, dan membuat
dapat
diaksesnya
dokumen
elektronik dalam hal ini yaitu
gambar yang memuat bentuk tubuh
manusia tanpa busana yang
melanggar kesusilaan.

IV. Daftar pustaka
Literatur
Prasetyo, Teguh. 2012. Hukum Pidana.
Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Raharjo, Agus. 2002. Cyber Crime
Pemahaman
Pencegahan

dan

Upaya
Kejahatan

Berteknologi. Citra Aditya Bakti.
Bandung.
Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum
oleh Hakim dalam Perspektif
Hukum Progresif. Sinar Grafika.
Jakarta.
Sanjaya, Ridwan. 2010. Parenting
Untuk Pornografi di Internet.
ElexMedia Computerindo. Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE).
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008
Tentang Pornografi.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sumber Lain
http://www.radarlampung.co.id
http://lampung.tribunnews.com

Dokumen yang terkait

PENGARUH JENIS PELARUT TERHADAP PERSEN YIELDALKALOIDDARI DAUN SALAM INDIA (MURRAYA KOENIGII)

0 1 6

PENGARUH PENINGKATAN KONSENTRASI GLISEROL DAN VCO (VIRGIN COCONUT OIL) TERHADAP KARAKTERISTIK EDIBLE FILM DARI TEPUNG AREN

0 0 8

PENGARUH KOMPOSISI ARANG DAN PEREKAT TERHADAP KUALITAS BIOBRIKET DARI KAYU KARET

0 0 9

PENGARUH PENAMBAHAN ZEOLIT DAN KULIT KERANG DARAH TERHADAP SIFAT MEKANIS RUBBER COMPOUND

0 0 9

PENGARUH FILLER CAMPURAN SILIKA DAN KULIT KERANG DARAH TERHADAP SIFAT MEKANIS KOMPON SOL SEPATU DARI KARET ALAM

0 0 11

PENGARUH KONSENTRASI ASAM SULFAT DAN WAKTU FERMENTASI TERHADAP KADAR BIOETANOL YANG DIHASILKAN DARI BIJI ALPUKAT

0 0 7

PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP THE REGULATION OF CORPORATE LIABILITY IN ENVIRONMENTAL CRIMINAL ACT

0 0 20

URGENSI PEMBANGUNAN YURISPRUDENSI PEMIDANAAN KORPORASI PELAKU KORUPSI UNTUK EFEKTIVITAS PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA URGENCY OF JURISPRUDENCY DEVELOPMENT OF CORPORATION PUNISHMENT OF CORRUPTION ACTORS FOR EFFECTIVENESS OF LAW IN INDONESIA

0 0 24

PEMBATALAN HUKUMAN CAMBUK BAGI PELAKU JARIMAH PENCABULAN ANAK DALAM PUTUSAN NOMOR 07JN2016MS.Aceh CANING SENTENCE REVERSAL FOR JARIMAH CRIMINAL IN DECISION NUMBER 07JN 2016MS.Aceh

0 0 16

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PIDANA REHABILITASI SEBAGAI IMPLEMENTASI PEMBAHARUAN PIDANA BAGI PENGGUNA NARKOTIKA (Studi pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang) Oleh Agung Senna Ferrari, Mahasiswa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung

0 0 10