ANALISIS YURIDIS TERHADAP PIDANA REHABILITASI SEBAGAI IMPLEMENTASI PEMBAHARUAN PIDANA BAGI PENGGUNA NARKOTIKA (Studi pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang) Oleh Agung Senna Ferrari, Mahasiswa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PIDANA REHABILITASI SEBAGAI

  

IMPLEMENTASI PEMBAHARUAN PIDANA BAGI PENGGUNA

NARKOTIKA

(Studi pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang)

Oleh

  

Agung Senna Ferrari, Mahasiswa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum

Universitas Lampung. Email: agung.senna@yahoo.com., Maroni, Firganefi,

Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung Jalan Soemantri

Brojonegoro Nomor 1 Bandar Lampung 35145.

  

Abstrak

  Pemidanaan dalam bentuk pidana penjara kepada pengguna narkotika menimbulkan dampak negatif bagi terpidana itu sendiri, misalnya terjadi kekerasan selama di dalam lembaga pemasyarakatan, setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan tidak menutup kemungkinan pelaku akan kembali menggunakan narkotika, sehingga pemidanaan yang tepat bagi para pecandu ini adalah rehabilitasi agar pengguna narkotika terlepas dari ketergantungan narkotika. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1.Bagaimanakah pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika? 2. Apakah faktor-faktor penghambat pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika? Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Data dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh kesimpulan penelitian. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu dekriminalisasi para pelaku penyalahgunaan narkotika. Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. (2) Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika adalah: a) Faktor Substansi Hukum, yaitu adanya potensi pemahaman yang salah terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 Tentang Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. b) Faktor Aparat Penegak Hukum, secara secara kuantitas adalah tidak seimbangnya jumlah aparat kepolisian dibandingkan jumlah pelaku penyalahgunaan narkotika. peluang bagi aparat penegak hukum untuk menjadi pengguna dan pengedar narkotika serta menggelapkan barang bukti narkotika.c) Faktor Masyarakat, yaitu keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam penegakan hukum dan tidak melaporkan tindak pidana penyalahgunaan narkotika.

  Kata Kunci: Rehabilitasi, Pembaharuan Pidana, Narkotika

JURIDICAL ANALYSIS TOWARD REHABILITATION

  

IMPLEMENTATION AS A RENEWAL OF CRIMINAL PENALTY

FOR NARCOTICS USERS

(Study on State Court Class IA Tanjung Karang)

Abstract

  Punishment in the form of imprisonment for drug users negative impact on the inmates themselves, for instance occurring during the violence in the prisons, the negative label of former inmates, so that the appropriate punishment for rehabilitation of addicts is that drug users regardless of drug addiction.The problem in this study are: 1.Bagaimanakah implementation as the implementation of criminal rehabilitation criminal renewal for drug users? 2. What are the factors inhibiting the implementation of criminal rehabilitation as a penal reform implementation for drug users? The approach used in this study is normative and empirical jurisdiction. Data were analyzed qualitatively to obtain the conclusion of the study. The results and discussion indicate: (1) The implementation of the reform of criminal rehabilitation as punishment for drug users carried out in accordance with Law No. 35 Year 2009 on Narcotics, the decriminalization of drug abuse perpetrators. Drug addicts and drug abusers shall undergo medical rehabilitation and social rehabilitation. (2) The factors that hinder the implementation of the implementation of the reform of criminal rehabilitation as punishment for drug users: a) Factors Substance Law, namely the potential for an incorrect understanding of the Supreme Court Circular No. 04 of 2010 Concerning Victims of Abuse and Addiction Narcotics into the Organization Rehabilitation and Medical Social Rehabilitation. b) Factors law enforcement authorities, as the quantity is unbalanced number of police officers compared to the number of perpetrators of drug abuse. opportunity for law enforcement officers to be drug users and dealers as well as embezzling evidence narkotika.c) Factors Society, which is still the fear or reluctance in the community to witness the law enforcement process and did not report any criminal drug abuse.

  Keywords: Rehabilitation, Reform Criminal, Narcotics

  Kebijakan penanggulangan kejahatan pengedar narkotika dengan pidana penjara ditinjuau dari Pemidanaan terhadap pengedar narkotika terdapat dalam pasal-pasal dalam Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pemidanaan pelaku pengguna narkotika mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain. pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing- masing. Selain itu pemidanaan dapat bermanfaat dalam untuk mencapai keadaan yang ingindihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan serupa. Tujuan pemidanaan adalah: a) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum; b) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik

  c) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai

  1 1 Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP.

  Berdasarkan peraturan Undang-Undang Narkotika yang ada maka diketahui bahwa pelaku tindak pidana narkoba diancam dengan pidana yang tinggi dan berat dengan dimungkinkannya terdakwa divonis maksimal yakni pidana mati selain pidana penjara dan pidana denda. Mengingat tindak pidana narkotika dan psikotropika termasuk dalam jenis tindak pidana khusus maka ancaman pidana terhadapnya dapat dijatuhkan secara kumulatif dengan menjatuhkan 2 jenis pidana pokok sekaligus, misalnya pidana penjara dan pidana denda atau pidana mati dan pidana denda.

I. Pendahuluan

  Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), penjatuhan dua hukuman pokok sekaligus memang tidak dimungkinkan sehingga tidak ada hukuman yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan pidana denda karena KUHP hanya menghendaki salah satu pidana pokok saja. Namun demikian, sebagai tindak pidana yang bersifat khusus, maka untuk tindak pidana narkoba , hakim diperbolehkan untuk menghukum terdakwa dengan dua pidana pokok sekaligus yang pada umumnya berupa pidana badan (berupa pidana mati, pidana seumur hidup atau pidana penjara) dengan tujuan agar pemidanaan itu memberatkan pelakunya agar tindak pidana dapat ditanggulangi di masyarakat.

  Dalam sistem pemidanaan di Indonesia pidana mati merupakan hukuman yang paling berat dari sekian banyak hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana, karena hukuman ini menyangkut jiwa manusia. Pemberlakuan pidana mati selalu mengundang kontroversi. Hal

d) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

  namun kontroversi ini terjadi pula di sejumlah negara Eropa yang telah membatalkan pidana mati. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa pidana mati tidak sesuai dengan Hak Asasi Manusia. Ancaman terberat yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana narkotika adalah dijatuhinya pelaku dengan pidana mati. Terlepas dari berbagai kontroversi mengenai pidana mati tersebut maka haruslah dilihat terlebih dahulu mengenai relevansinya dengan nilai dan norma Pancasila. Pancasila haruslah menjiwai dan menjadi dasar seluruh tertib hukum yang ada di Indonesia. Ini berarti masalah hukum di Indonesia harus diselesaikan berdasarkan Pancasila. Salah satu masalah tersebut adalah mengenai ancaman dan pelaksanaan pidana mati.

  2 .

  Ketentuan mengenai perumusan pidana maksimum dan minimum dalam penjelasan RUU KUHP dikenal dengan pola pemidanaan baru, yaitu minimum khusus dengan tujuan untuk menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok untuk tindak pidana yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya, lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum, khususnya bagi tindak pidana yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat. Ketentuan mengenai pidana penjara menganut asas maksimum khusus dan minimum khusus. Pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu hanya untuk tindak pidana tertentu yang 2 Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai

   Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 78.

  dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan masyarakat dan untuk tindak pidana yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya. Ketentuan mengenai pidana minimum (khusus) dan maksimum menegaskan bahwa terhadap kejahatan- kejahatan yang meresahkan masyarakat diberlakukan ancaman secara khusus. Permasalahan penelitian ini adalah:

  1. Bagaimanakah pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika?

  2. Apakah faktor-faktor penghambat pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika?

  Tujuan penelitian ini adalah:

  a. Untuk mengetahui pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika

  b. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika

  Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Responden penelitian terdiri dari Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Data dianalisis secara kualitatif. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

  II. Pembahasan

A. Pelaksanaan Pidana Rehabilitasi Sebagai Implementasi Pembaharuan Pidana Bagi Pengguna Narkotika

  Pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika pada dasarnya selaras dengan konsep pemidanaan yang mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain. Pertanggungjawaban pidana sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggungjawab moralnya masing-masing.

  Berdasarkan hasil wawancara kepada Sri Suharini pada hari Kamis 27 Juni 2013 maka diketahui bahwa terhadap pelaku kejahatan narkotika terdapat alasan- alasan tertentu untuk memberatkan hukumannya karena perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan yang dampaknya membahayakan dan menimbulkan kerugian besar bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Tujuan dari pemberatan hukuman tersebut bukan dipandang sebagai pembalasan terhadap pelakunya, akan tetapi dimaksudkan untuk mendidik pelakunya agar menjadi sadar dan jera sehingga tidak lagi mengulangi kejahatannya.

  Sanksi pidana yang diancamkan mempunyai pembatasan yang bertujuan untuk melindungi dan memberikan upaya rehabilitasi kepada pelaku yang dijatuhi pidana. Indikator utama yang sering digunakan untuk menunjukkan mendapatkan pembinaan adalah dengan adanya perbaikan dari diri terpidana atau terpidana dinyatakan berkelakuan baik. Tujuan pemidanaan yang menekankan pada rehabilitasi atau pembinaan terhadap terdakwa terdapat dalam beberapa ketentuan pengurangan pemidanaannya. Terhadap terpidana yang mendapatkan hukuman penjara seumur hidup, dapat memperoleh keringanan hukuman menjadi 15 tahun apabila terpidana telah menjalani hukumannya selama 10 tahun dan dengan berkelakuan baik. Menurut penjelasan Tri Andrisman pada hari Selasa 25 Juni 2013 maka diketahui bahwa tujuan pemidanaan mengandung unsur perlindungan masyarakat, pandangan rehabilitasi dan resosialisasi terpidana. pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat. Pandangan ini mengerucut pada dua kepentingan, yakni perlindungan masyarakat dan pembinaan bagi pelaku. pemidanaan mengakui asas- asas atau keadaan yang meringankan Pemidanaan,mendasarkan pada keadaan obyektif dan mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak pidana. Dengan kata lain tujuan pemidanaan adalah untuk mencapai manfaat untuk melindungi masyarakat dan menuju kesejahteraan masyarakat. Tujuan pemidanaan bukan merupakan pembalasan kepada pelaku di mana sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan.

  Ketentuan mengenai pemidanaan ini juga memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan atau penyesuaian pidana kepada narapidana. Pelaku yang berkekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan. Sanksi pidana yang diancamkan mempunyai pembatasan yang bertujuan untuk melindungi dan memberikan upaya rehabilitasi kepada pelaku yang dijatuhi pidana. Indikator utama yang sering digunakan untuk menunjukkan bahwa terpidana dimaksudkan untuk mendapatkan pembinaan adalah dengan adanya perbaikan dari diri terpidana atau terpidana dinyatakan berkelakuan baik. Tujuan pemidanaan yang menekankan pada rehabilitasi atau pembinaan terhadap terdakwa terdapat dalam beberapa ketentuan mengenai pengurangan pemidanaannya. Terhadap terpidana yang mendapatkan hukuman penjara seumur hidup, dapat memperoleh keringanan hukuman menjadi 15 tahun apabila terpidana telah menjalani hukumannya selama 10 tahun dan dengan berkelakuan baik. Uraian di atas sesuai dengan tujuan pidana yaitu prevensi atau pencegahan, sanksi pidana merupakan sanksi yang paling istimewa, karena kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh kaidah-kaidah hukum pidana adalah nyawa, badan (kebebasan), kehormatan dan harta benda manusia, disamping kepentingan-kepentingan negara. Walaupun tujuan pemidanaan bukan merupakan suatu hal yang baru, tetapi dampak dari pemidanaan yang berkenaan dengan kelanjutan kehidupan terpidana, khususnya dampak stigmatisasi terhadap terpidana dan keluarganya, menumbuhkan aliran-aliran dalam hukum pidana yang lebih baru yang mengkreasi jenis-jenis pidana lain dan martabat manusia, di samping ingin mencapai tujuan pemidanaan itu sendiri. Oleh karena itu pulalah penjatuhan sanksi pidana harus merupakan hal yang paling penting dipertimbangkan hakim, karena menyangkut kepentingan- kepentingan tersebut, yang berbeda dengan sanksi perdata atau administasi ang hanya berkenaan dengan sifat-sifat kebendaan. Pembebanan pidana harus diusahakan agar sesuai dan seimbang dengan nilai- nilai kesadaran hukum, nilai-nilai mana bergerak menurut perkembangan ruang, waktu dan keadaan yang mewajibkan pengenaan suatu nestapa yang istimewa sifatnya, sebagai suatu reaksi terhadap aksi yang memperkosa tata (hukum) yang sedang menjatuhkan pidana. Berdasarkan peraturan UU Narkotika yang ada maka diketahui bahwa pelaku tindak pidana narkoba diancam dengan pidana yang tinggi dan berat dengan dimungkinkannya terdakwa divonis maksimal yakni pidana mati selain pidana penjara dan pidana denda. Mengingat tindak pidana narkotika dan psikotropika termasuk dalam jenis tindak pidana khusus maka ancaman pidana terhadapnya dapat dijatuhkan secara kumulatif dengan menjatuhkan 2 jenis pidana pokok sekaligus, misalnya pidana penjara dan pidana denda atau pidana mati dan pidana denda. Terhadap para pengguna atau bukan pengedar pidana dipidana dengan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam

  Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, bahwa pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Hal ini diperjelas pada Pasal 55 Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika:

  Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 3) Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

  Selanjutnya menurut Pasal 103 Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat: (a) Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau (b) Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak

  Selanjutnya dalam ketentuan pidana

  Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dinyatakan sebagai berikut: (1) Setiap Penyalah Guna:

1) Orang tua atau wali dari Pecandu

  a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat

  (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103. (3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata memutuskan bagi Pecandu Narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung pengertian bahwa putusan hakim tersebut merupakan vonis (hukuman) bagi Pecandu Narkotika yang bersangkutan. Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata menetapkan bagi Pecandu Narkotika yang tidak terbukti Narkotika mengandung pengertian bahwa penetapan hakim tersebut bukan merupakan vonis (hukuman) bagi Pecandu Narkotika yang bersangkutan.

  Rehabilitasi terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika sangat penting dilakukan, dengan tujuan yaitu:

  a. Menghilangkan ketergantungan dari pengaruh narkotika sehingga ia dapat hidup secara normal

  b. Menyembuhkan tubuh para pecandu dari keterikatan narkotika c. Melengkapi para pecandu dengan ketrampilan demi masa depan mereka

  Berdasarkan uraian di atas maka dapat dianalisis bahwa rehabilitasi bagi para pelaku penyalahgunaan narkotika merupakan upaya Penanggulangan penyalahgunana narkotika secara secara

  kuratif yaitu proses menuju

  penyembuhan, di mana upaya dilakukan untuk menghilangkan/ menyembuhkan ketergantungan fisik, psikis, maupun sosial penderita/klien terhadap narkotika. Upaya penyembuhan terhadap korban narkotika ini merupakan rangkaian kegiatan yang berkesinambungan. Tujuan rehabilitasi pelaku penyalahgunaan narkotika adalah untuk memulihkan kondisi fisik, psikis, mental, dan sosial bekas korban narkotika serta mengembangkan ketrampilan kerja sehingga bekas korban narkotika dapat kembali menjalankan fungsi sosialnya secara wajar dan hidup mandiri di dalam masyarakat. Pembinaan dan bimbingan sosial yang diberikan meliputi pembinaan fisik, bimbingan mental spiritual, bimbingan mental psikologis, bimbingan social, latihan ketrampilan, penyalahgunan narkotika kepada masyarakat. Pemidanaan kepada pelaku melalui rehabilitasi bertujuan untuk mencapai perbaikan kepada pelaku sebagai tujuan pemidanaan yaitu bahwa jika suatu tindak pidana diancam dengan pidana pokok secara alternatif, maka penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan apabila hal itu dipandang telah sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan. Ketentuan ini juga sejalan dengan adanya ketentuan mengenai pengurangan hukuman pada masa penangkapan dan penahanan yang dalam penjelasannya dinyatakan bahwa pengurangan masa pidana bertujuan untuk menimbulkan pengaruh psikologis yang baik terhadap terpidana dalam menjalani pembinaan selanjutnya.

  B. Faktor Penghambat Pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika

  1. Faktor Substansi Hukum Faktor substansi hukum yang menghambat pidana rehabilitasi terhadap pengguna narkotika adalah adanya potensi pemahaman yang salah terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor

  04 Tahun 2010 Tentang Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Berdasarkan surat edaran ini maka pelaku pengedar narkotika atau kuasa hukumnya dapat membela diri dengan menyatakan bahwa ia adalah korban penyalahgunaan atau pecandu narkotika, sehingga mengajukan pembelaan kepada majelis hakim agar kliennya ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, bukan dihukum dengan pidana penjara atau denda.

  2. Faktor Aparat Penegak Hukum Faktor penegak hukum secara kualitas yang dapat menghambat pidana rehabilitasi terhadap pengguna narkotika adalah kurang profesionalnya penyidik dalam melaksanakan proses penyidikan terhadap pelaku pengedar narkotika, misalnya kurang dikuasainya taktik dan teknik penyidikan sehingga penyidik tidak dapat mengumpulkan alat bukti dalam persidangan sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yang terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan. Selain itu adanya potensi penyidik kepolisian menyalah gunakan kewenangan diskresi dalam proses penyidikan sehingga penyidikan dihentikan dan tidak dapat dilanjutkan pada proses penuntutan dan proses pengadilan. Faktor penegak hukum secara kuantitas yang dapat menghambat pidana rehabilitasi terhadap pengguna narkotika adalah tidak seimbangnya jumlah aparat kepolisian dibandingkan dengan jumlah pelaku pengedar narkotika. Apalagi kecenderungan pelaku pengedar narkotika ini bukan perorangan, melainkan suatu sindikat yang terorganisasi dan terkoordinasi secara rapih dan dalam jumlah yang relatif besar.

  3. Faktor Masyarakat Faktor masyarakat yang menghambat narkotika adalah masih adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku pengedar narkotika. Ketakutan tersebut dapat disebabkan oleh adanya ancaman dari para pelaku pengedar narkotika yang tidak segan-segan melakukan kekerasan terhadap masyarakat yang menyaksikan perbuatan mereka, terlebih para pelaku ini umumnya adalah sindikat. Akibatnya masyarakat tidak melaporkan adanya tindak pidana pengedar narkotika ini kepada aparat penegak hukum, sehingga dapat menghambat proses pemidanaan terhadap pelaku pengedar narkotika.

  III. Simpulan

  1. Pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu dekriminalisasi para pelaku penyalahgunaan narkotika. Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan bahwa : “pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

  2. Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan a. Faktor Substansi Hukum, yaitu adanya potensi pemahaman yang salah terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 Tentang Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

  b. Faktor Aparat Penegak Hukum, secara secara kuantitas adalah tidak seimbangnya jumlah aparat kepolisian dibandingkan dengan jumlah pelaku penyalahgunaan narkotika. Selain itu adanya peluang bagi aparat penegak hukum untuk menjadi pengguna dan pengedar narkotika serta menggelapkan barang bukti narkotika.

  Pakarkarya. Jakarta Muladi. 2001. Hak Asasi Manusia,

  Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

  Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar

  Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana Pusat

  Rahardjo, Satjipto. Bunga Rampai

  Bandung, Moeljatno, 1983. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

  Teori-Teori dan Kebijakan Pidana Penerbit Alumni,

  Penerbit UNDIP. Semarang. Muladi dan Barda Nawawi Arif. 1984.

  Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan

  Lastarya, Dharana. 2006. Narkoba, Perlukah Mengenalnya.

  c. Faktor Masyarakat, yaitu masih adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum dan tidak melaporkan adanya tindak pidana penyalahgunaan narkotika ini kepada aparat penegak hukum tentang adanya tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Selain itu adanya sikap individualisme masyarakat perkotaan, sehingga mereka bersikap acuh tidak acuh dan tidak memperdulikan apabila menjumpai atau mengetahui adanya pelaku pengedar narkotika.

  Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.

  Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai

  Universitas Diponegoro. Semarang.

   PT. Citra Aditya Bakti.Bandung Restrukturisasi/ Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia. Badan Penerbit

  Bandung. …….. 2002. Kebijakan Hukum Pidana.

  Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra. Aditya Bakti.

  Arief, Barda Nawawi. 2003. Bunga

  Daftar Pustaka

  Sudarto. 1983. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni.Bandung.