KARENA cinta CINTA MENJADI TERORIS

KARENA CINTA MENJADI TERORIS
Oleh Rimbun Natamarga

Cinta sering membutakan mata-hati seseorang. Sesuatu yang menjadi prinsip hidup,
karena cinta, bisa menjadi seonggok sampah yang dibuang begitu saja di selokan depan
rumah. Sebaliknya, karena cinta, sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani dapat
diterima, didekap erat-erat lalu dibawa sampai mati.
Cinta pun dapat membuat seseorang menjadi teroris atau hanya sekedar mendukung
terorisme. Ketika berita kematian Noordin M. Top diekspos beramai-ramai di media,
seorang ibu rumah tangga di Jakarta tidak habis pikir, ada wanita-wanita yang mau
diperistri seorang teroris. Noordin memang dikenal sebagai pria dari negeri jiran yang
berpoligami. Meski terkesan sepele, kenyataan ini tetap mengundang kita untuk
berpikir juga.
Salah seorang istri Noordin bernama Munfatun. Berdasarkan laporan Internasional
Crisis Group nomor 114 yang berjudul “Terorisme di Indonesia: Jaringan Noordin Top,”
Munfatun pernah kuliah di Univeersitas Brawijaya, Malang. Dalam laporan yang
bertanggal 5 Mei 2006 itu, wanita muda yang dimaksud memiliki keinginan untuk
diperistri seorang mujahid.
Lewat perantaraan seorang teman kuliahnya, keinginan itu terkabulkan juga. Ia dinikahi
Noordin sebagai istri kedua. Pernkahan mereka itu berlangsung dalam suasana
pelarian. Sebab, waktu itu, Polri telah menetapkan Noordin sebagai otak di balik

sejumlah peledakan bom di Indonesia. Noordin menjadi orang kedua yang paling
dicari-cari polisi setelah Dr. Azahari.
Berbeda dengan Ali Ghufran alias Mukhlas. Ia menikah dengan adik Nasir Abas,
penulis buku Membongkar Jamaah Islamiyah. Wanita yang diperistri Mukhlas ini tidak
lebih dari gadis muda yang masih sekolah menengah. Dalam otobiograf yang pernah
ditulisnya di tahanan Polda Bali, Mukhlas melukiskan calon istrinya itu sebagai seorang
gadis manis berkerudung putih dan berseragam putih-biru yang sedang bermain tali
bersama teman-temannya.

Ayah si gadis-lah yang pertama kali menawari Mukhlas. Semula, gadis manis itu tidak
setuju dan menolak mentah-mentah penjodohan itu. Akhirnya, lewat bujukan
kakaknya, berhari-hari kemudian, Mukhlas pun diterima sebagai calon suami.
Pernikahan itu berlangsung di rumah orangtuanya di Malaysia.
Mukhlas sendiri butuh waktu untuk mengajari istrinya agama Islam. Sebagai mantan
pengajar di Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, Sukoharjo, usaha itu rupanya tidak
sulit dijalani. Beberapa bulan setelah pernikahan, istri Mukhlas mengakui bahwa
dirinya menyesal sempat menolak penjodohan itu di awal kali. Ia malah bersyukur
memiliki suami yang beragama baik seperti Mukhlas.
Jangan pula kita bayangkan istri Osama bin Laden sebagai wanita gagah yang berapiapi teriak, “Bakar, bakar Amerika!”, meski suaminya lantang berfatwa, “Membunuh
orang-orang Amerika dan sekutu-sekutunya—sipil ataupun militer—adalah tugas

tersendiri bagi setiap muslim yang dapat melakukannya di negara mana pun yang
dimungkinkan untuk melaksanakannya.”
Dalan Inside the Kingdom: Kisah Hidupku di Arab Saudi, Carmen bin Laden justru
melukiskan istri Osama itu, Najwa, sebagai seorang wanita mungil dan perasa tapi
sangat penurut kepada suaminya. Ia menyusui anak-anak Osama dengan khidmat
persis seorang ibu tua di salah satu desa Jawa Tengah. Sekarang, setelah kematian
Osama, kita bisa bayangkan Najwa sebagai seorang janda yang menerima takdir apa
adanya.
Bahwa cinta dapat mempertahankan seseorang menjadi istri seorang teroris, bukan
cerita baru. Orang-orang yang anti feminisme kemungkinan besar akan menganggap itu
semua sebagai kelemahan yang jamak dimiliki seorang wanita: sering tidak bisa berpikir
sehat dan melulu pakai perasaan.
Akan tetapi, mereka, agaknya, belum tahu, bahwa sejarah Islam justru mencatat yang
lebih dari itu: karena cinta, seorang pria cerdas menjadi teroris. Ia terpikat paras cantik
seorang wanita, tertipu, dan mengorbankan hidupnya yang berharga untuk menjadi
muslim-teroris. Kelompok Islam-teroris sudah muncul di awal sejarah peradaban Islam.
Dan mereka itu disebut dengan kaum Khawarij.
***

Di kalangan peneliti hadis nabawi, Shahih Al Bukhari adalah sebuah antologi hadis yang

diterima sekaligus dikagumi sepanjang masa. Namun, tanpa mengurangi rasa hormat
mereka kepada Imam Al Bukhari, ada beberapa kritik yang mereka ajukan terkait
dengan beberapa hadis dalam karya tersebut. Salah satunya adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Imran bin Hiththan As Sadusi. Ternyata, hadis-hadis yang
diriwayatkan Imran bin Hiththan didapati pula di dalam Sunan Abi Dawud dan Jami’ At
Tirmidzi.
Kritik para pakar ilmu hadis itu mengacu kepada diri periwayat hadis, bukan isi
hadisnya. Hal inilah yang mengundang tanya pada kita. Siapa Imran bin Hiththan yang
dimaksud?
Imran bin Hiththan As Sadusi Al Bashari adalah salah seorang yang cerdas. Ia pernah
mendatangi Aisyah Al Humairah, Abu Musa Al Asyari, dan Abdullah bin Abbas.
Kepada ketiga sahabat Nabi Muhammad ini, Imran bin Hiththan belajar dan
mendapatkan hadis-hadis Nabi Muhammad. Karena hadis-hadis itu pula kemudian, ia
didatangi oleh pemuka-pemuka generasi tabiin seperti Muhammad bin Sirin, Qatadah
bin Di’amah As Sadusi dan Yahya bin Abi Katsir.
Selain pernah belajar langsung kepada sahabat-sahabat Nabi Muhammad, Imran
dikenal sebagai penyair yang genial; ia bisa menggubah syair-syair Arab yang bagus.
“Imran bin Hiththan,” puji Al Farazdaq suatu hari, “bisa berkata-kata dengan tutur-kata
kita. Tapi kita tak pernah bisa bertutur-kata dengan kata-katanya.” Al Farazdaq dikenal
sebagai salah seorang penyair besar Arab. Akan tetapi, reputasi Imran akhirnya hancur

berantakan setelah ia menjadi pengikut Khawarij.
Khawarij adalah salah satu kelompok yang menyempal dari barisan kaum muslimin.
Mereka senang dan gampang mengafr-ngafrkan pemeluk Islam yang melakukan suatu
dosa besar selain syirik dan memveonisnya kekal di dalam neraka jika tidak bertobat
sebelum meninggal dunia. Karena itulah, mereka membolehkan membunuh siapa saja
yang dianggap kafr, meskipun itu orang Islam atau para utusan diplomatik negaranegara non-muslim atau hanya sekedar para pelancong non-muslim.
Bermula dari seorang wanita yang dilihatnya suatu hari, Imran terpesona dengan
kecantikannya. Muncul hasrat untuk menikahi wanita itu. Meski telah diberitahu bahwa

wanita itu pengikut kelompok Khawarij, Imran tidak peduli. “Akan kupengaruhi dia,”
kata Imran. Dengan kapasitas kecerdasan yang dimilikinya, Imran bertekad
menyadarkan wanita itu setelah dinikahi nanti. Sebagai seorang istri, tentu saja akan
mudah bagi Imran untuk menasehati dan mengajaknya bertobat dari keyakinan yang
dipeluk selama ini.
Ternyata tidak mudah. Yang terjadi kemudian justru Imran-lah yang dipengaruhi oleh
sang istri. Lambat laun, Imran pun berubah. Dan sejak saat itu, ia bergabung ke dalam
barisan Khawarij dan menjadi salah seorang pembesar yang pernah dimiliki kelompok
itu sepanjang sejarah.
Banyak orang yang tidak percaya. Tapi, bagaimana pun, perubahan sikap Imran
menjadi perbincangan orang ramai waktu itu sampai khalifah Abdul Malik bin Marwan

pun tahu. Menghindari panggilan khalifah, Imran pergi ke utara Jazirah Arab. Pada
tahun 84 Hijriah, Imran meninggal dunia.
***
Dari semula yang menghormati Ali bin Abi Thalib, Imran menjadi pencelanya. Dalam
salah satu syair yang digubahnya, Imran menjelek-jelekkan menantu Nabi Muhammad
itu. Imran bahkan memuji orang yang membunuh Ali bin Abi Thalib sebagai pembunuh
yang diberi cahaya terang oleh Allah.
Sikap Imran demikian termasuk salah satu ciri khas orang-orang Khawarij waktu itu.
Mereka tidak menyukai Ali bin Abi Thalib dan menganggapnya boleh dibunuh. Di mata
mereka, Ali telah kafr karena kebijakannya dalam Perang Shifn—satu perang saudara
yang terjadi antara Ali dan Muawiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu’anhuma.
Bagi para pencari hadis dan pakar ilmu hadis, orang-orang seperti Imran adalah mereka
yang diragukan keabsahan hadis-hadisnya. Biasanya, para pengikut kelompok sesat
memalsukan atau memelintirkan hadis-hadis

yang mereka sampaikan untuk

membenarkan ideologi dan aksi-aksi mereka.
Imam Syaf’i termasuk imam kaum muslimin yang meragukan hadis-hadis mereka.
Bahkan, disebutkan di dalam Al-Ba’its Al-Hatsits Syarhu Ikhtishar ‘Ulum Al-Hadits, Imam

Syaf’i menolak mentah-mentah hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang Syiah.

***
Kisah yang serupa juga terjadi pada orang yang telah dipuji Imran itu. Karena cinta
pula, Abdurrahman bin Muljam bersedia membunuh Ali bin Abi Thalib. Padahal,
waktu itu, Ali adalah pemimpin kaum muslimin (baca: amirul mukminin). Ali menjabat
sebagai khalifah setelah khalifah Usman bin Afan dibunuh oleh orang-orang Khawarij.
Semula, sebagaimana dikatakan Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis, Abdurrahman bin
Muljam adalah seorang yang pandai membaca Al Qur’an. Ia diminta oleh Umar bin
Khaththab untuk mengajarkan Al Qur’an kepada orang-orang yang baru masuk Islam
di daerah yang baru ditaklukkan. Masa pemerintahan Umar dikenal sebagai masa yang
penuh dengan pembukaan daerah-daerah baru. Dan seorang pengajar Al Qur’an waktu
itu adalah orang yang hafal Al Qur’an sekaligus pandai membaca dan memahami
kandungannya.
Sayangnya, di masa pemerintahan Ali, Abdurrahman tergabung ke dalam barisan
Khawarij. Ketika perang antara pasukan Ali dan orang-orang Khawarij terjadi di
Nahrawan, Abdurrahman termasuk orang-orang yang berhasil menyelamatkan diri dari
kematian. Ia berencana membalaskan dendam rekan-rekannya yang terbunuh kepada
Ali.
Rencana itu makin menguat, ketika suatu hari Abdurrahman bertemu dengan seorang

wanita cantik di masjid kota Kufah. Ayah dan kakak wanita ini terbunuh pada perang
di Nahrawan. Terpikat oleh kecantikannya, Abdurrahman berusaha meminang wanita
itu. Ternyata, mahar yang diajukan sebagai syarat pernikahan mereka adalah uang 3000
dirham, sepasang budak, dan kematian Ali bin Abi Thalib.
Abdurrahman akhirnya menyanggupi mahar untuk wanita itu. Berbekal pedang tajam
yang telah diasah selama 40 hari, ia mengintai rumah Ali. Ketika Ali keluar untuk
mengimamin salat Subuh di masjid Kufah, Abdurrahman menghantam kepala Ali
dengan pedang itu. Peristiwa ini terjadi pada malam 17 Ramadan tahun 40 Hijriah.
Abdurrahman sendiri dihukum mati tidak lama kemudian.
Satu hal yang menarik, dalam melaksanakan rencananya, Abdurrahman menggunakan
kamuflase sedemikian rupa. Ia ingin teman-temannya sesama kelompok Khawarij tidak

mengetahui dirinya ketika hendak menjalankan rencana itu. Dari sini, kita pun tahu,
kamuflase adalah salah satu ciri orang-orang Khawarij dulu yang kemudian diwariskan
ke para penerus mereka. Bahwa kelompok-kelompok Islam-teroris sekarang ini juga
sering menggunakan kamuflase, itu tidaklah mengherankan kita.[]

Dokumen yang terkait

FAKTOR–FAKTOR YANG MENJADI DAYA TARIK PENYIAR RADIO MAKOBU FM (Studi pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2003 UMM)

0 72 2

ANALISIS PENGARUH BRAND IMAGE DAN BAURAN PROMOSI TERHADAP KEPUTUSAN MENJADI NASABAH TABUNGAN BRITAMA PADA PT.BANK RAKYAT INDONESIA (Studi Pada Nasabah Tabungan Britama Cabang Malang)

2 57 24

MOTIVASI MENJADI COSPLAYER

1 33 13

Judul penelitian adalah: PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN LAKI-LAKI MENJADI WARIA (Decision Making Process Becomes Male Transvestites)

1 43 18

JUMLAH DANA DAN KREDIT DARI BANK TABUNGAN MENJADI BANK UMUM PADA PT. BANK TABUNGAN NEGARA ( PERSERO ) CABANG DENPASAR

3 91 12

KAJIAN YURIDIS TENTANG PERUBAHAN TANAH PERDIKAN MENJADI HAK MILIK DI KELURAHAN TAMAN KECAMATAN TAMAN KOTA MADIUN SETELAH KELUARNYA UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA

2 44 14

KAMPANYE “PALESTINA 194” SEBAGAI UPAYA PALESTINA UNTUK KAMPANYE “PALESTINA 194” SEBAGAI UPAYA PALESTINA UNTUK KAMPANYE “PALESTINA 194” SEBAGAI UPAYA PALESTINA UNTUK MENJADI ANGGOTA PENUH PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENJADI ANGGOTA PENUH PERSERIKATAN BANGSA

0 18 17

KEABSAHAN PERMOHONAN POLIGAMI KARENA ISTRI TIDAK MAU BERTEMPAT TINGGAL BERSAMA DENGAN SUAMI (Studi Putusan Nomor :36 / Pdt.G / 2010 / PA. Bdg)

1 29 17

Analisis wacana pesan cinta dalam kumpulan cerita pendek emak ingin naik Haji karya Asma Nadia

1 46 73

TINJAUAN TENTANG ALASAN PERUBAHAN KEBIASAAN NYIRIH MENJADI MEROKOK DI KALANGAN IBU-IBU DI DUSUN TRIMO HARJO II KELURAHAN BUMI HARJO KECAMATAN BUAY BAHUGA KABUPATEN WAY KANAN

3 73 70