Newsletter Biennale MENCARI HARAPAN HARAPAN

ISSN: 9772442302127

THE EQUATOR
Vol. 5/No. 4
Oktober - Desember 2017
Terbitan triwulan | GRATIS
Newsletter
Yayasan Biennale Yogyakarta

MENCARI HARAPAN

2

PENGANTAR REDAKSI
Halo, para pembaca yang budiman.
Selamat datang di Biennale Jogja XIV Equator #4!
Sepanjang tahun ini, tim Biennale Jogja telah bekerja mempersiapkan acara besarnya.
Sejak Oktober hingga Desember, publik (khususnya Yogyakarta) disuguhi serangkaian
acara yang bernaung di bawah payung Biennale Jogja XIV.
Diterbitkan dalam periode waktu yang bersamaan dengan rangkaian acara tersebut,
terbitan ini akan mengulas beberapa aktivitas yang sudah, sedang, dan akan dipertemukan

dengan audiensnya di masing-masing ruang yang direncanakan. Biennale Jogja tahun ini
mengusung tema STAGE OF HOPELESSNESS. Melalui elaborasi yang telah dilakukan tim
untuk menjelajahi tahap-tahap yang membawa manusia dari ketidakpastian menuju
harapan, rasanya penting kali ini untuk melihat bentuk-bentuk ekspresi turunannya yang
berhasil digali dan dilahirkan dalam Biennale Jogja XIV. Maka, The Equator edisi ini ingin
mendalami bagaimana bentuk-bentuk ekspresi ini membahasakan lahirnya kemungkinan
untuk kita menemukan harapan dalam realitas yang mungkin kacau.
Hendra Himawan dan Rio Raharjo, masing-masing dari tim Parallel Event dan Festival
Equator, menghadirkan sebuah refleksi singkat tentang gagasan, persiapan, dan
pelaksanaan rangkaian acara tersebut. Festival Equator menggali ingatan-ingatan kita
tentang momen kekacauan yang pernah atau mungkin sedang kita alami dalam hidup.
Dihadirkan di ruang-ruang publik, metode ini mencerminkan upaya untuk mencuatkan
perasaan-perasaan sakit yang justru sering kita coba kubur dalam-dalam. Sementara
Parallel Event mencoba melihat bagaimana kerja-kerja kolektif kebudayaan bisa jadi
alternatif jalan untuk terus memunculkan harapan di tengah situasi kacau ini.
Dalam edisi ini kami juga ingin membagikan cerita-cerita pendek tentang tiga seniman
Brasil yang melakukan residensi di Yogyakarta: Daniel Lie, Rodrigo Braga, dan Yuri
Firmeza. Selain itu, ada Cibele Poggiali Arabe yang berkisah tentang titik temu pengalaman
hidupnya di Brasil dan Yogyakarta. Dengan jenaka ia menganalogikan refleksinya dengan
pengalaman bersepeda di jalanan Yogyakarta.

Akhir kata, selamat menikmati suguhan Biennale Jogja XIV Equator #4. Tawaran ini
mungkin tidak akan langsung menyelesaikan persoalan, malah justru menambahi deretan
pertanyaan kita tentang realita, sebab barangkali kita terlena dan malah lupa memeriksa.
Salam hangat,
Redaksi
The Equator merupakan newsletter
berkala setiap tiga bulan diterbitkan
Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter
ini dapat diakses secara online pada
situs:
www.biennalejogja.org
Redaksi The Equator menerima
kontribusi tulisan dari segala pihak
sepanjang 1500 - 2000 kata dengan tema

terkait isu Nusantara Khatulistiwa.
Tulisan dapat dikirim via e-mail ke:
the-equator@biennalejogja.org.
Tersedia kompensasi untuk tulisan
yang diterbitkan.

Tentang Yayasan Biennale Yogyakarta
(YBY)
Misi YBY adalah:
Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai

upaya mendapatkan konsep strategis
perencanaan kota yang berbasis seni
budaya, penyempurnaan blue print
kultural kota masa depan sebagai ruang
hidup bersama yang adil dan demokratis.
Berdiri pada 23 Agustus 2010.
Alamat:
Taman Budaya Yogyakarta
Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta

Telp: +62 274 587712
E-mail:
the-equator@biennalejogja.org
Oktober - Desember 2017, 1500 exp
Penanggung jawab: Direktur

Biennale Jogja XIV Equator #4
Redaktur Pelaksana: Maria Puspitasari
Kontributor: Hendra Himawan, Rio
Raharjo, Cibele Poggiali Arabe, Hanggita

3

DAFTAR ISI
4|

Age of Hope:
Afirmasi diri dan Cakrawala Harapan
Hendra Himawan
Kurator independen, penulis seni,
dan pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Surakarta

10|

14|


Kekacauan Hari ini
Rio Raharjo
Asisten koordinator Festival Equator dan penulis lepas

Residensi Seniman Brasil
Biennale Jogja XIV Equator #4
Wawancara bersama Hanggita Indrasari Dewi,
Rudy Cahyono, dan Munif Rafi Zuhdi

20|

Mengayuh Sepeda di Yogyakarta
Cibele Poggiali Arabe
Peneliti nonakademis dari Brasil, mendapatkan gelar Master
dalam bidang Pariwisata Berkelanjutan, dan menaruh
perhatian khusus pada perjalanan kebudayaan dan independen,
koresponden internasional untuk asosiasi La Croisée des Routes

Indrasari Dewi, Rudy Cahyono, Munif
Rafi Zuhdi

Fotografi: Arsip YBY, Cibele Poggiali
Arabe
Foto sampul: Libstud
Desainer: Yohana T.
Outlet Penyebaran Jakarta
Ruangrupa, Goethe Institut,
Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Kedai
Tjikini, Serrum

Bandung: Selasar Sunaryo Art Space,
Galeri Soemardja, Tobucil
Jawa Barat: Jl. RA. Natamanggala,
Perum Bukit Rantau Indah C27
Kademangan Pasir Halang Kec.
Mande Kab. Cianjur
Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun,
Perpustakaan UIN Yogyakarta,
Perpustakaan Pusat UGM,
Perpustakaan Pascasarjana USD,


Cemeti Art House, LKiS, Ark Gallerie,
Warung Lidah Ibu, FSR ISI, Jogja
Contemporary, PKKH UGM,
Angkringan Mojok
Semarang: Kolektif Hysteria
Surabaya: C2O
Kediri: RUPAKATADATA Jokosaw
Koentono
Bali: Ketemu Project Space
Makasar: Rumata Artspace, Colliq

Puji’e
Dukungan untuk Yayasan Biennale
Yogyakarta dikirim ke:
Yayasan Biennale Yogyakarta
BNI 46 Yogyakarta
No.rek: 224 031 615
Yayasan Biennale Yogyakarta
BCA Yogyakarta
No.rek: 0373 0307 72

NPWP: 03.041.255.5-541.000

4

Age Of Hope : Afirmasi Diri
dan Cakrawala Harapan
Hendra Himawan
Kurator independen, penulis seni,
dan pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Surakarta

Pembukaan Parallel
Event, Biennale XIV #4
di Ace House
Dok: YBY

5

Aksi dan refleksi menjadi praksis dan
model evaluasi yang dilakukan terusmenerus dalam menemu praktik ideal
penyelenggaraan Biennale Jogja seri

Equatordan singgungannya dengan medan
sosial seni rupa Yogyakarta. Penyesuaian
dan perubahan platform penyelenggaraan
Parallel Event (PE) dilakukan sejalan
dengan perubahan sosial politik di
masyarakat, tanpa meninggalkan gagasan
awalnya untuk menyisir keragaman
dinamika praktik dan wacana seni kota
berikut pelakunya. Berbeda dari
penyelenggaraan sebelumnya yang
berfokus pada 'penciptaan peristiwa seni
rupa' oleh komunitas seni lintas disiplin,
kali ini PE dilakukan dengan menjemput
dan merangkul keterlibatan ruang dan
komunitas seni yang ada dan bergerak di
Yogyakarta. Pola ini dipilih dengan tujuan
melakukan pembacaan atas praktik pelaku
seni, sekaligus mengoptimalkan potensi
kesaling-terhubungan antar-ruang dan
komunitas seni.

Tawaran gagasan dalam aksi seni yang
dilakukan akan digiring dalam kerangka
pembacaan tentang kerumitan persoalan di
wilayah khatulistiwa, sebagaimana yang
menjadi basis gagasan dari Biennale Jogja
seri Equator.Dialog, jejaring, dan kemitraan
ruang dan komunitas seni akan menjadi
fokus utama dalam kerja PE, dengan
ketiganya menjadi beberapa modal penting
dalam pelaksanaan Biennale Jogja XIV.
Memulakan pembacaan atas praktik ruang
dan komunitas seni dalam kerangka sistem
sosial, diharapkan ikhtiar PE menemukan
kerangka metodologi untukmencari
rumusan tentang bagaimana:
mengembalikan seni ke domain
masyarakat.

Seni sebagai Sistem Sosial
Medan sosial seni terkait dengan sebuah

'sistem', yang senantiasa didudukkan
dalam istilah 'jaringan', 'medan', 'arena',
atau bahkan 'dunia'. Hal ini layaknya yang
dibicarakan H.S. Becker tentang dunia seni
sebagai jaringan orang-orang yang bekerja
sama, atau Bourdieu yang menyebut
'sebuah bidang hubungan antarposisi yang
diduduki oleh para agen'. Membayangkan
dunia sebagai sebuah sistem besar,
masyarakat modern membagi diri mereka
lebih banyak ke dalam subsistem yang
berbeda, yang kemudian berkembang lebih
profesional dan otonom;sistem seni adalah
salah satunya, selain subsistem seperti
ekonomi, agama, pendidikan, hukum dan
media. Dalam pemahaman 'sistem
komunikasi artistik' alaNiklas Luhmann,
ketika seni didudukkan sebagai sebuah
sistem sosial, maka yang berperan
sebetulnya bukanlah agen, aktor ataupun
praktik kolektivitas ala Becker, melainkan
sebuah jalan menikung: praktik komunikasi
seni yang terbangun di dalamnya.
Komunikasi seni adalah komunikasi
simbolis melalui medium karya seni,
menghasilkan persepsi dalam wujud
material, dan berfokus pada bentuk.
Dihadirkan dalam praktik yang
interaksional (sistem interaksi), seperti
pameran, diskusi seni, atau peristiwa seni
lainnya, dan diinisiasi oleh institusi
(organisasi, ruang, komunitas) dalam
rangka melontarkan gagasan pada
masyarakat. Kubu berseberangan (gerakan
protes) selalu muncul sebagai bentuk
dinamisasi sistem sosial.Sistem
interaksional sebagai ruang komunikasi
bersifat sensitif dan ekstensif, bukan
semata pada persoalan pengorganisasian
seni, namun juga masyarakat secara

6

menyeluruh. Sehingga jika ditarik dalam
garis lurus, organisasi, sistem interaksi,
dan gerakan protes, semuanya merupakan
sistem sosial yang relatif otonom, dapat
mengambil bagian dalam proses salah satu
subsistem yang dibedakan secara
fungsional. Gerakan protes khususnya,
menarik diri dengan melintasi perbatasan
antara subsistem sosial untuk bereaksi
terhadap apa yang dikomunikasikan di
masyarakat secara keseluruhan.
Berbagai jenis reaksi terhadap konsep
estetis, seperti ulasan, kritik,dan
perdebatan, adalah bentuk komunikasi
dalam sistem seni. Hal ini dapat dijelaskan
oleh fakta bahwa semua jenis komunikasi
yang berbeda dalam sistem ini, pada
akhirnya, ditentukan oleh karakter karya
(atau peristiwa) seni tertentu. Hal ini
dikarenakan potensi karya atau peristiwa
seni sebagai objek pengamatan yang
mampu mengundang polemik,serta
menarik respons dan upaya kritik. Semua
jenis komunikasi yang dihasilkan dalam
'jaringan' ini dilihat sebagai bagian dari
sistem kesenian, karena mereka
berkontribusi terhadap mode operasi dan
siklus gerak sebuah sistem seni.
Bentuk komunikasi dalam seni adalah
objek utama yang menjadikan sistem sosial
ini berbeda dengan yang lain.Hal ini
dikarenakan aksi seni yang senantiasa
simbolik, sehingga mampu menawarkan
kemungkinan pembedaan antara imajinasi
dan realitas. Sistem seni menyadari
kemungkinan ini karena bermain dalam
ranah persepsi, yang muaranya adalah
membangun kesadaran-kesadaran hingga
memicu aksi-aksi nyata untuk perubahan
(dalam skala yang lebih
luas—masyarakat). Tantangan bermain

dalam bentuk yang jelas merupakan hal
sentral dalam cara kerja seni ketika
berurusan dengan kenyataan.
Menarik gagasan ini dalam ranah PE
Biennale Jogja XIV, program ini berjalan
dalam penegasan bahwa seni rupa
Yogyakarta merupakan bagian penting dari
sistem sosial masyarakatnya secara
keseluruhan. Sistem ini tidak dipahami
dalam jejaring struktur hierarkis dan
berlapis, namun sistem sosial seni
dimaknai dalam ranah bagaimana
membangun komunikasi antara ruang,
komunitas seni, dan Biennale Jogja XIV
sebagai porosnya. Sistem komunikasinya
yang simbolis memerlukan observasi dan
pengamatan berjenjang jikakita hendak
melihat bagaimana seni mampu menjadi
medium untuk berbincang dalam lingkup
lebih luas (masyarakat atau kawasan,
misalnya). Maka upaya pelibatan ini sangat
penting dalam membangun komunikasi,
'nyengkuyung' (mendukung, red.) Biennale
Jogja XIV dalam menyisir persoalanpersoalan ketidakpastian hidup yang
menjadi inti kuratorialnya.
Jejaring Ruang dan Komunitas
Karya seni tidak dapat melakukan apapun,
dan bahkan tidak pernah ada, tanpa peran
mediasi dari domain distribusi. Institusi
yang bekerja dalam ranah ini (galeri, ruang
seni, dan komunitas) bekerja layaknya
'pusat penerjemahan' atas karya yang
ditujukan bagi masyarakat. Mereka
memberi tempat pada karya seni dalam
sebuah momen estetik dengan melibatkan
banyak unsur: ruang fisik, karya seni,
kurator, manajer, penonton, masyarakat,
dan sebagainya. Karya seni akan
memainkan perannya sesuai dengan sifat
acara yang dilangsungkan; dan setiap
aktivitas yang digelar oleh ruang seni

7

mempunyai pola, bentuk, dan medan
tafsirnya sendiri. Maka sistem interaksi
yang dibangun akan menentukan pola
komunikasi, perbincangan, hingga efek,
dan pengaruhnya bagi masyarakat secara
luas.
Dan jika mengaca pada praktik kesenian di
Yogyakarta, distribusi dan mediasi seni
menjadi hal yang dominan. Tumbuhnya
ruang yang masif, dengan ragam aktivitas
seni yang dihadirkan, boleh menjadi acuan
bagaimana sebaran gagasan seni yang
beragam tumbuh subur. Sebaran
pengetahuan yang hilir mudik, tumpangtindih, saling sokong atau berbenturan,
telah menumbuhkan dialog langsung
maupun imajiner yang mewujud dalam
tindakan kesenian yang nyata. Terlepas
dari ideologi estetik yang diusung dan
kecenderungan artistik yang menjadi
praktik, kehadiran ruang-ruang ini
menunjukkan bagaimana sistem sosial
terbangun dan berkontribusi besar dalam
membangun jaringan interaksional yang
lebih luas:komunikasi, dialog, dan
kemitraan. Dari beragam kepentingan
dibalik setiap peristiwa seni yang
dihadirkan, jejaring ruang dan komunitas
seni yang dibangun dalam PE menjadi
podium penting untuk membincangkan
serangkaian isu, wacana, dan polemik
yang beredar secara senyap maupun riuh
dalam keseharian masyarakat, pun
singgungannya dalam praktik di medan
sosial seni rupa kita.
Keterlibatan 29 ruang dan komunitas seni
dalam spektrum kerja PE adalah modal
utama untuk melakukan pemetaan
bagaimana sistem sosial kesenian
Yogyakarta memainkan perannya dalam
sistem sosial masyarakat. Melalui 45

penyelenggaraan kegiatan seni (pameran,
workshop, screening, dan diskusi)
sepanjang gelaran PE, akan bisa ditakar
sejauhmana seni rupa mampu menyentuh
ranah persoalan diluar dirinya, hingga
kemudian bisa menemu fungsi sosialnya.
Beragam isu dan tema diangkat,mulai dari
persoalan medium dan eksperimentasi
seni, strategi dan siasat berkesenian,
sejarah sosial dan pemikiran, wacana
kontribusi pendidikan seni, isu lingkungan
dan gender, hingga menyoal identitas
kebangsaan. Kesemuanya bergerak dalam
medan tafsir atas Age of Hope, narasi
kuratorial yang telah diderivasi dalam tujuh
sajian pembacaan:Penyangkalan atas
Kenyataan, Kemarahan pada Keadaan,
Keputusasaan atas kehilangan,
Kepasrahan dalam ketiadaan, Penghiburan
atas Kehilangan, Kesadaran pada
Keadaan, Penerimaan atas Kenyataan.
Luasnya cakrawala gagasan dan medan
tafsir atas tema kuratorial yang diusung
masing-masing ruang dan komunitas
senisebanding dengan luasnya cakrawala
harapan pelaku seni atas segenap
problematika dalam kehidupan sehari-hari.
Harapan tumbuh dalam kerja-kerja seni
yang tak luruh.Mereka hadir dan
menggerakkan medan sosial seni rupa
Yogyakarta, membangun jejaring interaksi,
dan terus berkomunikasi dengan publik
seninya. Praktik seni yang dilakukan oleh
ruang dan komunitas seni dalam PE
merupakan bentuk afirmasi diri dan
penumbuhan harapan yang berpijak dari
optimisme mereka dalam memandang
hidup.
Afirmasi Diri dan Cakrawala Harapan
Inti komunikasi dalam sistem seni adalah
karya seni, seperti apa pun bentuknya.

8

Meski dalam bahasa simbol, karya mampu
merangsang reaksi, secara langsung
maupun tidak, dalam perbincangan
maupun polemik yang berujung aksi.
Praktik komunikasi ini berada dalam
cakrawala harapan, dalam ambang
pemikiran: bagaimana 'semestinya' dan
bagaimana 'kenyataannya'. Peran ruang
dan komunitas seni penting dalam
membangun cakrawala harapan ini. Dan
mesti kembali dipahami, sistem seni
bukanlah struktur (hubungan) organisasi
dan para aktor, melainkan rangkaian
komunikasi yang tersusun secara sosial
(dengan berbasiskan harapan).
Di tengah realitas hidup yang samar dan
medan sosial seni yang sumir, istilah 'seni
itu melelahkan namun tak boleh berhenti'
seolah menemukan taji. Gagasan
A.C.Danto (dalam Maanen) bahwa karya
seni selalu memiliki bentuk 'kegairahan' di
dalamnya tampak mengejawantah.
Dinamika seni yang riuh di Yogyakarta
adalah bukti bagaimana para pelaku seni,
komunitas, dan ruang-ruang seni mampu
terus-menerus meneguhkan diri bahwa:
seni mampu memunculkan harapan hidup
dan membuat perubahan, apapun
bentuknya, sekecil apapun,dengan
membangun komunikasi dan menebar
harapan bersama masyarakatnya. Seni
tetap diyakini mampu membuat
'pernyataan kebenaran' tentang kenyataan,
atau setidaknya memungkinkan untuk
menguji sejauh mana kebenaran itu
dialami. Membaca realitas atau
pengalaman (dimana realitas tetap tidak
ada), serta mencoba 'kemungkinankemungkinan lain' yang dianggap mungkin.
Optimisme ini adalah afirmasi diri yang
mewujud dalam kerja-kerja seni tanpa
henti. Afirmasi diri juga menjadi cermin
untuk membaca situasi sosial

masyarakatsekaligus silang sengkarut
politik kesenian dengan polemik-polemik
yang tak berkesudahan. Dalam riuhnya
syak wasangka yang memicu singgungan
dan benturan dalam medan seni, afirmasi
diri dan cakrawala harapan menjadi titik
balik untuk melakukan perubahan. Hal
yang sama saat kita membedah narasi
besar Biennale Jogja XIV, keterlibatan
setiap ruang dan komunitas seni dalam
Biennale menunjukkan bagaimana struktur
ini menjadi kekuatan penting dalam
menyingkap tabir kuratorial yang
ditawarkan. Kehadiran ruang dan
komunitas seni dengan segenap cakrawala
harapan yang mereka bentang menjadi
bentuk pengalaman-pengalaman 'melintas
dari ketidakpastian hidup menuju harapan'.
Luas dan Luwes: Kontekstualisasi
Pembacaan global atas isu yang diusung
dalam serangkaian kegiatan seni yang
dilakukan menunjukkan bagaimana
keragaman dan kesalingterhubungan
masing-masing ruang dan komunitas seni
dalam ranah praktik maupun wacana.
Komunikasi, dialog, dan kemitraan ruang
dan komunitas seni ini menjadi satu bentuk
afirmasi yang melandasi rancang gerak
aksi Parallel Event.Menjemput setiap ruang
dan komunitas seni untuk berbagi
pengetahuan bersama dalam menyikapi
fenomena keseharian masyarakat dalam
spektrum global dan aksi-aksi lokal menjadi
pijakan penting.Spirit Biennale Jogja XIV
adalah menjadi jembatan yang menjahit
keragaman pemikiran, gagasan, dan
praktik kesenian. Tawaran aksi yang
dipresentasikan masing-masing ruang
menunjukkan luas dan luwesnya sikapsikap pelaku seni dalam membaca gejala
serta menyikapi perubahan realitas secara
positif, taktis, dan menyentuh ranah yang
paling dasar dari masyarakat.

9

Tawaran ragam aktivitas seni yang
dilakukan oleh ruang dan komunitas seni
dalam PE menjadi semacam usaha untuk
mencari fungsi seni bagi
masyarakat.Program ini akan bergerak
dalam kaidah praksis, merujuk pada
sintesis teori dan praktik. Menjumput
pengetahuan dari setiap aksi dan refleksi
untuk diletakkan dalam kerangka konsep
kontekstualisasi. Kontekstualisasi adalah
jangkar yang diambil oleh PE (sekaligus
Biennale Forum) sebagai jalan untuk
melihat sejauhmana aktivitas seni menemu
simpul-simpul fungsi dalam masyarakat.
Tentu hal ini tidak mudah dan merupakan
pekerjaan yang panjang jika melihat
beragamnya dinamika praktik, ideologi, dan
wacana yang diusung, namun kerja-kerja
ini memang semestinya dilakukan secara
konstrukif dan terus diupayakan,
sebagaimana Biennale Jogja juga bergerak
dalam ranah ini. Keyakinan ini dilandasi
dasar bahwa seni menawarkan
kesempatan untuk mendepositokan setiap
realitas melalui representasi, dan
membangun persepsi yang melahirkan
dialog dan komunikasi.Kontekstualisasi
dalam program PE secara spesifik akan
berjalan pada spektrum: 'melihat bentuk
dan pola konfrontasi yang muncul atas
konstruksi perseptif yang telah eksis'hingga
menengok munculnya'cara-cara pandang
baru dalam melihat dunia'. Membaca
bersama-sama isu-isu besar yang digali
dari perjumpaan Biennale Jogja XIV
dengan Brasil, merajut setiap tebaran
gagasan ruang dan komunitas seni, serta
mendudukkannya dalam konteks
masyarakat hari ini.(HH)

Rujukan:

van Maanen, Hans. 2009. How to Study Art Worlds, On
the Societal Functioning of Aesthetic Values.
Amsterdam: Amsterdam University Press.
Becker, Howard. S & Howard P. Becker. 1982.Art
Worlds. Berkeley: University of California Press.
Luhmann, Niklas.2000. Art as a Social System.
Stanford: Stanford University Press.
Bourdieu, Pierre. 1993.The Field of Cultural Production:
Essays on Art and Literature. Cambridge: Polity Press.

10

Kekacauan Hari Ini
Rio Raharjo
Asisten koordinator Festival Equator dan penulis lepas.

Saya ingin mengawali tulisan ini dengan
mempersoalkan bahwa realitas yang tidak
selalu dalam keadaan baik-baik saja
adalah kenyataan yang kita hadapi hari
ini.Rasanya akan menjadi menarik jika kita
coba petakan secara sederhana seraya
mempertanyakan, hal apa saja yang
mendasari keadaan tersebut dan
bagaimana ia layak dipersoalkan
berdasarkan konteksnya, yakni kehidupan
Yogyakarta hari ini. Jawaban atas
pertanyaan ini kiranya dapat menjadi pintu
masuk untuk menyelami realitas kita hari
ini.
Sejak zaman purba, benih-benih
kebudayaan yang berupa kemampuan akal
manusia telah lahir dan terus mengalami
perkembangan yang tajam. Manusia
berevolusi, begitu pula cara pandangnya,
turut menggiring ke arah daya hidup pada
zaman yang juga terus berkembang. Hal ini
tampak dengan adanya beberapa
kebudayaan yang tumbuh secara bertahap,
yang diawali fase mitis, ontologis, dan
pragmatis. Sementara—sebagai wujud dari
kebudayaan—norma, aturan,
konvensiterlahir dengan wujud ide, yang
sifatnya abstrak, tak kasatmata, dan
lokasinya hanya berada di dalam kepala
atau alam pikir warga masyarakat tempat
kebudayaan itu hidup. Wujud kebudayaan
tersebut banyak hidup bersama dan
memberi jiwa pada masyarakatnya.
Gagasan yang satu dengan lainnya

cenderung kait-mengait,membentuk
sebuah sistem budaya
Wujud lain yang beririsan dekat dengan
kebudayaan adalah aktivitas atau tindakan
manusia dalam masyarakat. Aktivitas ini
mewujud pada pola-pola tertentu dalam
kehidupan bermasyarakat yang kemudian
menjadi sistem sosial. Manusia
berkegiatan, berinteraksi, serta bergaul
berdasarkan pola tersebut. Wujud terakhir
dari kebudayaan adalah artefak atau
bentuk kebudayaan fisik. Jenis ini berupa
hasil fisik dari aktivitas atau perbuatan
manusia. Sifatnya konkret, mulai dari hal
yang sederhana sampai temuan
termutakhir. Pada wujud ini, beberapa
perubahan keadaan sudah mulai terasa
dan memberi dampak cukup signifikan
pada sistem sosial dan kesepakatannya.
Meminjam pemikiran Yasraf Piliang tentang
“dunia yang dilipat” sebagai pijakan
merupakan pilihan yang cukup relevan
untuk melihat kasus ini. Lebih jauh, konsep
ini menempatkan kebudayaan pada
konteks kekinian dan situasi yang sedang
dijalaninya. Dengan demikian, kita
jugaditempatkan pada suatu masa atau
zaman yang cenderung terus-menerus
mengalami perubahan,yang tumbuh begitu
nyata dan cepat. Kita pun secara tidak
langsung diajak untuk berwisata ke dalam
sebuah dimensi yang penuh teka-teki,
misteri, kontradiksi, halusinasi, dan

11

simulasi. Secara tidak sadar, kita telah
masuk dan menikmatinya dalam konteks
kehidupan kita hari ini. Memasuki era
kebudayaan kontemporer, kita dihadapkan
dengan sebuah pemandangan tentang
realitas baru, penuh dengan warna
sekaligus nuansa yang tak pernah kita
duga sebelumnya. Banyak hal menarik
yang disajikan, namun banyak pula yang
menghanyutkan. Kita dapat hanyut dalam
suatu wilayah kebudayaan baru, yang
memberikan perasaan keterpesonaan dan
kesenangan karena kekayaan tanda dan
citranya. Tanda dan citra yang lebur
bahkan melampaui dirinya sendiri. Begitu
banyak tanda, kesan, serta tema yang
sangat menggoda untuk disantap. Akan
tetapi, itu semua perlahan akan runtuh
dengan sendirinya. Runtuh akibat tidak
adanya lagi batas antara penanda dan
petanda yang sebelumnya berjalan
beriringan.
Organisme yang mengalami sebuah
kekacauan merupakan ilustrasi yang tepat
untuk menggambarkan kondisi kita hari ini.
Beberapa organ tidak lagi berjalan sesuai
dengan sistemnya. Otak menjadi dengkul,
mata menjadi otak, telinga menjadi
mulut,sehinggamanusia lebih
mendahulukan bertindak daripada berpikir,
mengedepankan apa yang dilihat daripada
apa yang direnungkan, dan lebih banyak
berbicara ketimbang mendengar. Lebih
lanjut, hal tersebut juga disinyalir dapat
terjadi karena adanya dominasi waktu
terhadap ruang dan tindakan. Pada
konteks ini, ruang dapat dijangkau dengan
waktu yang singkat. Artinya, kita tidak
memerlukan banyak waktu lagi untuk
menuju ke sebuah dimensi ruang. Dengan
temuan mutakhir yang lahir dari
kecerdasan manusia, kita dengan cepat
menuju ke suatu dimensi ruang tanpa

harus mengeluarkan energi untuk
menjangkaunya. Kita dapat
mengefisienkan waktu untuk melakukan
banyak kegiatan di waktu yang sama.
Namun, dibalik kenikmatan itu semua,
justru lahir banyak kekacauan di dalamnya.
Segala kebenaran kabur dan dapat
menjadi kepalsuan, atau sebaliknya.
Segala aktivitas dikerjakan dengan
ketergesaan, sehingga kehilangan
maknanya lalu terabaikan. Kekacauan ini
lantas menjelma menjadi teks yang kabur,
keburukan menjadi kebaikan, berubahnya
dosa menjadi hiburan, kepalsuan menjadi
suatu kebenaran. Kebudayaan yang
kacaubalau ini akhirnya meninggalkan
beberapa ketidakjelasan dan
ketidakpastian pada kehidupan masyarakat
kontemporer, masyarakat kita hari ini.
Meski begitu, mau tidak mau, sadar tidak
sadar, kondisi itu yang kita hadapi
sekarang. Perkara mencari makna di
antara ketidakjelasan dan ketidakpastian
tersebut adalah pekerjaan kita hari ini.
Ketidaksadaran dalam Sebuah Peristiwa
Stage of Hopelessness merupakan
sebuah respons yang tumbuh keluar
sebagai buah dari keadaan saat ini.
Keadaan ketika segalanya menjadi tidak
jelas dan tidak pasti. Meski begitu, respons
tersebut seyogyanya ingin menjawab
persoalan ketidakpastian hidup yang telah
membuat kita tidak berani berharap.
Berharap pada sebuah kenyataan yang
semakin sulit untuk dipahami. Kenyataan
yang hadir pada era baru ini begitu
menggoda melalui pesona citra dan
nuansanya, namun amat kacau di
dalamnya. Namun di balik kekacauan itu,
secara tidak sadar kita digiring ke satu titik
untuk mendapatkan kesadaran baru. Lalu,
bagaimana mendapatkan kesadaran baru
tersebut?

12

Organizing Chaos diambil sebagai salah
satu tema yang disiapkan untuk
ditampilkan ke publik dan ditempatkan
sebagai upaya untuk memunculkan
kesadaran baru melalui peristiwa yang
“seakan” tak wajar terkait situasi
Yogyakarta hari ini. Memainkan ingatan
masa lalu akan sebuah momen traumatis
menjadi titik berangkat untuk memunculkan
kesadaran baru. Memainkan ingatan masa
lalu dalam konteks ini didekati dengan
menggali ingatan masa lalu itu sendiri.
Penggalian ingatan inidilakukan bukan
pada lapisan kesadaran yang memiliki
rekaman pengalaman menyenangkan,
seperti menikmati keindahan
pemandangan atau mencium semerbak
wewangian bunga. Namun sebaliknya,
digalidari pengalaman yang biasa saja,
tidak cukup berarti atau bermakna, hingga
hal-hal yang kurang enak, sehingga ia pun
dilupakan dan kemudian ditempatkan pada
lapisan ketidaksadaran. Lapisan
ketidaksadaran yang tidak menyenangkan
tersebut kemudian didesak masuk ke
dalam lapisan ketidaksadaran personal.
Segala hal yang kurang berkenan dan
mengenakkan terakumulasi pada lapisan
ini. Selanjutnya, ingatan pada lapisan
inidirasa turut memengaruhi cara
seseorang berpikir dan bertindak secara
personal.
Lantas, bagaimana membangun ingatan
publik pada masa lampau? Pada tahap ini,
kita diajak untuk lebih jauh masuk ke
lapisan ketidaksadaran kolektif. Yang
membedakan lapisan ini dengan lapisan di
atas adalah sumber pengalamannya.
Pengalaman pada lapisan ini
bersumberdari pengalaman bersama
(kolektif) yang mengakar pada masa lalu.
Sejenis pengetahuan yang kita miliki sejak
lahir dan kita tidak sadar telah memilikinya.

Pengetahuan tersebut diturunkan secara
berulang dari generasi ke generasi, kepada
setiap orang berdasarkan kulturnya,hingga
kemudian pola asalnya, atau arketipe,
dapat terbaca. Arketipe yang merupakan isi
dari ketidaksadaran kolektif cukup
berperan dalam menentukan cara setiap
orang memandang suatu yang ada di
sekelilingnya. Ia adalah bagian atau
komponen yang letaknya di wilayah
ketidaksadaran kolektif. Perannya begitu
sentral untuk memengaruhi perilaku kita
secara emosional. Sebagai contoh,
seorang anak membawa pola asal ibunya,
yang merupakan hasil dari pengalaman
generasi sebelumnya yang terus berulang.
Dengan begitu, sang anak secara tidak
sadar mengikuti pola yang diwarisidari
sang ibu.
Ketidaksadaran itu pula yang menjadi
tujuan dibalik rangkaian peristiwa yang
ditata di hadapan publik. Secara tidak
sadar, beberapa peristiwa yang hadir akan
menyengat ingatan masa lalu
masyarakatkarena ada warisan
pengetahuan yang telah dimiliki. Lalu,
publik akan memandang peristiwa ini
sebagai sebuah momen penting.
Penggalianulangakan hal tersebut dan
memunculkannya dalam suatu momen
atau peristiwa dirasa jadi satu cara yang
turut melahirkan kesadaran baru. Pada
konteks ini pula, peristiwa yang dihadirkan
sebenarnya memiliki irisan dengan nilai
kebudayaan Yogyakarta.
Upaya penggalian ingatan publik ini
digiring menuju sebuah mitos. Mitos
sebagai konsep anutan yang berangkat
dari permasalahan dan perubahan dengan
beberapa kekacauannya, tumbuh serta
berkembang di kehidupan masyarakat
dewasa ini. Ia berdiri sebagai sesuatu yang

13

kontinu dan terkait dengan konteks
zamannya. Mitos di sini tidak didefinisikan
melalui pesan pada objeknya, melainkan
melalui cara penyampaian pesan itu
sendiri. Memuat pesan yang seakan-akan
benar atau apa adanya, tetapi sebenarnya
mengandung pesan lain yang ditutupi atau
disembunyikan. Ketika segala sesuatunya
terasa berjalan lazim, maka sebenarnya itu
tak lazim. Alami dalam konteks ini diartikan
sebagai sebuah peristiwa yang berjalan
mengalir, bebas dari kepentingan atau
setting-an. Namun, dibalik peristiwa itu
semua, ada makna lain bahwa segala
sesuatunya sebenarnya tidak dalam
keadaan yang baik-baik saja. Semua itu
adalah rekayasa yang sarat pandangan
secara ideologis. Konsep pandangan
tersebut yang sebenarnya ingin dicuatkan
ke publik, bahwa kondisi kita hari ini
sebenarnya tidak dalam hal yang wajar.
Dengan begitu, beberapa peristiwa ini
nantinya akan didefinsikan sendiri oleh
publik. Melalui konsep seperti ini,
diharapkan masyarakat lebih jeli untuk
melihat makna lain dibalik peristiwa yang
sering terjadi pada umumnya.Kondisi
kehidupan kita kian hari kian berubah, dan
jika tidak diingatkan, masyarakat kita akan
terbuai dan tenggelam dalam situasi yang
kacaubalau. Cara mengingatkannya
adalah dengan membangun sebuah
ungkapan kejadian yang dikondisikan
seolah berjalan tanpa dikondisikan, guna
menyadarkan masyarakat pada sebuah
realitas yang tidak baik-baik saja.

14

15

YURI FIRMEZA

Residensi Seniman Brasil
Biennale Jogja XIV Equator #4
Residensi ini berawal dari undangan yang dilayangkan Biennale
Jogja. Ketertarikan pada isu tertentu terkait proses pengkaryaan
saya baru muncul setelah saya tiba di kota ini. Sebelumnya, saya
sudah punya beberapa ide. Tapi setelah saya sampai di
Yogyakarta, barulah saya paham tentang alur dan dinamika kota
ini, hingga kemudian memikirkan proyek yang akan saya kerjakan.
Dukungan dan kesempatan selalu tersedia bagi kami untuk
membicarakan proses pengerjaan karya. Bentuk dukungan itu
dapat berupa dialog antarseniman, bersama kurator, maupun
seniman Indonesia.Kendalanya tidak seberapa jika dibandingkan
dengan semangatnya. Tapi memang ada kendala. Salah satunya
adalah bahasa. Sukar sekali melakukan pendekatan terhadap
suatu konteks tanpa mengetahui bagaimana cara
mengungkapkannya.
Kesulitan lain yang saya alami pada awal masa residensi adalah
perbedaan zona waktu. Tubuh rasanya jet lag, dan butuh waktu
untuk menyesuaikan diri. Akan tetapi, segala kendala itu bisa jadi
hal baik dalam kaitannya dengan perbedaan konteks dan tempat
kita di dunia ini. Perbedaan menuntut kita untuk memikirkan
keberadaan dunia lain yang terkadang tidak kita anggap ada.
Saya amat terkesan dengan dunia kesenian Yogyakarta, terutama
skena musik eksperimental-independen: noise. Dua bulan
kelihatannya waktu yang lama, tapi nyatanya hanya ada sedikit
waktu untuk mengerjakan proyek yang ingin saya kembangkan
lebih jauh. Menurut saya, penting untuk meninggalkan kesan
pertama yang akan mengendap, sehingga tidak terasa klise. Hal ini
selalu jadi bagian yang tersulit, terutama ketika berada di negara
lain, di tengah budaya yang berbeda, serta hubungan dengan
waktu, ruang, dan tubuh yang berbeda pula.

16

Residensi ini adalah kesempatan buat saya untuk datang
dan memahami Indonesia secara mendalam, terlebih
karena keluarga saya berasal dari Indonesia. Kunjungan
ini adalah mimpi yang jadi nyata.
Saya tidak tahu apa-apa tentang Yogyakarta sebelum
datang kemari. Menarik sekali, di Yogyakarta kesenjangan
sosial lebih sedikit terasa dibanding kota-kota lain yang
sangat terpengaruh kapitalisme. Yogyakarta juga sangat
kental keseniannya; ada sekolah seni dan galeri di manamana, namun secara bersamaan kehidupan tradisional
masyarakatnya tidak luntur. Perpaduan yang sangat
menarik. Ada keterbukaan untuk kreativitas, juga
keanehan, misalnya terdapat komunitas transgender dan
LGBT. Ini sangat dekat relasinya dengan seni karena seni
butuh keterbukaan. Kesan pertama ini amat menarik
sehingga saya memutuskan untuk kembali ke sini tahun
depan.
Program residensi ini mendukung proses kami berkarya.
Kami mendapatkan apa yang kami butuhkan, serta
didampingi asisten yang perannya sangat penting, sebab
kami datang ke negara yang belum pernah dikunjungi
sebelumnya. Selain itu, tersedianya ruang untuk tinggal,
ruang untuk berkarya, serta pendanaan sangat
mendukung proses kreatif saya, sehingga saya bisa
mendedikasikan diri 100% pada karya.
Tantangan yang paling sering dihadapi oleh seniman asing
adalah bagaimana membuat karya yang tidak
menyinggung masyarakat lokal. Itu sering terjadi di Brasil,
seniman asing secara tidak sadar membuat karya yang
menyinggung, sehingga masyarakat lokal menjadi kritis.
Karena punya latar belakang personal, berkarya di
Indonesia—di negara tempat keluarga saya pernah
tinggal—menjadi beban untuk saya pribadi. Saya harus
berupaya membuat konsep dan latar belakang karya
dengan bahasa visual saya dapat dimengerti tidak hanya
oleh saya dan keluarga, namun juga audiens yang datang
dan melihat karya tersebut.
Meskipun Indonesia dan Brasil terpisah jarak lebih dari 16
ribu kilometer, banyak hal ternyata sangat mirip. Meskipun
saya orang asing, saya tidak merasa asing di sini.

DANIEL LIE

17

18

RODRIGO BRAGA

19

Sebenarnya, datang ke Indonesia bukanlah hal yang pernah
saya bayangkan, mungkin karena persoalan jarak yang
memisahkan. Tapi, saat kurator Pius Sigit mengunjungi
studio saya di Rio de Janeiro, saya mulai menyadari bahwa
mungkin tinggal di Indonesia dan mendapatkan inspirasi dari
kebudayaan dan lanskap lain adalah satu peluang yang
baik. Karya saya dibuat berdasarkan gagasan tentang
displacement, dan dengan pertimbangan bisa mendapatkan
pengalaman in loco di tempat baru yang berbeda, tiba-tiba
kunjungan ke Yogyakarta terdengar sangat menarik.
Saat tiba di Yogyakarta, saya sudah punya satu niat khusus:
mengunjungi wilayah Gunung Kidul. Saya tertarik dengan
kekhasan aspek sosial dan lingkungannya, tapi lebih spesifik
lagi saya terpikat pada mitos Pulung Gantung, yang
merepresentasikan cara orang lokal berhadapan dengan
masalah, kepercayaan, dan kematian. Lalu, Pius
memperkenalkan saya pada Emmanuel Subangun, seorang
peneliti yang memiliki pengalaman panjang bersama
masyarakat Gunung Kidul dan memberi saya kesempatan
untuk tinggal dan bekerja secara langsung di Desa Wiloso
selama beberapa hari.
Memang ada beberapa tantangan yang saya hadapi saat
berkarya di negara yang belum saya kenal. Di satu sisi,
Yogyakarta terasa cukup akrab, mirip banyak kota di bagian
utara Brasil. Di sisi lain, wilayah ini senantiasa memberi
kejutan. Tentu saja butuh beberapa saat untuk bisa
beradaptasi dengan perbedaan waktu, bahasa, dan
mobilitas hingga akhirnya bisa merasa lebih percaya diri
sebagai orang asing. Namun, tantangan terbesarnya terletak
pada bagaimana berkarya dalam waktu yang amat terbatas,
dengan isu yang dipahami oleh orang Indonesia namun
tidak banal. Oleh sebab itu, karya saya lebih banyak
menggunakan pendekatan subjektif, mengungkapkan
bagaimana saya mengalami lanskap dan sejarah orangorang, cara saya membuka diri dan berdialog dengan tema
tertentu, akan tetapi tetap universal dan arketipal.
Saya harus mengakui bahwa kadang-kadang saya merasa
khawatir karena tantangan tersebut, namun saya juga
merasa mendapatkan semangat ketika berada di tengahtengah alam dan masyarakat Gunung Kidul.

20

Mengayuh Sepeda
di Yogyakarta
Cibele Poggiali Arabe
(Peneliti nonakademis dari Brasil, mendapatkan gelar Master
dalam bidang Pariwisata Berkelanjutan, dan menaruh
perhatian khusus pada perjalanan kebudayaan dan independen,
koresponden internasional untuk asosiasi La Croisée des Routes)

"The travel begins where our certainties end."
Franck Michel, antropolog.
Jalan Malioboro di
Yogyakarta: area di mana
"kekacauan pinggiran"
benar-benar terpisah dari
"tengah". Sebuah kontras
dari hal-hal klise dalam
realitas yang berubah.
Dok: Penulis

Saya biasanya mengaku senang mengunjungi Indonesia karena
memberikan banyak kesempatan untuk latihan bersikap fleksibel,
adaptif, dan sabar. Mungkin orang akan terkejut mendengar saya,
yang berasal dari Brasil, berkata demikian. Paling tidak, dulu, saya
bukanlah orang yang selalu datang terlambat—atau paling tidak

21

bukan satu-satunya. Sekarang, saya
adalah orang yang selalu mendapat saran
untuk lebih santai dan "tidak berpikir
macam-macam"—sebuah frasa yang saya
suka dari beberapa teman Indonesia saya.
Seseorang yang tinggal di Indonesia atau
mengenal orang Indonesia lebih dalam
daripada saya mungkin akan bilang bahwa
orang Indonesia sering kali tidak efisien;
perlu waktu lama untuk menyelesaikan
sesuatu, atau tidak mau menyampaikan
realitas yang mengganggu demi
menghindari konflik, atau bahkan bisa
mengingkari kesepakatan yang sudah
dibuat. Meskipun itu bisa saja benar dalam
beberapa hal, saya memilih untuk memberi
perhatian pada hal-hal di luar perspektif itu.
Setiap kali saya merasa berada di ujung
tanduk frustrasi, saya melihat ketenangan
pada orang-orang di sekitar; jika situasinya
sudah terlalu absurd, tertawakan saja.
Contohnya, waktu saya harus menunggu 3
jam sebelum akhirnya bisa mengambil
beberapa foto tim proyek kami. Tiba-tiba
segala ide dan rencana hilang; daripada
menuntut sesuatu berjalan sesuai
keinginan kita, akhirnya saya selalu
memilih untuk menjalani saja apa pun yang
akan terjadi. Sebelum ke Indonesia, saya
merasa saya orang yang "go with the flow".
Tapi, kemudian saya menemukan sesuatu
yang baru dari istilah itu ketika berada di
sini.
Saya sebenarnya tidak suka
menggeneralisasi, apalagi membandingkan
Timur dan Barat secara simplistik. Kita
amat beragam dan selalu ada banyak
“pengecualian” di mana pun. Saat pertama

kali mengunjungi Asia, memang terasa
perbedaan yang signifikan. Bagi saya
sendiri, rasanya seperti logika
dijungkirbalikkan. Reaksi orang-orang tidak
sama, pertanyaan jadi tidak masuk akal,
referensi kita berbeda, cara berpikirnya
berada di jalur yang berbeda pula.
Semuanya itu terasa makin kentara ketika
Anda mulai tertarik belajar bahasa dan
berkomunikasi dengan kebudayaan
tersebut.
Belajar Bahasa Indonesia, Memahami
Masyarakatnya
Bagi saya, perjalanan tentu saja selalu
berurusan dengan bahasa. Struktur
bahasa sangat erat terkait dengan cara kita
berbicara, yang kemudian secara langsung
terhubung dengan cara kita
mengekspresikan diri. Yang satu
menentukan yang lain; semuanya
berkelindan dalam kebudayaan.
Pemahaman bahasa berubah ketika kita
memahami kebudayaan, dan kita dapat
mendalami kebudayaan ketika mulai
belajar bahasa. Hal itu memikat saya.
Bagi saya, belajar bahasa Indonesia
layaknya menyelami dunia yang tidak
diketahui, di mana terkadang orang-orang
menangkap maksud yang sama sekali
bertentangan dengan apa yang coba saya
ungkapkan. Saya mungkin sempat merasa
disorientasi dan frustrasi. Saya mencoba
mengamati dalam diam, mengingat lagi
bagaimana seorang teman "bule" saya
pernah berkata bahwa dalam bahasa
Indonesia, seperti kebanyakan bahasa
Asia lainnya, struktur frasanya
berkebalikan dengan bahasa kita.

22

Saya ternyata sering mengawali kalimat
dengan ekspresi yang biasanya digunakan
orang Indonesia justru untuk mengakhiri
kalimat... dan orang Indonesia biasanya
menyampaikan pesan yang paling penting
terlebih dahulu. Tidak heran saya sering
mengalami kesalahpahaman. Sementara
itu, intonasi dan volume suara saat
berbicara menggunakan logika yang sama:
terdapat penekanan pada inti pesan dan
disesuaikan dengan perasaan yang ingin
disampaikan. Terkadang, ada ekspresi
yang dalam bahasa Indonesia dapat
disampaikan hanya dengan satu kata dan
intonasi tertentu, sementara dalam bahasa
Inggris, Portugis, dan khususnya Prancis,
perlu satu kalimat panjang yang rumit.
Sering kali saya menemukan bahwa di
ujung kalimat, biasanya dengan intonasi
dan volume yang nyaris tidak kentara
(bahkan kadang tidak ada), barulah
diketahui "siapa" pihak yang dibicarakan
dan juga "kapan" itu terjadi. Tiba-tiba
informasi tentang waktu yang justru
dianggap tidak penting itu malah membuat
segalanya jelas. Seketika itu, bahasa
"Barat" dan cara kami berbicara selama ini
terasa sangat egosentris, terlalu formal,
serta mengandung terlalu banyak detail
dan aturan... agaknya kebudayaannya pun
demikian.
Mungkin terdengar klise, tapi saya tiba-tiba
merasa sangat "kebarat-baratan". Dalam
pengalaman selama tinggal di Indonesia,
saya terkadang menemukan karakteristik
yang sering kita baca soal "Timur" dan
"Barat", sebagaimana dinyatakan oleh
antropolog Franck Michel dalam bukunya
En Route pour l'Indonésie (Perjalanan ke
Indonesia):

“One phrase sums up the orientation of the
Western mind: the end justifies the way.
Even the horizontal structure of the phrase
(subject-verb-complement) runs counter to
the Asian way of thinking, a more vertical
one: the words can often be
interchangeable in a sentence, and here it
gives us something like: the way justifies
the end…”
Beberapa Klise tentang Timur yang
Ternyata Benar: Perasaan tentang
Menjadi “Barat” Bagian Selatan
Selama tinggal di Indonesia, saya
menemukan banyak klise yang sepertinya
benar terkait dunia "Timur" sebagaimana
diungkapkan Michel. Saya merasa orang
Indonesia menganggap masa kini lebih
penting daripada masa yang akan datang.
Mereka lebih mementingkan kualitas dari
waktu yang dimiliki ketimbang waktu
produktif. Menariknya, waktu produktif tidak
diartikan sebagai masa penuh pencapaian
dalam tempo yang singkat, melainkan saat
di mana "interaction with patience is
preferred over action in impatience". Dalam
kerja-kerja kolektif keseharian, hal yang
lebih penting adalah menghargai satu
sama lain, mengambil jeda apabila
diperlukan, dan tetap akur. "Slowness is
essential, as opposed to urgency and
stress..." Yang-batiniah lebih penting
daripada yang-duniawi. "Being and
knowing as opposed to appearances and
haves" dan pada akhirnya "the economy of
giving, as opposed to the market
economy".
Dalam hal keputusasaan dan tuntutan
untuk terus bertahan hidup, yang diwarnai
dengan kondisi kekurangan dan ketakutan
pada dunia Barat, saya merasa bahwa di

23

Indonesia orang-orang bisa lebih hidup meskipun berkekurangan
dan sering kali harus benar-benar "bertahan hidup" dalam arti
harfiah. 10 tahun lalu, saat pertama kali melakukan perjalanan ke
luar negeri, saya terkejut mendengar cerita seorang wanita Prancis
yang baru saja kembali dari Brasil. Ia sangat kagum melihat orangPotret Dodo Hartoko
Dokumentasi Yayasan Biennale Yogyakarta
orang miskin di Brasil bisa terus tertawa dan kelihatan gembira
meskipun mereka tidak berkecukupan atau bahkan tidak bisa
makan. Saya tertohok saat mendengar bahwa ia merasa hal itu
tidak lazim...

Kerajinan dari kolektif
swadaya anarko-feminis
Yogyakarta, Needle N'
Bitch.
Dok: Penulis

Saat ini, di Indonesia, saya berjumpa dengan tawa yang serupa.
Meskipun Brasil dan Indonesia terpisah separuh lingkar bumi
jauhnya, saya juga merasa bahwa kedua negara ini bertemu
sebagai negara-negara Selatan. Memang benar bahwa semua
tantangan yang harus dihadapi di Indonesia agaknya serupa
dengan di Brasil, dengan taraf yang berbeda dan lebih kebaratbaratan (untuk tidak mengatakan "menyerupai Amerika"). Akan
tetapi, saya tetap merasa seperti seseorang yang datang dari
"Barat", khususnya belakangan ini, setelah saya sadar bahwa tawa
orang-orang kecil di Indonesia itu bukan hanya karena mereka

24

orang "Timur", tapi bahkan ada lebih
banyak tawa di Indonesia daripada di Brasil
akhir-akhir ini.
Stage of Hopelessness
Saat pertama kali mendengar tema
Biennale Jogja tahun ini, saya berpendapat
bahwa tema itu tepat menyentuh pokok
persoalan yang terjadi di Brasil saat ini,
juga di dunia secara umum, termasuk
Indonesia.
Brasil dan Indonesia punya kemiripan
dalam hal sejarah dan aspek-aspek lain.
Contoh jelasnya, dalam hal lingkungan,
keduanya adalah negara dengan kekayaan
alam yang sama besarnya dengan
ancaman kehancurannya. Dalam hal
budaya—sejauh apa pun budaya dan
agama kita berbeda—keduanya adalah
negara dengan arus imigrasi yang besar,
mengalami masa penjajahan panjang, dan
bahkan keduanya pernah dijajah bangsa
Portugis (meski di Indonesia lebih singkat).
Oleh karena itu, kini kita memiliki
keragaman etnis yang luar biasa. Namun,
mental "terjajah" juga masih tersisa
jejaknya dalam bentuk perasaan inferior
dan perjuangan mencari identitas. Dalam
bidang politik, kita mengalami kediktatoran
militer yang represif sejak pertengahan
1960an hingga 1980an dan bahkan
1990an. Bagi saya, ini adalah alasan
utama yang menyebabkan kedua negara
tersebut memiliki banyak kemiripan dalam
aspek sosial dan ekonomi.
Brasil dan Indonesia hingga kini
merasakan dampak dari pinjaman dan
investasi politik internasional yang
diberikan pada masa kediktatoran itu. Kita

harus menanggung utang yang justru
menghambat pembangunan negara dan
kesejahteraan rakyatnya. Dalam bidang
sosial, kediktatoran itu memberikan
pengaruh pola pikir patriarkal dan berpusat
pada elite. Pemerintahan semacam itu juga
turut memicu berkembangnya cara
masyarakat bereaksi, baik terhadap bentuk
perlawanan pada ekstremisme sebagai
jalan untuk mempertahankan kekuasaan,
maupun dengan ketakutan yang
diciptakannya di masa lalu. Masih sulit
keluar dari jeratan itu.
Saat ini, saya bisa merasakan perbedaan
setelah 10 tahun dimulainya (kembali)
demokratisasi di kedua negara tersebut.
Khususnya kondisi Brasil 10 tahun yang
lalu. Saat itu orang-orang di Brasil selalu
punya energi dan optimisme yang meluapluap, serta berpandangan bahwa masa
depan akan penuh dengan harapan dan
impian. Tahun 2016, awan kelabu
pesimisme telah meliputi Brasil dalam
bentuk krisis ekonomi yang menggulung
kami. Saat itu, Presiden Dilma, seorang
wanita lajang yang di masa mudanya
menjadi pejuang anti-kediktatoran garis
keras, dimakzulkan atas tuduhan rencana
kebohongan dan beraliansi untuk tindak
korupsi dengan seorang pria flamboyan
yang sudah menikah. Tak jauh dari masamasa itu, saya tiba di Indonesia untuk
pertama kalinya. Dan perbedaan
suasananya membuat saya merasa hidup
kembali. Saya tertegun khususnya ketika
mengalami suasana Yogyakarta. Bukan
hanya karena segala budaya "ketimuran"
itu, namun juga karena ini mengingatkan
saya pada situasi yang persis sama
dengan Brasil 10 tahun silam.

25

Satu setengah tahun kemudian, segala
sesuatunya berubah cepat, dengan
kebangkitan ekstremisme di setiap aspek
kehidupan masyarakat. Perekonomian
Brasil terus menukik turun dengan tindak
korupsi pemerintahan Michel Temer yang
tidak terbayangkan sebelumnya, kurang
lebih bisa disandingkan dengan absurdnya
cara Trump memimpin pemerintahan. Di
Indonesia, kebangkitan kembali
fundamentalisme menyeruak melalui
gerakan yang berujung pada penahanan
Ahok—politikus Kristen keturunan
Tionghoa—yang dilakukan oleh para
demonstran berpakaian ala Arab; hal ini
mengindikasikan adanya upaya untuk
mengetatkan kendali yang bersifat
konservatif pada masyarakat.
Di Brasil dan Indonesia, "kebutuhan akan
ketertiban" yang hadir beriringan dengan
kebangkitan ekstremisme di seluruh dunia
seperti memunculkan kembali gagasan
lama yang salah kaprah bahwa pemberian
konsesi kekuasaan pada militer dapat
mengatasi kekacauan ini.
Kita dibuat percaya pada keamanan
"palsu", yang diatur dengan cara yang
persis sama untuk memunculkan ketakutan
dan perasaan tidak berdaya. Hal ini
berisiko menjerumuskan kita dalam jeratan
masa lalu yang sama atau bahkan lebih
buruk lagi. Dalam kondisi berusaha
mengakhiri kekacauan dan situasi
ketidakpastian ini, kita mungkin malah tidak
menyadari penangkal untuk keluar dari
situasi macam ini, yaitu: menghadapi
realitas yang kacau dan tidak pasti ini.

Organizing Chaos
“It is my conviction that there is no way to
peace - peace is the way.”
Thich Nhat Hanh, The Art of Power
Ada salah satu klise yang ternyata benar
tentang Indonesia dan "Timur" yang saya
sukai, yaitu ada keteraturan dalam
ketidakteraturan yang kita hidupi ini.
Berbeda dengan kondisi dunia "Barat" di
mana segala sesuatu tampak teratur
padahal sebenarnya berantakan,
kekacauan punya peran penting dalam
masyarakat di Timur.
Saya tidak perlu menjelaskan lebih jauh.
Cukup mengayuh sepeda di tengah
keramaian jalanan Yogyakarta... di antara
sepeda motor dan mobil yang menderu. Di
tepi-tepi jalan, Anda akan melihat
kekacauan yang paling tepat mewakili
pernyataan di atas. Ada banyak becak
(baik yang dikayuh maupun bermotor),
delman, pedagang kaki lima, sepeda,
pejalan kaki, sepeda motor berseliweran
dari segala arah. Mobil-mobil keluar masuk
parkiran, orang menggantikan peran lampu
lalu lintas untuk mengatur jalannya
kendaraan (biasa disebut "Pak Ogah",
red)... tepi-tepi jalan adalah sebuah dunia
tersendiri. Di dalam kekacauan ini, orang
dapat berbaur dengan mudah dan
bersepeda, karena setiap orang sadar dan
terbiasa dengan segala kemungkinan
datangnya orang atau kendaraan lain dari
segala penjuru.
Pada hari pertama menyaksikan
kesemrawutan jalanan Yogyakarta, saya
harus mengumpulkan keberanian dan
nekat memenuhi ajakan teman saya untuk

26

bersepeda menuju sebuah acara. Malam
harinya, saya bertemu dengan banyak
orang yang penuh inspirasi dan energi,
orang-orang yang berusaha tidak tunduk
pada hal-hal yang tidak ingin mereka
lakukan. Malam itu, saya juga bertemu
dengan orang-orang dari Survive! Garage;
kini kami tengah mengerjakan sebuah
proyek yang akan kami sajikan bersama
dalam Parallel Event Biennale Jogja 2017.
Setelah meningga