Presentasi pancasila Makalah .doc (1)

TINJAUAN FILOSOFIS
TERHADAP SILA-SILA PANCASILA
Paper Pancasila
Dosen:

Bpk. Sugiharto

OLEH:
Heribertus Jojita (09.09042.000001)
Puput Anis Biantoro (09.09042.000019)
Thomas Toang (09.09042.000020)
Markus Marjoyo (09.09042.000033)
Stefanus Gale (09.09042.000044)
Rata Diajo (09.09042.000055)
Marcellius Ari Christy (09.09042.000071)
Theresia Anik Kurniawati (09.09042.000072)

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT TEOLOGI
WIDYA SASANA MALANG
2009
0


Bab I
Pendahuluan

Pancasila merupakan ajaran filsafat yang religius dan fungsional dalam mengatur
hubungan antar-manusia, khususnya warga Negara Republik Indonesia. Hal ini terbukti
dalam kedudukannya sebagai norma dasar Negara Republik Indonesia. Sebagai suatu
organisasi kemasyarakatan, negara hanya dapat dikemudikan secara terarah dan efisien
apabila ada gambaran yang jelas tentang hakekat, tujuan, dan susunannya. Ketika bangsa
Indonesia membentuk kehidupan bersama dalam bernegara, telah diusahakan terlebih
dahulu hal yang sangat penting bagi berdirinya suatu negara, yaitu asas kehidupan
bernegara. Selanjutnya realisasi pembentukan negara beserta pengaturannya harus
berlandaskan pada asas negara itu.
Kedudukan dan peranan, sangat diperlukan bagi kehidupan bangsa dan negara
Indonesia. Maka kita perlu memahami isi dan makna serta mengetahui hubungan dan
pengaruh dasar negara kita. Jika kita mengetahui hubungan dan pengaruh dasar negara
kita, maka kita dapat memahami bagaimana Pancasila harus terwujud dalam kehidupan
bangsa dan negara Indonesia.
Terlahirnya Pancasila sebagaimana tercatat dalam sejarah kemerdekaan bangsa
Indonesia, merupakan sublimasi dan kristalisasi dari pandangan hidup dan nilai-nilai

budaya luhur bangsa yang mempersatukan keanekaragaman bangsa kita menjadi bangsa
yang satu, bangsa Indonesia. Hal ini berbeda dengan negara-negara lainnya, di mana suatu
bangsa dan negara dibentuk oleh karena kesamaan bahasa, adat istiadat atau juga karena
kesamaan wilayah daratan. Latar belakang historis dan kondisi sosiologis, antropologis
dan geografis bangsa Indonesia yang unik dan spesifik seperti bahasa, etnis, suku bangsa,
ras dan kepulauan, menjadi komponen pembentuk bangsa yang paling fundamental dan
sangat berpengaruh terhadap realitas kebangsaan Indonesia saat ini.
Maka, Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia harus diketahui dan
dipahami oleh seluruh bangsa Indonesia. Hal ini penting agar warga negara menghormati,
menghargai, menjaga, dan menjalankan nilai-nilai serta norma-norma positif yang
terkandung dalam sila-sila Pancasila. Dengan demikian terciptalah bangsa yang kuat dalam
menghadapi aneka macam masalah dalam berbagai aspek sosial, ekonomi, politik baik
nasional maupun internasional seperti yang sedang kita alami belakangan ini.

1

Bab II
Rumusan Masalah
Berdasarkan realitas ini, permasalahan yang muncul adalah di mana posisi Pancasila saat
ini? Jawabannya tak lain ialah bahwa Pancasila tetap menjadi dasar negara. Namun sejauh

mana dasar negara diwujudkan dalam tata hidup berbangsa dan bernegara. Permasalahan
difokuskan pada tinjauan filosofis terhadap nilai-nilai Pancasila. Hal ini bertujuan untuk
mengemukakan pokok penting tinjauan filosofis sila-sila Pancasila, yang menjadi dasar
negara Indonesia untuk mengambil kebijakan apapun di negeri ini.
Berkaitan dengan hal tersebut, berikut ini beberapa pokok permasalahan yang akan
dipelajari dalam karya ilmiah ini.
2.1. Tinjauan filsafat Pancasila?
Untuk mendalami materi ini, kami akan menyajikan landasan-landasan filosofis
Pancasila. Berawal dari pengenalan singkat berkenaan dengan ilmu filsafat itu sendiri,
dan pengertian Pancasila itu sendiri secara etimologis, kami mengantar Anda untuk
mendalami filosofi Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia.
2.2. Bagaimana landasan filosofis Pancasila diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara?
Pemahaman akan filosofi Pancasila ini hanya akan menjadi sebuah wacana jika
tidak diusahakan. Bagaimana usaha kita dalam memahami filosofi Pancasila secara
konkret akan kami bahas dalam sub bab berikutnya. Pemahaman-pemahaman filosofis
Pancasila ini akan kami kaitkan dengan kehidupan aktual kita dalam kehidupan seharihari sebagai seorang warga negara.
Karya ilmiah yang dibuat oleh kelompok ini, pertama-tama bertujuan untuk
mempelajari, mendalami dan menganalisis serta menimba pengetahuan tentang
Pancasila khususnya dalam tinjauan filosofis terhadap nilai-nilai Pancasila. Kelompok

mempelajari bagaimana pendekatan filosofis melihat sila-sila Pancasila. Kelompok
juga mendalami sila-sila Pancasila dan bagaimana penerapannya dalam hidup
berbangsa dan bernegara.
Karya ilmiah ini juga merupakan bagian dari upaya untuk menghayati nilai-nilai
sila Pancasila dalam lingkup perkuliahan. Dengan mendalami materi ini, mahasiswa
diajak untuk mengenal, mempelajari, merenungkan, dan mewujudnyatakan dalam
suasana hidup perkuliahan dan terlebih dalam hidup berbangsa dan bernegara.
2

Bab III
Pembahasan
3.1. Pengertian Filsafat Pancasila
3.1.1. Pengertian Filsafat
Kata filsafat merupakan istilah asing, bukan asli bahasa Indonesia. Kata ini
berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas kata “philein” artinya cinta dan
“shopia” artinya kebijaksanaan. Filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan.
Cinta adalah hasrat yang besar atau berkobar-kobar atau yang sungguhsungguh, sedangkan kebijaksanaan adalah kebenaran sejati atau kebenaran
yang sesungguhnya.
3.1.2. Pengertian Pancasila
Secara etimologis, Pancasila berasal dari bahasa India yaitu Sanskerta,

bahasa Brahmana, sedangkan bahasa yang digunakan rakyat jelata ialah
Prakerta. Dalam bahasa Sanskerta, Pancasila memiliki dua pengertian, yaitu
“panca” yang artinya lima, dan “syilla” dengan huruf “i” pendek yang berarti
batu sendi alas atau dasar. Syilla dengan huruf “i” ganda berarti peraturan
tingkah laku yang penting, baik, senonoh.1 Pancasila dikenal sebagai filosofi
negara Indonesia. Nilai-nilai yang tertuang dalam rumusan Pancasila adalah
landasan filosofis yang dianggap dipercaya, dan diyakini sebagai suatu
(kenyataan, norma-norma, nilai-nilai) yang paling benar, paling adil, paling
bijaksana, paling baik dan paling sesuai dengan dasar kesatuan Republik
Indonesia.
Dengan demikian, landasan filsafat Pancasila merupakan harmonisasi dari
nilai-nilai dan norma-norma utuh yang terkandung dalam sila-sila Pancasila,
yang bertujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya secara
mendasar dan menyeluruh agar menjadi landasan filsafat yang sesuai dengan
kepribadian dan cita-cita bangsa. Adapun bentuk filsafat Pancasila sendiri
digolongkoan sebagai berikut: Bersifat religius yang berarti dalam hal
kebijaksanaan dan kebenaran mengenal adanya kebenaran mutlak yang berasal
dari Tuhan Yang Maha Esa (kebenaran religius) dan sekaligus mengakui
keterbatasan kemampuan manusia. Memiliki arti praktis yang berarti dalam
proses pemahamannya tidak sekedar mencari kebenaran dan kebijaksanaan,

1 Sugiharto, Pancasila, Malang : STFT Widya Sasana, t.th, hal, 8.

3

serta hasrat ingin tahu. Hasil pemikiran yang berwujud filsafat Pancasila
tersebut dipergunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari (way of life) agar
mencapai kebahagiaan lahir dan batin, dunia maupun akhirat.
Pancasila sebagai suatu pandangan hidup bangsa, tidak cukup hanya
berhenti dalam pemikirian yang teoritis intelektual saja, tetapi diharapkan lebih
jauh lagi dari pada itu, yaitu tumbuhnya keyakinan dan kesadaran yang
kemudian diharapkan akan terwujud dalam perbuatan. Pancasila sebagai dasar
filsafat negara, menjadi satu kesatuan yang sistematis, yang tidak boleh
terpisahkan atau bahkan bertentangan, melainkan harus saling mendukung satu
sama lain. Pancasila juga harus dipahami secara menyeluruh sebagai satu
kesatuan, dan dalam pelaksanaannya tidak boleh hanya menekankan salah satu
sila atau beberapa sila saja dengan mengabaikan sila lainnya.
3.1.3. Filsafat Pancasila
Istilah filsafat Pancasila dimaksudkan sebagai filsafat tentang Pancasila.
Dengan kata lain, filsafat Pancasila merupakan pendekatan atau pemikiran
filosofis yang memiliki sasaran pada Pancasila. Pendekatan filosofis menjadi

salah satu bentuk pendekatan dari sekian banyak kemungkinan pendekatan
terhadap Pancasila. Dengan pendekatan filosofis yang mendalam dan
menyeluruh, filsafat Pancasila tidak hanya menyelidiki Pancasila dari satu segi
saja, melainkan dari berbagai segi pengamatan, sejauh dimungkinkan dan
mendukung proses tercapainya pemahaman yang baik terhadap Pancasila.
Proses untuk mencapai pemahaman terhadap Pancasila membutuhkan metodemetode yang dapat dipertanggungjawabkan serta hasilnya disusun dalam suatu
kerangka yang sistematis. Pendekatan filosofis ini sangat diperlukan mengingat
Pancasila merupakan hasil pemikiran filosofis yang cukup mendalam dan
menyeluruh untuk dijadikan dasar dan falsafah bagi bangsa Indonesia dalam
berbangsa dan bernegara.
3.2. Tinjauan Filosofis Sila-Sila Pancasila
3.2.1. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”
Berdasarkan arti kata dalam sila pertama ini dapat dipahami bahwa (1)
Ketuhanan berasal dari kata Tuhan, ialah Allah, Zat Yang Maha Esa, pencipta
segala yang ada dan semua mahkluk yang dalam pengertian filsafat disebut
penyebab pertama yang tidak disebabkan lagi (Causa Prima). (2) Yang Maha
Esa berarti yang Maha Tunggal, tidak sekutu, Esa dalam Zat-Nya, esa dalam
4

sifat-Nya, esa dalam perbuatan-Nya, artinya : bahwa “zat” tidak terdiri dari

zat-zat yang banyak lalu menjadi satu, bahwa sifat Tuhan adalah sempurna,
bahwa perbuatan Tuhan tidak dapat disamakan dengan siapa pun. Jadi,
Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung pengertian dan keyakinan tentang
adanya Tuhan Yang Maha Tunggal, Pencipta alam semesta beserta isinya.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini meliputi dan menjiwai sila-sila ke dua,
ke tiga, ke empat, dan ke lima. Dalam pembukaan UUD 1945 dinyatakan
antara lain “Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sila-sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung pokok pikiran sebagai
berikut:
1. Pengakuan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pokok pikiran ini mengemukakan suatu prinsip adanya kepercayaan /
keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang bersifat
kekal, berdiri sendiri (tidak tergantung pada yang lain), Esa, Mahakuasa,
Mahatahu, dan sifat-sifat suci lainnya.
2. Kebebasan memeluk agama dan kepercayaan masing-masing.
Hal ini berarti juga memberi kebebasan dengan perlindungan negara
bagi pemeluknya untuk menyebarkannya dan memelihara ajaran agama
dan kepercayaan yang diwahyukan oleh Tuhan kepada rasul dan nabi
Tuhan.

Atas dasar pokok pikiran di atas, maka masing-masing pemeluk agama
dan

kepercayaan

kepada

Tuhan

Yang

Maha

Esa

hendaknya

mengembangkan sikap hormat- menghormati dan selalu memelihara serta
membina kerukunan hidup. Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa ini
sekaligus memberi landasan pokok untuk tidak membenarkan atau

melarang semua bentuk aktivitas yang bersifat anti kepada agama dan
semua aktivitas yang menyelewengkan kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, serta paham yang meniadakan Tuhan Yang Maha Esa
(Ateisme).
3. Nilai kehidupan bangsa Indonesia.
Pada hakekatnya, prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa ini selain
menjadi sumber pokok nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia juga
merupakan norma dasar yang mengatur hubungan antar manusia sebagai
5

individu atau pribadi, sebagai kelompok dengan sesamanya, dengan
negara, dengan pemerintahan, dan juga dengan bangsa lain di dunia.
Ketuhanan Yang Maha Esa menjiwai, mendasari, dan memimpin
perwujudan sila-sila berikutnya. Sila ini akan menciptakan kemanusiaan yang
adil dan beradab, serta penggalangan Persatuan Indonesia. Persatuan ini
membentuk negara republik Indonesia yang berdaulat penuh, yang bersifat
kerakyatan, yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaran
perwakilan. Dan pada akhirnya, terwujudlah keadilan sosial bagi seluruh
bangsa Indonesia.
Pengakuan hak asasi manusia pada hakekatnya bersumber pula kepada

prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Tuhan sebagai pencipta manusia,
membekali manusia dengan beberapa hak hidup dan hak menyatakan pikiran
dan pendapat. Selain itu, manusia berhak untuk hidup layak sebagai makhluk
ciptaan Tuhan yang tertinggi martabatnya dibandingkan dengan makhluk
hidup lainnya. Mereka juga berhak untuk bebas dari segala penindasan dan
pembedaan atas dasar ras, keyakinan agama dan kepercayaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Manusia diciptakan Tuhan dengan sifat keesaan-Nya, sesuai
dengan kebenaran agama yang pada hakekatnya bersifat universal pula.
Akhirnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu pun menjadi dorongan moral
bagi warga Indonesia untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa serta memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.
Segala kegiatan Negara sebagai usaha mewujudkan kesejahteraan rakyat
Indonesia adalah “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Keadaan
yang demikian itu ditempa selama proses pembentukan bangsa Indonesia
sepanjang sejarah sejak dahulu hingga sekarang.
3.2.2. Sila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”
Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab ini, mengandung tiga pokok
pikirian yang meliputi pikiran:
1. Kemanusiaan: berasal dari kata “manusia”, yaitu makhluk Tuhan Yang
Maha Esa, yang dibekali potensi pikiran, rasa, karsa, cipta, karya dan
nurani. Kemanusiaan berarti sifat manusia yang merupakan inti dan ciri
hakiki manusia.Oleh karenanya, manusia memiliki martabat kemanusiaan
(human dignity).

6

Hakekat manusia yang ditentukan oleh kemampuan pikir, rasa, karsa,
cipta, karya, dan budi nurani itu menyebabkan manusia mempunyai
kedudukan dan martabat yang luhur. Apabila manusia dibandingkan dengan
makhluk Tuhan lainnya, misalnya malaekat, yang hanya mempunyai akal,
dan hewan yang hanya memiliki naluri adalah unsur yang berbeda sifatnya,
dan manusia selalu bergumul untuk menghadapinya. Oleh sebab itu,
keluhuran manusia antara lain terletak pada kemampuan manusia
mengendalikan pengaruh akal dan naluri secara selaras.
2. Adil : terutama mengandung makna bahwa suatu keputusan dan tindakan
didasarkan pada norma-norma objektif. Adil mengandung pengertian bahwa
suatu keputusan atau tindakan tidak disarankan pada sifat subjektif apalagi
kewenang-wenangan. Prinsip ini bukan saja ditujukan kepada diri sendiri
secara pribadi. Keadilan yang sebenarnya didasarkan kepada norma-norma
pada umumnya, baik menurut agama maupun menurut norma hukum.
3. Beradab : berasal dari kata “adab”, yang berarti budaya. Beradab artinya
berbudaya. Ini mengandung makna bahwa sikap hidup, keputusan dan
tindakan, selalu berdasarkan nilai budaya dan tertuang dalam norma-norma
sosial serta kesusilaan (moral). Adab, juga terutama mengandung pengertian
tata-kesopanan, kesusilaan atau moral. Dengan demikian “beradab” dapat
ditafsirkan sebagai “berdasar nilai-nilai kesusilaan atau moralitas khususnya
dan kebudayaan umumnya”.
Jadi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab adalah kesadaran sikap dan
perbuatan manusia yang didasarkan atas potensi budi nurani manusia dalam
hubungan dengan norma-norma dan kebudayaan pada umumnya baik
terhadap diri pribadi, sesama maupun alam semesta.
Pada prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab adalah sikap dan
perbuatan manusia yang sesuai dengan kodrat hakekat manusia yang
berbudi, sadar nilai dan budaya.
Sila kemanusiaan yang adil dan beradab diliputi dan dijiwai sila
pertama, serta meliputi dan menjiwai sila-sila ke tiga, ke empat, dan ke
lima. Berdasarkan uraian dalam sila pertama, maka diakui dalil bahwa
semesta raya ini, terma-suk manusia adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa,
yang berada dalam kekuasaan dan penga-yoman Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan martabat kemanusiaannya itu, manusia mampu mengerti hubungan
7

antara realita semesta dan pemenuhan kebutuhan rohani dan jasmani.
Manusia mema-hami pula kedudukan dirinya dalam hubungan itu dengan
menyadari hak dan kewajiban sesama manusia serta menyadari tujuan
hidupnya, sumber dan asal kehidupan semesta ini, dan ke mana berakhirnya
semuanya itu. Manusia menyadari ekstensi dirinya dalam kebersamaan
dengan umat manusia, alam semesta dengan pengayoman Tuhan Yang
Maha Esa.
3.2.3. Sila “Persatuan Indonesia”
Sila persatuan bangsa Indonesia mengandung pokok-pokok pikiran :
1. Persatuan
Berasal dari kata “satu”, yang berarti utuh, tidak terpecah belah.
Persatuaan mengandung pengertian disatukannya bermacam corak yang
beraneka ragam yang menjadi suatu kebulatan.
2. Indonesia
Yang dimaksud dengan Indonesia di sini adalah Indonesia dalam
pengertian bangsa. Kata “Indonesia” mengandung dua pengertian yaitu :
Pertama, pengertian geografis, yang berarti sebagai bagian bumi yang
membentang dari 95˚ sampai 141˚ Bujur Timur dan dari 6˚ Lintang Utara
sampai 11˚ Lintang Selatan. Kedua, pengertian bangsa dalam arti politik
yaitu bangsa yang hidup di wilayah Indonesia seperti yang dimaksudkan
dalam pengertian pertama.
Jadi persatuan Indonesia ialah persatuan bangsa yang mendiami
wilayah Indonesia. Bangsa yang mendiami wilayah Indonesia bersatu
didorong untuk mancapai kehidupan kebangsaan yang bebas dalam wadah
negara yang merdeka dan berdaulat. Persatuan Indonesia merupakan faktor
dinamis Indonesia yang memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa serta ikut mewujudkan ketertiban dunia yang didasarkan
kepada kemerdekaan, perdamaian abadi dan seluruh tumpah darah
Indonesia.
Persatuan hanya dapat diwujudkan apabila terdapat faktor-faktor
pendorong. Faktor-faktor ini sangat kompleks, antara lain: faktor ideologi,
faktor politik, faktor ekonomi, faktor sosial budaya, dan faktor pertahanan
keamanan. Dengan sila “Persatuan Indonesia,” manusia Indonesia harus
menempatkan persatuan dan kesatuan serta kepentingan dan keselamatan
8

bangsa dan negara di atas kepentingan diri pribadi dan golongan. Persatuan
Indonesia juga menuntut dikembangkannya semangat cinta tanah air dan
bangsa (nasionalisme) serta semangat pengabdian dan pengorbanan
(patriotisme) yang hakikatnya bersumber pada perasaan senasib dan
seperjuangan dalam menghadapi tantangan bersama. Nasionalisme dan
patriotisme tersebut tidak akan menjurus kepada chauvinisme atau
fanatisme. Nasionalisme dan patriotisme yang menghargai bangsa lain
seperti apa yang dirasakannya mengenai dirinya sendiri, karena dijiwai dan
diliputi oleh sila pertama dan sila kedua. Sikap mengagung-agungkan diri
sendiri akan menyebabkan sikap agresif dan suka memandang rendah
bangsa lain yang tidak sesuai dengan bangsa Indonesia yang mempunyai
pandangan hidup Pancasila.
3.2.4. Sila “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan”
1. “Kerakyatan” berasal dari kata rakyat yang berarti sekelompok manusia
yang berdiam dalam suatu wilayah tertentu. Kerakyatan berarti kekuasaan
tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga kerakyatan disebut pula
kedaulatan rakyat (rakyat yang berkuasa) atau demokrasi (rakyat yang
memerintah)
2. “Hikmat kebijaksanaan” berarti penggunaan pikiran atau rasio yang sehat
dengan selalu mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Kepentingan

rakyat

dilaksanakan

dengan

sadar,

jujur

dan

bertanggungjawab serta didorong oleh kehendak baik sesuai dengan budi
nuraninya.
3. “Permusyawaratan” berarti suatu tata cara khas kepribadian Indonesia
untuk merumuskan atau memutuskan suatu hal berdasarkan kehendak
rakyat, sehingga tercapai putusan yang berdasarkan kebulatan pendapat
atau mufakat.
4. “Perwakilan” berarti suatu sistem atau tata cara agar rakyat dapat turut
serta mengambil bagian dalam kehidupan bernegara, antara lain melalui
badan-badan perwakilan.
Jadi, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan” berarti rakyat menjalankan kekuasaannya
9

melalui sistem perwakilan. Putusan-putusannya harus berdasarkan kepentingan
rakyat, yang diambil oleh para wakil rakyat melalui musyawarah yang
dipimpin oleh akal sehat serta dijalankan penuh rasa tanggung jawab, baik
kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun kepada rakyat yang diwakilinya.
Sila ke-4 Pancasila berlandaskan asas bahwa tata pemerintahan Republik
Indonesia harus didasarkan atas kedaulatan rakyat. Hal ini juga dinyatakan
dengan tegas dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi
“…..maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat….”
3.2.5. Sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”
Sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” ini mengandung
pokok pengertian:
(1) “Keadilan Sosial” berarti keadilan yang berlaku di masyarakat dalam
segala bidang kehidupan.
(2) “Seluruh Rakyat Indonesia” berarti setiap orang yang menjadi rakyat
Indonesia, baik yang berdiam di wilayah kekuasaan Republik Indonesia,
maupun warga negara Indonesia yang berada di negara lain.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berarti setiap orang Indonesia
mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi
dan kebudayaan. Sesuai dengan UUD 1945, maka makna dari keadilan sosial
mencakup pengertian adil dan makmur.
Perwujudan dan pelaksanaan keadilan sosial tidak dapat terlepas dari tujuan
dan cara mencapai tujuan dalam hal ini jalan yang hendak dilalui haruslah
benar-benar bersendikan moral yang luhur dan berlandaskan pada kepentingan
nasional. Di samping itu juga, harus ada kesadaran bahwa setiap rakyat
Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk menyertakan
keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehingga perlu
dikembangkan perbuatan yang luhur dan mencerminkan sikap dan suasana
kekeluargaan dan kegotong-royongan, sikap adil terhadap sesama, menjaga
keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta menghormati hak-hak orang
lain.

10

3.3. Relevansi Falsafah Pancasila
Realitas Pancasila disoroti dari sisi positif di mana aplikasi terhadap nilai-nilai
Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mulai mengalami pergeseran
makna. Pergeseran nilai ini disebabkan oleh kehidupan berbangsa dan bernegara yang
mulai mengalami dinamis yang penuh dengan berbagai tantangan. Dalam uraian ini,
kami akan memaparkan realita dalam Pancasila berkaitan dengan kehidupan
berbangsa dan bernegara, berdasarkan sila-sila Pancasila.
3.3.1.

Pancasila dalam Realita Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
3.3.1.1. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”
Sampai

saat

ini

setiap

warga

negara

Indonesia

hidup

berdampingan satu sama lain dalam pluralitas yang diwarnai oleh
suasana damai, dan aman. Dalam pluralitas ini mereka juga memiliki
kebebasan untuk memeluk agama sesuai dengan kepercayaan masingmasing. Salah satu contoh konkret ialah dibentuknya suatu wadah
dialog antar umat beragama yang dikenal dengan nama Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Terbentuknya forum tersebut
dilatarbelakangi dengan adanya berbagai persoalan yang timbul dalam
kehidupan antar umat beragama. Hal inilah yang menyebabkan
memudarnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Berkaitan dengan hal senada, masih terdapat segelintir umat
beragama yang menghayati iman dan menjalankan kewajiban
agamanya secara fanatis sempit dan radikal tanpa memperhatikan
hubungan atau relasi mereka dengan umat beragama lain. Realita ini
tampak jelas dari adanya sekelompok orang yang mengatasnamakan
agama sebagai sarana yang memicu timbulnya konflik antar umat
beragama. Di beberapa daerah di Indonesia, kelompok minoritas
menjadi korban fanatisme sempit dari kelompok mayoritas. Kelompok
mayoritas merasa dirinya berkuasa sehingga kelompok minoritas kerap
dianaktirikan dan dikambinghitamkan. Pembangunan rumah ibadat pun
semakin dipersulit dan bahkan yang sudah kokoh berdiri, dibongkar
dan dibakar.

11

3.3.1.2. Sila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”
Bunyi sila kedua ini berkaitan erat dengan Hak Asasi Manusia
(HAM), Sejauh ini pemerintah Indonesia telah melindungi dan
memfasilitasi warga negara untuk mendapatkan perlakuan secara
manusiawi. Hal ini terbukti dengan adanya lembaga-lembaga yang
didirikan baik oleh pemerintah maupun swadaya masyarakat, misalnya
Lembaga Bantuan Hukum, dan Komnas HAM. Berdirinya lembagalembaga tersebut diharapkan membantu setiap warga negara untuk
memiliki kesadaran akan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun demikian, tidak sedikit pula warga negara yang
mengalami ketidakadilan dan perlakuan yang kurang manusiawi. Hal
inilah yang mendegradasi nilai-nilai Pancasila, khususnya sila ke dua.
Dalam realita sehari-hari, kerap kita menyaksikan atau pun mendengar
berita tentang adanya penggusuran sepihak terhadap warga miskin di
pemukiman kumuh tanpa adanya usaha ganti rugi atau pun relokasi
tempat tinggal yang layak bagi mereka. Pemerintah melakukan hal ini
tanpa memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan yang akhirnya terabaikan
begitu saja. Selain itu masih banyak terdapat kasus pelanggaran HAM
yang belum terselesaikan sampai saat ini, di antaranya kasus Munir,
peristiwa Semanggi 1998, dan perdagangan manusia (trafficking) yang
dialami oleh anak-anak dan kaum perempuan yang menjadi TKW
akhir-akhir ini.
3.3.1.3. Sila “Persatuan Indonesia”
Indonesia adalah sebuab negara yang terdiri atas berbagai pulau,
suku, agama, ras, budaya, bahasa, adat-istiadat atau pun golongan
merupakan sebuah kekayaan. Keanekaragaman ini tercermin dari
semboyan Pancasila “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya “Walaupun
berbeda-beda tetapi tetap satu.” Arti dari semboyan ini setidaknya mau
menjelaskan bahwa sekuat atau sehebat apa pun suatu negara, ia tidak
dapat terlepas dari pluralitas yang ada, karena pluralitas atau
keanekaragaman merupakan kekayaan, sarana yang mendukung, dan
12

dasar berdirinya suatu negara. Apalah artinya jika beberapa suku,
pulau, di sebuah negara berjalan sendiri-sendiri? Dalam sila ini, wujud
nyata persatuan Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan seharusnya
mampu mencerminkan isi dari semboyan pribadi Pancasila itu sendiri
agar tidak terjadi perpecahan dari tubuh Pancasila tersebut.
Perpecahan tersebut sudah menjadi nyata dalam realita sekarang,
yaitu lahirnya gerakan-gerakan separatis yang ingin memisahkan diri
dari Indonesia yang merupakan negara kesatuan. Gerakan-gerakan
separatis itu antara lain, Gerakan Aceh Merdeka(GAM), Republik
Maluku Selatan (RMS), dan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Persoalan ini muncul karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap
persoalan-persoalan yang mereka alami. Lebih lanjut lagi, untuk
mempertahankan keutuhan NKRI, dibentuklah lembaga-lembaga
keamanan seperti, TNI-AD, TNI-AU, TNI-AL, Kepolisian dan
sebagainya. Lambang kesatuan itu juga jelas terlihat ketika kita
merayakan HUT kemerdekaan RI setiap tahun, di mana setiap warga
negara dengan antusias berpartisipasi dalam perayaan tersebut.
3.3.1.4. Sila “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawa-ratan Perwakilan”
Pemilu lalu yang diadakan untuk menentukan wakil-wakil rakyat
dan presiden beserta wakilnya, telah menujukkan bahwa demokrasi di
Indonesia telah mengalami perkembangan yang cukup menonjol.
Kemajuan tersebut tidak terlepas dari partisipasi warga negara untuk
menentukan wakil-wakilnya secara langsung. Wakil-wakil yang sudah
terpilih diharapkan mampu membawa suatu transformasi dalam hidup
masyarakat ke arah yang lebih baik.
Namun, sangat disayangkan bahwa wakil-wakil rakyat yang telah
dipilih tidak serta-merta menyalurkan aspirasi rakyat. Kebijaksanaan
para wakil rakyat dalam mengambil kebijakan justru dinilai tidak prorakyat. Inilah yang disebut dengan penyalahgunaan kekuasaan (abuse
of power). Misalnya dibentuknya RUU Pornografi. Maksud hati hendak
melindungi perempuan dan anak-anak, alih-alih RUU ini justru
menimbulkan ketegangan dalam kelompok masyarakat tertentu. Hal ini
13

timbul karena adanya oknum-oknum tertentu di parlemen yang lebih
mementingkan diri dan kelompoknya sendiri ketimbang kepentingan
masyarakat kebanyakan. Sama halnya dengan UU Pendidikan, dan
RUU Rahasia Negara yang akhirnya dicabut kembali.
3.3.1.5. Sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”
Usaha pemerintah dalam mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat
Indonesia dapat dikatakan cukup baik, meskipun belum optimal. Usaha
ini dilakukan dengan menetapkan program pembangunan jangka
panjang yang dibuat pemerintah saat ini setidaknya menunjukkan arah
pembangunan bangsa ini di beberapa tahun mendatang. Selain itu,
secara umum perekonomian di Indonesia mengalami peningkatan.
Salah satu indikatornya ialah menguatnya nilai mata uang Rupiah
akhir-akhir ini. Usaha peningkatan kesejahteraan rakyat juga dilakukan
melalui berbagai program, misalnya bantuan kredit untuk industri kecil
dan menengah.
Tetapi “Keadilan” dalam pembangunan belum berdampak secara
menyeluruh dan merata, sehingga masih ada orang-orang yang hidup di
bawah garis kemiskinan. Persoalan ini juga disebabkan karena
ketersediaan lapangan kerja yang minim dan masih rendahnya SDM
sehingga berakibat pada banyaknya pengangguran. Pembangunan yang
tidak merata di setiap daerah akan berakibat pula pada persatuan
bangsa. (bdk. pembahasan pada 3.2.1.3.) Ketidakmerataan ini akan
menimbulkan berbagai penyakit sosial, seperti meningkatnya angka
kriminalitas dan prostitusi. Padi dan kapas yang menjadi lambang sila
ini ternyata belum bisa dinikmati oleh seluruh warga negara. Tidaklah
mengherankan jika masih terdapat banyak orang yang terjun ke dalam
dunia gelap (prostitusi, narkoba,dll).
3.3.2. Usaha Penerapan Falsafah Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara
Lantas apa yang dapat kita lakukan sebagai warga negara Indonesia yang
baik? Seringkali kita hanya berpikir tentang hal yang muluk, dengan bahasa
Indonesia yang indah, namun absurd. Jawaban yang muncul hanya mampu
diterapkan dalam konsep dan teori. Kami tegaskan, bahwa usaha penerapan
14

falsafah Pancasila hanya dapat terjadi jika kita memulainya dari diri kita sendiri.
Mungkin beberapa orang skeptis menanggapi hal ini dengan melontarkan
argumen-argumen bahwa kita ini hanya segelintir, bahkan hanya orang per
orang. Sekuat apa pun kita berusaha, tidak akan ada hasil yang mampu
menanamkan falsafah Pancasila yang begitu kuat sehingga Pancasila dapat
sungguh-sungguh dihayati secara utuh dan penuh oleh setiap warga negara tanpa
terkecuali. Jika ditelaah lebih dalam mengenai pendapat ini, mungkin Anda
tidak setuju. Namun pemikiran para penganut skeptisisme praktis ini terlalu
sempit. Mereka melihat Pancasila dan “ladang tanamnya” (warga negara) dari
sudut pandang yang terlalu ideal, sehingga dapat kita amini bahwa usaha kita
tidak banyak membantu hidupnya Pancasila yang kokoh dan kuat.
Namun, sekecil apa pun usaha yang kita lakukan, jika dilakukan dengan
tekun dan bersama, niscaya usaha kita akan membuahkan hasil. Memang tidak
ada apa pun yang sempurna, tetapi setidaknya kita merasakan makna Pancasila
itu sendiri di lingkungan sekitar kita. Usaha-usaha tersebut di antaranya
berkaitan dengan sila pertama, melatih diri untuk bersikap sopan santun
terhadap semua orang. Awalnya memang sulit dan tampknya hanya berdampak
pada lingkungan kita sendiri. Akan tetapi, sikap yang kita tunjukkan kepada
orang lain akan mempengaruhi mereka untuk bersikap sopan santun. Sikap ini
membuat setiap orang yang kita jumpai merasakan kedamaian. Kedamaian yang
mereka rasakan itu akan mereka bagikan juga kepada orang lain yang mereka
jumpai. Dengan demikian, secara tak sadar kita telah memelihara kerukunan
antarumat beragama.
Dengan sikap sopan santun ini kita juga turut memanusiakan sesama. Sikap
hormat dan saling menghargai yang kita berikan kepada orang lain akan turut
mendukung penerapan sila kedua. Sangatlah penting apabila kita menanam
sikap peka dan peduli terhdap orang-orang yang ada di sekitar kita. Setiap orang
akan merasakan kedamaian dari kepedulian kita. Akan timbul pula rasa
persaudaraan yang mendalam di setiap hubungannya dengan sesama.
Lagi-lagi kita telah menanamkan nilai-nilai Pancasila terutama sila ketiga,
di mana persaudaraan di antara warga masyarakat, membawa kita pada rasa
kebersatuan sebagai satu bangsa, sekalipun kita berbeda suku, budaya, dan
bahasa. Nilai-nilai tersebut tidak akan memungkinkan orang untuk bertindak
demi kepentingan sendiri dan kelompok atau golongan, melainkan demi
15

kepentingan bersama. Segala sesuatu dikerjakan dan diciptakan untuk kemajuan
dan kebaikan bersama (bonum commune). Keputusan-keputusan yang diambil
bukan lagi demi diri sendiri atau kelompok.
Hal ini secara tak langsung membina orang-orang yang menjadi wakil
rakyat untuk mengambil kebijakan dengan bijaksana. Kebijakan yang diambil
tersebut disesuaikan dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi saudara-saudara
yang tinggal bersamanya. Para pemimpin pun akan melihat secara bijaksana apa
yang harus ia lakukan demi kepentingan bangsa dan negara (what should I do
for all people). Para pemimpin juga akan menjadi seorang teladan di mata
rakyat. Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Dalam hal ini, falsafah sila keempat turut ditumbuhkembangkan.
Masih berkaitan dengan sikap-sikap tesebut di atas, disertai dengan
kebijakan dari wakil rakyat sebagai pengayomnya tentu keadilan sosial bagi
masyarakat luas akan terwujud. Kesejahteraan masyarakat tidak hanya dinikmati
oleh orang-orang tertentu saja, melainkan juga orang-orang yang selama ini
menjadi kaum marginal akibat keadaan ekonomi dan status sosial.
Jika merujuk pada hasil akhir, memang tampaknya uraian di atas tak jauh
berbeda dengan absurditas yang tidak ingin kami sampaikan sebelumnya.
Namun usaha nyata inilah yang ada di depan mata, yang harus dihadapi saat ini.
Hasil akhir bukanlah yang pertama dan utama. Hasil akhir memang perlu, tetapi
jika hanya berkutat padanya, maka hanya mengangkat kita pada angan-angan
yang tak menentu arahnya. Keberanian dan kebulatan tekad kita untuk memulai
hal yang sederhana inilah yang mampu mewujudkan harapan kita dalam
menerapkan falsafah-falsafah Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bemegara.
Mari kita mulai dari sekarang, hal yang tampak sederhana, kecil dan
sepele tetapi mampu menjadi besar tatkala kita melakukannnya bersama-sama
dalam berbagai kesempatan hidup kita setiap hari.

16

Bab IV
Penutup
4.1. Simpulan
Pancasila merupakan dasar keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tanpa Pancasila, negara Indonesia beserta segenap isinya akan kehilangan pedoman
hidup dan jati diri bangsa. Pancasila yang kaya akan nilai-nilai filosofis hampir dapat
dipastikan merupakan jiwa kehidupan setiap warga negara Indonesia. Pancasila
menjamin adanya kebebasan dan keadilan bagi setiap warganya. Kebebasan ini
mencakup seluruh hak asasi manusia, mulai dari beragama, perlakuan yang
manusiawi, hidup dalam kebersamaan sebagai makhluk sosial, berpendapat secara
bertanggung jawab, dan mengalami keadilan dalam kehidupannya.
Namun demikian, masih banyak hal yang harus diperbaiki. Masih ada berbagai
kekurangan di sana-sini. Pancasila, selain menjadi dasar hidup kita sebagai warga
negara Indonesia, juga menjadi sebuah cita-cita yang patut diperjuangkan dengan
sekuat tenaga, dengan sepenuh hati, jiwa, dan raga.
Pancasila, dengan kekayaan filosofisnya menjadi suatu batu sendi kehidupan setiap
warga negara Indonesia. Tak hanya itu, kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai
Indonesia akan menjadi tak berarti tanpa Pancasila. Pancasila merupakan acuan dasar
dalam pengambilan setiap keputusan dan kebijakan demi kepentingan seluruh bangsa
Indonesia.
4.2. Saran
Pembahasan mengenai Pancasila sebagai Landasan Filosofis Indonesia ini tentunya
belum sampai pada tahap yang sungguh mendalam. Karya ilmiah ini setidaknya telah
menggambarkan bagaimana falsafah Pancasila diterapkan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia.
Kami berharap, khalayak pembaca tidak berhenti hanya sampai pada pembahasan
yang telah kami paparkan. Secara ilmiah falsafah Pancasila masih terus perlu digali
semakin mendalam. Di samping itu, yang tak kalah penting bagi kita semua ialah
penghayatan Pancasila itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Dengan hal yang

17

sederhana, kita dapat turut memperjuangkan Pancasila sebagai landasan filosofis
kehidupan bangsa Indonesia.

18

Rangkuman
Tinjauan Filosofis Terhadap Sila-Sila Pancasila
1. Pendahuluan
Pancasila merupakan gambaran yang jelas tentang hakekat, tujuan, dan susunan dasar negara
kita. Dengan demikian, hendaknya warga negara menghormati, menghargai, dan menjalankan
nilai-nilai serta norma-norma positif yang terkandung dalam sila-sila Pancasila.
2. Rumusan Masalah
Fokusnya terletak pada tinjauan filosofis terhadap nilai-nilai Pancasila.
2.1. Tinjauan Filsafat Pancasila?
2.2. Bagaimana landasan filosofis Pancasila diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara?
3. Pembahasan
3.1. Pengertian Filsafat Pancasila
3.1.1. Pengertian Filsafat
Kata ini berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas kata “philein” artinya cinta dan
“shopia” artinya kebijaksanaan. Filsafat berarti cinta kebijaksanaan.
3.1.2. Pengertian Pancasila
Pancasila berarti lima dasar. Pancasila merupakan pokok pengertian mendasar dan
menyeluruh sebagai landasan filsafat sesuai dengan kepribadian dan cita-cita bangsa.
3.1.3. Filsafat Pancasila
Filsafat Pancasila merupakan pendekatan atau pemikiran filosofis yang memiliki
fokus, sasaran pada Pancasila.
3.2. Tinjauan Filosofis Sila-Sila Pancasila
3.2.1. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dorongan moral bagi warga Indonesia
untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memeluk agama
sesuai dengan keyakinannya.
3.2.3. Sila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab adalah kesadaran sikap dan perbuatan manusia
yang didasarkan atas potensi budi nurani manusia. Prinsip kemanusiaan yang adil
dan beradab adalah sikap dan perbuatan manusia yang sesuai dengan kodrat manusia
yang berbudi, sadar nilai dan budaya.
3.2.3. Sila “Persatuan Indonesia”
Persatuan Indonesia ialah persatuan bangsa yang mendiami wilayah Indonesia untuk
mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan
berdaulat.
3.2.4. Sila “ Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan ”
Sila ini berarti rakyat menjalankan kekuasaannya melalui sistem perwakilan.
Putusan-putusannya berdasarkan kepentingan rakyat, yang diambil melalui
musyawarah yang dipimpin oleh akal sehat serta dijalankan penuh rasa tanggung
jawab, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun kepada rakyat yang diwakilinya.
3.2.5. Sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berarti setiap orang Indonesia
mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi dan
kebudayaan.
3.4. Relevansi Falsafah Pancasila
Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mulai mengalami pergeseran makna.
Pergeseran nilai ini disebabkan oleh kehidupan berbangsa dan bernegara mulai mengalami
yang serba dinamis dan penuh dengan berbagai tantangan. Usaha penerapan falsafah
Pancasila hanya dapat terjadi jika kita memulainya dari usaha kecil yang dapat kita lakukan
dengan tekun bersama-sama dalam berbagai kegiatan hidup kita setiap hari.
19

Kepustakaan
Laboratorium Pancasila IKIP Malang. Pancasila, Dasar Filsafat Negara Republik
Indonesia. Surabaya: Usaha Nasional, 1979.
Sugiharto. Pancasila. Malang: STFT Widya Sasana, t.th.
Sunoto. Mengenal Filsafat Pancasila : Pendekatan melalui Metafisika, Logika dan
Etika. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya, 1995.
Wahana, Paulus. Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Kanisius, 1993.

20