Memaknai Gerakan Buruh.
Pikil-an Rakyat
123
17
.
o Senin o Selasa
45 €)
18
19
20
21
o Jan
0
Peb
OMar
OApr
o Kamis 0
Kabu
7
22
.Me;
8
23
9
OJun
10
24
o Sabtu ()
Jumat
11
25
12
26
--
28
Minggu
14
15
29
30
OOkt
ONov
13
27
0 Jul 0 Ags OSep
16
ODes
Memaknai Gerakan Buruh
OlehSUWANDISUMARTMS
NJUK rasa buruh
masih dalam rangka
peringatan Hari Buruh Intemasional kembali marak. AWalpekan ini, Aliansi Serikat PekeIja:menggugat Gubernur/Wakil Gubernur Jawa Barat tentang kontrak politik yang
pernah dilakukan pada saat
kampanye pilgub ("PR", 5/5).
Gerakan komunitas
buruh
menjadi penting untuk dicermati orientasi dan maknanya
karena hakikat gerakan selalu
inheren dengan makna yang
ada di baliknya. Gerakan buruh
bukan hanya mengandung arti
pada tataran artifisial (pengerahan fisik massa semata), namunmenjadi indikator akumulasi persoalan yang serius tentang eksistensi dan representasi
kaum buruh di balik gerakan
tersebut, sebagai kornunitas
yang dimarginalisasikan oleh
para pemilik modal dan birokrat. Persoalannya, sampai kapan eksistensi buruh mendapat
pengak'uan sebagai subjek manusia yang layak hidup?
Badan Pusat Statistik (BPS,
2007) mengungkapkan sekitar
75% tenaga kerja di Indonesia
adalah pekerja "kerah biru"
yakni pekerja yang melakukan
U
I
pekerjaan dengan tangannya
atau mencari natkah dengan tenaga fisiko Dari sekitar 95 juta
tenaga keIja yang bekeIja pada
2005, 7.Q,2zjuta orang masuk
kategoripekeIjakerah biru, se~
dangkan 24,73 juta orang pekerja kerah putih (mengandalkan kemampuan intelektual
untuk mencari nafkah). Para
pekeIja kerah biru (pekeIja kasar) yang relatiflebih tidak terdidik, posfsi tawar buruh kelompok ini terhadap perusahaan biasanya lebih lemah, bukan
hanya menyangkut upah, tetapi juga hak-hak norm;:ttifburuh
lainnya, seperti jaminan sosial,
asuransi
kesehatan,
dan
jaminan hari tua.
. Gerakan buruh identik dengan gerakan massa pekeIja
yang penuh misterius, radikal,
pragmatis, dan bercorak ideologis sosialis. Bahkan, di Indonesia gerakan komunitas ini
memiliki muatan sejarah "pahit" dikaitkan dengan gerakan
ideologi kiri. Betapa tidak
mudah untuk dapat memahami gerakan buruh sebagai
bentuk mumi perjuangan dan
gerakan sosial ekonomi. Gerakan buruh selalu diidentikkan
dengan gerakan dari satu ko-
munitas pekeIja yangdimarginalisasikan oleh sistem yang lebih kuat (pemilik modal) secara sosial, politik, dan ekonomi.
Melaluigerakan
buruh, substansinya tidak hanya dalam tataran pengerahan massa, namun pada representasi gerakan
buruh dalam konteks yang lebih luas sebagai subjek manusia yang perlu solusi.
Pasal 27 ayat UUD 1945 dan
UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, menjamin
hak setiap warga negara atas
pekeIjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.
Konstitusi dan UU temyata belum mampu menjamin semua
ini teIjadi. Kondisi buruh menjadi komunitas yang termarginalisasi, tertindas, tidak berdaya, lemah daya tawar, dan rentan dimanfaatkan sebagai objek
kepentingan
politik masih
menjadi potret umum kondisi
buru}}.kita.
Persoalan mendasar ad.alah
benarkah buruh merupakan
"korban" dari pertarungan pebisnis dalam pasar bebas ataukah ada muatan politis dan ideologis didalamnya? Kapan perjuangan nasib pahit kaum buruh berakhir? Hal ini menjadi
amil.t penting, mengingat berbagai kajian ilmiah tentang buruh dalam relasi produksi, an-
.
\
- ---
---KllfJlng
Humo~
Un pod
2009----- - -- --
31
---
tara lain Karl Marx, Max Weber, Frederick Engle, L.A. Coser, Dahrendotf, darl Gidden,
belum mampu memecahkan
jurang perbedaan yang lebar
antara buruh dan pengusaha.
Dalam situasi dan posisi buruh yang amat lemah dalam
.
menteri adalah upaya agar ketenangan berusaha dan bekeIja
tidak terganggu. .t\1terna.tifsolusi lainnya, tentu kembaj.ikepada kesungguhan, komitmen,
kesadaran semua elemen dalam relasi produksi untuk terus
berupaya bersama mereduksi
berbagai langkah yang destruktif, dengan cara~cara prof~sional dan proporsional yang ditopang dengan penuh tanggung
jawab moral dan sosial;
Menurut Keisuke Fuse (Direktur Departemen Internasional Konfederasi Serikat PekeIja
Nasion'al Jepang- Zenroren),
potensi konflik hubungan industrial sebena.rnya bisa ditekan jika pengusaha dan buruh
bisa saling terbuka dalam se~
tiap persoalan di perusahaan.
Kejujuran akan membangun
kepercayaan dan menimbulkan
ketenangan bekeIja di perusahaan. Salah satu resep mengelola konflik hubungan industrial, manajemen dan serikat
pekeIja berkomunikasi secara
intensif, terutama dalam hal
menetapkan target perusahaan
dan strategi memenangi pasar
sehingga semua pihak memiliki
berbagai hal, baik dalam kuali-
tas SDM maupun keterampilan, apalagi diperparah lagi lemahnya pengawasan dan penegakan peraturan oleh dinas terkait dengan hubungan industri,
akan memperparah kehidupan
buruh dalam relasi produksi. Di
beberapa negara yang industrinya lebih maju, masalah relasi
produksi itu murni urusan
pengusaha dan buruh, pemerintah benar-benar dipercayai
dapat menjadi "wasit" dan fasilitator yang profesional dan
fair. Sedangkan relasi produksi
di Indonesia sebaliknya, seinua
pelaku dalam arus produksi
masih memiliki kelemahan dalam berbagaihal, termasuk lemahnya kesadaran dalam mengemban dan menjalankan peran dan fungsi masing-masing.
Agar iklim usaha semakin
I
baik, 'pada dasarnya hanya
menunggukesunggu:hanpeme-
rintah.melaksanakan berbagai
peraturan yang ada, misalnya
I
substansi yang diatur dalam
peraturan bersama sejumlah
.
tanggung jawab moral dalam
bekeIja. ***
Penulis, pengajar hubungan industrial di Fikom Unpad.
123
17
.
o Senin o Selasa
45 €)
18
19
20
21
o Jan
0
Peb
OMar
OApr
o Kamis 0
Kabu
7
22
.Me;
8
23
9
OJun
10
24
o Sabtu ()
Jumat
11
25
12
26
--
28
Minggu
14
15
29
30
OOkt
ONov
13
27
0 Jul 0 Ags OSep
16
ODes
Memaknai Gerakan Buruh
OlehSUWANDISUMARTMS
NJUK rasa buruh
masih dalam rangka
peringatan Hari Buruh Intemasional kembali marak. AWalpekan ini, Aliansi Serikat PekeIja:menggugat Gubernur/Wakil Gubernur Jawa Barat tentang kontrak politik yang
pernah dilakukan pada saat
kampanye pilgub ("PR", 5/5).
Gerakan komunitas
buruh
menjadi penting untuk dicermati orientasi dan maknanya
karena hakikat gerakan selalu
inheren dengan makna yang
ada di baliknya. Gerakan buruh
bukan hanya mengandung arti
pada tataran artifisial (pengerahan fisik massa semata), namunmenjadi indikator akumulasi persoalan yang serius tentang eksistensi dan representasi
kaum buruh di balik gerakan
tersebut, sebagai kornunitas
yang dimarginalisasikan oleh
para pemilik modal dan birokrat. Persoalannya, sampai kapan eksistensi buruh mendapat
pengak'uan sebagai subjek manusia yang layak hidup?
Badan Pusat Statistik (BPS,
2007) mengungkapkan sekitar
75% tenaga kerja di Indonesia
adalah pekerja "kerah biru"
yakni pekerja yang melakukan
U
I
pekerjaan dengan tangannya
atau mencari natkah dengan tenaga fisiko Dari sekitar 95 juta
tenaga keIja yang bekeIja pada
2005, 7.Q,2zjuta orang masuk
kategoripekeIjakerah biru, se~
dangkan 24,73 juta orang pekerja kerah putih (mengandalkan kemampuan intelektual
untuk mencari nafkah). Para
pekeIja kerah biru (pekeIja kasar) yang relatiflebih tidak terdidik, posfsi tawar buruh kelompok ini terhadap perusahaan biasanya lebih lemah, bukan
hanya menyangkut upah, tetapi juga hak-hak norm;:ttifburuh
lainnya, seperti jaminan sosial,
asuransi
kesehatan,
dan
jaminan hari tua.
. Gerakan buruh identik dengan gerakan massa pekeIja
yang penuh misterius, radikal,
pragmatis, dan bercorak ideologis sosialis. Bahkan, di Indonesia gerakan komunitas ini
memiliki muatan sejarah "pahit" dikaitkan dengan gerakan
ideologi kiri. Betapa tidak
mudah untuk dapat memahami gerakan buruh sebagai
bentuk mumi perjuangan dan
gerakan sosial ekonomi. Gerakan buruh selalu diidentikkan
dengan gerakan dari satu ko-
munitas pekeIja yangdimarginalisasikan oleh sistem yang lebih kuat (pemilik modal) secara sosial, politik, dan ekonomi.
Melaluigerakan
buruh, substansinya tidak hanya dalam tataran pengerahan massa, namun pada representasi gerakan
buruh dalam konteks yang lebih luas sebagai subjek manusia yang perlu solusi.
Pasal 27 ayat UUD 1945 dan
UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, menjamin
hak setiap warga negara atas
pekeIjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.
Konstitusi dan UU temyata belum mampu menjamin semua
ini teIjadi. Kondisi buruh menjadi komunitas yang termarginalisasi, tertindas, tidak berdaya, lemah daya tawar, dan rentan dimanfaatkan sebagai objek
kepentingan
politik masih
menjadi potret umum kondisi
buru}}.kita.
Persoalan mendasar ad.alah
benarkah buruh merupakan
"korban" dari pertarungan pebisnis dalam pasar bebas ataukah ada muatan politis dan ideologis didalamnya? Kapan perjuangan nasib pahit kaum buruh berakhir? Hal ini menjadi
amil.t penting, mengingat berbagai kajian ilmiah tentang buruh dalam relasi produksi, an-
.
\
- ---
---KllfJlng
Humo~
Un pod
2009----- - -- --
31
---
tara lain Karl Marx, Max Weber, Frederick Engle, L.A. Coser, Dahrendotf, darl Gidden,
belum mampu memecahkan
jurang perbedaan yang lebar
antara buruh dan pengusaha.
Dalam situasi dan posisi buruh yang amat lemah dalam
.
menteri adalah upaya agar ketenangan berusaha dan bekeIja
tidak terganggu. .t\1terna.tifsolusi lainnya, tentu kembaj.ikepada kesungguhan, komitmen,
kesadaran semua elemen dalam relasi produksi untuk terus
berupaya bersama mereduksi
berbagai langkah yang destruktif, dengan cara~cara prof~sional dan proporsional yang ditopang dengan penuh tanggung
jawab moral dan sosial;
Menurut Keisuke Fuse (Direktur Departemen Internasional Konfederasi Serikat PekeIja
Nasion'al Jepang- Zenroren),
potensi konflik hubungan industrial sebena.rnya bisa ditekan jika pengusaha dan buruh
bisa saling terbuka dalam se~
tiap persoalan di perusahaan.
Kejujuran akan membangun
kepercayaan dan menimbulkan
ketenangan bekeIja di perusahaan. Salah satu resep mengelola konflik hubungan industrial, manajemen dan serikat
pekeIja berkomunikasi secara
intensif, terutama dalam hal
menetapkan target perusahaan
dan strategi memenangi pasar
sehingga semua pihak memiliki
berbagai hal, baik dalam kuali-
tas SDM maupun keterampilan, apalagi diperparah lagi lemahnya pengawasan dan penegakan peraturan oleh dinas terkait dengan hubungan industri,
akan memperparah kehidupan
buruh dalam relasi produksi. Di
beberapa negara yang industrinya lebih maju, masalah relasi
produksi itu murni urusan
pengusaha dan buruh, pemerintah benar-benar dipercayai
dapat menjadi "wasit" dan fasilitator yang profesional dan
fair. Sedangkan relasi produksi
di Indonesia sebaliknya, seinua
pelaku dalam arus produksi
masih memiliki kelemahan dalam berbagaihal, termasuk lemahnya kesadaran dalam mengemban dan menjalankan peran dan fungsi masing-masing.
Agar iklim usaha semakin
I
baik, 'pada dasarnya hanya
menunggukesunggu:hanpeme-
rintah.melaksanakan berbagai
peraturan yang ada, misalnya
I
substansi yang diatur dalam
peraturan bersama sejumlah
.
tanggung jawab moral dalam
bekeIja. ***
Penulis, pengajar hubungan industrial di Fikom Unpad.