Buruh bergerak : Semaun dan Suryopranoto dalam perjuangan gerakan buruh 1900-1926 - USD Repository

  

BURUH BERGERAK;

SEMAUN DAN SURYOPRANOTO

DALAM PERJUANGAN GERAKAN BURUH

1900-1926

  Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah

  

Oleh :

  NIM : 054314004

  

Dominikus Bondan Pamungkas

  NIRM

  

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2010

  

Halaman Persembahan

Skripsi ini dipersembahkan kepada papa dan mama.

  Penulisan ini juga disumbangkan bagi pergerakan buruh di Indonesia, kemarin, kini dan esok.

  

ABSTRAK

Dominikus Bondan Pamungkas

  Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

  Skripsi yang berjudul “Buruh Bergerak; Semaun dan Soeryopranoto

dalam Perjuangan Gerakan Buruh 1900-1926” berangkat dari 3 permasalahan.

Pertama, faktor-faktor yang membawa Semaun dan Suryopranoto berjuang dalam organisasi perburuhan. Kedua, peranan Semaun dan Suryopranoto dalam gerakan perburuhan di Indonesia pada saat itu. Ketiga, faktor-faktor yang menjadi sebab terhentinya pergerakan buruh di Indonesia pada tahun 1926.

  Untuk mengkaji masalah-masalah tersebut, skripsi ini mempergunakan teori kelas Karl Marx, di mana dalam teori tersebut dibahas mengenai kemunculan kesadaran kelas. Dalam mempergunakan teori kelas Karl Marx, diseimbangakan pula dengan dua perspektif lain, yakni perspektif konflik antara kolonial dengan pribumi dan pandangan tentang Ratu Adil sebagai tokoh yang membebaskan dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Metode ini digunakan untuk melihat perspektif konflik antara kekuatan kolonial dengan masyarakat pribumi.

  Penelitian ini memperoleh hasil bahwa pergerakan buruh yang dilakukan oleh Semaun dan Suryopranoto memang terinspirasi dari kondisi ketertindasan atas nasib kaum pekerja saat itu. Dalam pergerakan buruh, Semaun terinspirasi atas gagasan Marxis yang dipelajarinya dari Sneevliet, sedangkan Suryopranoto menyadari perlunya perbaikan kesejahteraan kaum pekerja. Perjuangan mereka pada perjalanannya berhasil memberikan posisi tawar kaum buruh terhadap majikan. Namun, sifat kepemimpinan yang cenderung tunggal serta kurangnya kaderisasi serta penangkapan tokoh-tokoh gerakan buruh oleh pemerintah kolonial menjadikan gerakan ini melemah dan akhirnya ditumpas pada tahun 1926.

  Kata kunci: Semaun, Suryopranoto, Pergerakan Buruh

  

ABSTRACT

Dominikus Bondan Pamungkas

  Sanata Dharma University Yogyakarta

  Thesis entitled “Buruh Bergerak; Semaun dan Soeryopranoto dalam

Perjuangan Gerakan Buruh 1900-1926” was formulated from three problems.

First, the factors that brought Semaun and Suryopranoto struggling in the labor organization. Second, the role of Semaun and Suryopranoto in the labor movement in Indonesia at that era. Third, the factors that caused labor movement in Indonesia being terminated in 1926.

  For reviewing these issues, this study used Karl Marx's theory of class, which discussed about the emergence of class consciousness. In the economic practices, there is a conflict happened between classes caused by a welfare imbalance between the owners of capital and its workers. In using the class theory of Karl Marx, the other two perspectives were well balanced; the perspective of conflict between the natives and colonial government, and the view of Ratu Adil as a liberating figure and creating prosperity. This method was used in order to see the perspective of the conflict between colonial powers and natives communities.

  The study resulted on that the labor movement performed by Semaun and Suryopranoto was inspired by the conditions of oppression over the labors at that era. In the labor movement, Semaun was inspired by the Marxism that he had learned at Sneevliet, while Suryopranoto realized the need to repair the welfare of the labors. Their struggles succeed to give the labors a better bargaining position against the employers. However, the nature of leadership which tended to be dependent on single figure, the lack of succession planning and the arrest of the labor movement’s figures by the colonial government made this movement to be weakened and finally terminated in 1926.

  Keywords: Semaun, Suryopranoto, the Labor Movement

  

Kata Pengantar

  Penulisan skripsi ini terinspirasi dari sebuah diskusi dan pembelajaran bersama dengan aktivis Aliansi Buruh Jogjakarta (ABJ) yakni Ika Rubbi. Ia yang banyak membantu dan menginspirasi saya dalam menuliskan serta membedah permasalahan buruh. Hal ini tentunya berguna untuk pembelajaran bersama gerakan buruh di Indonesia.

  Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada Dr. I. Praptomo Baryadi selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma. Penghargaan sebesar-besarnya serta ucapan terima kasih saya sampaikan pada seluruh staf pengajar Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma. Kepada Drs. Hb. Hery Santosa, M. Hum, dosen sekaligus kaprodi Ilmu Sejarah; Dr. Anton Haryono, M.

  Hum., dosen sekaligus pembimbing skipsi saya, Drs.Ign. Sandiwan Suharso dosen sekaligus pembimbing akademik saya, Drs. Silverio R. L. Aji Sampurno, M. Hum dan Dr. FX Baskara T. Wardaya, SJ., keduanya selaku dosen dan peneliti yang saya sukai, dan mendiang Prof. Dr. P. J. Suwarno , S. H. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih atas segala pendidikannya untuk mengajarkan saya.

  Terima kasih juga kepada seluruh keluarga penulis ,kepada papa, mama, adik, kakak serta keponakan yang selalu mengingatkan saya. Kepada rekan-rekan saya mahasiswa prodi Ilmu Sejarah 2005 Suster Ann, S.S, Agung eko Ariestya, Flavianus Setyawan Anggoro, Yohana, dan Haven Hafidullah. Kepada kakak- kakak saya, Agus Budi Purwanato dan Darwin Awat yang selalu setia, sabar, penulis yaitu Aditya Rahman dan Ika Rubbi. Terima kasih juga kepada Vonny Permana Sari Simon yang senantiasa mendukung penulisan ini. Tidak lupa juga kepada komunitas Tarekat Djuang Muda (TADJAM) atas pendidikan serta sumbangannya dalam pola pikir penulis. Terima kasih atas kesediaan Bernadette Steari Saraswati atas koreksi penulisan serta bantuan terjemahan bahasa Inggris kepada saya, serta segenap Kabinet Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sanata Dharma 2009-2010 yang mendukung saya untuk menyelesaikan skripsi ini.

DAFTAR ISI

   Halaman

  HALAMAN JUDUL……………………………………………………….i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………ii HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………iii HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………….iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…………………………………….v ABSTRAK………………………………………………………………….vi ABSTRACT………………………………………………………………..vii KATA PENGANTAR……………………………………………………...viii DAFTAR ISI………………………………………………………………...x DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………….xiii

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………..……. 1 A. Latar Belakang…………………………………………………. 1 B. Rumusan Masalah……………………………………………… 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………… 8 D. Metode Penelitian……………………………………………… 9 E. Landasan Teori………………………………………………… 11 F. Tinjauan Pustaka………………………………………………. 15 G. Sistematika Penulisan………………………………………… 17

  

BAB II KONDISI PERBURUHAN DI JAWA AKHIR ABAD XIX DAN AWAL

ABAD XX ….……………………………………………………. 19 A. Kereta Api………………………………………………………20 B. Peralihan Fungsi Tanah...……………………………………… 22 C. Transisi Lahan Pribumi Menjadi Lahan Swasta……………… 26 D. Hadirnya Modernisasi…………………………………………. 30 E. Awal Pergerakan Kaum Terdidik……………………………… 39 BAB III SEMAUN DALAM PERJUANGAN PERGERAKAN BURUH……………………………………………...………….. 41 A. Latar Belakang Semaun……………………………………….. 41 B. Awal Karir Politik……...……………………………………… 42 C. Semaun dan Pergerakan Buruh………………..……………… 44 D. Semaun dan Sikap Politiknya…………………………………. 47 E. Semaun dan PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh)…….. 51 F. Semaun dan PKI………………………………………………... 52 G .Runtuhnya Pergerakan Politik…………………………………. 56 BAB IV SURYOPRANOTO DALAM PERJUANGAN PERGERAKAN BURUH……………………………………………………...…. 62 A. Latar Belakang Suryopranoto...……………………………….. 62 B. Awal Karir Pergerakan……...…………………………………. 63

  1. Suryopranoto dalam Mardi Kaskaya, Societeit Sutohardjo,

  2. Suryopranoto dan Sarekat Islam..............................................66

  3. Suryopranoto dan Adidarmo (Adhidharma)............................69

  C. Suryopranoto dari Personeel Fabriek Bond hingga Persatuan Pergerakan Kaum Buruh PPKB...……………..……………… 72

  D. Pertentangan Suryopranoto dan Semaun……………………… 76

  E. Melemahnya Gerakan Buruh............................………………... 79

  

BAB V KESIMPULAN………………………………………………..81

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….89

DAFTAR SINGKATAN

  BO : Bodi Utomo CSI : Central Sarekat Islam HIS : Hollandsch Inlandsche Scholen

  ISDV : Indische Sociaal-Democratische Vereeniging

  IP : Indische Partij PFB : Personeel Fabrieks Bond PKI : Partai Komunis Indonesia PPKB : Persatuan Pergerakan Kaum Buruh PPPB : Persatuan Pergerakan Pegadaian Bumiputera SDI : Sarekat Dagang Islam SI : Sarekat Islam

  VSTP : Vereeniging voor Spoor-en Tramwegpersoneel

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Setelah cukup lama Indonesia dijajah oleh VOC dan kemudian oleh Pemerintah Belanda, pada tahun 1870 muncul sebuah era baru. Sebelum 1870,

  melalui Culture Stelsel, pemerintah Hindia Belanda secara monopolistik bertindak sebagai pelaku, namun sejak 1870 dimulai sistem baru yaitu ekonomi liberal yang memberi kesempatan seluas-luasnya bagi investasi swasta asing, khususnya swasta Belanda. Sebagai contoh, Bila sebelum 1870 usaha perkebunan dikuasai oleh pemerintah kolonial, kini modal swasta diperbolehkan melakukan pengelolaan.

  Sistem ekonomi liberal menghapuskan kerja paksa dan rodi, serta memperkenalkan

   sistem kerja upahan.

  Pada era ekonomi liberal, modal swasta asing antara lain melakukan usaha dalam bidang pertambangan, perkebunan, dan usaha-usaha lain. Namun, modal asing ini tidak serta-merta menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat pribumi. Para pemodal swasta oleh Soe Hok Gie disebut berada dalam free fight competition to

  

exploit Indonesian. Meskipun mereka tidak dapat membeli lahan untuk usaha

  perkebunan mereka dapat menyewanya dari pemerintah atau pribumi. Hal ini diatur

  1 Takashi Shiraishi. Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926.

  PT Pustaka Utama Grafiti: Jakarta. hlm 10.

  2 Soe Hok Gie. 2005. Di Bawah Lentera Merah. Bentang: Yogyakarta. hlm dalam Undang-Undang Agraria (Agrarisch Wet) 1870 yang sangat bermanfaat untuk

   membantu terlaksananya sistem ekonomi liberal.

  Penyewaan tanah seringkali dilakukan oleh pejabat desa (lurah). Sawah yang sebelumnya adalah milik desa (tanah kas desa) dan dikelola oleh petani disewakan kepada pihak swasta. Pihak swasta juga memanfaatkan sistem tradisional yang ada, termasuk di dalamnya keterikatan antara pemilik tanah dengan petani penggarap.

  Setelah tanah milik tuan tanah disewa oleh swasta para petani penggarap menjadi buruh dalam perusahaan tersebut. Namun, untuk para buruh tani (petani penggarap) sering sekali tidak diperhatikan kesejahteraannya untuk menekan biaya produksi perusahaan. Sewa-menyewa tanah memposisikan para lurah seolah sebagai raja-raja

   kecil.

  Sejak 1870 jalur kereta api sebagai sarana pengangkutan bertumbuh pesat, terutama di daerah Semarang dan Vorstenlanden. Dalam kurun waktu lima tahun jumlah barang dagangan yang dapat diangkut dengan kereta api naik hingga 270 persen. Kondisi ini menyatakan betapa tingginya pembangunan jalur transportasi guna pengangkutan barang perusahaan. Sejak tahun 1870-an pula meningkat secara

3 Bambang Sulistiyo. 1995. Pemogokan Buruh Sebuah Kajian Sejarah. PT

  Tiara Wacana Yogyakarta, hlm 12. Tanah pribumi tidak diperjualbelikan melainkan dapat di sewa. Akibat dari harga sewa yang sangat murah dan para pemilik tanah beserta masyarakat sekelilingnya kehilangan alat produksi, secara terpaksa menjadi buruh dari industri tersebut, dengan pendapatan yang kurang dari penghasilan mereka bila mengolah lahan sebelum disewakan.

   drastis jumlah tanah di daerah vorstenlanden yang disewakan kepada pihak swasta.

  Hal ini turut mendorong pergerakan buruh kereta api dan pabrik gula dari tahun 1917 hingga tahun 1926.

  Kondisi perekonomian Indonesia paska 1870 mengalami pertumbuhan sangat cepat karena masuknya investasi swasta asing secara besar-besaran. Namun hal ini juga berdampak pada kaum pribumi.

  Pertumbuhan pesat lahan tebu menciptakan penderitaan baru bagi masyarakat pribumi, seiring dengan terjadinya perubahan fungsi lahan pangan menjadi lahan industri. Hal ini menyebabkan terjadinya krisis bahan pangan, sehingga berdampak pada naiknya harga. Kesengsaraan pribumi semakin bertambah karena pengusaha senantiasa memegang prinsip untuk menekan upah sekecil-kecilnya guna menghasilkan keuntungan sebesar-bersarnya, yang antara lain diwujudkan dalam

  

  upah buruh yang rendah. Kondisi buruk atas kelangkaan serta naiknya harga bahan pangan dan upah buruh yang sedemikian rendah memicu rasa ketidaksenangan masyarakat pribumi terhadap pemilik modal.

  Tahun 1870 merupakan permulaan dari kolonialisme modern di Indonesia. Bila sebelumnya kekuasaan dilakukan dengan dominasi teritorial melalui kekuatan

  5 Takashi Shiraishi. op. cit., hlm 11. Pada tahun 1870 tanah merupakan milik

  elit pribumi, dan ketika tanah tersebut disewakan pada swasta asing maka tidak hanya tanah namun juga para pekerja yang ada di dalamnya ikut tersewa.

  6 Bambang Sulistyo. op. cit. hlm 12.Teori Adam Smith (1723-1790), ilmuan

  ekonomi asal Inggris. Teori ekonomi inilah yang kemudian secara bersama dipergunaan kelompok pemodal guna menjalankan usaha dengan prinsip-prinsipnya. bersenjata serta pendudukan fisik, maka sejak 1870 sistem yang berkembang adalah eksploitasi dan penguasaan ekonomi oleh pemodal-pemodal swasta besar asing.

  Selain sumber daya alam, eksploitasi pemodal Belanda juga dilakukan atas sumber daya manusia, yakni kaum pribumi Indonesia.

  Kritik terhadap praktik ekonomi liberal pun muncul, dan akhirnya kemudian lahir gagasan-gagasan etis, yang salah satunya adalah pentingnya pemerintah kolonial

   memberikan pendidikan dan pengajaran secara luas kepada penduduk pribumi.

  Namun dalam praktiknya, hanya anak-anak dari keluarga kaum elite pribumi sajalah yang mampu mendapatkan pendidikan dan pengajaran itu. Lagi pula, program Politik Etis ini kemudian bergulir tidak pertama-tama dalam rangka menciptakan pendidikan yang layak (berkualitas) melainkan terutama menciptakan buruh modern lokal yang murah. Penyelenggaraan pendidikan berubah dari upaya mencerdaskan, menjadi kepentingan ekonomi perusahaan swasta asing untuk memenuhi standar penguasaan alat-alat produksi industri modern.

  Meskipun demikian, kesempatan menempuh jalur pendidikan yang hanya sebatas pada segelintir orang ternyata mampu melahirkan tokoh pergerakan nasional

  

  

  dikemudian harinya, termasuk penggerak kaum buruh. Semaun dan Suryopranoto adalah contohnya. Keduanya sempat menjadi siswa sekolah Belanda, bahkan Semaun

  7 Takashi Shiraishi . op. cit., hlm 35.

  8 Dalam beberapa buku penulisan nama yang digunakan adalah Semaoen, namun dalam penulisan ini digunakan ejaan Semaun.

  9 Dalam beberapa buku penulisan nama yang digunakan adalah Soerjopranoto, sempat belajar di negeri Belanda, sedangkan Suryopranoto lulus hingga sekolah tinggi Belanda untuk pribumi di Hindia Belanda. Keduanya merupakan produk dari Politik Etis, namun mereka mampu memanfaatkan pendidikan itu untuk mensiasati ketertindasan kaum pribumi, terutama buruh.

  Meningkat pesatnya usaha-usaha swasta Barat di Indonesia pada tahun 1900- 1915 berdampak pada bertambah besarnya jumlah buruh pribumi. Pada masa ini mulai berkembang organisasi-organisasi maupun serikat-serikat yang berpihak pada kaum buruh, diantaranya adalah Sarekat Islam di Semarang pada saat kepemimpinan Semaun dan Adhi Darmo yang kemudian berkembang menjadi Personeel Fabrieks

10 Bond yang digagas oleh Suryopranoto.

  Semaun, setelah kongres SI Semarang pada tanggal 6 Mei 1917, saat berusia 19 tahun, resmi menjadi presiden Sarekat Islam Semarang. Pada era kepemimpinannya berfokus pada situasi sosial yang relevan bagi kaum pribumi, yaitu persoalan buruh. Besarnya jumlah buruh di Semarang memberikan ruang kegiatan bagi SI Semarang antara lain berupa advokasi dan upaya-upaya pensejahteraan, baik melalui bantuan, aksi politik, pendidikan buruh, hingga mogok kerja guna menuntut perbaikan kesejahteraan buruh. Semaun dalam pemikirannya banyak dipengaruhi

  

  oleh Henk Sneevliet , seorang penganut komunis dari Belanda. Perjumpaan dengan

10 Budiawan. 2006. Anak Bangsawan Bertukar Jalan, LKiS: Yogyakarta. hlm 13.

  11 Sneevliet membawanya tertarik dengan gagasan komunisme, yang dianggapnya

   sesuai dengan kondisi pribumi saat itu.

  Berbeda dengan Semaun, Suryopranoto merupakan anak bangswan

13 Yogyakarta. Ia berhasil menyelesaikan sekolah yang diperuntukkan bagi kaum

  pribumi hingga tingkat akhir di Jawa. Kedekatannya dengan buruh dimulai sejak ia menjadi kleine Ambtenaar, Assisten Wedono Sentono serta perjumpaan secara langsung dengan kondisi perburuhan yang tidak layak di Jawa. Ia berjuang dengan inisiatif pribadi dan pandangan ke-Jawa-an yang diajarkan ayahnya bahwa tugas para

  

priyayi adalah membantu serta menolong sesama masyarakat yang tertindas. Hampir

  serupa dengan Semaun, ia juga memiliki panutan dari dunia pewayangan, yakni Bimo dan Kokrosono. Suryopranoto memimpikan dirinya dapat mendobrak masyarakat

  

pribumi menuju kehidupan yang lebih baik.

  Semaun maupun Suryopranoto berpandangan bahwa hak atas kaum buruh tidak terpenuhi, sehingga mereka mengeluarkan sebuah sikap serta tindakan melalui pergerakan. Semaun bergerak melalui organisasi SI cabang Semarang guna membangun kesadaran buruh untuk melakukan perlawanan bilamana hak mereka tidak terpenuhi. Suryopranoto pun demikian, ia melakukan pendidikan serta

   membentuk lembaga-lembaga bantuan bagi kaum buruh .

  12 Soewarsono. 2000. Bebareng Bergerak. LKiS. Yogyakarta. hlm 5.

  13 Budiawan. op. cit., Hlm 17.

  14 Ibid., hlm 45.

  Melalui penelitian ini, hendak dicoba dilakukan sebuah kajian perbandingan antara pemikiran Semaun dan Suryopranoto. Keduanya adalah tokoh gerakan buruh sejaman tetapi dengan ideologi yang berbeda, meskipun latarbelakang kondisi sosial dan ekonomi yang dihadapi sama, masing-masing memiliki metode dan pemikiran tentang gerakan buruh yang berbeda. Semaun yang berhaluan Marxis menyatakan sebuah pergerakan massa secara politis revolusioner (bahkan dengan kekerasan sekalipun), sedangkan Suryopranoto yang berangkat dari realitas dan pemikiran ke-

   Jawa-an memilih pendidikan dan aksi massa tanpa perlu dengan tujuan politis.

  Hipotesis awal dari penelitian ini adalah belum terbangunnya kesadaran

  

  masyarakat atas posisi dan alat produksinya . Hal ini menyebabkan tidak terbangunnya kesadaran kelas yang digagas oleh kaum Marxis Eropa, yang cita- citanya menjadi dasar pedoman Semaun dan juga Suryopranoto. Kondisi ini menciptakan pergerakan yang amat tergantung pada tokoh. Setelah sang tokoh atau organisasi pergerakan diberhentikan, maka gerakan buruh pun akan terhenti.

  16 Ibid., hlm 102.

  17 Franz Magnis Suseno. Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2001. hlm 113.

  Perselisihan Revisionisme.

  Dalam hal ini buruh hidup dari upah, kaum pemiliki modal hidup dari laba (modal), dan tuan tanah hidup dari rente tanah. Alat produksi dalam pengertiannya adalah media yang mampu menciptakan sebuah produk yang berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang. Dalam konteks kolonial di Indonesia alat produksi yang di maksud merupakan sawah ataupun lahan (semula di miliki petani pribumi namun terpaksa di sewakan akibat tekanan-tekanan tertentu) serta mesin industri. Tidak dimiliki dan dirampasnya alat produksi masyarakat pribumi pada tahun 1900-an menyebabakan terjadinya ketergantungan ekonomi yakni buruh dengan pemilik alat

B. Rumusan Masalah

  Bertolak dari latar belakang yang telah dipaparkan beberapa permasalahan yang akan di bahas antara lain:

1. Mengapa Semaun dan Suryopranoto berjuang dalam organisasi perburuhan? 2.

  Bagaimana Semaun dan Suryopranoto berperan dalam gerakan perburuhan di Indonesia pada saat itu ? 3. Apa yang menjadi sebab terhentinya pergerakan buruh yang dilakukan oleh

  Semaun dan Suryopranoto di Indonesia pada 1926? C.

   Tujuan dan Manfaat Penelitian

  Tujuan akademis dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan dan menganalisis munculnya pergerakan perburuhan yang dilakukan oleh Semaun dan Suryopranoto.

  2. Mendeskripsikan dan menganalisis metode yang dilakukan oleh Semaun dan Suryopranoto dalam pergerakan buruh.

  3. Menganalisis faktor penyebab terhentinya pergerakan buruh yang dipimpin oleh Semaun dan Suryopranoto di Indonesia pada 1926.

  Sementara itu tujuan praktisnya adalah melihat sebuah sistem pergerakan buruh yang dilakukan oleh Semaun dan Suryopranoto sehingga mampu Manfaat dari penulisan ini, yaitu: 1.

  Diketahuinya metodologi Semaun dan Suryopranoto dalam pergerakan buruh di Indonesia yang sesungguhnya berbeda dengan negara Eropa.

  2. Tersedianya refrensi metodologis organisasi pergerakan buruh, serta menjadikanya sebuah referensi bagi pergerakan buruh bagi pergerakan buruh saat ini.

D. Metode Penelitian

  Melakukan sebuah rekonstruksi sejarah bukan pekerjaan mudah karena peristiwa masa lalu tidak terekam secara utuh dan objektif. Dalam penulisan sejarah tidak dapat dipungkiri adanya faktor subjektif seorang penulis dalam melihat peristiwa melalui cara pandangnya secara pribadi. Cara pandang setiap orang berbeda-beda, dan dari perbedaan pandangan ini diharapkan muncul gagasan yang

   maksimal dalam membedah peristiwa tersebut.

  Dalam penulisan sejarah dikenal adanya langkah-langkah metodis, yang merupakan tahapan umum penyusunan historiografi. Secara berurutan sebagai berikut: pemilihan topik, pengumpulan sumber, kritik sumber, analisa, dan yang

18 Louis Gottschalk. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta: Penerbit Universitas

  

  terakhir adalah penulisan atau historiografi. Berdasarkan sistematisasi tersebut, penelitian ini menentukan topik perbandingan gagasan Semaun dan Suryopranoto tentang pergerakan buruh. Setelah topik ditentukan, langkah berikutnya adalah mengumpulkan sumber sejarah (heuristik), baik yang bersifat primer maupun sekunder. Sumber primer adalah sumber-sumber yang berasal dari pelaku langsung

   atau berupa dokumen (surat, karya tulis dan sejenisnya) dari situasi tersebut.

  Sedangkan sumber sekunder adalah kesaksian dari seseorang yang tidak terlibat dari peristiwa itu namun mampu menjelaskan serta mendokumentasikan data sumber primer. Penelitian ini berupa kajian pustaka yang didapatkan dari karya tulis, catatan dokumentasi maupun laporan penelitian dari, Semaun dan Suryopranoto dalam hal pergerakan buruh.

  Setelah data-data tersebut terkumpul dilakukanlah kritik sumber baik secara eksternal maupun internal. Pemilihan sumber didasarkan pada kesesuaiannya dengan topik penulisan. Langkah berikutnya adalah analisis terhadap sumber yang telah teruji dan melalui analisis inilah kemudian ditentukan gagasan-gagasan yang terangkum.

  Tahap terakhir adalah penulisan.

  Beberapa contoh sumber primer yang digunakan adalah: 1. Karya tulis, artikel di media massa, dan surat Suryopranoto yang dirangkum dalam buku Anak Bangsawan Bertukar jalan karya Budiawan.

19 Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya., hlm 91.

  2. Hasil wawancara antara Soe Hok Gie dengan Semaun yang terangkum dalam buku Lentera Merah

  3. Kumpulan tulisan, artikel di media massa, dan surat Semaun dalam buku Bebareng Bergerak karya Soewarsono.

  4. Kumpulan data-data baik luas peralihan tanah dari petani kepada penguasaha swasta di beberapa tempat di Jawa Tengah, panjang rel serta jumlah beban angkutan kereta api di Semarang, jumlah produksi gula di Yogyakarta dan jumlah sekolah beserta muridnya dari tahun 1862-1920 dalam buku Zaman Bergerak karya Takashi Shiraishi. Beberapa contoh sumber sekunder yang digunakan adalah: 1. Surat dan foto semaun di Belanda yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan ejaan modern dalam buku Di Negeri Penjajah karya Harry A.

  Poeze.

  2. Hasil penelitian Soe Hok Gie mengenai Semaun dan SI.

  3. Hasil penelitian dan sumber-sumber kajian mengenai Semaun karya Soewarsono.

  4. Hasil penelitian dan sumber-sumber kajian mengenai Suryopranoto karya Budiawan.

E. Landasan Teori

  Sebuah kajian sejarah yang bersifat analitis membutuhkan alat analisis berupa sosial dalam penelitian tentang perbandingan gagasan Semaun dan Suryopranoto dalam pergerakan buruh berguna untuk menguji ataupun mengklarifikasi atas kondisi

   dari peristiwa yang diteliti.

  Dalam pembahasan mengenai perbandingan gagasan Semaun dan Suryopranoto dalam pergerakan buruh, dipergunakan teori yang mempengaruhi kedua tokoh tersebut, yaitu: teori kelas Karl Marx. Dalam teori ini diungkapkan terjadinya perbedaan kelas antara pemilik modal dengan tenaga kerja. Dalam pemahamannya, Marx menyatakan tentang klaim negara bahwa ia mewujudkan kepentingan umum padahal ia tidak lebih dari sekedar melayani kepentingan kelas

  

  berkuasa. Adanya sebuah pertentangan di balik saling keterlibatan antara buruh dan majikan. Buruh memiliki kemampuan tenaga kerja namun tidak memiliki alat produksi sehingga tidak berkuasa atas produknya. Sedangkan di sisi lain kaum pemodal yang merupakan pemilik alat produksi memerlukan buruh untuk menjalankan mesin dengan keahlian tertentu untuk mendapatkan produk dan menghasilkan keuntungan. Namun, dalam pelaksanaannya tidak terjadi sebuah hubungan yang baik antara buruh dengan majikan, di mana majikan menekan upah buruh agar biaya produksi sedikit dan keuntungan banyak, di sisi lain buruh merasa

21 Louis Gottschalk. op. cit., hlm 183.

  22 tertindas dengan upah yang minim sedangkan mereka telah bekerja keras dan

   memberikan keuntungan bagi pemilik modal.

  Dalam praktik ekonomi terjadi pertentangan kelas. Ketidak-berimbangan kesejahteraan antara apa yang dinikmati oleh pemilik modal dan buruh adalah faktor utamanya. Pada satu sisi buruh tetap ingin bekerja demi memenuhi kebutuhan dirinya, namun pada sisi lain mereka tidak mendapatkan upah yang cukup. Sementara itu perusahaan (pemilik modal) amat diuntungkan karena hasil produksi mereka. Kesenjangan yang terjadi inilah yang melahirkan pemahaman bahwa peranan buruh sangat vital dalam perindustrian, sehingga para tokoh buruh memanfaatkan pemikiran Marx untuk diaplikasikan guna melakukan pembacaan terhadap kolonialisasi

  

ekonomi dan penghisapan di tingkat buruh.

  Menurut Marx, kondisi para buruh yang buruk dan tereksploitasi telah

   menciptakan sebuah kesadaran, yang kemudian dikenal dengan kesadaran kelas.

  Buruh memiliki keyakinan akan kebenaran dan vitalnya posisi mereka dalam industri. Namun, pemahaman terhadap gagasan Marxis ini baru muncul setelah gerakan buruh di Indonesia mengenal Sneevliet serta pemikirannya. Selain itu, pemahaman akan Marxisme di era gerakan buruh tidak dipahami secara utuh, dan hanya menjadi inspirasi saja. Dalam pengertiannya, Marx menyatakan bahwa kelas hanya akan muncul ketika ada sebuah kesadaran akan alat produksi, meningkatnya kesadaran

  23 Ibid., hlm 112-115.

  24 Linda Smith dan William Raeper. 2000. Ide-Ide Filsafat dan Agama, dulu dan sekarang. Yogyakarta: Kanisius. hlm116-120. akan alat produksi akan melahirkan kesadaran kelas, dan hal inilah yang menyebabkan terjadinya pertentangan kelas di Eropa.

  Dalam mempergunakan teori kelas Karl Marx, akan dicoba menyeimbangkan dengan dua perspektif lain, yakni perspektif konflik antara kolonial dengan pribumi

  

  dan pandangan tentang Ratu Adil Dalam perspektif konflik antara kekuatan kolonial dengan masyarakat pribumi, pemerintah kolonial dianggap sebagai institusi yang bertanggung jawab atas terampasnya alat produksi masyarakat pribumi. Munculnya pemilik modal swasta Barat merupakan sebuah gagasan mengenai konflik kolonialisme. Masyarakat pribumi memandang tidak ada perbedaan antara pemerintah kolonial dan swasta Belanda dalam hal penindasan dan eksploitasi. Gagasan yang kemudian muncul di masyarakat mengenai nasib buruh yang sengsara, adalah bahwa kesengsaraan itu disebabkan oleh para pemilik modal adalah kaum kolonial Belanda. Hal ini menyebabkan secara langsung maupun tidak langsung

26 Dalam konsepnya gagasan Ratu Adil lahir dari sebuah tekanan sosial

  masyarakat, di mana terjadi sebuah kolonialisme dan tidak adanya peranan dari elit pribumi untuk melindungi masyarakat. Terjadi sebuah transformasi ekonomi, di mana sebelumnya penguasaan ada di tangan elit pribumi, kini berada pada swasta asing. serta terlepasnya perlindungan dari kelompok elit pribumi atas rakyatnya meyebabkan sebuah konflik struktural antara masyarakat dan kolonial.

  Terjadinya pemungutan pajak, penyewaan tanah dan kondisi perburuhan yang memprihatinkan. Pada kondisi tersebut hadir harapan pembebasan yang didorong oleh sosok Semaun dan Suryopranoto mengajak masyarakat bergerak untuk bebas serta melawan penindasan kolonial dan swasta asing. pergerakan buruh menjadi pergerakan nasionalistis yang menentang penindasan kaum

27 Belanda terhadap rakyat pribumi.

  Selain pandangan tentang konflik antara pemerintah kolonial dengan pribumi, muncul juga pandangan mengenai ratu adil sebagai tokoh yang membebaskan dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Banyak tokoh buruh di kalangan buruh sendiri dianggap sebagai ratu adil, kemudian setelah tokoh tersebut berjuang ternyata keadilan tidak pernah terwujud sempurna sesuai harapan. Namun harapan akan terciptanya sebuah kesejahteraan dan keadilan bagi buruh tetap melekat hingga saat itu. Hal ini menginspirasikan kaum buruh, bahwa ratu adil yang diharapkan bukanlah sosok jasmani tetapi sebuah gagasan tentang kesejahteraan buruh. Konsepsi ini juga diungkapkan oleh Emmanuel Subangun dalam perpektifnya tentang Ratu Adil, yang dipahaminya sebagai cita-cita. Ketika fisik, pikiran, dan tindakan sudah tidak lagi mampu menandingi pihak kolonial serta penjajahan senantiasa berlangsung, maka ratu adil bukan lagi cita-cita melainkan sebuah harapan belaka yang senantiasa

   dinantikan.

F. Tinjauan Pustaka

  Buku yang membahas tentang pergerakan buruh yang dilakukan oleh Semaun dan Suryopranoto, antara lain Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa

  27 Aloliliweri, M.S. 2005. Prasangka & Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur . Yogyakarta: LKiS. hlm 270-271.

  28 Emmanuel Subangun, "Tidak Ada Messias dalam Pandangan Hidup Jawa"

  dalam Prisma No. 1 Januari 1977 Tahun VI., 1977

  

  1912-1926, karya Takashi Shiraishi . Posisi penting buku ini adalah mampu memberikan data-data mengenai luas lahan yang disewakan, gaji buruh, serta tingkat pembakaran lahan perusahaan yang dilakukan oleh para buruh saat berunjukrasa serta beberapa data lainnya. Hampir serupa dengan Zaman Bergerak, buku Pemogokan

   Buruh Sebuah Kajian Sejarah karya Bambang Sulistyo , memberikan data-data

  mengenai jumlah hasil gula serta peranan Semaun dan Suryopranoto dalam

  

  pergerakan buruh. Di Bawah Lentera Merah, karya Soe Hok Gie juga memuat data- data tentang luas tanah, biaya sewa dan perseteruan pergerakan buruh dengan pemerintah Belanda maupun antar gerakan (Semaun dan Suryopranoto).

  Buku lainnya bersifat biografis dan pemikiran Semaun yakni Bebareng

  

Bergerak karya Soewarsono, penerbit LkiS Yogyakarta. Dalam buku ini digambarkan

  latar belakang, biografi, pemikiran serta perjuangan Semaun dalam membela hak buruh. Buku ini juga disertai surat, artikel dan catatan-catatan Semaun saat berjuang bersama SI, Suryopranoto dan PKI. Buku lainnya merupakan biografi dan pemikiran Suryopranoto, yakni Anak Bangsawan Bertukar Jalan, karya Budiawan. Buku ini berisi mengenai perjalanan hidup Raden Mas Suryopranoto, pergerakan dalam organisasi-organisasi yang mendukung kesejahteraan buruh, dan perseteruan Suryopranoto dengan Semaun. Dalam buku ini juga tertulis catatan pribadi, surat, dan tulisan Suryopranto di berbagai artikel.

  29 Takashi Shiraishi. op. cit., hlm 10-147.

  30 Bambang Sulistiyo. op. cit.,hlm 9-159. Untuk melihat kondisi perburuhan pra Semaun dan Suryopranoto secara umum digunakan beragam buku pembantu seperti buku Di Negeri Penjajah karya

32 Harry A. Poeze yang memuat catatan dan artikel asli dari Semaun saat berada di negeri Belanda.

  Berdasarkan buku-buku tersebut, penelitian yang memperbandingkan gagasan Semaun dan Suryopranoto ini diharapkan dapat memberikan pandangan serta gagasan mengenai gerakan buruh yang terjadi. Secara umum belum ada upaya ilmiah yang dengan tegas memperbandingkan pemikiran Semaun dan Suryopranoto, bukan untuk melihat siapa yang unggul melainkan melihat metode yang mereka gunakan. Studi perbandingan ini penting mengingat Semaun dan Suryopranoto berada pada waktu yang sama dan pernah berjuang bersama. Menarik untuk disimak mengapa keduanya kemudian saling bertentangan ketika kekuatan massa buruh sedang dalam masa

  

matang , dan setelah 1926 keduanya saling tersingkir dari pergerakan perburuhannya

sendiri.

G. Sistematika penulisan

  Hasil dari penelitian ini dituangkan dalam tulisan dengan sistematika sebagai berikut: Bab I merupakan pendahuluan yang berisiskan latar belakang dan hal-hal yang mendorong penelitian ini.

32 Harry A. Poeze, Cees van Djik, Van der Meulen. Di Negeri Penjajah Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 . hlm 184-188.

  Bab II berisiskan latar belakang yang mempengaruhi Semaun dan Suryopranoto untuk melakukan pergerakan buruh. Bab III berisikan biografi, pemikiran, peranan, serta perjumpaan dan konflik dalam pergerakan buruh yang dialami oleh Semaun. Bab IV berisikan biografi, pemikiran, peranan, serta perjumpaan dan konflik dalam pergerakan buruh yang dialami oleh Suryopranoto. Bab V merupakan sebuah kesimpulan dan pernyataan dari penulis mengenai kekuatan, kelemahan, ancaman serta peluang dari gerakan buruh yang diprakarsai oleh Semaun dan Suryopranoto.

BAB II KONDISI PERBURUHAN DI JAWA AKHIR ABAD XIX DAN AWAL ABAD XX Banyak hal yang memicu lahirnya pergerakan buruh. Dalam konteks ini

  adalah munculnya ekonomi liberal. Setelah ekonomi liberal dimunculkan pada tahun 1870, terjadi perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat Semarang dan Yogyakarta pada khususnya. Hal ini membawa dampak pada sektor industri, tanah dan tentunya buruh.

  Hindia Belanda berubah menuju arah modernitas secara sistematis. Hal ini ditunjukkan dengan diperkenalkannya sistem gaji pada pribumi. Proses produksi yang sebelumnya dikuasai oleh negara kini dipercayakan kepada pihak swasta. Selain itu diatur pula alat produksi yaitu tanah dengan munculnya Undang-Undang Agraria tahun 1870 yang memuat aturan penyewaan tanah dan Undang-Undang Pajak Kepala 1882 yang kemudian menjadi pendorong lahirnya pasar tenaga kerja bebas (wage

  

labourer ), sampai sistem mengenai hasil produksi swasta yang setiap tahunnya

  meningkat hingga eksport ke Eropa, perbaikan infrastruktur berupa pelabuhan dan

   jalan.

  Perubahan menuju modernitas juga terlihat dari watak kolonial yang mulai memperhatikan permasalahan penyesuaian penduduk pribumi dalam sistem modern

1 Soewarsono, Bebareng Bergerak. LKiS. Yogyakarta. hlm 10-11.

  kolonial, meskipun sesungguhnya pengenalan sistem modern tersebut adalah upaya menciptakan buruh yang mampu menjalankan dan memperkenalkan mesin-mesin modern. Berdasarkan laporan Mindere Welvaart Commissie, terjadi penurunan tingkat kemakmuran pribumi pada akhir abad XIX, sehingga memberikan solusi agar pemerintah kolonial membangun sistem modern ini yang kemudian dikenal dengan

2 Politik Etis.

  Modernitas juga tampak dari lahirnya kelompok kelas menegah (middle class) pribumi yang jumlahnya terus meningkat setiap tahunnya. Kelompok ini merupakan masyarakat prakapitalis yang menyandarkan penghidupannya dari gaji. Meski demikian, fungsi awal dari kelompok ini adalah pengisi pasar tenaga kerja yang memiliki keahlian. Namun kemudian, masyarakat kelas menengah yang sebagian besar adalah kaum terpelajar ini yang mengawali perubahan sosial dengan

   dilakukannya pergerakan.

A. Kereta Api

  Perubahan sosial dalam masyarakat pribumi salah satu penyebabnya adalah munculnya kereta api. Pesatnya pertumbuhan kereta api menjadi salah satu acuan modernisasi di Hindia Belanda terutama di pulau Jawa. Media transportasi merupakan sarana pendukung pertumbuhan ekonomi pengusaha lokal maupun Belanda. Pertumbuhan industri kereta api jalur Semarang-Vorstenlanden merupakan

2 Ibid., hlm 11.

  contohnya. Semakin luas jarak tempuh dan meningkatnya jumlah angkutan membuat industri kereta api semakin membutuhkan banyak pekerja.

  Fungsi lain dari hadirnya angkutan kereta api adalah sebagai sarana penunjang ekonomi dalam mengangkut barang. Dengan peningkatan jumlah barang maupun hasil bumi, maka diperlukan pula jalur kereta api yang memadai.

  Tabel berikut ini adalah data untuk melihat perkembangan luas areal kereta api dan peningkatan jumlah angkutan baik manusia maupun barang. Data-data

   diperoleh dari Kolonial Verslag tahun 1896, 1901, 1906, dan 1916.

  

Tabel II.1

Peningkatan Jumlah Penumpang dan Barang Dalam Angkutan Kereta Api

Tahun Kilometer Penumpang Penghasilan dari

  Penumpang Barang (dalam ribu gulden) (dalam ribu gulden) 1895 1.319 5.759.000 3.054 6.588

  1900 1.609 9.738.000 4.022 9.743 1905 1.704 13.361.000 4.979 10.216 1910 2.174 28.420.000 8.825 15.738 1915 2.448 42.579.000 13.685 22.194 Sumber: Kolonial Verslag tahun 1896, 1901, 1906, dan 1916

4 Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926.

  PT Pustaka Utama Grafiti: Jakarta. hlm 11. Data diperoleh dari buku Zaman Bergerak

B. Peralihan Fungsi Tanah

  Pada tahun 1880-1915, produk terpenting dalam pertanian pribumi adalah beras atau padi. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat lokal mengkonsumsi nasi yang berasal dari padi. Selain itu, kondisi geografis serta iklim mendukung tanaman ini, sehingga para petani pribumi memilih padi sebagai tanaman pokok.

  Ketertarikan pemodal swasta untuk menanam tebu di Hindia Belanda guna mendapatkan keuntungan besar dalam pasar Eropa didukung oleh pemerintah kolonial. Pada awal tahun 1910-an pemerintah kolonial memunculkan kebijakan berupa ketentuan harga maksimal pembelian padi dari petani dan ketentuan jumlah maksimal padi yang disimpan. Tentunya kondisi ini sangat menyudutkan petani, baik

  

  dari segi penghasilan maupun pemenuhan kebutuhan. Kebijakan lainnya adalah dilakukannya monopoli pembelian dan penjualan padi sehingga mempersempit peluang pribumi kelas menengah untuk membangun pertumbuhan ekonomi. Hal ini membuktikan adanya sebuah upaya mencabut secara tidak langsung hak pribumi guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

  Di lain pihak kebijakan ekonomi kolonial semakin menguntungkan pengusaha gula swasta. Dilakukannya perluasan lahan tebu mempersempit lahan pertanian padi.

  Kondisi ini menciptakan kesulitan baru bagi masyarakat pribumi. Harga beras yang rendah, membuat para pengusaha swasta melirik tebu sebagai solusi. Kondisi berbeda

5 Ibid.

  dirasakan masyarakat pribumi yang kebutuhan hidup secara ekonomi ditempuh dengan menanam padi secara terpaksa lahannya disewakan sehingga terjadi kelangkaan padi yang berdampak pada naiknya harga beras. Para petani padi yang awalnya mengelola padi tetapi kemudian beralih menjadi buruh tebu, ternyata mendapatkan upah yang tidak mampu mencukupi pemenuhan atas naiknya harga beras di pasar. Di lain pihak, kurangnya bahan makanan berupa beras, tidak mempengaruhi kehidupan bangsa Barat di Indonesia kala itu. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah kolonial tidak merasa perlu untuk mempertahankan

   ataupun memperluas areal tanaman padi.

  Kehidupan petani pada masa ini tidak lebih daripada saat mengelola lahan pertaniannya sendiri. Areal perkebunan swasta yang makin lama semakin meluas mengakibatkan penderitaan bagi petani pribumi, dari rendahnya penghasilan hingga krisis pangan. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kehidupan petani semakin

   terpuruk.