Mitigasi Bencana Lewat Kearifan Lokal.

-_.~ ----.----

/

.-

(

17

-:"-"

Sentn.

2
18

-;
19

[(OMPAS

Selasa

Kamis

Rab!}

~

--7-

4-- -5 .
20
21

22

--:

23


---::::;,

'..:. ~ J,1/1

Pl'b

\ Mal

) Apr

9

8

10
24

.

Jlln


. Mvt

()

11
25

()

Jill

-

o Sabtu o AAin7gu

Jumat

12
26


14

13
27

28

\.) Ags OSep

.Okt

15
29
ONov

16
30

31


ODes

Mitiqasi Ben cana Lewat
L

-

-

~

--

KearifanLokal
.-

=-

-.


~

.~.

D

alam beberapa tahun terakhir ini, kawasan Jawa Barat dan Bantenketap dilanda bencana alamoMisalnya, pada 2005 teIjadi bencana longsor "gunung
sampah" di tempat pembuangan sampah akhir Leuwigajah,
Kabupaten Bandung Barat. Pada tahun 2006 tsunami melanda Pangandaran, Ciamis. Pada tahun 2009 tanggul Situ
Gintung di Cireundeu, Tangerang, Banten,jebol. Pada 2 September 2009 teIjadi bencana gempa tektonik 7,3skala Richter di Tasikmalaya

Memahaml bencana
Pada umumnya, bencana alam
dapat disebabkan oleh tiga faktor
utama, yaitu fenomena alam, tindakan manusia, dan kombinasi di
antara keduanya (Dooley:1990,1).
Maka, berdasarkan faktor-faktor
penyebab tersebut, bencana tsunami di Pangandaran dapat dikategorikan sebagai bencana alam
akibat fenomena alam,yaitu gempa bumi di dasar laut dengan skala

besar.

-

-'--

Oleh

Sementara itu, hampir setiap
tahun pada musim hujan teIjadi
banjir di beberapa kawasan Bandung selatan akibat meluapnya
Sungai Citarum. Berbagaibencana
tersebut menyebabkan berbagai
kerugian bagi penduduk. Maka,
dengan semakin seringnya teIjadi
bencana alam, diperlukan berbagai upaya mitigasi bencana oleh
berbagai pihak terkait, termasuk
masyarakat lokal.

-..


Demikian pula gempa di Tasikmalaya, selatan Jawa Barat, dapat
dikategorikan sebagai bencana
alam akibat fenomena alamoGempa tektonik 7,3skala Richter tersebut teIjadi akibat pergeseran lempeng bumi Indo-Australia dan
lempeng Asia ke arah berlawanan
sehingga menimbulkan tubrukan
dan getarannya terasa di sebagian
besarwilayah Jabar.
Berbeda dengaii. tsunami di
Pangandaran dan gempa di Tasikmalaya, longsornya "gunung sampah" di Leuwigajahlebihutama disebabkan oleh tindakan manusia,
berupa kesalahan dan kegagalan
sistem teknologi dalam pengelolaan sampah. Bukit Leuwigajahdijadikan buangan sampah dari Kota
Bandung, Cimahi, dan Kabupaten
Bandung dengan tanpa dikelola
secara saksama.
Konsekuensinya,
timbunan
sampah yang menggunung dan
mengeluarkan pencemaran air


K lip i n 9 Hum 0 sUn

JOHAN

ISKANDAR

lindi tidak mampu lagi disangga
oleh permukaan tanah sehingga
menimbulkan longsor yang
menimpa rumah-rumah dan
lahan pertanian penduduk.
Kasus jebolnya tanggul di
Situ Gintung juga tidak
lepas dari pengaruh dominan kegiatan manusia yang tidak bijaksana memperlakukan
alamo
Banjir rutin di Bandung selatan
disebabkan oleh kombinasi faktor
alam dan manusia. Faktor alam,
yaitu teIjadinya curah hujan yang
tinggi. Banjir tersebut juga dipengaruhi oleh tindakan manusia

yang tidak bijaksana terhadap
lingkungan. Misalnya, maraknya
penebangan hutan di GunungWayang, daerah aliran sungai (DAS)
hulu, oleh orang-orang yang tidak
bertanggungjawab. Selain itu,juga
akibat maraknya alih fungsi agroforestri tradisional menjadi kebun
sayur komersial.
Selain itu, di berbagai kawasan
DAS Citarum banyak lahan yang
diperkeras dengan aspal atau semen. Konsekuensinya, ketika turun hujan, air larian (cilerincanlfJ
masuk SungaiCitarum secara berlimpah dan menimbulkan banjir.
Bahkan, kendati curah hujannya
normal, banjir tersebut kerap terjadi mengingat kondisi DASCitarum rusak akibat berbagai tindakan manusia yang kurang bijaksana
dalam memperlakukan ekosistemnya.

_

pod

2009..----


Mitigasl

Pada umumnya, berbagai bencana alam dapat menimbulkan
berbagai kerugian bagi manusia,
misalnya korban jiwa, hancurnya
rumah, dan rusaknya lingkungan.
Karena itu, upaya mepgurangi
berbagai kerugian akibaJ1bepcana
alam sungguh diperlukan. Upaya
mitigasi bencana tersebut seharusnya melibatkan berbagai pihak
terkait, termasuk masyarakat 10kal.
Masyarakat lokal umumnya
memiliki pengetahuan lokal dan
kearifan ekologi dalam memprediksi dan melakukan mitigasibencana alam di daerahnya. Pengetahuan lokal tersebut biasanya diperoleh dari pengiUaman empiris
yang kaya akibat berinteraksi dengan ekosistemnya. Masyarakat
lokal yang bermukim di lereng
_a.__.-............._....-...-___

Gunung Merapi, Jawa Tengah,
misa1nya,telah mempunyai.kemampuan untuk memprediksi kemungkinan teIjadinya letusan.
Hal tersebut antara lain
menggunakan indikator berbagaijenis hewan liar yang turun lereng di luar kebiasaan dalam kondisi lingkungan normal.
Secara etik, penggunaan indikator
alam tersebut cukup rasional
mengingat berbagaijenis binatang
dengan instingnya memiliki kepekaan tinggi dalam merasakan kian
meningkatnya suhu tanah akibat
meningkatnya tingkat aktivitas
Gunung Merapi sehingga mereka
pindah tempat (Triyoga: 1991,
123).
'. Selain itu, menurut Triyoga,dalam menghindari risiko bencana
Gunung Merapi meletus, warga 10kal di lereng Gunung Merapi juga
mempunyai kearifan lokal dalam
membangun permukiman di lingkungan yang penuh risiko bencana alam letusan gunung api. Permukiman tersebut bisanya berkelompok di lahan datar dengan dikelilingitegalan.
Rumah-rumah senantiasa didirikan menghadap ke arah yang
berlawanan dengan Gunung Merapi. Maksudnya,berdasakan pandangan mereka, agar rumah-rumah tersebut tidak dimasuki
makhluk halus pengganggu yang
inenghuni Gunung Merapi. Namun, secara etik dapat ditafsirkan
~

.

- -

.

,~

-

bahwa rumah-rumah tempat tinggal tersebut dibangun menghadap
ke arah jalan utama desa yang
membujur ke arah utara-selatan
atau selatan-utara agar sekiranya
teIjadi letusan, mereka dapat dengan segera melarikan diri menujujalan utama desa.
Berbagaicontoh kearifan ekologi masyarakat lokal dapat pula ditemukan di berbagai kelompok
masyarakat lokal di Tatar Sunda.
Di masyarakat Kampung Naga di
Tasikmalayadan KampungDukuh
di Garut selatan, misalnya,pembangunan permukiman dan pemanfaatan lahan lainnya senantiasa diatur secara tradisional dengan sistern zonasi.
Dengan demikian, sistem pengetahuan lokal masyarakat tersebut dapat diintegrasikan dalam
analisis risiko lingkungan dan
mitigasi bencana alam berlandaskan kajian ilmu pengetahuan atau
pandangan etik.
Sayangnya, kini berbagai pengetahuan lokal tersebut banyak
yang mengalami erosi atau bahkan
punah, yang tidak terdokumentasikan dengan baik, sebagaisumber
ilmu pengetahuan, yang memadukan hasil empirisme dan rasionalisme. Secara praktis hal itu dapat
pula digunakan antara lain untuk
mitigasi bencana alam berbasis
masyarakat lokal.
JOHAN ISKANDAR
Dosen BiologiFMIPA dan
Peneliti
PPSDALLPPM--Unpad
~--

- --