Pemimpin dan Korupsi.
Pikiran Rakyat
o Senin o Selasa o Rabu o Kamis o Jumat
1
17
OJan
2
18
3
19
OPeb
4
5
20
6
21
o Mar OApr
@
OMei
8
23
9
10
24
OJun
11
25
OJul
.
26
.Ags
o Minggu
Sabtu
12
13
27
OSep
14
28
OOkt
15
29
ONov
16
30
31
ODes
Pemimpin dan Korupsi
adalah 'adl (keadilan), ihsan
(kebajikan, kebaikan dan keseimbangan), 'ilm (mencari ilmu),
juga kerendahan hati, dan hasrat untuk saling menolong?
Oleh AHMAD RAFSANJANI
I
NDONESIA, negara dengan masyarakat Islam
terbesar di dunia, kembali
mendapati realitas-realitas mengejutkan mengenai korupsi.
Meski upaya pemberantasan
korupsi tampak luar biasa, tingkat korupsi di Indonesia malah
meningkat berdasarkan indeks
Transparency International setiap tahunnya.
Di tingkat lokal J awa Barat,
maraknya
publisitas
yang
mengungkapkan dugaan k~terlibatan banyak pemirllpin lokal,
baik itu dari kalangan birokrasi
pemerintahan maupun anggota
legislatif, merupakan
fakta
mencemaskan yang tak terbantahkan.
Korupsi birokrasi, seperti hasil kesimpulan Kongres PBBke8 di Havana,1988, adalah satu
pola baru crimes by government, suatu tren kejahatan korupsi yang dilakukan pejabat
publik di hampir semua lini birokrasi yang sangat merugikan
dan merampas hak hidup layak
masyarakat banyak. Kejahatan
korupsi membuat orang miskin
di Indonesia saat sekarang, dengan pendapatan kurang dari 2
dolar AS per hari, setidaknya
sudah melebihi angka 40%.
Seharusnya keadaan tidak seburuk ini, jika dana negara untuk kesejahteraan masyarakat
sampai dan tepat sasaran. Dengan kondisi ini, Indonesia semestinya berstatus darurat korupsi. Akan tetapi, epidemi korupsi masih teIjadi dalam rasio
yang luar biasa.
Bagi kita yang tidak sabar me-
lihat masih m¥aknya kasus korupsi, mungkin saja pernah bermimpi tentang penanganan ekstrem kejahatan korupsi. Hukuman mati dan perlakuan model tahanan politik adalah solusi revolusioner. Namun, solusi
radikal ini akan tetap menjadi
imajinasi semu. Kita harus cukup puas dengan penegakan hukum yang reaksioner dan cenderung tebang pilih, wacana reformasi birokrasi yang belum ada
hasilnya, serta janji kebebasan
informasi publik yang menjamin transparansi dan akuntabilitas. Evolusi memang membutuhkan proses yang panjang.
Berbagai realitas korupsi kemudian memaksa setiap orang
bertanya secara eksistensial: benarkah pemimpin Indonesia
yang tersangkut korupsi (dan
sebagian besar beragama Islam)
merupakan representasi dari Islam, yang bangunan utamanya
Ateisme praktis
Jauh sebelum filosof-filosof
kontemporer mengintroduksi
konsep manusia instrumental
(yang hanya mampu melihat
alam dan manusia lain sebagai
. wahana untuk memenuhi kebutuhannya), atau dalam bahasa
pemikir postmodern, Felix Guattari, m.anusia sebagai mesin
hasrat (reproduksi hasrat adalah energi penggerak kehidupan
sosial, kultural, dan spiritual
manusia), Islam telah lebih dulu menekankan pentingnya pengendalian diri.
Dalam Islam, hasrat, obsesi
untuk memborong habis, atau
hawa nafsu, adalah sumber kerusakan utama di muka bumi.
Zuhud, model hidup sederhana,
dipercaya sebagai antitesis dari
filsafat "saya berbelanja, maka
saya ada".
Dengan obsesi memborong
habis, pemimpin yang mendapat
kekuasaan dan akses finansial,
terdorong untuk memperkaya diri. Setiap perkembangan teknolo-
gi terbaru mesti ada di rumah.
Kit'aselalu merasa tidak puas.
Inilah yang dinamakan Yasraf Amir Piliang, pembicara budaya berpengaruh, sebagai passionate capitalism; di mana kita memproduksi tanpa henti rasa kurang dalam skala besar, sementara di mana-mana terdapat kelimpahruahan.
Sebagai suatu design for living, Islam menyediakan wahana-wahana pembelajaran dalam mereduksi berkuasanya
hasrat dalam tingkah laku kita.
Salah satu yang sangat kontekstual adalah puasa. Ritual ini bukan hanya melatih pengendalian diri kita, tetapi juga berbicara tentang kesalehan sosial (kesadaran .untuk merasakan keterbatasan yangkerap dialami
masyarakat yang kurang beruntung).
Ritual-ritual dalam Islam merupakan pengalaman spiritual,
yang memberikan ruang bagi
kita untuk memahami diri kita,
dan untuk memahami hakikat
transendensi spiritual kita. Proses mental untuk memahami
diri inilah yang dinamakan dengan kesadaran diri. Kesadaran
diri adalah kriteria terbaik dari
kecerdasan spiritual, sebagai
sumber pertama untuk mengendalikan
diri, sekaligus
menjadi kekuatan intrinsik kita.
Dengan demikian, untuk
menjawab apakah ritual-ritual
dalam Islam tidak cukup kuat
dalam mengendalikan has rat
pemimpin-pemimpin Muslim
di Indonesia? Kita, mungkin,
hanya punyasatu asumsi: bahwa sedikit sekali dari kita yang
mencapai mutu ibadah yang seharusnya, dan lebih banyak lagi
yang hanya sebatas mengalami
ritual harian yang cenderung
kosong, tanpa bekas di diri kita.
Kita meminggirkan Tuhan
dan pengalaman ibadah kita,
justru ketika hal itu sangat dibutuhkan dalam mengelola dan
mengarahkan hubungan kita
dengan sesama manusia.
Dalam perspektif psikologi
transpersonal (yang berupaya
mengintegrasikan tradisi psikologi dengan kearifan perenial),
ritual-ritual keagamaan belum
menjadi
pengalaman spiritual,
,
yang membangkitkan, dan meningkatkan kesadaran diri kita
secara eksesif.
Kenyataan ini, seperti yang
ditegaskan Akbar S. Ahmed
(profesor Muslim di bidang Hubungan Internasional, American University di Washington
DC), mendesak umat Islam untuk menghadapi tantangan internal terbesar mereka: membangun kembali Islam yang
mengajarkan keadilan, kejujuran, toleransi, dan kegigihan
mencari pengetahuan. ***
-..-.---
I
Kliping
Humos
Unpod
2009-------
\
Penulis, peneliti Psikologi
Sosial dan Politik Pakultas Psikologi Universitas Padjadjaran
Bandung~..
J
o Senin o Selasa o Rabu o Kamis o Jumat
1
17
OJan
2
18
3
19
OPeb
4
5
20
6
21
o Mar OApr
@
OMei
8
23
9
10
24
OJun
11
25
OJul
.
26
.Ags
o Minggu
Sabtu
12
13
27
OSep
14
28
OOkt
15
29
ONov
16
30
31
ODes
Pemimpin dan Korupsi
adalah 'adl (keadilan), ihsan
(kebajikan, kebaikan dan keseimbangan), 'ilm (mencari ilmu),
juga kerendahan hati, dan hasrat untuk saling menolong?
Oleh AHMAD RAFSANJANI
I
NDONESIA, negara dengan masyarakat Islam
terbesar di dunia, kembali
mendapati realitas-realitas mengejutkan mengenai korupsi.
Meski upaya pemberantasan
korupsi tampak luar biasa, tingkat korupsi di Indonesia malah
meningkat berdasarkan indeks
Transparency International setiap tahunnya.
Di tingkat lokal J awa Barat,
maraknya
publisitas
yang
mengungkapkan dugaan k~terlibatan banyak pemirllpin lokal,
baik itu dari kalangan birokrasi
pemerintahan maupun anggota
legislatif, merupakan
fakta
mencemaskan yang tak terbantahkan.
Korupsi birokrasi, seperti hasil kesimpulan Kongres PBBke8 di Havana,1988, adalah satu
pola baru crimes by government, suatu tren kejahatan korupsi yang dilakukan pejabat
publik di hampir semua lini birokrasi yang sangat merugikan
dan merampas hak hidup layak
masyarakat banyak. Kejahatan
korupsi membuat orang miskin
di Indonesia saat sekarang, dengan pendapatan kurang dari 2
dolar AS per hari, setidaknya
sudah melebihi angka 40%.
Seharusnya keadaan tidak seburuk ini, jika dana negara untuk kesejahteraan masyarakat
sampai dan tepat sasaran. Dengan kondisi ini, Indonesia semestinya berstatus darurat korupsi. Akan tetapi, epidemi korupsi masih teIjadi dalam rasio
yang luar biasa.
Bagi kita yang tidak sabar me-
lihat masih m¥aknya kasus korupsi, mungkin saja pernah bermimpi tentang penanganan ekstrem kejahatan korupsi. Hukuman mati dan perlakuan model tahanan politik adalah solusi revolusioner. Namun, solusi
radikal ini akan tetap menjadi
imajinasi semu. Kita harus cukup puas dengan penegakan hukum yang reaksioner dan cenderung tebang pilih, wacana reformasi birokrasi yang belum ada
hasilnya, serta janji kebebasan
informasi publik yang menjamin transparansi dan akuntabilitas. Evolusi memang membutuhkan proses yang panjang.
Berbagai realitas korupsi kemudian memaksa setiap orang
bertanya secara eksistensial: benarkah pemimpin Indonesia
yang tersangkut korupsi (dan
sebagian besar beragama Islam)
merupakan representasi dari Islam, yang bangunan utamanya
Ateisme praktis
Jauh sebelum filosof-filosof
kontemporer mengintroduksi
konsep manusia instrumental
(yang hanya mampu melihat
alam dan manusia lain sebagai
. wahana untuk memenuhi kebutuhannya), atau dalam bahasa
pemikir postmodern, Felix Guattari, m.anusia sebagai mesin
hasrat (reproduksi hasrat adalah energi penggerak kehidupan
sosial, kultural, dan spiritual
manusia), Islam telah lebih dulu menekankan pentingnya pengendalian diri.
Dalam Islam, hasrat, obsesi
untuk memborong habis, atau
hawa nafsu, adalah sumber kerusakan utama di muka bumi.
Zuhud, model hidup sederhana,
dipercaya sebagai antitesis dari
filsafat "saya berbelanja, maka
saya ada".
Dengan obsesi memborong
habis, pemimpin yang mendapat
kekuasaan dan akses finansial,
terdorong untuk memperkaya diri. Setiap perkembangan teknolo-
gi terbaru mesti ada di rumah.
Kit'aselalu merasa tidak puas.
Inilah yang dinamakan Yasraf Amir Piliang, pembicara budaya berpengaruh, sebagai passionate capitalism; di mana kita memproduksi tanpa henti rasa kurang dalam skala besar, sementara di mana-mana terdapat kelimpahruahan.
Sebagai suatu design for living, Islam menyediakan wahana-wahana pembelajaran dalam mereduksi berkuasanya
hasrat dalam tingkah laku kita.
Salah satu yang sangat kontekstual adalah puasa. Ritual ini bukan hanya melatih pengendalian diri kita, tetapi juga berbicara tentang kesalehan sosial (kesadaran .untuk merasakan keterbatasan yangkerap dialami
masyarakat yang kurang beruntung).
Ritual-ritual dalam Islam merupakan pengalaman spiritual,
yang memberikan ruang bagi
kita untuk memahami diri kita,
dan untuk memahami hakikat
transendensi spiritual kita. Proses mental untuk memahami
diri inilah yang dinamakan dengan kesadaran diri. Kesadaran
diri adalah kriteria terbaik dari
kecerdasan spiritual, sebagai
sumber pertama untuk mengendalikan
diri, sekaligus
menjadi kekuatan intrinsik kita.
Dengan demikian, untuk
menjawab apakah ritual-ritual
dalam Islam tidak cukup kuat
dalam mengendalikan has rat
pemimpin-pemimpin Muslim
di Indonesia? Kita, mungkin,
hanya punyasatu asumsi: bahwa sedikit sekali dari kita yang
mencapai mutu ibadah yang seharusnya, dan lebih banyak lagi
yang hanya sebatas mengalami
ritual harian yang cenderung
kosong, tanpa bekas di diri kita.
Kita meminggirkan Tuhan
dan pengalaman ibadah kita,
justru ketika hal itu sangat dibutuhkan dalam mengelola dan
mengarahkan hubungan kita
dengan sesama manusia.
Dalam perspektif psikologi
transpersonal (yang berupaya
mengintegrasikan tradisi psikologi dengan kearifan perenial),
ritual-ritual keagamaan belum
menjadi
pengalaman spiritual,
,
yang membangkitkan, dan meningkatkan kesadaran diri kita
secara eksesif.
Kenyataan ini, seperti yang
ditegaskan Akbar S. Ahmed
(profesor Muslim di bidang Hubungan Internasional, American University di Washington
DC), mendesak umat Islam untuk menghadapi tantangan internal terbesar mereka: membangun kembali Islam yang
mengajarkan keadilan, kejujuran, toleransi, dan kegigihan
mencari pengetahuan. ***
-..-.---
I
Kliping
Humos
Unpod
2009-------
\
Penulis, peneliti Psikologi
Sosial dan Politik Pakultas Psikologi Universitas Padjadjaran
Bandung~..
J