Ingin Wanita Jadi Subjek Politik.

Pikiran
o Selasa
456
20

.

Mar

0

21

0

A,Jr

Rakyat
G

Rabu


0

Kamis

7
22

8
23

9

0

Mei OJun

10
24


o Sabtu

Jumat

12

11
25

13
27

26

0 Jul 0 Ags OSep

.

28
OOkt


Minggu
14
15

~

ONov

16
30

31

ODes

. Ev{e"'Arla'dl1e'ShTnta'i5ewi

Ingin Wan ita
Jadi Su~j~~ P~Ii~ik

~

~

-

-~-

-

,.

~- .- .,',

ERIYANTI/"PR"

EVIE Ariadne Shinta Dewi.

---


*

~

-

HAMPIR saban hari
media menuliskan pernyataanya, hampir setiap waktu radio menyebutkan namanya.
Tapi ia bukan calon legislatif (caleg) yang sedangjor-joran
mempromosikan diri untuk
dipilih para konstituen1Jya. Evie Ariadne
Shinta Dewi hanya seorang perempuan yang
mengaku "kadung"
nyebur dalam sistem
politik, dan kini sedang sibuk menyiapkan Pemilu 2009.

"Jadi, Kalau saya ada.di mana-~ana .; rang yang mendafta; ~e~jadi calon
d~~ ?awel ~engan pemllu, kemudlan
anggota KPU pastilah didukung organidmhs medl~ dan nye~a.r, kar~na m~sasi atau kelompok massa (ormas) termang kapasltasnya dl SItu," uJat EVle
tentu.

y~ng statu.s facebooknya selalu ramai
Hal ituterb~kti d;"ri berbagai'pertadltanggapl gara faceboo~~
nyaan sesama caIQnanggotaKPU
Masuk sistem
yang pada waktu itu mendaftar. "Saya
EREMPUAN kelahiran Ban. Keterlibatan Evie di KPU awalnya le- bin~ng saat ditany~ dari ormas madung 1April 1967, ditemui
blh untuk penelitian desertasi program
na, dldukung oleh Slapa. Lha wong
"PR" usai mengikuti rapat men- doktornya tentang Sistem Komunikasi
saya mendaftar untukkeperluan dedadak di Pemkot Bandung, padahal di- Politik Pemilu di Indonesia. Kebetulan, sertasi," ujar Evie yang akhirnya
rinya barn saja selesai mengajar di Jupromotornya adalah Prof. Kusnaka
mengaku dari Unpad.
rnsan Hubungan Masyarakat Fikom
Adimihardja. "Beliau menyarankan keMasuk ke ranah politik seperti itu,
Unpad Jatinangor, tempat dirinya ber- pada saya untuk masuk langsung ke
Evie mengaku mengalami "gegar bukarier.
dalam sistem politik yang ada," ujar
daya:' yan!?sangat luar biasa. Di kampus, ~aleblh banyak behtat dengan
"Waduh, maafMbakjadi telat begini. Evie.
Padahal kita sudah janjian sejak Senin

Berangkat dari situlah, Evie mulai
teori-teori, diskusi mah~siswa, dan
ya," ujar ibu tiga anak ini sambil memenimbang-nimbang sistem mana
hal-hal yang bersifat keilmuan. Tetapi
nepis tetesan hujan yang menempel di yang ~kan dimasukinya. "Kalau ke par~ ketika masuk ke ~ala.m~~stem politik
bajunya.
pol, tldak mungkin. Saya kan pegawai
secara langsung; la dlkepu~g banyak
_ J~rena_kesil.?ukan_(lim..p-o[>ul\!.ritas- negeri. Jadi calegjuga, kurang sreg. Sa- hal berbe~a'da? ~pa yang la bay~ngnya~Evie-menolak ka,\au-dmnya""Secara tu-satunyajalan untuk masuk ke dalam kan, mulal dan slstem, kultur, mzndsengaja mencoba ikon Komisi Pemilih- sistem itu, ya lewat KPU. Lembaga
set, sampai ke paradigma.
an Umum (KPU) Kota Bandung. Meyang saya pikir bisa lebih menerima saPenuh warna
nurnt dia, hal itu hanya kebetulan ka- ya yang independen," tuturnya.
rena memang jabatannya sebagai Ke':;
KeterlibatanEviedalam sistem poJustrn dari situlah, Evie mulai metua Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilitik, mungkin barn sekarang.Tetapi
ngukai "rimba" sistem komunikasi polih, Manajemen Informasi & Hubungdengan berlatarbelakang pendidikan
litik di Indonesia. Menurntnya, untuk
an Partisipasi Masyarakat KPU Kota
menjadi anggota KPU ternyata tidak
~Hubungan
.~ Internasiomil -(HI) Unpad

_~andung. _
independ.~p..Pada uffiumnya, seseo- ..

_=

P

.

.

----

Kliping

Hum as

Un pod

2009---


untuk gelar kesarjanaannya, Evie sudah mengenal dunia tersebut. Namun
bila merunut kembali bagaimana kehidupan Evie sebelum sekarang, bisa dibilang penuh warna.
. Saat remaja, Evie rajin menulis dan
berorganisasi. Beberapa tulisan dan
karya sastranya sering muncul di berbagai media, termasuk HU Pikiran
Rakyat. Menurut Evie, kegiatan menulis itu dijalaninya saat masih kuliah. la
pun sempat bergabungdengan Kelompok 10. Bahkan, Evie juga sempat
menjadi wartawan HU Gala.
Na1)1unkarena merasa tidak "tahan"
dengan tugas kewartawanan pada waktu itu, selulus dari HI Unpad tahun
1991 Evie berhentijadi wartawan. la
pindah ke Jakarta dan menjalani karier
di dunia perhotelan. la berpindah dari
satu ke hotel yang lain dan dalam kurun tiga tahun ia sudah berhasil mendudukijabatan ~bagai training manager di sebuah hd'fel dengan sistem manajemen Jepang.
Tahun 1994 Evie menikah dengan H.
Arrys Sudradjat, S.H. dan melepaskan
diri dari semua karier yang sudah dirintisnya. la menjadi ibu rumah tangga
dan mempunyai 3 orang anak. Nam1.Jn,
bukan Evie namanya kalau harus berhenti berkegiatan. Meski sebagai ibu

rumah tangga, ia kursus ini itu sampai
ASI terakhir si bungsu diberikan, ia
pun berkuliah lagi di UPI (Universitas
Pendidikan Indonesia).
"Waktu itu saya ambil manajemen
pendidik~n karena terobsesi ingin punya sekolaha yang baik untuk anak saya. Tapi kalau Allah SWT berkehendak
lain, manusia tidak bisa berbuat apaapa," ujar Evie yang setelah lulus ternyata malah diterima menjadi PNS di
jurusan Hubungan Masyarakat (Humas) Fikom Unpad. "Padahal, waktu
itu last minute banget dengan usia saya
yang sudah 35 tahun," ujarnya.
Di antara "pontang-pantingnya"
mengurus sosialisasipPemilu di KPU,
Evie masih mengajar minimal 14 SKS/
minggu, dan menghubungi dosen-dosen program S3 di Unpad JIn. Dago.
Tak mengherankan bila ia harus bolakbalik Bandung-Jatinangor.
"Kalau sudah begini, saya suka ber- .
tanya-tanya mengapa itu jalan tol tidak
dibuat nyaman untuk kaum perempuan. Padahal, kita harus bolak-balik saban hari dengan rahim yang diajrug-ajrug. Inilah yang menurut saya bentuk dari belumnya ada perhatian politik
yang benar \1nfuk perempuan," ujarnya m\ilai
menyinggung

persoalan
po-

litik perempuan.
Bukan subjek
Dalam sisfem politik di Indonesia,
perempuan menurut Evie, memang tida diposisikan sebagai subjek. Contohnya perempuan yang tergabung dalam
PKK. Dalam banyak kegiatan, mulai
dari membuat konsep hidup sehat, peningkatan gizi keluarga, cara-cara penimbangan, sampai manajemen dan
pengelolaan Puskemas semuanya dlIakukan oleh kaum perempuan yang
menjadi penggerak PKK. Namun pada
saat perempuan itu harus membuat keputusan, ia menyerahkan hal itu kepada pak RT, pak lurah, pak camat, atau
yang lainnya.
Ibu-ibu ini, menurut Evie, tidak
aware bahwa dirinya adalah subjek dalam sebuah sistem politik. Mereka hanya merasa sebagai subordinat seum~r
hidup. Tidak pernah terbangun sistem
yang komprehensif yang memosisikan
perempuan sebagai dirinya.
"Dalam kegiatan Posyandu itu, yang
inenjadi kreator message-nya kan mereka. Mereka yang membuat program,
menyampaikan pesan dari progran tersebut, mengevaluasinya. Tetapi kenapa
pada saat harus memutuskan sesuatu
harus minta persetujuan kepada pak
lurah atau pak camat? Inilah yang kita
sebut selalu menjadi sub ordinat," ujarnya.
Evie mengaku bukan
seorang feminis, tetapi sangat tidak tahan
kalau melihat perempuan tidak bisa
menjadi dirinya
sendiri. Padahal,
kata dia, pada saat
perempuan tidak
membuat keputusan,
sistem politikjalan
terus. "Karena perempuan-perempuan yang
bekerja ril di lapangan
tidak menyadari dengan
apa yang sudah
dilakukannya- terlepas
apakah dia
mau
menjadi
anggota legislatif

atau tidak -- maka kuota 20% perempuan itu diisilah oleh perempuan-perempuan yang justru tidak tahu persoalan di tingkat akar rumput," paparnya.
Lebih parahnya, perempuan-perempuan yang sudah menjadi anggota legislatif pun, cenderung memilih untuk
duduk di komisi yang berkenaan dengan kesejahteraan. "Kenapa tidak berani duduk di komisi pemerintahan
atau anggaran misalnya. Dengan begitu, kaum perempuan dapat memberl
perspektif keperempuanannya bagi penyelenggaraan pemerintahan," ujaranya.
Kendati begitu, Evie mengakui, sebagian besar perempuan memang belum
siap. Sementara, pendidikan politik perempuan juga tidak ada. Padahal, PKK
sebagai lembaga legal pemerintah sudah seharusnya memberikan pendidikan politik sederhana tentang kewarganegaraan (civic education)kepada:para
anggotanya. Sehingga kaum perempuan tahu apa yang kewajiban dan hakhaknya sebagai warga negara.
Untuk memberdayakan perempuan,
Evie menganjurkan isteri-isteri pejabat
harus well educated. Kalau jabatan
suaminya meningkat, isteri pejabat harus mau belajar. "Kalau leader sudah
educated dan salah satunya adalah
aware terhadap politik, di bawahnya
pasti mengikuti," ujarnya.
Hal penting lain menut:Ut
Evie, pemerintah harns
membuat sebuah sistem
dalam skala nasional
yang fokus pada perempuan. Perempuan tidak
sekadar dianggap sebagai penopang ekonomi
keluarga pada saat krisis, tetapi sebuah Isekuatan yang justru
dapat menggerakkan
ekonomi dalam skala
yang lebih makro.
(Eriyantij"PR")***