TRANSFORMASI RELIEF CANDI SIWA PRAMBANAN DALAM TARI PARAMASTRI KARYA PARANDITYA WINTARNI

TRANSFORMASI RELIEF CANDI SIWA PRAMBANAN DALAM TARI PARAMASTRI KARYA PARANDITYA WINTARNI

  Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia

  Oleh Indiartari Kussnowari

  034114006 PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

TRANSFORMASI RELIEF CANDI SIWA PRAMBANAN DALAM TARI PARAMASTRI KARYA PARANDITYA WINTARNI

  Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia

  Oleh Indiartari Kussnowari

  034114006 PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

  Kusediakan hati untuk seni Kusiapkan jiwa bagi budaya Kuhadirkan kasih untuk seni Kuserahkan cinta untuk budaya

  Kusampaikan kalbu untuk seni Kukirimkan nurani untuk budaya Jantungku untuk seni Detaknya untuk budaya

  Nadiku untuk seni Denyutnya bagi budaya Hidupku untuk seni Matiku untuk budaya

  (The Silent Love Nyanyian Hati Trie Utami) Cinta tak harus memiliki Tapi kalau bisa cinta itu dipertahankan Dicintai seseorang lebih berharga dan bahagia dari pada mencintai seseorang (NN)

   Kupersembahkan ini semua untuk Tuhanku yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya Ibuku tercinta yang telah melahirkanku…

maafkan aku belum sempat

membahagiakanmu

  Bapak, Mbak Andit, Aul Suami dan anakku Keluarga Besar Bagong Kussudiardja Keluarga Besar Hardjo Soedhono

Keluarga Besar PSBK, Kua Etnika, Gandrik

Dosen n temen2 Sasindo 2003 Thanks for your support I love U All

  

ABSTRAK

Kussnowari, Indiartari. 2008. Transformasi Relief Candi Siwa Prambanan

dalam Tari Paramastri Karya Paranditya Wintarni. Skripsi S1. Yogyakarta :

Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Satra,

Universitas Sanata Dharma.

  Tari merupakan ekspresi perasaan yang ada dalam diri manusia yang kemudian diimajinasikan dan diwujudkan melalui gerak. Seni tari mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan dalam kehidupan sebagai suatu hiburan, maupun sebagai bagian dari upacara keagamaan.

  Candi Prambanan yang terletak di desa Prambanan, Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, merupakan candi Hindu terbesar di Indonesia. Candi Prambanan memiliki 3 candi utama di halaman utama, yaitu Candi Wisnu, Brahma, dan Siwa. Di dalam Candi Siwa terdapat relief yang berjumlah 24 panel. Relief ini menceritakan kisah Ramayana. Tari Paramastri karya Paranditya Wintarni menjadikan relief Candi Siwa Prambanan sebagai sumber inspirasi. Transformasi tersebut terlihat pada bentuk-bentuk tariannya.

  Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Media komunikasi tari Paramastri adalah gerak. Oleh karena itu, peneliti juga mendeskripsikan gerakan tari Paramastri. Terdapat estetika yang berbeda antara relief candi Siwa Prambanan dan tari Paramastri. Relief candi Siwa Prambanan mempunyai estetika pada pahatan dan cerita relief Ramayananya, sedangkan tari Paramastri letak sisi estetikanya pada gerakan tariannya.

  Gerak tari Paramastri mentransformasi dari relief-relief yang terpahat di dinding Candi Siwa Prambanan. Gerak yang paling dominan dalam tarian ini adalah gerak tribhanga. Gerak tribhanga, merupakan pengembangan dari gerakan para penari khayangan yang terpahat pada relief dinding Candi Siwa Prambanan.

  Bagian dari tari Paramastri yang merupakan transformasi dari Candi Siwa Prambanan adalah pose duduk, pose berdiri, pola lantai dan busana. Penata tari mentransformasikan pose duduk dan berdiri dari sebagian relief Candi Siwa Prambanan. Sebagian pola lantai tari Paramastri ditransformasikan dari beberapa adegan atau cerita yang terdapat pada panel-panel Candi Siwa Prambanan.

  Sedangkan untuk busana atau kostum, penata tari mentransformasikan dari arca Siwa Mahadewa. Alasan penata busana justru mentransformasikan busana arca Siwa Mahadewa karena busana Siwa Mahadewa yang dianggap paling pas jika digunakan sebagai busana tari Paramastri, daripada busana para penari khayangan yang terpahat pada relief Candi Siwa Prambanan.

  

ABSTRACT

Kussnowari, Indiartari. 2008. The Transformation of Prambanan Siwa

Temples Reliefs in Paranditya Wintarni’s Dance. Skripsi S1. Yogyakarta :

Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra,

Sanata Dharma University.

  Dance is an expression of human’s emotions that are revealed and manifested into movements. It has a very important role in human’s life either as entertainment or as a significant part in religious ceremonies.

  Prambanan Temple which is located in the Prambanan village is the biggest Hindu temple in Indonesia. Prambanan Temple has 3 major temples in the main yard, namely Wisnu temple, Brahma temple, and Siwa temple. Siwa Temple consists of 24 reliefs panels that portray the story of Ramayana.

  This observation is use the description method. The communication media of Paramastri dance is movement. Therefore obeserver also describe the movement of Paramastri dance. There is a different esthetic between the relief of Siwa Prambanan Temple and Paramastri dance. Siwa Prambanan Temple’s relief has esthetic on its engraving and Ramayana’s relief story, while the Paramantri dance’s esthetic is on the dance movement it self.

  Paramastri Dance alters its movements from the reliefs engraved on the walls of Prambanan Siwa Temple. The most dominant movement in this dance is the tribhanga. This movement is a transformation of the heavenly dancers’ movement carved on The Prambanan Siwa Temple.

  Other parts of Paramastri Dance that were adapted from Prambanan’s Siwa Temple are the sitting pose, standing pose, and floor and clothing patterns. The choreographer altered the sitting and standing pose from some of the Prambanan’s Siwa Temple reliefs. Some of the floor patterns were manifested from several acts or stories on the Prambanan Siwa Temple panels. While for clothing and costume, the choreographer made transformations from Siwa Mahadewa statue. While for clothing and costume, the choreographer made transformations from Siwa Mahadewa statue that in artistic esthetic is fitted to use for Paramastri dance’s costume than the costume of heavenly dancers that carved on the Siwa Prambanan Temple’s relief.

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : INDIARTARI KUSSNOWARI Nomor Mahasiswa : 034114006

  Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

  

TRANSFORMASI RELIEF CANDI SIWA PRAMBANAN DALAM TARI

PARAMASTRI KARYA PARANDITYA WINTARNI

  beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan rolyati kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 22 April 2008 Yang menyatakan Indiartari Kussnowari

KATA PENGANTAR

  Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program sarjana pada Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  Penulis menyadari, selama persiapan, penyusunan hingga selesainya skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan berbagai pihak. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, jika ada kesalahan dalam penulisan maupun penyusunan skripsi ini, menjadi tanggung jawab penulis dan penulis mohon maaf. Untuk itu, dengan ketulusan dan kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

  1. Tuhan Yang Maha Esa 2. Ibu Dra. Tjandrasih Adji, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Drs.

  B. Rahmanto, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II. Terima kasih atas kesempatan, kritikan, kesabaran, dan waktunya dalam membimbing penulis hingga skripsi ini selesai.

  3. Pak Ari, Pak Yapi, Bu Peni, Pak Praptomo, Pak Hery matur nuwun atas ilmu yang diberikan kepada saya. Mohon maaf kalau selama kuliah saya sering bandel dan sering izin tidak masuk kuliah.

  4. Staf Sekretariat Sastra Indonesia, Perpustakaan, BAA, dan BUK Universitas Sanata Dharma terima kasih atas bantuannya selama saya kuliah, menyusun skripsi hingga lulus.

  5. Bapak Sutopo Tedjo Baskoro dan Mbak Paranditya Wintarni selaku narasumber, terima kasih atas waktu, kesempatan dan segala sesuatu informasi dan pelajaran yang diberikan kepada peneliti, maaf kalau sering merepotkan dan menggangu waktunya.

  6. Bapak, maafkan aku karena baru sekarang aku bisa menyelesaikan kuliahku.

  Mbak Andit, Agra n Aul terima kasih atas bantuan kalian. Maaf kalau aku selalu membuat kalian marah.

  7. Almarhumah Ibunda tercinta Ida Manutranggana. Maafkan sewaktu Ibu masih mendampingiku aku belum bisa membuat Ibu bahagia. Sekarang, aku sudah bisa menyelesaikan salah satu tugasku. Aku yakin Ibu selalu mendampingiku dan saat ini Ibu tersenyum bahagia di rumah Tuhan. Aku merindukan senyuman Ibu. Mahal Kita Mom.

  8. Suamiku Hendro Supadmo dan anakku tercinta akhirnya Bunda bisa menyelesaikan tugas Bunda. Terima kasih atas support kalian. Bunda sayang kalian.

  9. Keluarga Besar Bagong Kussudiardja terima kasih atas suport sewaktu aku merasa hilang, kosong, hampa, sendirian. Kalian selalu memberiku semangat untuk bangkit.

  10. Astri, Aik, Aning, Bekti, Bayu, Desi, Doan, Ditha, Firla, Icha, Jati, Rinto, Simpli, Tasya dan semua temen-temen Sasindo 2003; persahabatan dan rasa kekeluargaan kita tidak hanya sampai di sini terima kasih atas bantuan kalian selama ini. Aku akan merindukan saat-saat kita bersama.

  11. Aul, Agung, Siwo matur nuwun atas bantuannya mengumpulkan foto-foto yang ’menghiasi’ skripsi ini.

  12. Mbak Antis, Mbak Ninin, Mbak Wuri thanks supportnya. Terima kasih sudah mendengarkan semua keluh kesahku selama ini.

  13. Teman-teman PSBK, KUA Etnika, Teater Gandrik, Running Picture, terima kasih atas kerjasamanya selama ini.

  14. Temen-temen yang tidak dapat aku sebutkan satu persatu dan telah membantuku dari mencari, mengumpulkan data hingga skripsi ini selesai disusun.

  Tak lupa aku ucapkan terimakasih juga kepada semua pihak yang tidak dapat aku sebutkan satu persatu. Matur nuwun sanget.

  Yogyakarta tercinta

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL i

  HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI iii HALAMAN MOTO iv

  HALAMAN PERSEMBAHAN v

  ABSTRAK vi

  

ABSTRACT vii

  PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI viii KATA PENGANTAR ix

  PERNYATAAN KEASLIAN KARYA xi DAFTAR ISI xii

  DAFTAR ISTILAH xvi

  DAFTAR GAMBAR xviii

  DAFTAR TABEL xxi

BAB I PENDAHULUAN

  1.2 Rumusan Masalah

  1.6.1 Relief Candi Siwa Prambanan

  1.1 Latar Belakang

  11

  1.7.2 Metode Pengumpulan Data

  11

  1.7.1 Metode Deskriptif

  11

  1.7 Metode Penelitian

  10

  1.6.2 Paramastri

  8

  8

  5

  1.6 Batasan Istilah

  6

  1.5 Landasan Teori

  6

  1.4.2 Manfaat Teoritis

  1

  1.4.1 Manfaat Praktis

  6

  1.4 Manfaat Penelitian

  5

  1.3 Tujuan Penelitian

  6

  1.7.2.2 Wawancara

  12

  17.2.3 Dokumentasi

  13

  1.8 Sistematika Penyajian

  14 BAB II DESKRIPSI RELIEF CANDI SIWA PRAMBANAN DAN

TARI PARAMASTRI

  15

  18

  2.1.13 Panel

  13

  28

  2.1.14 Panel

  14

  31

  2.1.15 Panel 15

  31

  2.1.16 Panel

  16

  32

  2.1.17 Panel 17

  33

  2.1.18 Panel

  34

  12

  38

  39

  23

  2.1.23 Panel

  39

  22

  2.1.22 Panel

  21

  2.1.19 Panel

  2.1.21 Panel

  36

  20

  2.1.20 Panel

  35

  19

  26

  2.1.12 Panel

  2.1 Deskripsi Relief Candi Siwa Prambanan

  5

  15

  2.1.1 Panel

  1

  17

  2.1.2 Panel

  2

  18

  2.1.3 Panel

  3

  19

  2.1.4 Panel

  4

  19

  2.1.5 Panel

  20

  25

  2.1.9 Panel

  2.1.11 Panel 11

  Pengantar

  10

  2.1.10 Panel

  24

  9

  23

  2.1.6 Panel 6

  8

  2.1.8 Panel

  22

  7

  2.1.7 Panel

  21

  25

  2.2 Deskripsi Tari Paramastri

  40

  2.2.1 Awal Tarian

  41

  2.2.2 Tengah Tarian

  42

  2.2.3 Akhir Tarian

  50 BAB III TRANSFORMASI RELIEF CANDI SIWA PRAMBANAN

  DALAM TARI PARAMASTRI

  Pengantar

  53

  3.1 Transformasi Relief Candi Siwa Prambanan dalam Pose Tari Paramastri

  53

  54

  3.1.1 Pose Duduk

  55

  3.1.1.1 Pose Duduk yang Digunakan

  56

  3.1.1.2 Pose Duduk yang Tidak Digunakan

  56

  3.1.1.3 Pose Duduk yang Ditambahkan

  58

  3.1.2 Pose Berdiri

  58

  3.1.2.1 Pose Berdiri yang Digunakan

  61

  3.1.2.2 Pose Berdiri yang Tidak Digunakan

  63

  3.1.2.3 Pose Berdiri yang Ditambahkan

  63

  3.1.3 Pose lain yang Digunakan

  3.2 Transformasi Relief Candi Siwa Prambanan dalam Pola Lantai Tari Paramastri

  65

  66

  3.2.1 Pola Lantai yang Sesuai dengan Panel 1 Pilahan 1

  66

  3.2.2 Pola Lantai yang Sesuai dengan Panel 7 Adegan 1

  3.2.3 Pola Lantai yang Sesuai dengan Panel 19 Adegan 2 Pilahan 1

  68

  3.2.4 Pola Lantai yang Sesuai dengan Panel 20 Adegan 1 Pilahan 1

  68

  3.3 Transformasi Relief Candi Siwa Prambanan dalam Busana Tari Paramastri

  70 BAB IV PENUTUP

  4.2 Saran

  75 DAFTAR PUSTAKA

  76 BIOGRAFI PENULIS

  78

DAFTAR ISTILAH

  • Aksamala : tasbih yang terbuat dari untaian manik-manik.
  • Ardhacandrakapala : hiasan mahkota yang berupa tengkorak dan bulan sabit.
  • Balustrade : pagar yang terdapat pada candi.
  • Camara : kelut.
  • Impang Encot : pola gerakan dengan rentangan lengan ke samping kiri dan kanan simetris dengan level sedang, lengan kiri sedikit agak ditekuk. Gerakan kaki merendah dan naik seperti ditarik. Gerakan ini memberikan kesan halus dan tidak banyak tingkah.
  • Impang Ngewer Udhet : pola gerakan dengan rentangan lengan ke samping kiri dan kanan simetris dengan level sedang, lengan kiri sedikit agak ditekuk. Gerak badan lebih bervariasi.
  • Jamang lamba : hiasan kepala yang hanya satu lapis.
  • Jatamalakuta : mahkota yang menggambarkan keabsolutan (mutlak).
  • Kalamakara : kepala raksasa yang lidahnya berwujud sepasang mitologi.
  • Kelat bahu : gelang yang di pakai di lengan tangan.
  • Kinari kinari : makhluk bertubuh burung berkepala manusia.
  • Langkan : serambi tempat meninjau.
  • Mekak : penutup dada, busana tari semacam strapless bagi penari puteri.
  • Nggrudha : pola gerak dasar untuk tari puteri. Pola gerak ini berbentuk tekukan lengan bawah ke depan yang simetris dengan level rendah seperti sayap burung

  : bentuk tangan pertama. Keempat jari berdiri

  • Ngruji sedangkan ibu jari ditekuk ke dalam. bagian dari permukaan dinding yang berupa papan
  • Panel : tipis, biasanya berbentuk persegi panjang.

  : tiang atau pilar semu yang berbentuk empat

  • Pilaster persegi panjang yang menjorok ke luar dari tembok.

  : berjalan searah jarum jam.

  • Pradaksina selendang.
  • Sampur : tanda kedewaan.
  • Sirascakara : hiasan telinga.
  • Sumping :

  : 3 Dewa dalam kepercayaan Hindu yaitu Dewa

  • Trimurti Wisnu, Dewa Brahma dan Dewa Siwa. Secara harafiah, Trimurti berarti badan tiga. Trimurti menggambarkan 3 sifat kekuasaan kedewaan yaitu pencipta (Dewa Brahma), pemelihara (Dewa Wisnu), dan perusak (Dewa Siwa).

  : puncak tertinggi pada candi.

  • Ratna ikat pinggang.
  • Uncal : : mata ketiga yang terletak di dahi.
  • Urna : salah satu ragam tari Yogya Klasik yang
  • Usap Rawis menggambarkan sedang mengusap wajah.

  DAFTAR GAMBAR

  • Gambar 1 : Panel 1
  • Gambar 2 : Panel 2
  • Gambar 3 : Panel 3
  • Gambar 4 : Panel 4
  • Gambar 5 : Panel 5
  • Gambar 6 : Panel 6
  • Gambar 7 : Panel 7
  • Gambar 8 : Panel 8
  • Gambar 9 : Panel 9
  • Gambar 10 : Panel 10
  • Gambar 11 : Panel 11
  • Gambar 12 : Panel 12
  • Gambar 13 : Panel 13
  • Gambar 14 : Panel 14
  • Gambar 15 : Panel 15
  • Gambar 16 : Panel 16
  • Gambar 17 : Panel 17
  • Gambar 18 : Panel 18
  • Gambar 19 : Panel 19
  • Gambar 20 : Panel 20
  • Gambar 21 : Panel 21
  • Gambar 22 : Panel 22
  • Gambar 23 : Panel 23
  • Gambar 24 : Panel 24
  • Gambar 25 : Beberapa pose penari yang berada di tengah panggung
  • Gambar 25a : Pose berdiri dengan tangan ke atas
  • Gambar 25b : Pose berdiri dengan tangan terbuka

  • Gambar 27 : Pose yang digunakan para penari sebelum bepindah pola lantai
  • Gambar 28 : Pose 2 penari yang berada di depan kiri panggung
  • Gambar 29 : Pose-pose yang digunakan oleh 5 penari yang berada di tengah panggung
  • Gambar 29a : Pose penari dengan tangan tertutup di atas
  • Gambar 29b : Pose penari dengan tangan terbuka
  • Gambar 29c : Pose penari dengan 1 tangan terbuka
  • Gambar 29d : Pose penari dengan tangan tertutup di bawah
  • Gambar 30 : Gerakan sembahan yang dikreasikan dengan bentuk tribhanga
  • Gambar 31 : Hasil dari gerak nggrudha yang ditransformasikan dalam bentuk tribhanga
  • Gambar 32 : Impang, salah satu ragam gerak Yogya Klasik yang digunakan dalam tari Paramastri • Gambar 33 : Pose duduk yang terdapat dalam relief Candi Siwa Prambanan.

  Terdapat pada panel 7 tokoh Rama yang sedang dinobatkan menjadi Raja

  • Gambar 34 : Pola lantai 3 penari duduk, 4 penari berdiri
  • Gambar 35 : Ragam usap rawis yang digunakan dalam tari Paramastri • Gambar 36 : Pola lantai ingkaran dengan posisi duduk
  • Gambar 37 : 1 penari keluar dari lingkaran
  • Gambar 38 : Salah satu motif nggrudha yang dimodifikasikan dalam bentuk tribhanga
  • Gambar 39 : 1 penari berada di sudut belakang panggung
  • Gambar 40 : Keenam penari melingkari 1 orang penari
  • Gambar 41 : Pola lantai saat 3 penari berdiri dan 4 penari lainnya duduk
  • Gambar 42 : Pose terakhir dalam tari Paramastri • Gambar 43 : Beberapa pose duduk dalam tari Paramastri • Gambar 44 : Pose duduk yang terdapat pada relief Candi Siwa Prambanan • Gambar 45 : Pose duduk yang sudah ditransformasikan
  • Gambar 47 : Pose duduk yang ditambahkan dalam tari Paramastri • Gambar 48 : Pose berdiri yang terdapat pada Candi Siwa Prambanan • Gambar 49 : Pose berdiri yang sudah ditransformasikan
  • Gambar 50 : Pose berdiri yang terdapat pada Candi Siwa Prambanan • Gambar 51 : Pose berdiri yang sudah ditransformasikan
  • Gambar 52 : Pose berdiri yang terdapat pada Candi Siwa Prambanan • Gambar 53 : Pose berdiri yang sudah ditransformasikan
  • Gambar 54 : Pose berdiri yang terdapat pada relief Candi Siwa Prambanan yang tidak digunakan dalam tari Paramastri • Gambar 55 : Pose berdiri yang ditambahkan dalam tari Paramastri • Gambar 56 : Beberapa pose dalam tari Paramastri yang menggunakan pengembangan bentuk tangan, kaki, dan posisi badan
  • Gambar 57 : 1 penari berada di sudut belakang panggung
  • Gambar 58 : Keenam penari melingkari 1 orang penari
  • Gambar 59 : Pola lantai 3 penari duduk, 4 penari berdiri
  • Gambar 60 : Pola lantai garis lurus
  • Gambar 61 : Detail busana tari Paramastri • Gambar 62 : Detail busana Arca Siwa Mahadewa

  : Perbedaan busana arca Siwa Mahadewa dan penari Paramastri

  

DAFTAR TABEL

  • Tabel 1 : Perbandingan pola lantai tari Paramastri dengan cerita yang terdapat pada panel 1 pilahan 1
  • Tabel 2 : Perbandingan pola lantai tari Paramastri dengan cerita yang terdapat pada panel 7 adeg
  • Tabel 3 : Perbandingan pola lantai tari Paramastri dengan cerita yang terdapat pada panel 19 adegan 2 pilahan 1
  • Tabel 4 : Perbandingan pola lantai tari Paramastri dengan cerita yang terdapat panel 20 adegan 1 pilahan 1
  • Tabel 5

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Bangsa Indonesia mempunyai keanekaragaman budaya yang selalu dikagumi oleh masyarakat mancanegara. Kekayaan budaya yang dimiliki serta adat istiadat yang beranekaragam itu sudah selayaknya kita junjung tinggi dan kita hargai. Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia ialah seni tari.

  Tari sebagai suatu karya seni merupakan suatu ekspresi perasaan yang ada dalam diri manusia yang kemudian diubah oleh imajinasi untuk diwujudkan melalui media gerak. Tari merupakan sarana ekspresi manusia yang paling mendasar dan paling tua. Semua perasaan dan pikiran yang ada dapat dicurahkan dan diekspresikan melalui gerak tari. Selama manusia memiliki tubuh dan bisa menggerakkannya, baik sebagai aktivitas gerak spontan maupun aktivitas gerak visidental maka menari menjadi salah satu cara aktualisasi emosi seseorang yang berkaitan dengan aspek-aspek lain kehidupannya, salah satunya adalah komunikasi (Murgiyanto, 1977 : 2). Seni tari mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan sebagai suatu hiburan, maupun sebagai bagian dari upacara keagamaan. Dalam upacara keagamaan, sebuah tarian waktu dipentaskan akan mengandung kekuatan, yang menimbulkan kenikmatan (Murgiyanto, 1977 : 3).

  Dengan demikian, tari merupakan suatu ungkapan, pernyataan dan ekspresi yang mendalam dari penata tari. Selain itu dapat dikatakan bahwa tari bersifat individual dan sosial, seperti yang dijelaskan oleh Soedarsono (1972 : 6) bahwa tari bersifat individual, dan tari bersifat sosial karena gerak-gerak ritmis yang indah itu merupakan alat komunikasi untuk menyampaikan ekspresi jiwa kepada orang atau pihak lain.

  Bangsa mana pun di dunia ini mempunyai tarian. Pada umumnya setiap bangsa memiliki tiga jenis tarian, yaitu tarian klasik (classical dance), tarian rakyat (folklore dance), dan tarian popular (popular dance). Tarian klasik merupakan tarian yang indah dan berkaitan dengan dunia ilahi, dunia dewa-dewa, keraton dan sebagainya. Tarian rakyat merefleksikan kebudayaan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan tarian popular adalah tarian yang sering dipentaskan secara massal dan meliputi berbagai kelompok (Soedarsono, 1997 : 360).

  Candi Prambanan adalah candi Hindu terbesar di Indonesia, dan terletak di pulau Jawa, kurang lebih 29 km timur Yogyakarta, 40 km barat Surakarta dan 120 km selatan Semarang, persis di perbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi Prambanan terletak di desa Prambanan yang wilayahnya dibagi antara kabupaten Sleman dan Klaten (Prasetya, 2003 : 16).

  Menurut Hariyani Sitohang dalam website www.wisatanet.com/ candiprambanan.htm, candi ini dibangun sekitar tahun 850 Masehi. Tidak lama setelah dibangun, candi ini ditinggalkan dan mulai rusak. Renovasi candi ini dimulai pada tahun 1918, dan sampai sekarang belum selesai. Bangunan utama baru diselesaikan pada tahun 1953. Banyak bagian candi yang direnovasi menggunakan batu baru, karena batu-batu asli banyak dicuri atau dipakai ulang di tempat lain. Candi Prambanan adalah sebuah situs warisan dunia yang dilindungi oleh UNESCO mulai tahun 1991. Hal ini berarti bahwa kompleks ini terlindung dan memiliki status istimewa.

  Candi Prambanan memiliki 3 (tiga) candi utama di halaman utama, yaitu Candi Wisnu, Brahma, dan Siwa. Ketiga candi tersebut adalah lambang Trimurti dalam kepercayaan Hindu. Ketiga candi itu menghadap ke timur. Setiap candi utama memiliki satu candi pendamping yang menghadap ke barat, yaitu Nandini untuk Siwa, Angsa untuk Brahma, dan Garuda untuk Wisnu. Selain itu, masih terdapat 2 (dua) candi apit, 4 (empat) candi kelir, dan 4 (empat) candi sudut. Sementara, pada halaman kedua memiliki 224 candi. Hal ini dikemukakan oleh Yunanto Wiji Utomo dalam website www.yogjes.com /prambanan.htm.

  Memasuki Candi Siwa yang terletak di tengah dan bangunannya paling tinggi, kita akan melihat ada 4 (empat) buah ruangan. 1 (satu) ruangan utama berisi arca Siwa, sementara 3 (tiga) ruangan yang lain masing-masing berisi arca Durga (istri Siwa), Agastya (guru Siwa), dan Ganesha (putra Siwa). Arca Durga itulah yang disebut-sebut sebagai arca Roro Jonggrang dalam legenda Roro Jonggrang (Utomo, 2006 via www.yogjes.com /prambanan.htm).

  Candi Prambanan atau lebih dikenal dengan sebutan Candi Rara Jonggrang, merupakan salah satu warisan budaya nenek moyang bangsa Indonesia yang bernilai tinggi di dunia internasional, lebih-lebih Candi Prambanan sudah lama dikenal oleh bangsa lain, sehingga banyak mengundang wisatawan mancanegara untuk melihat lebih dekat. Mereka ingin melihat bentuk bangunan kuno yang memiliki nilai artistik tinggi. Mereka juga mengagumi relief dan ornamen-ornamen yang dipahatkan pada kaki, tubuh, atap dan pagar langkan Candi Prambanan (Prasetya, 2003 : 15)

  Budaya adalah aktivitas cipta, rasa dan karsa manusia dalam masyarakat (Soekanto, 1982 : 167). Karena budaya merupakan suatu aktivitas, maka mudah sekali melakukan dinamika perubahan. Budaya merupakan suatu hal yang hidup dan mempunyai dinamikanya sendiri. Salah satu dinamika budaya adalah transformasi (Kayam, 1989 : 256).

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1976 : 1089), transformasi adalah perubahan rupa, bentuk, sifat. Dalam tari Paramastri, transformasi yang digunakan adalah transformasi bentuk atau perubahan bentuk. Transformasi merupakan fenomena budaya yang sarat akan konflik. Konflik yang terjadi yaitu konflik tradisi dan modernisasi atau pertentangan generasi tua dan generasi muda. Generasi tua cenderung mempertahankan budaya yang lebih lama berjalan, sedangkan generasi muda cenderung mencari nilai-nilai baru yang lebih relevan dan mempunyai keinginan untuk melestarikan warisan budaya bukan dengan menjalani kehidupan masa lalu, namun dengan mengadopsi nilai-nilai budaya yang relevan dengan kondisi sekarang (Cahyono, 2006 : 89).

  Tari Paramastri tidak luput dari konflik yang terjadi antara generasi tua dan generasi muda. Tari Paramastri diciptakan oleh Paranditya Wintarni pada tahun 2003. Paranditya Wintarni merupakan salah satu koreografer muda perempuan yang lahir pada tanggal 12 April 1980. Andit -biasa ia disapa- adalah cucu sulung seniman Bagong Kussudiarja dan putri pertama koreografer wanita Ida Manutranggana.

  Tari ini diikutsertakan dalam Parade Tari Daerah tahun 2003 di Taman Mini Indonesia Indah mewakili Daerah Istimewa Yogyakarta. Tarian ini berhasil mendapatkan beberapa penghargaan antara lain Juara Umum, Penampilan Terbaik, Penata Tari Terbaik, Penata Musik Terbaik, dan Penata Rias Busana Unggulan. Sebagian besar gerak tari yang terdapat dalam tari Paramastri diambil dari relief-relief Candi Prambanan khususnya Candi Siwa. Gerak-gerak yang paling dominan dalam tarian ini adalah gerak tribhanga. Gerak-gerak tribhanga ini merupakan pengembangan dari gerakan para penari khayangan yang terpahat pada dinding Candi Siwa. Keunikan ide tarian yang mentransformasikan relief Candi Siwa Prambanan, membuat peneliti tertarik untuk membahasnya lebih jauh.

  1.2 Rumusan Masalah

  Bagaimana relief Candi Siwa Prambanan ditransformasikan dalam tari Paramastri karya Paranditya Wintarni.

  1.3 Tujuan Penelitian

  1.3.1 Mendeskripsikan relief Ramayana pada Candi Siwa Prambanan dan tari Paramastri.

  1.3.2 Mendeskripsikan transformasi relief Candi Siwa Prambanan dalam tari Paramastri karya Paranditya Wintarni.

  1.4 Manfaat Penelitian

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peneliti maupun bagi orang lain yang berkecimpung dalam bidang budaya Jawa. Manfaat penelitian tersebut meliputi dua hal yaitu manfaat praktik dan manfaat teoritis.

  1.4.1 Manfaat Praktis

  1.4.1.1 Bagi dunia pendidikan, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang Candi Prambanan dan seni tari.

  1.4.1.2 Bagi penggemar seni tari penelitian ini dapat membantu memahami bagaimana relief candi itu dapat ditransformasikan dalam sebuah tarian.

  1.4.2 Manfaat Teoritis

  1.4.2.1 Penelitian ini bermanfaat sebagai pengembangan ilmu kebudayaan bahwa dari sebuah relief candi dapat dikembangkan menjadi sebuah tarian.

  1.4.2.2 Penelitian ini dapat sebagai acuan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan transformasi, khususnya penelitian tentang transformasi relief candi dalam sebuah tarian.

  1.5 Landasan Teori

  Transformasi adalah suatu proses pengalihan dari suatu bentuk ke sosok baru yang akan mapan. Transformasi diandaikan sebagai tahap akhir dari suatu proses perubahan (Kayam, 1989 : 256). Transformasi dapat berlangsung cepat atau lambat. Cepat lambatnya proses transformasi tergantung pada kondisi dinamika masyarakat yang bersangkutan.

  Makna kunci untuk istilah transformasi adalah perubahan, yaitu perubahan terhadap suatu hal atau keadaan. Jika suatu hal atau keadaan itu adalah budaya, maka budaya itulah yang mengalami perubahan. Perubahan terjadi jika budaya itu muncul dalam kondisi atau lingkungan yang berbeda atau lain. Dalam pemunculannya pada kondisi dan lingkungan yang berbeda itulah, budaya mengalami perubahan (Nurgiyantoro, 1998 : 18). Budaya lama mulai ditinggalkan dan budaya baru mulai dimasuki.

  Persoalan transformasi budaya merupakan salah satu hal yang menjadi persoalan zaman. Mochtar Lubis (1985 : vii) mengemukakan bahwa bila kita sebagai suatu bangsa sungguh-sungguh hendak melangkah menuju modernisasi masyarakat, maka budaya kita perlu mengalami proses transformasi.

  Transformasi budaya yang perlu dilakukan adalah penyesuaian dan perubahan sikap dalam rangka menghadapi tantangan zaman. Dengan transformasi budaya, dimaksudkan perubahan dari sistem nilai, pola pikir, pola tingkah laku, dan adat kebiasaan yang selama ini berlaku tetapi sudah usang atau malah menjadi kendala bagi kemajuan ke sistem nilai, pola pikir, pola tingkah laku, dan adat kebiasaan yang dituntut dan menunjang kemajuan (Sudarminta, 1990 : 31).

  Transformasi merupakan usaha membebaskan diri dari pola budaya yang lama ke pola budaya baru yang lebih maju (Lubis, 1985 : 33). Hendak dicapai melalui budaya yang telah tertransformasikan tersebut. Proses transformasi selalu menghasilkan unsur-unsur baru, baik dari aspek gaya, rasa maupun maknanya, walaupun pada tingkat perubahan yang tidak sama (Sumaryono, 2003 : 96).

  Hakikat transformasi sebenarnya adalah perubahan, sedang perubahan menumbuhkan adanya kebaruan. Konteks perubahan semacam ini oleh Edi Sedyawati dikatakan bahwa perubahan adalah pertanda kehidupan, adalah suatu kebenaran yang telah mendasari sejarah. Hanya saja, derajat dari perubahan- perubahan selalu berbeda, demikian juga laju perubahan tidak selalu dan tidak perlu sama dalam segala sektor kehidupan. Adapun yang menjadi peletup perubahan adalah perubahan gagasan dasar (Sumaryono, 2003 : 100). Dapat disimpulkan bahwa transformasi merupakan masalah penting dalam kajian budaya. Dalam penelitian ini, transformasi digunakan sebagai ide dasar pengembangan relief Candi Siwa Prambanan dalam sebuah tarian.

1.6 Batasan Istilah

  1.6.1 Relief Candi Siwa Prambanan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1976 : 149) candi adalah bangunan kuno yang terbuat dari batu (sebagai tempat pemujaan, penyimpanan abu-abu jenazah atau pendeta-pendeta Hindu atau Budha pada zaman dulu). Sedangkan relief dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1976 : 739) mempunyai 2 (dua) arti yaitu (1) pahatan yang menampilkan perbedaan bentuk dan gambar dari permukaan rata di sekitarnya, (2) gambar timbul (pada candi dan sebagainya).

  Relief sebenarnya merupakan bagian dari arsitektur yang pada umumnya dipahat pada bidang atau dinding bangunan. Relief ada 2 (dua) macam, yaitu relief sebagai penghias dan relief yang memuat cerita sesuai dengan sifat agama candi yang dihiasinya. Relief dengan cerita ini merupakan pengungkapan dari naskah kesusasteraan baik yang berasal dari India maupun yang bersumber dari cerita Indonesia asli (Kusnadi, 1979 : 56).

  Yunanto Wiji Utomo, dalam website www.yogjes.com/ prambanan.htm, mengatakan bahwa Prambanan memiliki relief candi yang memuat kisah Ramayana. Menurut para ahli, relief itu mirip dengan cerita Ramayana yang diturunkan lewat tradisi lisan. Relief lain yang menarik adalah pohon Kalpataru yang dalam agama Hindu dianggap sebagai pohon kehidupan, kelestarian dan keserasian lingkungan. Di Prambanan, relief pohon Kalpataru digambarkan tengah mengapit singa. Keberadaan pohon ini membuat para ahli menganggap bahwa masyarakat abad ke-9 (sembilan) memiliki kearifan dalam mengelola lingkungannya.

  Candi Prambanan yang ramping dengan gaya arsitektur yang indah mempunyai tiga bagian candi utama pada halaman pusat, yaitu Candi Brahma dan Wisnu dengan Candi Siwa sebagai induknya (Prasetyo, 2003 : 45). Tiga candi tersebut menggambarkan tokoh Dewa Hindu yang utama yaitu Trimurti yang secara harafiah berarti mempunyai badan tiga. Trimurti bermakna menggambarkan tiga sifat kekuasaan kedewaan yaitu pencipta, pemelihara dan perusak. Tokoh pencipta diwujudkan dengan Dewa Brahma, tokoh pemelihara diwujudkan dalam bentuk Dewa Wisnu dan sebagai dewa perusak diwujudkan dengan Dewa Siwa (Prasetyo, 2003 : 45).

  Dalam Candi Siwa terdapat relief-relief yang berjumlah 24 panel. Relief ini menceritakan tentang kisah Ramayana. Dalam penelitian ini, peneliti akan mendeskripsikan cerita Ramayana yang terdapat pada relief Candi Siwa karena bentuk-bentuk yang terdapat pada relief tersebut telah ditransformasikan oleh seorang koreografer muda dalam sebuah tarian.

  1.6.2 Paramastri Menurut Kamus Kawi – Jawa, Paramastri berarti widadari atau dalam bahasa Indonesia bidadari (Ranggawarsita, 2003 : 205). Tari

  Paramastri merupakan sebuah garapan baru yang bersumber dari gerak- gerak tari tradisi Yogyakarta yang kemudian dikembangkan untuk menggambarkan dan mengekspresikan sekelompok penari khayangan yang sedang menari yang ada pada relief dinding luar balustrade Candi Siwa di Candi Prambanan.

  Tari Paramastri ditarikan oleh 7 (tujuh) orang penari putri yang berbusana seperti relief candi. Sebagian gerak tari ini merupakan pengembangan dari gerak para penari khayangan yang terdapat pada dinding Candi Siwa. Paranditya Wintarni sebagai penata tari mencoba mencari ide gagasan baru untuk mengembangkan gerak para penari yang terpahat pada dinding Candi Siwa Prambanan tersebut dalam karya perdananya. Ide yang diangkat oleh penata tari akhirnya dapat diterima para pencinta seni tari dengan berhasilnya merebut beberapa penghargaan, bahkan berhasil menjadi penyaji terbaik dan juara umum dalam rangka Parade Tari Daerah tahun 2003 di Taman Mini Indonesia Indah.

1.7 Metode Penelitian

  1.7.1 Metode Deskriptif Metode deskriptif menurut Nawawi (1990 : 73) adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya untuk memberikan bobot yang lebih tinggi pada metode ini, maka fakta-fakta yang ditemukan harus diberi arti. Fakta atau data yang terkumpul harus diolah dan ditafsirkan. Dengan kata lain, metode ini tak terbatas sampai pada mengumpulkan data dan menyusun data, namun juga meliputi analisis mengenai arti data itu.

  Dalam penelitian ini, peneliti mencoba mendeskripsikan atau menjelaskan mengenai transformasi relief candi ke dalam gerak tari.

  1.7.2 Metode Pengumpulan Data Metode-metode yang dipergunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1.7.2.1 Kepustakaan

  Metode kepustakaan adalah metode mencari data mengenai hal-hal yang variable yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, rapat dan sebagainya (Arikunto, 1993 : 234). Metode kepustakaan dipergunakan untuk mendapatkan data yang konkret. Pelaksanaan metode ini adalah menelaah pustaka yang ada kaitannya dengan objek penelitian yaitu tentang transformasi. Peneliti mengumpulkan data dari berbagai buku yang berkaitan.

1.7.2.2 Wawancara

  Wawancara adalah suatu proses tanya-jawab lisan, yaitu dua orang atau lebih berhadapan secara fisik, yang satu dapat melihat muka yang lain. Metode ini merupakan pengumpulan informasi langsung tentang beberapa jenis data sosial, baik yang terendam (latent) maupun yang memanifes (Hadi, 1979 : 192).

  Wawancara menuntut peneliti untuk mampu bertanya sebanyak- banyaknya dengan perolehan jenis data tertentu sehingga diperoleh data atau informasi yang rinci (Hamidi, 2004 : 72). Dengan metode ini, diharapkan akan tergali semua informasi yang dibutuhkan. Metode wawancara atau metode intervieuw mencakup cara yang dipergunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan dengan seorang responden, dengan cara bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang tersebut. Wawancara dalam suatu penelitian bertujuan menyampaikan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat (Paul via Koentjaraningrat, 1981 : 129).

  Menurut Hamidi (2004 : 71), peneliti dituntut agar membuat responden lebih terbuka dan leluasa dalam memberikan informasi atau data yang berguna untuk mengemukakan pengetahuan dan pengalamannya terutama yang berkaitan dengan informasi sebagai jawaban terhadap permasalahan penelitian sehingga terjadi semacam diskusi, obrolan santai, dan spontanitas (alamiah) dengan subjek penelitian sehingga pemecahan masalah dan penelitian sebagai pemancing timbulnya permasalahan agar muncul wacana yang detail. Di sini, wawancara diharapkan berjalan secara lancar tidak terstruktur (terbuka, bicara apa saja) dalam garis besar yang terstruktur (mengarah menjawab permasalahan penelitian).

  Wawancara dilakukan dengan cara mewawancarai narasumber yang dianggap mampu memberikan penjelasan tentang transformasi relief Candi Siwa Prambanan ke dalam tari Paramastri. Narasumber yang akan memberikan penjelasan ini adalah : (1) Paranditya Wintarni, koreografer tari Paramastri, (2) Sutopo Tedjo Baskoro, koreografer senior.

1.7.2.3 Dokumentasi

  Dokumen ialah setiap bahan yang tertulis maupun film, yang tidak dipersiapkan karena adanya permintaan seorang peneliti. Dokumen sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data (Moleong, 1989 : 176).

  Metode dokumentasi merupakan informasi yang berasal dari catatan penting baik dari suatu lembaga atau organisasi maupun perseorangan, baik berupa lisan maupun tulisan. Metode ini dilakukan dengan melakukan wawancara secara mendalam, menggali informasi atau data sebanyak- banyaknya dari responden atau informan agar peneliti memperoleh informasi yang detail (Hamidi, 2004 : 72-78).

  Dokumen dipergunakan untuk keperluan penelitian, karena merupakan sumber yang stabil, kaya, mendorong dan dapat sebagai 'bukti' untuk suatu pengujian (Moleong, 1989 : 177).

  Peneliti menggunakan alat perekam untuk mendapatkan informasi dalam bentuk lisan, pencatatan juga digunakan untuk melengkapai data yang sudah ada. Selain itu, untuk mendapatkan informasi tentang objek penelitian, maka menggunakan dalam bentuk foto.

  Foto menghasilkan data deskripstif yang cukup berharga dan sering digunakan untuk menelaah segi-segi subjektif dan hasilnya sering dianalisis secara induktif. Ada 2 (dua) kategori foto yang dapat dimanfaatkan dalam penelitian, yaitu foto yang dihasilkan orang dan foto yang dihasilkan oleh peneliti sendiri (Moleong, 1989 : 125).

1.8 Sistematika Penyajian

  Sistematika penyajian hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

  Bab I merupakan pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, batasan istilah, metode penelitian serta sistematika penyajian. Bab II merupakan Deskripsi Relief Candi Siwa Prambanan dan Tari Paramastri. Bab III merupakan Pembahasan Transformasi Relief Candi Siwa Prambanan dalam Tari Paramastri. Bab IV merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari bab III dan saran dari penulis.

  

BAB II

DESKRIPSI RELIEF CANDI SIWA PRAMBANAN

DAN TARI PARAMASTRI

Pengantar Sesuai dengan judul pada bab II ini, “Deskripsi Relief Candi Siwa Prambanan dan Tari Paramastri”, akan dideskripsikan relief Candi Siwa Prambanan dan Tari Paramastri. Bab ini terbagi atas 2 (dua) bagian, pertama akan

  dibahas tentang deskripsi Relief Candi Prambanan khususnya Candi Siwa, dan yang kedua akan dibahas tentang deskripsi tari Paramastri.

2.1 Deskripsi Relief Candi Siwa Prambanan

  Candi Siwa merupakan candi induk dan di kompleks Candi Prambanan dan mempunyai ukuran yang lebih besar dari pada candi lainnya. Letak Candi Siwa berada di halaman utama dan diapit oleh Candi Wisnu dan Candi Brahma. Tinggi keseluruhan dari Candi Siwa 47 m yang berdiri di atas suatu pondasi. Candi Siwa mempunyai 2 (dua) lantai, lantai pertama berukuran 34 x 34 m dan lantai kedua yang berupa candinya berukuran 17 x 17 m (Santosa, 1998 via

  www.candidiy.tripod.com/ prambanansyiwa.htm).

  Bangunan ini dibagi atas 3 (tiga) bagian secara vertikal kaki, tubuh dan kepala / atap. Kaki candi menggambarkan ‘dunia bawah’ tempat manusia yang diliputi hawa nafsu, tubuh candi menggambarkan ‘dunia tengah’ tempat manusia yang telah meninggalkan keduniawian dan atap melukiskan ‘dunia atas’ tempat para dewa. Pintu utama menghadap ke timur dengan tangga masuknya yang ganda yang merupakan manifestasi dari Siwa. Di dalam candi terdapat 4 (empat) ruangan yang menghadap keempat arah mata angin dan mengelilingi ruangan terbesar yang ada di tengah-tengah (Prasetyo, 2004 : 6).

  Dasar kaki candi dikelilingi selasar yang dibatasi oleh pagar langkan. Pada dinding langkan sebelah dalam terdapat relief cerita Ramayana. Relief cerita Ramayana pada Candi Siwa, terbagi dalam panel-panel yang berjumlah 24 panel. Setiap panel dipisahkan oleh pahatan pilaster. Kadang, sebuah panel memuat lebih dari satu adegan (Prasetyo, 2004 : 7). Sedangkan hiasan dinding langkan sebelah luar berupa ‘kinari-kinari’ (makhluk bertubuh burung berkepala manusia), ‘kalamakara’ (kepala raksasa yang lidahnya berwujud sepasang mitologi) dan makhluk surgawi lainnya. Atap candi bertingkat-tingkat masing-masing dihiasi sejumlah ‘ratna’ dan puncaknya terdapat ‘ratna’ terbesar (Prasetyo, 2004 : 8).

  Relief cerita Ramayana yang terdapat di pagar langan bagian dalam Candi Siwa dapat diikuti dengan cara pradaksina (berjalan searah jarum jam) dimulai dari sebelah kiri pintu utama yang menghadap timur dan berakhir di sebelah kanan pintu utama sisi timur (Prasetyo, 2004 : 7).

  Berikut adalah deskripsi relief Candi Prambanan khususnya yang terpahat pada langkan bagian dalam Candi Siwa berdasarkan urutan panel-panelnya.

2.1.1 Panel 1

  Foto : Agung Pilahan 1 Pilahan 2 Gambar (1)

  Panel 1

  • Adegan pertama (Pilahan 1)

  Relief Ramayana yang dipahatkan pada Candi Prambanan atau Lara Jonggrang, diawali dengan kisah di Surga Tushita. Dewa Wisnu sedang duduk di atas singgasana yang berbentuk Ular Naga yang muncul dari laut, dan di belakangnya duduk seekor Garuda. Dalam cerita itu, Dewa Wisnu diminta turun ke dunia oleh 5 (lima) dewa yang menumpas kejahatan yang ditimbulkan oleh Rawana (Prasetyo, 2004 : 11).

  • Adegan kedua (Pilahan 2) Rama yang merupakan titisan dari Dewa Wisnu, Putra Prabu Dasarata, Raja Ayodya, dan para abdi dalem Kraton sedang menghadap ayahanda Raja Ayodya, yang didampingi oleh permaisuri. Raja Ayodya adalah raja yang memerintah Kerajaan Ayodya (Prasetyo, 2004 : 11).

2.1.2 Panel 2

  Foto : Agung Gambar (2) Panel 2