PERBEDAAN CINDERELLA COMPLEX PADA WANITA MENIKAH YANG BEKERJA DAN YANG TIDAK BEKERJA

  

PERBEDAAN CI N DERELLA COM PLEX PADA

WAN I T A M EN I K AH Y AN G BEK ERJ A DAN Y AN G

T I DAK BEK ERJ A

  S k r i p s i Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  

Oleh:

Nama : Astrida Padma

NIM : 029114030

  

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2007

  á

<<<

  á

Dedicated to the most important

persons in my life:

  

George Sugiono (Alm)

Tjandra Tiana Dewi

Ade Suryanti

  

WX

  

MOTTO

He never leave me alone

He never let me sunk away in despair

  

He watches every step I took

My despairs and my efforts

And He gives me some miracles

At the right time, at the right moments

  Mencoba adalah sebuah keberanian Bila berhasil maka keinginanmu akan terwujud Bila gagal bukanlah suatu ketidakmampuan atau kebodohan Namun suatu ujian untuk mengasah hati dan kemampuanmu Untuk menjadi lebih baik lagi

Kegagalan adalah suatu kesempatan untuk meraih

keberhasilan yang lebih besar

  

ABSTRAK

  Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif mengenai perbedaan kecenderungan cinderella complex pada wanita menikah yang bekerja dan yang tidak bekerja. Peneliti tertarik akan adanya kecenderungan cinderella complex yang masih dialami oleh para wanita yang telah menikah di era emansipasi wanita dewasa ini, dimana pria dan wanita telah memiliki kesetaraan derajat dan kedudukan baik di lingkungan keluarga, sosial, dan pekerjaan. Cinderella complex merupakan ketakutan wanita akan kemandirian yang tampak dalam rasa rendah diri, takut akan kehilangan feminitas, locus of control eksternal yang tinggi, kepasifan dalam mengembangkan diri, dan kecenderungan mengandalkan orang lain. Cinderella complex ini dipengaruhi oleh perbedaan perlakuan dan sikap gender antara pria dan wanita dalam masyarakat.

  Subyek penelitian ini adalah 32 orang wanita yang telah menikah dan bekerja di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, dan 32 orang wanita yang telah menikah dan tidak bekerja di Pedukuhan Denokan, Maguwoharjo, Sleman. Penelitian dilakukan dengan menggunakan skala kecenderungan cinderella complex model Likert yang memiliki koefisien reliabilitas 0,9001.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa t = 6,049 dengan p < 0,01, yang berarti bahwa terdapat perbedaan kecenderungan cinderella complex pada wanita menikah yang bekerja dan yang tidak bekerja. Kecenderungan cinderella complex pada wanita menikah yang tidak bekerja lebih tinggi daripada wanita menikah yang bekerja.

  

ABSTRACT

  This quantitative research discussed about differences of a cinderella complex tendency between marriage women which was work and does not work. Author’s interested was women’s cinderella complex tendency in women emancipation period nowadays, where men and women have an equal of degree and position at family, social and work environment. Cinderella complex is women’s fear of independent, which is appear on a submissiveness, a fear of lost femininity, a height of locus of control external, a. passivity, and a tendency of dependent on other people. Cinderella complex is influenced by a differences of gender’s treatment and attitude between men and women in society.

  Subjects of this research was 32 marriage women which was worked at Sanata Dharma University, Yogyakarta, and 32 marriage women which didn’t work at Pedukuhan Denokan, Maguwoharjo, Sleman. This research was done by cinderella complex tendency’s scale with Likert model, which had a reliability coefficient 0,9001.

  Research’s result showed that t = 6,049 with p < 0,01, which was mean that there’s a differences of a cinderella complex tendency between marriage women which was worked and didn’t work. Cinderella complex tendency on marriage women which didn’t work is more higher than cinderella complex tendency on marriage women which was worked.

KATA PENGANTAR

  Puji syukur kepada Allah atas terwujudnya karya penelitian ini. Karya ini merupakan penelitian mengenai ketakutan akan kemandirian yang dialami oleh wanita.

  Semoga karya ini mampu memberikan sedikit sumbangan perkembangan psikologi wanita dan psikologi sosial dewasa ini.

  Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

  1. Dra. Lusia Pratidarmastiti, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi selama hampir satu tahun.

  2. Kristiana Dewayani, M.Si dan Y.Agung Santoso, S.Psi selaku dosen penguji skripsi.

  3. Para dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, yang telah menyumbangkan banyak ilmunya pada penulis.

  4. Ibu-ibu yang bekerja sebagai staf di Universitas Sanata Dharma yang telah membantu selama penelitian.

  5. Ibu-ibu Pedukuhan Denokan dan Pedukuhan Krodan, Maguwoharjo, Sleman yang telah membantu selama penelitian.

  6. Mama dan kakak yang telah memberikan banyak bantuan dan dukungan doa.

  7. Cyrillus, yang telah menjadi berbagi suka dan duka selama ini.

  8. Sahabatku, Liesye, Nurina, Hani, Sius, Novie, Adit, Ulil, Sisca, Vembry, Ina, Pras, Nanut, Ntrie, Tina, Dewi, Nat, Winda, Tisa, Ellen yang telah banyak memberikan banyak perhatian dan dukungan semangat.

  9. Teman-teman Vincent Disc, Rio, Ira, Tito, Ditha, yang telah memberikan banyak warna kehidupan, bantuan serta semangat selama ini.

  10. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan yang tak dapat disebutkan satu persatu.

  Karya ini tentunya tidaklah sempurna tanpa masukan dan saran dari para pembaca. Mohon maaf yang sebesar-besarnya bila terdapat kesalahan baik dalam penulisan maupun penjelasan.

  Yogyakarta, Januari 2007 Penulis

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………..i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………………………ii HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………………..iii HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………………………...iv HALAMAN MOTTO………………………………………………………………….. v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………………………………………………...vi ABSTRAK……..………………………………………………………………………vii ABSTRACT…………………………………………………………………………...viii KATA PENGANTAR………………………………………………………………..…ix DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….x DAFTAR TABEL………………………………………………………………………xi

  BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………………..….1 A. Latar Belakang Permasalahan………………………...……………………1 B. Rumusan Masalah………………………………………………………….5 C. Tujuan Penelitian…………………………………………………………..5 D. Manfaat Penelitian…………………………………………………………5 BAB II. LANDASAN TEORI…………………………………………………….…….6 A. Cinderella Complex………………………………………………………..6

  1. Pengertian Cinderella Complex ………………………..……...………6

  2. Faktor Penyebab Timbulnya Cinderella Complex…………………….7

  3. Aspek-aspek Cinderella Complex……………………………………12

  1. Cinderella Complex ………………………………………………….28

  2. Validitas……..……..…………………………………………………34

  1. Reliabilitas………...………………………………………………….34

  F. Pertanggungjawaban Alat Ukur…………………………………………..34

  E. Metode Pengumpulan Data……………………………………………….31

  D. Subyek Penelitian………………………………………………………...30

  2. Wanita Menikah Yang Bekerja Dan Yang Tidak Bekerja..……….…29

  C. Definisi Operasional Penelitian…………………………………………..28

  B. Wanita Yang Menikah……………………………………………………15

  2. Variabel Bebas……..…………………………………………………27

  1. Variabel Tergantung………………………………………………….27

  BAB III. METODOLOGI PENELITIAN……………………………………………...27 A. Jenis Penelitian………………...…………………………………………27 B. Identifikasi Variabel Penelitian…………………………………………..27

  Skema Cinderella Complex Pada Wanita Menikah Yang Bekerja Dan Yang Tidak Bekerja…………………………………………………………………26

  C. Cinderella Complex Pada Wanita Yang Menikah dan Tidak Bekerja Dengan Wanita Yang Menikah dan Bekerja……………………………..21

  2. Wanita Menikah Yang Bekerja………………………………………19

  1. Wanita Menikah Yang Tidak Bekerja……..…………………………17

  G. Metode Analisis Data…………………………………………………….34

  BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………………………………36 A. Persiapan Penelitian……...……………………………………………….36

  1. Tempat dan Ijin Penelitian……………..……………………………..36

  2. Uji Coba Alat Ukur…………………………………………………...36

  3. Hasil Uji Coba………………………………………………………..37

  B. Pelaksanaan Penelitian……………………………………………………39

  C. Deskripsi Subyek Penelitian……………………………………………...40

  D. Analisa Data Penelitian………………….………………………………..41

  E. Pembahasan………………………………………………………………43

  BAB V. PENUTUP…………………………………………………...………………48 A. Kesimpulan…………………………………..…………………………..48 B. Saran………………………………………...……………………………48 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………..50

  

DAFTAR TABEL

  Halaman Tabel III.1. Kisi-kisi Skala Kecenderungan Cinderella Complex Sebelum Uji Coba….32 Tabel III.2. Distribusi Item Skala Kecenderungan Cinderella Complex Sebelum Uji Coba……………………………………………………………………………………33 Tabel IV.1. Kisi-kisi Skala Kecenderungan Cinderella Complex Setelah Uji Coba…..38 Tabel IV.2. Distribusi Item Skala Kecenderungan Cinderella Complex Setelah Uji Coba…………………………………………………………………………………….40 Tabel IV.3. Deskripsi Wanita Menikah Yang Bekerja dan Yang Tidak Bekerja………40 Tabel IV.4. Hasil Analisis Uji t………………………………………………………...42 Tabel IV.5. Deskripsi Statistik Antara Wanita Menikah Yang Bekerja Dan Yang Tidak Bekerja………………………………………………………………………………….43

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Cinderella complex merupakan suatu bentuk fenomena psikologis yang tidak banyak dikenal oleh masyarakat pada umumnya. Cinderella complex berbicara mengenai ketidakmandirian yang dialami wanita

  secara psikologis (Dowling, 1981). Zhao (www. cmn.hs.h.kyoto-u.ac.jp) mengungkapkan bahwa cinderella complex merupakan suatu bentuk ketergantungan psikologis yang dialami wanita dan sangat membahayakan perkembangan psikologis wanita. Dowling (1981) mengistilahkan fenomena ini sebagai cinderella complex, sebagaimana tokoh dongeng Cinderella yang menanti sesuatu di luar dirinya untuk mengubah dan memajukan kehidupannya.

  Salah satu faktor yang menimbulkan adanya kecenderungan

  cinderella complex adalah perbedaan perlakuan gender dalam masyarakat

  (Dowling, 1981). Murniati mengungkapkan bahwa dalam masyarakat wanita dipandang sebagai makhluk yang lemah dan rapuh sehingga perlu dilindungi (dalam Lembaga Studi Realino, 1992). Perbedaan perlakuan gender ini menimbulkan perbedaan pola asuh antara anak perempuan dan laki-laki, serta budaya dominasi pria terhadap wanita dalam keluarga dan masyarakat. Perbedaan pola asuh antara anak perempuan dan laki-laki tampak ketika perempuan daripada anak laki-laki (Dowling, 1981). Pada umumnya keluarga dan lingkungan mendidik seorang pria untuk belajar mengatasi masalahnya sendiri dan tidak cengeng, sedangkan wanita diperbolehkan bersikap cengeng dan cenderung mendapatkan pertolongan dari orang lain saat menghadapi suatu masalah.

  Pertolongan yang diberikan secara terus-menerus terhadap wanita sejak kecil hingga dewasa menimbulkan suatu rasa aman dan nyaman pada diri wanita bila berada bersama sosok yang lebih kuat. Rasa nyaman ini kemudian menyebabkan wanita menjadi sangat tergantung pada orang lain dibandingkan dengan pria (Dowling, 1981). Wanita yang mengalami

  

cinderella complex , memiliki tingkat ketergantungan pada orang lain yang

  berada pada derajat yang tidak sehat (Anggriany, 2003). Ketergantungan pada orang lain membuat wanita cenderung menghindari masalah dan tantangan dalam hidupnya. Kondisi ini dapat menyebabkan wanita menjadi kurang asertif dan berinisiatif dalam mengembangkan hidupnya. Dapat dikatakan, wanita memiliki suatu ketakutan untuk mandiri dalam mengembangkan hidupnya dan lebih tergantung pada segala hal diluar dirinya untuk menjadi lebih baik (Dowling, 1981).

  Secara sadar ataupun tidak disadari, fenomena cinderella complex ini dialami oleh semua wanita, namun dalam taraf kecenderungan yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk meneliti kecenderungan cinderella complex pada wanita yang menikah. Salah satu adanya pandangan bahwa wanita yang telah menikah akan memiliki kehidupan yang aman dan nyaman (Dowling, 1981). Kehidupan yang nyaman tersebut adalah ketika segala kebutuhan wanita akan dipenuhi oleh pria yang menjadi suaminya dan ia hanya mengurus rumah tangga dan anak-anak saja.

  Seiring dengan perkembangan emansipasi wanita di Indonesia, wanita tidak lagi diharuskan tunduk pada pria di tempat kerja dan lingkungan sosial atau tergantung pada suami di rumah. Partini dalam (Lembaga Studi Realino, 1992) mengungkapkan bahwa wanita berhak memperoleh kedudukan yang setara dengan pria baik dalam lingkungan sosial, pekerjaan, dan keluarga. Demikian pula wanita yang menikah tidak lagi hanya berperan sebagai ibu rumah tangga yang mengurus kebutuhan suami dan anak-anak saja, namun ada wanita yang berperan ganda sebagai ibu rumah tangga dan pekerja. Pencari nafkah dalam sebuah keluarga tidak lagi hanya dilakukan oleh pria, namun wanita juga dapat turut berperan serta dalam menafkahi keluarganya, bahkan ada beberapa istri yang bekerja keras sebagai pencari nafkah utama bagi keluarganya.

  Seorang wanita yang menikah memutuskan untuk bekerja di luar rumah dengan berbagai alasan seperti kesulitan ekonomi atau mengejar kesuksesan karir. Wanita dengan peran ganda ini (ibu rumah tangga dan pekerja) memiliki tanggung jawab yang cukup berat yaitu tanggung jawab di rumah dan di tempat kerja. Fakih (1997) mengungkapkan bahwa 90% pekerjaan rumah tangga dikerjakan oleh wanita, terutama dalam keluarga dan bekerja tetap dituntut untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam rumah tangga. Wanita dengan peran ganda ini tentunya memiliki penghasilan sendiri dan pergaulan yang lebih luas daripada wanita dengan peran tunggal (Stefanie, 2000). Pergaulan yang luas akan mendukung perluasan wawasan yang dimiliki wanita tersebut, sehingga ia mampu bersikap lebih optimis dalam menghadapi masalah, dan tidak lagi terlalu tergantung pada pasangan dalam mengambil keputusan maupun dalam hal keuangan.

  Sebaliknya, wanita yang menikah dan tidak bekerja memiliki peran tunggal sebagai ibu rumah tangga. Peran tunggal ini berkaitan dengan pekerjaan rumah tangga, dan mengurus suami serta anak-anak (Santrock, 2002). Sebagian besar waktu yang dimiliki oleh wanita dengan peran tunggal ini dihabiskan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang bersifat rutin (Baron, 2005) sehingga ia memiliki pergaulan yang terbatas. Pergaulan yang terbatas ini kurang mendukung perluasan wawasan yang dimiliki oleh wanita dengan peran tunggal tersebut. Wawasan yang terbatas dan kondisi ketergantungan sepenuhnya terhadap pasangan menyebabkan wanita yang menikah dan tidak bekerja menjadi kurang yakin akan kemampuan diri sendiri. Ketidakyakinan diri tersebut menimbulkan sikap pesimis dalam memandang segala sesuatu, tidak menyukai perubahan dalam hidup, dan cenderung menghindari tantangan serta masalah (Dowling, 1981).

  Berdasarkan penjabaran di atas peneliti tertarik untuk melihat apakah wanita yang menikah dan tidak bekerja memiliki kecenderungan

  cinderella complex yang lebih tinggi daripada wanita yang menikah dan bekerja.

  B. Rumusan Masalah

  Apakah terdapat perbedaan kecenderungan cinderella complex antara wanita menikah yang bekerja dengan yang tidak bekerja?

  C. Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui adanya perbedaan kecenderungan cinderella complex pada wanita menikah yang bekerja dengan yang tidak bekerja

  D. Manfaat Penelitian

  1.Manfaat teoritis Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan, khususnya pada psikologi wanita dan psikologi sosial.

  2. Manfaat praktis Membantu para wanita untuk semakin memahami dinamika psikologis diri sendiri, sehingga memiliki pengendalian diri yang baik dan mampu hidup secara mandiri baik dalam lingkungan keluarga maupun kerja.

BAB II LANDASAN TEORI A. Cinderella Complex

  1. Pengertian Cinderella complex

  Cinderella complex merupakan suatu teori psikologi populer yang

  diungkapkan oleh Dowling (1981) yang didasarkan atas teori Horney mengenai psikoanalisa, khususnya wanita. Cinderella complex berbicara mengenai ketakutan yang dialami wanita akan kemandirian. Dowling (1981) mengungkapkan bahwa wanita cenderung tidak yakin akan kemampuan dirinya sendiri dan tergantung pada orang lain, khususnya sosok yang lebih kuat darinya untuk merawat dan melindungi dirinya. Cinderella complex didefinisikan sebagai suatu ketakutan yang membuat wanita tertekan sehingga tidak mampu memanfaatkan potensi, bakat, dan kreativitasnya secara optimal (Dowling, 1981).

  Ketakutan akan kemandirian tidak selalu nampak dan disadari oleh para wanita. Meskipun demikian ketakutan ini sering mempengaruhi cara wanita dalam berpikir, bertindak, dan berbicara, seperti muncul lewat berbagai macam ketakutan yang dialami oleh banyak wanita sukses dan tampak tangguh (Dowling, 1981). Akibat dari ketakutan tersebut adalah bahwa mereka tidak mampu mengeluarkan potensi mereka secara maksimal, namun justru berusaha untuk mendapatkan cinta, pertolongan, dan kehidupannya, seperti dongeng anak-anak yang mengisahkan Cinderella, sang putri yang menunggu sang pangeran untuk menyelamatkannya dari bahaya dan penderitaan, begitu pula dengan wanita yang cenderung menunggu sesuatu dari luar dirinya untuk mengubah hidupnya menjadi lebih baik (Dowling, 1981).

  Cinderella complex menyebabkan wanita cenderung tergantung

  pada sosok lain yang lebih kuat darinya dan menjadi tidak mandiri. Dowling (1981) menambahkan bahwa sebagian besar wanita membenci ketergantungannya terhadap orang lain dan menginginkan kemandirian.

  Mereka ingin bebas dari dominasi keluarga dan pria yang berstatus sebagai suami atau atasan kerja, bebas mengambil keputusan sendiri, dan bebas menentukan karir atau profesi apa yang akan dijalani. Meskipun demikian, keinginan untuk mandiri tersebut terhambat dengan adanya rasa rendah diri atau ketidakyakinan akan kemampuan diri sendiri. Rasa rendah diri ini menyebabkan wanita menjadi takut untuk menanggung resiko hidup mandiri dan lebih memilih untuk tergantung pada orang-orang disekitarnya (www.

  cmn.hs.h.kyoto-u.ac.jp ).

  2. Faktor penyebab timbulnya cinderella complex Setiap wanita memiliki kecenderungan cinderella complex.

  Kecenderungan untuk tergantung pada orang lain ini tidak datang begitu saja. Dowling mengungkapkan beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya cinderella complex dalam diri wanita : a. Perlakuan dalam lingkungan keluarga 1) Pola asuh anak selama enam tahun pertama

  Menurut hasil penelitian Bayley pada tahun 1956, semenjak lahir, bayi perempuan memiliki kemampuan verbal, kognitif, dan perseptual yang maju daripada bayi laki-laki (Dowling, 1981). Maka perilaku bayi perempuan lebih menyenangkan orang dewasa daripada perilaku bayi laki-laki, dimana bayi perempuan tidak suka menggigit-gigit sesuatu atau berkelahi, dsb). Perilaku menyenangkan ini membuat orang dewasa cenderung memberikan pertolongan dan perlindungan terhadap anak perempuan dari segala kesulitan semenjak bayi, dan juga membuat anak perempuan terbiasa dengan adanya pertolongan bila ia ‘berperilaku baik’. Akibatnya, anak perempuan cenderung mengembangkan bakat dan kemampuannya lebih untuk menyenangkan orang lain, bukan untuk kemajuan dirinya sendiri. Sebaliknya, bayi laki-laki lebih banyak mengalami stress daripada bayi perempuan karena perilakunya yang kurang menyenangkan dan tidak disetujui oleh orang dewasa (Wilikinson, 1995). Hasil penelitian Bardwick dan Douvan (dalam Dowling, 1981) menunjukkan bahwa stress pada bayi laki-laki ini justru membantunya untuk mandiri semenjak kanak-kanak.

  2) Pola asuh anak yang tidak berwawasan gender Pola asuh yang tidak berwawasan gender merupakan suatu bentuk banyak perhatian dan pertolongan terhadap anak perempuan daripada terhadap anak- laki-laki (Anggriany, 2003). Penelitian Anggriany dan Astuti (2003) menunjukkan bahwa pola asuh anak yang tidak berwawasan gender (perlakuan dan pengasuhan terhadap anak laki- laki dan perempuan yang dibedakan berdasarkan gender) mempengaruhi tingginya kecenderungan cinderella complex pada anak perempuan. Sebaliknya, pola asuh yang setara antara anak laki- laki dan anak perempuan seperti pemberian hukuman yang sama bila melakukan kesalahan, mendidik anak untuk tidak bersikap manja dalam menghadapi masalah namun berusaha mengatasi masalah tersebut, dll, dapat membuat anak perempuan menjadi lebih mandiri dan tidak terlalu tergantung pada orang lain (Anggriany, 2003).

  Horney (plaza.ufl.edu/bjparis/index.html) menambahkan bahwa anak perempuan membutuhkan kesempatan yang sama dengan anak laki- laki untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya. 3) Kebutuhan untuk dicintai yang tidak terpenuhi selama masa kecil.

  Dowling (1981) mengungkapkan bahwa kebutuhan untuk dicintai yang tidak terpenuhi selama masa kecil seperti kurang atau hilangnya kasih sayang orang tua dan keluarga, menimbulkan ketergantungan akan rasa aman dan kasih sayang dari orang lain. Hal ini mendorong wanita untuk merendahkan diri di hadapan orang lain demi memperoleh rasa aman dan dicintai.

  4) Dominasi orangtua yang terkadang membatasi dan menentukan segala aktivitas anak sehingga anak tidak mampu mengambil keputusan sendiri (Dowling, 1981).

  b. Perlakuan dalam lingkungan masyarakat 1) Pemberian pertolongan dan perlindungan yang berlebihan pada perempuan.

  Wanita dianggap sebagai makhluk yang rapuh dan lemah. Maka lingkungan cenderung segera memberikan pertolongan setiap kali wanita mengalami kesulitan semenjak kecil hingga dewasa sehingga tidak terbiasa untuk mengatasi masalah-masalahnya dan tergantung pada lingkungan sekitar untuk menolongnya (Dowling, 1981). Hal ini menyebabkan wanita sulit untuk mengambil keputusan sendiri, tidak tegas, dan tidak percaya diri dalam menghadapi kesulitan. Wilkinson (1995) menambahkan bahwa banyak wanita yang memandang bahwa perkembangannya menuju dewasa merupakan suatu proses yang sulit dan berat. 2) Stereotipe wanita sebagai kaum kelas dua dalam masyarakat.

  Meskipun emansipasi wanita telah berkembang, namun masyarakat tidak lepas dari budaya patriarki yang berlaku dari generasi ke generasi (Murniati, 2004). Budaya patriarki merupakan kondisi dimana wanita harus mengikuti keputusan pria, terutama suami, dan cenderung bekerja di belakang pria, membuat wanita tampak sebagai status sosialnya selalu mengikuti status sosial suami dan ayah dalam keluarga (Barnhouse, 1988).

  3) Kemandirian sebagai perilaku yang tidak feminin Sehubungan dengan status wanita sebagai kaum kelas dua dalam masyarakat, maka ambisi wanita untuk bebas dan mencapai kemandirian seorang wanita dianggap tidak feminin dan tidak jarang mendapat kecaman lingkungan sosial (Barnhouse, 1988). Salah satu contohnya adalah wanita dianggap tidak feminin ketika ia memperbaiki atap rumahnya yang bocor, memasang lampu di rumahnya, atau memperbaiki motornya seorang diri. 4) Perbedaan perlakuan gender dalam hidup bermasyarakat.

  Budaya bahwa wanita sebagai makhluk yang lemah dan cenderung menggunakan perasaan menyebabkan masyarakat memberi peluang lebih besar pada pria untuk meraih kesuksesan karir, kenaikan status sosial dan jabatan dalam pekerjaan (Dowling, 1981).

  Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab timbulnya

  

cinderella complex dibagi menjadi dua. Dalam lingkungan keluarga berupa

  pola asuh anak selama enam tahun pertama, pola asuh anak yang tidak berwawasan gender, kebutuhan akan kasih sayang yang tidak terpenuhi di masa kecil, dan dominasi orangtua. Sedangkan dalam lingkungan masyarakat berupa pertolongan yang berlebihan terhadap wanita, stereotipe wanita sebagai kaum kelas dua dalam masyarakat, anggapan akan kemandirian sebagai perilaku yang tidak feminin, dan perbedaan perlakuan gender dalam masyarakat.

  3. Aspek-aspek Cinderella Complex Berdasarkan teori Cinderella complex yang diungkapkan oleh

  Dowling (1981), aspek-aspek dari cinderella complex dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Rasa rendah diri

  Bardwick (dalam Dowling, 1981) mengungkapkan bahwa wanita memiliki rasa rendah diri, dimana wanita seringkali meragukan kemampuannya dalam menjalankan suatu tugas. Anggriany (2003) mengungkapkan bahwa rasa rendah diri berkaitan dengan emosi wanita.

  Wanita yang memiliki perasaan rendah diri nampak pada perasaan tidak mampu (pesimis), seperti perasaan cemas atau panik ketika menghadapi sesuatu yang baru, ketika berbicara di hadapan orang banyak, atau dalam suatu kesulitan. Perasaan tidak mampu tersebut kemudian dapat mempengaruhi segi kognitif sehingga wanita memiliki anggapan bahwa ia adalah orang yang tidak berguna dan memiliki banyak kekurangan.

  b. Ketakutan kehilangan feminitas Proses pertumbuhan dan perkembangan wanita tentunya tidak lepas dari pengaruh budaya masyarakat disekitarnya. Dalam masyarakat, wanita diinternalisasikan secara kognitif untuk memiliki anggapan sebagai berikut:

  1) Pria lebih kuat dari wanita dan dapat melakukan segalanya dengan lebih mudah.

  2) Wanita yang baik adalah wanita yang dapat berperan sebaga istri dan ibu yang baik.

  3) Hidup seorang wanita akan aman bila dirawat atau dipelihara oleh orang lain, seperti kebutuhan finansial dan fisik dipenuhi oleh suami.

  4) Wanita tidak perlu bekerja bila kebutuhan finansialnya sudah terpenuhi, kalaupun bekerja, ia tidak perlu mengejar prestasi dan bekerja seumur hidup. 5) Perilaku mandiri, seperti memperbaiki atap rumah yang bocor, memperbaiki motor sendiri, dsb, merupakan perilaku yang tidak feminin. 6) Kesuksesan terutama dalam karir dan lingkungan sosial merupakan hasil dari perilaku maskulin dan sulit diraih oleh wanita.

  Wanita yang tidak mampu bertindak dan bersikap sesuai dengan budaya yang berlaku di masyarakat akan memperoleh penolakan dari lingkungannya. Hal inilah yang menyebabkan wanita kehilangan kapasitas untuk bekerja produktif dan orisinil, serta memiliki motivasi kerja yang lebih disebabkan oleh krisis ekonomi dan keterpaksaan (Anggriany, 2003).

  c. Locus of control eksternal yang tinggi.

  Masrun (dalam Anggriany, 2003) mengungkapkan bahwa perempuan keberuntungan dan merasa tidak memiliki control dari dalam diri untuk mengatasi masalah. Locus of control eksternal ini berkaitan dengan kognisi wanita. Wanita dengan locus of control eksternal yang tinggi akan memiliki keyakinan bahwa segala sesuatu yang diperolehnya, baik dalam bentuk keberhasilan atau kegagalan, disebabkan oleh faktor keberuntungan atau ketidakberuntungan semata. Keyakinan ini dapat mengurangi produktifitas wanita dalam bekerja dan dalam mengembangkan dirinya.

  d. Pasif dalam mengambil keputusan dan mengembangkan diri Rasa rendah diri membuat wanita cenderung meragukan kemampuannya. Akibatnya wanita cenderung bersikap dan berperilaku pasif seperti ketidakinginan untuk mengatasi suatu masalah atau mengambil keputusan sendiri (Dowling, 1981). Disamping itu, Dowling (1981) juga mengungkapkan bahwa wanita sulit untuk mengambil inisiatif yang bertujuan untuk memajukan dan mengembangkan dirinya.

  Perilaku pasif ini tampak ketika wanita tidak ingin menghadapi suatu pekerjaan yang sulit dan beresiko besar, seperti persaingan antar rekan kerja, namun lebih menyukai pekerjaan yang mudah dan beresiko kecil, tidak menyukai perubahan hidup, cenderung tidak asertif dalam menghadapi tantangan untuk mengembangkan diri, dan lebih mengutamakan keterikatan emosional dengan keluarganya daripada karir dan pekerjaan (Dowling, 1981). e. Kecenderungan mengandalkan orang lain Berkaitan dengan kepasifan pada diri wanita, wanita cenderung memiliki perilaku untuk mengandalkan orang lain dalam menghadapi suatu kesulitan, seperti meminta suatu pendapat atau dukungan dalam mengambil keputusan atau dalam mengatasi suatu masalah (Anggriany, 2003). Kecenderungan mengandalkan orang lain juga berkaitan dengan perbedaan gender yang berlaku dalam masyarakat, dimana wanita cenderung dilihat sebagai makhluk lemah yang perlu diberi pertolongan saat menghadapi suatu kesulitan dan berada dalam dominasi pria.

  Dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dari cinderella complex adalah rasa rendah diri, ketakutan kehilangan feminitas, locus of control yang rendah, sikap pasif dalam mengambil keputusan dan mengembangkan diri, serta kecenderungan mengandalkan orang lain.

B. Wanita Yang Menikah

  Pernikahan biasanya dialami oleh individu pada masa dewasa, terutama dewasa dini (Santrock, 2002). Melalui pernikahan, dua individu yang berasal dari dua keluarga yang berbeda bergabung untuk membangun sistem keluarga yang baru (Santrock, 2002). Disamping itu, individu yang menikah tentunya akan memiliki berbagai peran dan tanggung jawab yang baru yang berkaitan dengan kehidupan keluarga.

  Kartono (1992) mengungkapkan beberapa peran wanita dalam

  1. Sebagai istri dan partner hidup suami.

  Dalam kehidupan pernikahan, seorang wanita berperan sebagai partner hidup pasangannya, dimana ia dapat saling berbagi dan berdiskusi dalam mengatasi masalah-masalah yang timbul baik dalam kehidupan keluarga, pekerjaan, maupun lingkungan sosial.

  2. Sebagai partner seksual pasangannya.

  Seorang wanita yang menikah memiliki peran sebagai partner seksual dari pasangannya dimana ia dan pasangannya dapat saling memenuhi kebutuhan seksualnya.

  3. Sebagai pengatur kehidupan rumah tangga.

  Berdasarkan penelitian, wanita biasanya melakukan pekerjaan rumah tangga lebih banyak daripada pria (Santrock 2002). 75 persen dari aktivitas seorang ibu rumah tangga berupa pekerjaan rumah tangga yang bersifat rutin seperti mencuci, menyetrika, memasak, dan membersihkan rumah (Baron, 2005). Sedangkan pria biasanya melakukan pekerjaan rumah tangga yang 71 persen berupa kegiatan perbaikan dan bersifat tidak rutin seperti memotong rumput di halaman, mengecat pagar, dan memperbaiki rumah (Baron, 2005). Dengan beban pekerjaan rumah tangga yang lebih banyak daripada pria, maka secara tidak langsung wanita berperan sebagai pengatur rumah tangga dalam kehidupan keluarga.

  4. Sebagai ibu yang merawat dan mendidik anak-anaknya.

  Pada dasarnya baik pria maupun wanita memiliki peran sebagai orangtua

  Timbulnya perbedaan gender yang berlaku dalam lingkungan masyarakat membuat perempuan menghabiskan lebih banyak waktu untuk merawat dan membesarkan anak-anak (Baron, 2005). Lewin menambahkan bahwa wanita lebih cenderung dipengaruhi oleh keluarga dan anak-anak daripada pria (Brannon, 1996), sehingga wanita lebih berfokus pada kehidupan keluarganya.

  5. Sebagai makhluk sosial yang berpartisipasi aktif dalam lingkungan sosial, seperti menjalin relasi dengan tetangga sekitar, dll.

  Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa wanita yang menikah biasanya telah memasuki masa dewasa dan memiliki berbagai peran baru yang berkaitan dengan keluarga yaitu sebagai istri dari pasangannya, sebagai ibu dari anak-anak yang dilahirkan, sebagai pengatur rumah tangga, sebagai makhluk sosial di lingkungan sekitarnya dan sebagai pencari nafkah tambahan.

  1. Wanita Menikah Yang Tidak Bekerja Kondisi wanita menikah yang tidak bekerja dapat dideskripsikan sebagai berikut : a. Memiliki peran tunggal sebagai ibu rumah tangga dan pengurus anak- anak. Peran sebagai ibu rumah tangga menuntut seorang wanita mengurus kebutuhan anak-anak dan mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga yang bersifat rutin dan berulang-ulang, seperti mencuci, menyetrika, memasak, dan membersihkan rumah. Kondisi ini terpenuhi dan keadaan rumah tangga terkendali. Santrock (2002) mengungkapkan bahwa meskipun seorang wanita tidak akan mendapat kritik atau memiliki target yang ditentukan oleh atasan dalam pekerjaan rumah tangga, namun pekerjaan tersebut kerap kali membuat wanita merasa lelah, bosan, terisolasi dari lingkungan sosialnya dan merasa tak berharga.

  b. Kondisi tidak bekerja membuat seorang wanita yang telah menikah tidak memiliki penghasilan sendiri dan sangat tergantung secara financial pada suaminya (Hastuti, 2004).

  c. Adanya pekerjaan rumah tangga yang terus-menerus menyita waktu dan tidak adanya pekerjaan di luar rumah membuat seorang wanita memiliki lingkup social dan wawasan yang terbatas sehingga ia menjadi kurang percaya diri dan sulit dalam mengambil keputusan.

  Hal ini menyebabkan wanita yang menikah dan tidak bekerja tersebut sangat tergantung secara emosional dan dalam pengambilan keputusan (Hastuti, 2004).

  d. Peran sebagai ibu rumah tangga yang tidak memiliki penghasilan sendiri dan kurang memiliki wawasan serta pergaulan yang luas membuat wanita yang menikah dan tidak bekerja biasanya kurang memiliki prestise dalam lingkungan masyarakat (Hastuti, 2004). Hal ini menyebabkan posisi wanita tersebut menjadi kurang dihargai dalam lingkungan masyarakat (Hastuti, 2004).

  Kesimpulan dari penjelasan di atas adalah bahwa wanita menikah yang tidak bekerja memiliki peran tunggal sebagai ibu rumah tangga.

  Berkaitan dengan peran tunggalnya, seorang wanita yang menikah dan tidak bekerja mampu mengendalikan kondisi rumah tangga dengan baik, namun ia memiliki ketergantungan pada suami dalam hal financial, emosional, dan pengambilan keputusan, serta biasanya kurang memiliki prestise dalam lingkungan masyarakat.

  2. Wanita Menikah Yang Bekerja Brown (dalam Stefani, 2000) mengungkapkan beberapa factor yang menjadi motivasi seorang wanita yang telah menikah untuk bekerja yaitu:

  a. untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi

  b. mengatasi kesepian dan kebosanan di rumah

  c. memperluas pergaulan

  d. menyukai pekerjaan yang dijalaninya e. mengejar status sosial.

  Kondisi wanita yang menikah dan bekerja dapat dideskripsikan sebagai berikut : a. Memiliki peran ganda, yaitu dalam lingkungan pekerjaan dan dalam keluarga Wanita yang telah menikah dan bekerja ini dituntut untuk mampu menjaga keseimbangan antara keluarga dan pekerjaan (Stefani, 2000). Wanita yang menikah dan bekerja dituntut untuk memiliki kepercayaan diri yang tinggi, optimis, asertif, dan aktif (Stefani, 2000)..

  b. Santrock (2002) mengungkapkan bahwa wanita yang cenderung berfokus pada pekerjaannya biasanya memiliki resiko ketidakharmonisan dalam kehidupan rumah tangganya. Ketidakharmonisan tersebut tampak dalam perkembangan anak secara kognisi maupun mental yang kurang diperhatikan, kurangnya komunikasi dan keterbukaan dalam keluarga, dan kemungkinan timbulnya persaingan karir antara suami dan istri yang akan menyebabkan kesulitan dalam menciptakan suasana yang hangat dalam keluarga.

  c. Seorang wanita yang telah menikah memperoleh kepuasan secara fisik dan psikis melalui pekerjaannya (Rinto, 2004). Secara fisik, wanita tersebut memiliki penghasilan sendiri secara teratur dalam jangka waktu tertentu (Rinto, 2004). Secara psikis, wanita yang telah menikah ini mampu untuk mengaktualisasikan diri melalui pekerjaan, memenuhi kebutuhan yang berkaitan dengan kedudukan dan status sosial (Rinto, 2004), serta meningkatkan harga diri (Santrock, 2002). Dengan demikian, wanita yang telah menikah dan bekerja tidak terlalu tergantung secara finansial, emosional, dan sosial pada suami.

  Kesimpulan dari penjelasan di atas adalah bahwa wanita yang menikah dan bekerja memiliki peran ganda yaitu dalam lingkungan yang menikah dan bekerja dituntut untuk menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga, dan tidak terlalu tergantung pada suami secara finansial, emosional, dan social karena ia telah mampu memenuhinya melalui pekerjaan yang digelutinya.

  

C. Cinderella Complex Pada Wanita Yang Sudah Menikah dan Tidak

Bekerja dengan Wanita Yang Sudah Menikah dan Bekerja Cinderella complex merupakan suatu bentuk ketergantungan

  psikologis yang dialami wanita terhadap orang lain (www. cmn.hs.h.kyoto-

  u.ac.jp ). Faktor-faktor penyebab timbulnya cinderella complex dibagi

  menjadi dua yaitu perlakuan dalam lingkungan keluarga dan dalam lingkungan masyarakat (Dowling, 1981). Dalam lingkungan keluarga berupa pola asuh anak selama enam tahun pertama, pola asuh anak yang tidak berwawasan gender, kebutuhan akan kasih sayang yang tidak terpenuhi di masa kecil, dan dominasi orangtua. Sedangkan dalam lingkungan masyarakat berupa pertolongan yang berlebihan terhadap wanita, stereotipe wanita sebagai kaum kelas dua dalam masyarakat, anggapan akan kemandirian sebagai perilaku yang tidak feminin, dan perbedaan perlakuan gender dalam masyarakat.