Dinamika Konflik Pengelolaan Sampah (Studi Deskriptif Konflik Realistis Pengelolaan Sampah TPA Benowo Surabaya) Repository - UNAIR REPOSITORY

  • Pengolahan lindi (leachate) dilakukan dengan aerator atau oxidation pond Efluennya harus dialirkan ke pipa sewerage

  23

  yang menuju instalasi pengolahan air limbah (IPAL)

23 Diakses dari http://www.kompasiana.com/alifianahr/manajemen-sampah-di-perkotaan-studi-

  kasus-masalah-sampah-di-surabaya. pada 5 September 2015 pukul 11.00

BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI TERJADINYA KONFLIK Bab ini merupakan deskripsi data yang berisi penjelasan atas faktor-

  faktor yang melatarbelakangi terjadinya konflik yang terjadi di TPA Benowo. Hasil dari temuan-temuan data akan dibagi dalam beberapa kajian sehingga, mampu memberikan penjelasan mengenai sebab-sebab yang bisa melatarbelakangi konflik. Uraian tentang kondisi tersebut lebih difokuskan pada fenomena konfliktual, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perseteruan di mana telah terjadi 2 kejadian konflik antara pemulung, pengepul, preman dan warga TPA Benowo. Kejadian pertama terjadi pada September 2012 dan kejadian selanjutnya yaitu yang kedua terjadi pada Desember 2012.

3.1 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Konflik September 2012

  Pada bab I telah dijelaskan tentang pengetahuan didapat dari dunia pengalaman yang notabene sebagai informasi subjek. Informasi-informasi tentang kehidupan sehari-hari para subyek penelitian yang selama ini sering diabaikan ternyata merupakan realitas penting, teratur dan terpola.

  Uraian-uraian tentang kehidupan sehari-hari sebagaimana dialami, didengar atau dipahami oleh subyek inilah yang disebut eksternalisasi

  24 atau first order understanding .

  Konflik yang terjadi pada bulan September 2012 melibatkan pemulung dengan tim pengamanan TPA Benowo. Konflik tersebut disebabkan oleh kebakaran besar yang menimpa TPA sehingga memaksa para pemulung untuk pulang ke daerah asal. Selang beberapa minggu para pemulung tersebut kembali dari kampungnya masing-masing dan ke TPA untuk mengambil barang bekas atau sampah yang menjadi pemiliknya untuk dijual ke pengepul sampah, Namun karena TPA belum steril sehingga tim pengamanan seperti satpam, security dan preman tidak memperbolehkan mereka untuk masuk ke TPA karena dikhawatirkan akan terjadi kebakaran lagi sehingga munculah konflik antara kedua belah pihak.

  Konflik di TPA Benowo pada bulan September sangat dinamis karena tidak hanya terjadi konflik pemulung dengan tim pengamanan TPA Benowo, namun konflik selanjutnya juga telah terjadi antara pemulung dengan pengepul sampah yang disebabkan oleh ketidakcocokan harga jual beli sampah yang disebabkan antara kedua belah pihak. Oleh karena itu diperlukan pemaparan untuk faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya konflik di TPA Benowo yang menjadi lokasi penelitian. Hal ini ditujukan agar dapat memahami setting sosial yang membingkai faktor- faktor konflik di TPA Benowo.

  24 (Margaret M. Poloma. 1984:305-306).

3.1.1 Hilangnya Sumber Nafkah Bagi Pemulung

  Pada bulan September tahun 2012 terjadi insiden kebakaran besar yang memusnahkan hampir semua sampah, alat-alat berat, hewan dan semua bagian yang ada di TPA Benowo. Kebakaran tersebut dipaparkan oleh sejumlah kalangan yang mengatakan bahwa kebakaran disebabkan oleh panas matahari yang terik yang kemudian membakar sampah-sampah yang berserakan di TPA Benowo. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu PNS DKP:

  “Karena waktu kebakaran itu terjadi pada waktu musim kemarau dimana di dalam timbunan sampah itu kan ada gas jadi kemudian terjadi letupan sehingga membakar sampah yang kering sedangkan penanganannya Pemkot, DKP, kecamatan dan PMK itu terlibat jadi itu memang tidak ada u nsur kesengajaan” (Ipung, 2015)

  Dari pernyataan di atas dapat disumpulkan bahwa percikan api berasal dan bermula-mula dari gas yang ada di timbunan sampah lalu terjadilah letupan besar yang kemudian membakar semua sampah yang kering. Belum lagi pada saat itu juga waktu musim kemarau, cuaca panas yang terik bisa membakar dengan mudah sampah-sampah yang kering namun tidak lama kemudian dapat ditangani oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab atas insiden tersebut seperti Pemerintah Kota Surabaya, Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya, pihak Kecamatan yang kemudian memanggil PMK untuk memadamkan api tersebut. Tidak ada unsur kesengajaan dalam kejadian tersebut.

  " Sebab kalau benda seperti puntung rokok, rasanya sulit.

  Sebab setiap pemulung yang ke sana sudah kami ingatkan agar

  tidak menyalakan rokok. Di lapangan yaitu di area tersebut kita

mempunyai petugas untuk mengawasi pemulung," (Amin, 2015)

  Argumentasi yang diberikan oleh pihak DKP menyangkal bahwa kejadian tersebut karena adanya unsur kesengajaan. Hal itu dapat dilihat bahwa membawa rokok di area TPA oleh pemulung tidak diperbolehkan karena ada pihak yang mengawasi.

  Kalo masalah kebakaran itu dari korek korek bensol itu mungkin siangnya kena matahari terus lama kelamaan kan meletus jadi ya kebakaran. Kalo untuk pemulung sendiri saya rasa jadi tidak mungkin kalo membakar soalnya kan dia lambat kerjanya juga (Ardi, 2015)

  Masalah kebakaran tersebut juga disebabkan oleh faktor lain yaitu korek bensol yang digunakan untuk menyalakan rokok karena pemulung yang datang jauh-jauh dari Banyuwangi, Situbondo dan Lamongan mempunyai kebiasaan mengais sampah sambil merokok, namun karena pada saat itu juga terjadi terik matahari yang panas menyengat area TPA kemudian terjadilah letusan sehingga terjadi kebakaran yang diakibatkan oleh korek bensol dan bukan puntung rokok dari pemulung yang kemudian menyebabkan kebakaran. Korek bensol tersebut meledak lalu api menjalar ke sampah-sampah sehingga terjadilah kebakaran yang diakibatkan oleh kelalaian pemulung. Bahkan dalam beberapa hari selanjutnya api belum bisa dipadamkan.

  Di permukaan memang sudah tidak mengeluarkan asap, akan tetapi ternyata api memang belum padam karena mungkin begitu banyaknya volume sampah yang terbakar sehingga sulit untuk mengatasinya dan memang kejadian tersebut memang kejadian tak terduga sebelumnya (Ipung, 2015)

  Ini mungkin karena kemarin sampah ini terbakar lagi tapi tidak dilaporkan oleh pihak-pihak yang ada di area TPA seperti sopir truk sampah, pemulung, pengepul dan lain-lain sehingga api masih membara di dalam tumpukan sampah (Ardi, 2015)

  Pernyataan di atas tersebut mengungkapkan bahwa api masih belum padam dan walaupun dalam permukaan tidak mengeluarkan asap namun api masih membara dan menyala dalam tumpukan sampah. Karena hal tersebut memaksa harus mencari sumber yang menyebabkan terjadi kebakaran dan mengurai bagian dalamnya dengan eskavator. untuk mendapatkan air PMK harus mengambil jauh dari sungai lamong yang jaraknya 10 menit PP ditambah interval waktu pengisian air tangki PMK.

  Karena kalau dipadamkan menggunakan air lindi, berbahaya untuk petugas karena mengandung zat yang bahaya bagi tubuh. Sementara kalau mengambil air dari tambak akan diprotes petani tambak karena bisa berdampak kepada ikan-ikan atau garam yang ada di tambak (Ipung, 2015)

  Dengan kondisi tersebut memaksa PMK bekerja keras untuk memadamkan api dan membutuhkan banyak waktu karena harus mengambil air ke tempat yang agak jauh. Pernyataan-pernyataan diatas berbanding terbalik dari pengakuan salah satu pemulung:

  Yo iyo dek ajange dicekel PT iku diobong TPA ne kan iku gak oleh sama pemulung iku dicekel PT iku gak oleh yo gak kakean ngomong dadi langsung diobong cuma e lanang podo lanang podo kendel kendel e makane iku kan lak wong wedok wedok enggak cuma e pemulung seng lanang seng kendhel iku seng ngobong opo iku sapi yo kobong 3 moro-moro mlayu mlayu langsung kejegor jurang iku sapi seng dikek‟I pemerintah (Mukayati, 2015).

  Dari pernyataan yang dibeberkan oleh pemulung diatas menjelaskan bahwa ada ketakutan dari pihak pemulung dengan kepemilikan TPA yang baru sehingga membuat pemulung laki-laki mempunyai inisiatif untuk membakar TPA lalu terjadilah kebakaran hebat di area TPA yang juga menyebabkan 3 sapi hadiah kompensasi dari Pemerintah Kota Surabaya mati.

  Sebelumnya pada awal pembangunan TPA, Pemerintah Kota Surabaya memberikan banyak kompensasi contohnya sapi, pembangunan Masjid, pembangunan Sekolah dan air PDAM masuk ke desa Benowo. Akan tetapi karena masyarakat sekitar yang memiliki hak untuk memelihara hewan ternak seperti sapi sehingga para pemulung sangat acuh tak acuh walaupun sapi itu mati agar hak asasinya didengarkan:

  Yo Cuma‟e gak eruh pemulung iku Cuma‟e mbakar tapi gak eruh siji sijine yo meneng gak eruh terus pemerintah e gak ngerti yo diem diem yo mungguhno onok seng kecekel yo paleng lame hukumane lah terus pemerintah kate nyekel sopo yo ra eruh wong sakmunu akeh‟e yo gak eruh siji-sijine gak eruh wong kupul kumpul ndok kunu kabeh yo gak eruh to wek‟e pemulung pemulung yo katut kabeh yo gak ngurus (Mukayati, 2015)

  Dari pernyataan di atas menjelaskan bahwa pemerintah belum bisa mengetahui bahwa faktor sebenarnya yang menyebabkan kebakaran hebat adalah para pemulung itu sendiri namun karena dalam tempat kejadian perkara ada banyak pemulung sehingga sulit untuk menemukan siapa pelakunya walaupun nantinya apabila pelakunya dapat ditemukan hukumannya sangat besar sekali.

  Kondisi seperti itu membuat para pemulung kehilangan pekerjaannya, para pemulung putus asa karena salah satu tempat yang dapat menghasilkan rezeki demi menyambung hidupnya harus rela tempat tersebut terbakar dan akan memakan waktu yang cukup lama sehingga memaksa untuk pemulung-pemulung tersebut pulang ke daerah asalnya masing-masing. Untuk menjelaskan kembalinya pemulung ke daerah asal akan dijelaskan dalam subbab.

3.1.2 Kembalinya Pemulung ke Daerah Asal

  Ratusan pemulung yang mengais sampah di TPA terbesar di Surabaya yaitu TPA Benowo, hampir semua dari luar kota Surabaya. Ada yang dari Lamongan, Situbondo dan Banyuwangi. Mereka telah jauh-jauh merantau ke Surabaya hanya untuk menyambung hidupnya dan menghidupi keluarganya namun cobaan tetap ada untuk mereka:

  Itu parah sampai ditutup ini parah kok kemaren itu sampai pemulung nggak bisa makan sama nggak bisa beli apap-apa untuk kebutuhan itu pulang semua, sampai pemulung kelaparan terus pulang kampung saya sendiri kecewa (Sugianto, 2015)

  Argumentasi yang diberikan oleh salah satu pemulung tersebut menjelaskan bahwa akibat terjadi kebakaran tersebut telah menimbulkan bencana besar bagi semua pemulung seperti banyak yang kelaparan, tidak bisa makan, tidak ada yang bisa untuk mencukupi keluarga sehingga rasa kekecewaan menghampiri mereka yang akhirnya tidak bisa berbuat apa- apa dan memaksa mereka untuk pulang kampung.

  Pas kobongan iku dek, wes gak onok seng isok dilakokno maneh, aku dewe mulih nang desoku dewe nang situbondo daripada nang kene ngenteni mati genine, iyo lek sedino kobangane mari lek pirang-pirang dino rugi laan dadi pas iku wes mikir-mikir nggolek kerjoan liyo nang ndeso iku (Asmanianingsih, 2015) Dari pernyataan diatas dijelaskan bahwa tidak ada hal yang bisa dilakukan lagi di TPA Benowo setelah terjadi kebakaran. Kebakaran yang menghanguskan semua alat-alat di TPA Benowo butuh waktu yang panjang untuk meredakan api-api tersebut sehingga pemulung sudah mulai memikirkan untuk mencari pekerjaan lain di daerah asal.

  Aku dewe yo mulih kampung nang daerahku asal yo iku nang Lamongan dik lah ke‟opo maneh wes gak anok sek isok digawe nggolek duwik maneh gak duwe duwik gawe tuku opo-opo yowes mulih iku nggawe duwik-duwik sisa (Mukayati, 2015)

  Memang diakui bahwa kondisi tersebut telah membuat pemulung putus asa dan tidak bersemangat lagi hingga akhirnya memaksa mereka untuk pulang walaupun dengan uang-uang sisa namun yang terpenting sampai daerah asal. Faktor selanjutnya yaitu kembalinya pemulung dari daerah asal ke TPA Benowo yang akan dijelaskan dalam subbab.

3.1.3 Kembalinya Pemulung dari Daerah Asal ke TPA Benowo

  Selang beberapa hari setelah para pemulung pulang ke kampung daerah masing-masing, mereka berniat untuk kembali ke ladang pekerjaan utamanya yaitu TPA Benowo namun mereka menemui banyak rintangan dan halangan untuk bisa mengambil haknya yaitu mencari barang-barang bekas untuk bisa dijual kembali setelah sudah lama meninggalkan area TPA karena terjadi kebakaran:

  Iku sebab‟e pemulung iku dek yo ngongkon buka kan oleh‟e barang‟e iku cari-cari plastik koyok sandal ngene iki kan akeh kan pirang-pirang minggu berapa hari kan ditaruh sana dek didalam sampah kono terus maringono ditutup gak oleh masuk sama satpam dadi pemulung kabeh kan nyerbu kongkon buka nek

  montor‟e yo terus buak yo bego‟ne terus begone yo terus jalan (Mukayati, 2015)

  Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa berminggu-minggu para pemulung menaruh barang-barang bekas atau sampah seperti plastik, sandal, botol air mineral bekas, sendok dan garpu bekas, namun karena terjadi kebakaran sehingga tim pengamanan TPA tidak memperbolehkan, padahal barang tersebut adalah barang yang sudah menjadi miliknya atau haknya:

  Cum a‟e gak onok pemulung ngapek ngunu lo dek, nek gak oleh masuk pemulung‟e mek isok ngomong “gak oleh masuk yowes, aku mau jual barang saya,” yo ngunu terus pemulung‟e nyerbu, sajane ditutup sampah‟e gak masalah, gak oleh dipe‟I gak masalah Cuma oleh‟e barang‟e iku mau dijual, gawe bon-bon‟an toko (Mukayati, 2015)

  Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa mereka tetap memaksa untuk masuk ke area TPA bahwa mereka mempunyai alasan untuk bisa mengambil barang-barang bekas yang menjadi miliknya sampai-sampai mereka rela tidak boleh mengais sampah asalkan mereka boleh mengambil sampah yang mau dijual yang telah menjadi miliknya.

  Satpam karo wong-wong seng koyok preman iku akeh, iku kabeh njogo nang ngarepe gerbang TPA Benowo jogo-jogo lek onok pemulung seng mekso mlebu terus pemulung kabeh iku wedi lek diserang soale preman-preman iku awak.e gedhe-gedhe (Asmanianingsih, 2015).

  Argumentasi yang diberikan oleh salah satu pemulung yang mengalami langsung kejadian tersebut sampai-sampai takut untuk masuk ke area TPA karena telah dihadang oleh satpam dan sejumlah preman yang diduga dari pemerintah untuk menakut-nakuti para pemulung agar tidak masuk dulu karena TPA belum aman.

  Lah soale awak dewe iku para pemulung iku yo pengen oleh duwik gawe mangan gawe kebutuhan liyo iku akhire yo mekso ae mlebu nang TPA lah satpam karo preman iku langsung ae nyantapi pemulung seng mekso mlebu kene yo sajane wedi tapi ke‟opo maneh kene yo butuh sampah iku (Mukayati, 2015).

  Konflik antara pemulung dengan satpam dan preman akhirnya terjadi pada saat pemulung yang tidak diperbolehkan masuk ke area TPA namun memaksa untuk masuk karena ingin mengambil barang bekas sampahnya. Hal ini wajar bagi pemulung sebagai pihak yang menuntut haknya yang kemudian terjadi konflik realistis.

  Coser menegaskan bahwa konflik realistis yaitu konflik yang berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan runtutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, yang di tujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Di dalam kasus TPA Benowo tersebut pengelola TPA sebagai pihak yang mengecewakan karena mempunyai tuntutan khusus yaitu tidak memperbolehkan para pemulung masuk karena dikhawatirkan terjadi kebakaran besar lagi namun hal tersebut sangat tidak menguntungkan bagi para pemulung karena mereka juga butuh barang bekas sampah tersebut untuk dijual demi mencukupi kebutuhan sehari-hari sehingga saat para pemulung memaksa masuk ke area TPA Benowo mereka sudah menganggap pihak TPA sebagai obyek yang mengecewakan sehingga layak untuk dituntut untuk memperjuangkan haknya yaitu mengambil barang bekas sampah untuk dijual.

  Pemulung nang kene iku nang TPA Benowo iku mek isok nggolek duwik karo njupuk‟I barang –barang bekas sampah koyok ngene iki onok sandal bekas yo dijupuk onok botol bekas yo dijupuk onok sendok garpu yo dijupuk iku ngkok didol gawe tuku kebutuhan gawe mangan gawe nyekolahno anak‟e tapi yo nemen sampek satpam karo preman iku nggepuk‟I pemulung saole sakno pemulung iku (Asmanianingsih, 2015).

  Memang diakui bahwa pemulung tersebut hanya mengandalkan sampah-sampah di TPA Benowo yang kemudian dijual ke pengepul untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari jadi, ketika tim pengamanan TPA tidak memperkenankan para pemulung untuk masuk, mereka sangat marah sekali sehingga terjadilah konflik realistis seperti yang diungkapkan oleh Coser. Bagi Coser, konflik realistis merupakan satu alat untuk suatu tujuan tertentu, yang kalau tujuan itu tercapai akan menghilangkan sebab-sebab dasar dari konflik itu. Dalam kasus tersebut pengelola TPA sebagai obyek yang telah mengecewakan para pemulung karena telah melarang mereka masuk ke dalam TPA untuk mengambil barang bekas sampah yang merupakan haknya sehingga terjadilah konflik realistis yang bermula dari pemulung yaitu subyek awal yang memakai konflik tersebut sebagai satu alat untuk suatu tujuan tertentu agar tujuan bisa tercapai yaitu pemulung mendapatkan haknya dan dapat menghilangkan sebab-sebab dasar konflik tersebut yaitu pengusiran pemulung dari TPA Benowo.

  Coser juga mengungkapkan bahwa konflik realistis sering merupakan rangsangan utama untuk perubahan sosial. Artinya konflik realistis memuat didalamnya kepentingan-kepentingan, individu-individu serta kepentingan kelompok tertentu, namun apabila kepentingan itu sudah tercapai, maka konflik akan terus terjadi, namun tanpa penyebab awal yakni kepentingan individu-individu serta kepentingan kelompok. Dalam kasus TPA Benowo perubahan sosial yang dimaksud ialah kebijakan baru dari pengelola TPA Benowo lewat peraturan-peraturan yang dapat menyejahterakan pemulung. Kebijakan baru lewat peraturan-peraturan dapat mengahasilkan kepekaan terhadap kebutuhan pribadi anggota sistem yaitu pemulung dan membantu perubahan dalam masyarakat. Menurut Coser perubahan tersebut dapat menguntungkan sistem dengan memberikannya kebebasan untuk mengatasi dengan lebih efektif perubahan-perubahan dalam lingkungannya. Dalam kasus di TPA Benowo pengelola TPA perlu memberikan kebebasan kepada pemulung untuk beradaptasi dari peraturan-peraturan baru dalam lingkungannya.

  Damaine yo pemulung ngalah gak mek wes prei pirang ulan paleng sak ulanan prei sak ulanan terus maringono yo dibuka buka dewe iku yo mek dewe mulai kerjo pemulung iku akeh seng mulih mulih nang negara‟ne kono koyok aku ngene iki mulih nang lamongan (Mukayati, 2015)

  Menurut Coser konflik realistis adalah konflik yang memiliki tujuan dan kepentingan yang stabil. Stabil dalam konteks ini artinya konflik tersebut tetap sarat dengan kepentingan. Dalam kasus di TPA Benowo, pemulung mempunyai tujuan dan kepentingan yaitu masuk ke TPA Benowo untuk mengambil barang bekas sampah yang menjadi haknya untuk dijual ke pengepul. Konflik realistis juga konflik yang mempunyai objek yang jelas sejak dimulainya konflik hingga berakhirnya konflik. Dalam kasus yang terjadi di TPA Benowo, pemulung mengarahkan ke obyek yang jelas sejak dimulainya konflik hingga berakhirnya konflik yaitu tim pengamanan TPA Benowo. Coser berpendapat bahwa stabil juga berarti dari awal hingga berakhirnya konflik tidak ada pembelokan

  25

  terhadap obyek . Untuk faktor selanjutnya yaitu permasalahan transaksi jual beli sampah akan dijelaskan dalam subbab.

3.1.4 Permasalahan Transaksi Jual Beli Sampah

  Permasalahan lain yang timbul di TPA bukan hanya terjadi antara pemulung dengan orang-orang yang berjaga-jaga di area TPA Benowo namun terjadi konflik lain antara pengepul sampah dengan pemulung yang telah lama menjalin transaksi jual beli barang bekas namun karena terjadi kesalahpahaman dari kedua pihak, timbulah konflik antara pemulung dan pengepul sampah terkait masalah transaksi harga barang bekas atau sampah.

  Lah pas nyoba mekso mlebu TPA Benowo nduk kunu yo onok akeh para pengepul sampah, pengepul-pengepul iku seng duwe masalah karo pemulung yo arep e nyantapi pemulung e wes ketok teko raine lek kethok ngamuk kabeh (Sugianto, 2015)

  Pernyataan di atas menyimpulkan bahwa terjadi konflik antara pihak pemulung dan pengepul sampah yang terjadi di depan area TPA pada saat pemulung mencoba masuk ke TPA untuk mengambil barang bekasnya 25 namun sudah dulu dihadang oleh pengepul sampah.

  Susan,Novri.2010.Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer.Jakarta:Kencana (Hal 60)

  Pengepul-pengepul sampah iku yo arep e demo nang pemulung masalah rego sampah seng njaluk mudun padahal pemulung yo isok ngedol nang pengepul liyo seng isok ngekek I harga gedhe yo kene yo ngeyel lek pengen tuku pemulung kene yo kudu gawe rego pas ojo mudun (Mukayati, 2015)

  Argumentasi yang diberikan oleh pemulung di atas menjelaskan bahwa hal yang menjadi pemicu terjadinya konflik antara kedua belah pihak yaitu masalah harga barang bekas. Transaksi sebelumnya terjalin baik namun terjadi satu hal yaitu pengepul sampah meminta harga barang bekas sampah yang dijual oleh pemulung ke mereka untuk turun harga, namun karena tidak terjadi kesepakatan antara kedua pihak maka terjadilah konflik. Pemulung-pemulung yang merasa bisa menjual sampahnya ke pengepul lain sangat percaya diri untuk tetap menolak menjalin transkasi dengan pengepul-pengepul yang telah menghadang mereka di area TPA tersebut.

  Setelah terjadi konflik antara pengepul sampah dengan pemulung, tidak lama kemudian datanglah anggota DPRD yang merupakan teman dekat dari salah satu pengepul sampah yang juga bisa dikatakan tangan kanan dari anggota DPRD yang ikut campur tangan masalah tersebut.

  Salah satu anggota DPRD datang ke TPA Benowo beserta bodyguard- bodyguardnya untuk melawan pemulung karena salah satu pengepul sampah miliknya mempunyai masalah dengan pemulung.

  Dadi demo e unjuk rasa e yo mek pisan iku ambek DPR iku mau, kan wong sugih yo dek, yo kalah pemulung‟e sajane yo podo. Satpam karo bodyguard- bodyguard‟e iku sak truk dek dadi yo takut pemulung yo nek diserang(Mukayati, 2015) Pernyataan di atas menyimpulkan bahwa unjuk rasa tersebut persis pada saat akan terjadi pilkada yaitu akhir tahun 2012. Para pemulung berseteru dengan salah satu anggota DPRD yang merupakan teman dekat pengepul karena permasalahan transaksi jual beli sampah, Namun pemulung merasa takut dan menganggap anggota DPRD tersebut adalah golongan orang kaya yang bisa memanggil bodyguard-bodyguard untuk melawan mereka.

  Pas memaksa masuk itu juga ada pengepul-pengepul sampah yang sampai melibatkan anggota DPRD soale ada orang e yang jadi pengepul sampah akhirnya ya terjadi pukul-pukulan antar pemulung dengan pengepul sampah soale juga ada latar belakang lain yaitu pengepul atau yang juga disebut juragan sampah tersebut meminta harga barang bekas yang akan dibeli itu turun tapi pemulung nggak mau karena masih bisa diharga I tinggi sampah atau barang bekas tersebut di pengepul lain jadi setelah itu wes terjadi pukul-pukulan diantara mereka (Amin, 2015)

  Argumentasi yang diberikan oleh salah satu pegawai Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya menjelaskan bahwa telah terjadi baku hantam antara pemulung dan pengepul sampah yang juga sampai melibatkan anggota DPRD karena tangan kanannya tersebut mempunyai masalah dengan pemulung terkait kesepakatan harga barang bekas sampah, namun karena tidak terjadi kesepakatan antara kedua pihak sehingga terjadilah konflik.

  Tahu itu anu mas soalnya pengepul kan barang dari TPA itu pokoknya nggak keluar wilayah sekitarnya sendiri maksudnya nggak boleh dijual ke luar area.sampai anggota komisi c DPRD sapa itu namanya pak Syaifudin Zuhri juga sempat mukul pemulung gara-gara orang e ya pengepul iku dikecewakno (Ardy, 2015) Ada latar belakang lain yang disimpulkan dalam pernyataan di atas bahwa para pengepul sampah juga khawatir bila pemulung menjualnya ke pengepul lain di luar area TPA Benowo dengan alasan harga yang tidak cocok antara kedua belah pihak sampai-sampai salah satu anggota DPRD melakukan pemukulan pada pemulung karena tangan kanan nya yaitu pengepul sampah dirugikan. Setelah terjadi konflik, warga sekitar yang mengetahui kejadian tersebut berniat untuk menghentikan unjuk rasa dan konflik tersebut.

  Aku dulu juga pernah jadi pengepul mas sebelum kerja di PT SO, dulu memang pada saat itu harga barang bekas di pasar loak memang sedang naik jadi para pengepul minta ke pemulung harganya turun jadi minta harga murah tapi pemulung nolak akhirnya ya timbul konflik di area TPA Benowo itu mas (Mataji, 2015).

  Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa pihak ketiga yaitu pasar loak mengubah kebijakan dengan mematok harga tinggi namun pengepul sampah meminta pada pemulung barang bekas sampah tersebut turun harga. Dalam kasus tersebut konflik yang terjadi adalah konflik non realistis karena pengepul sampah menunjukkan prasangka terhadap pemulung melalui permasalahan transaksi barang bekas sampah. Tetapi, yang sebenarnya terjadi ialah kenaikan harga barang bekas sampah berawal dari penjual di pasar loak yang ingin barang dagangannya laku dan mendapatkan untung yang banyak dari konsumen. Oleh karena tidak mampu bermusuhan dengan pihak penjual di pasar loak sebagai obyek kemarahan menentang sistem jual beli sampah. Dalam konflik non realistis, hubungan antar kelompok, pengkambinghitaman digunakan untuk menggambarkan keadaan dimana seseorang tidak melepaskan prasangka (Prejudice) mereka melawan kelompok yang benar-benar merupakan lawan, dan dengan demikian menggunakan kelompok pengganti sebagai obyek prasangka. Dalam kasus TPA Benowo, konflik telah membelok dari obyek sebenarnya artinya obyek yang telah mengecewakan pengepul sampah ialah penjual di pasar loak yang menaikkan harga barang bekas sampah namun pengepul sampah menunjukkan prasangka (Prejudice) kepada pemulung oleh karena tidak mampu menentang sistem kebijakan transaksi barang bekas sampah.

  Coser juga berpendapat bahwa ketika non realistis, konflik cenderung akan menjadi kekerasan. Non realistis tersebut sangat mungkin terjadi ketika konflik adalah tentang nilai-nilai inti, yang emosional serta memobilisasi peserta dan membuat mereka tidak mau berkompromi.

  Apalagi jika konflik bertahan untuk jangka waktu yang panjang, maka konflik menjadi semakin non realistis dan sebagai pihak yang terlibat secara emosional, musuh digambarkan dalam bentuk yang semakin

  26

  negatif . Dalam kasus di TPA Benowo, konflik yang terjadi antara anggota DPRD dengan tangan kanannya pengepul sampah melawan pemulung menimbulkan kekerasan karena terjadi pemukulan kepada pemulung oleh anggota DPRD. Pengepul sampah dan anggota DPRD mempunyai kepentingan menyangkut nilai-nilai inti yaitu tentang masalah 26 harga beli barang bekas sampah kemudian kelompok tersebut

  Poloma,Margaret.2013.Sosiologi Kontemporer.Jakarta:Rajawali Pers (Hal 111) memobilisasi peserta yaitu bodyguard-bodyguardnya dan tidak membuat kompromi dulu dengan pemulung sehingga berujung konflik.

  Penyelesaiannya ya para pengepul sama para pemulung sama salah satu anggota DPR itu diajak bicara bareng supaya konflik yang ada di TPA Benowo itu cepat terselesaikan dan TPA Benowo bisa bekerja kembali dan nggak ada pukul-pukulan lagi yang merugikan banyak pihak (Ardy, 2015)

  Dari argumentasi diatas dijelaskan bahwa konflik yang terjadi di TPA Benowo tersebut sangat merugikan banyak pihak dan kerugian yang sangat jelas sekali bahwa TPA tidak bisa beroperasi dengan baik sehingga dibutuhkan alat untuk mencapai tujuan yaitu katup penyelamat untuk meredakan ketegangan.

  Semua akhirnya sepakat damai, yang pemulung itu nantinya tetap menjual sampahnya ke pengepul di sekitar TPA karena sama-sama membantu kan pemulung ini kan juga kerja di area TPA dan masalah harga itu ada jalan keluar yaitu harganya tetap seperti dulu (Mataji, 2015)

  Katup penyelamat atau safety valve sangat dibutuhkan untuk meredakan konflik. Bagi Coser, katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam. Dalam konflik yang melibatkan anggota DPRD, pengepul sampah dan pemulung telah melakukan pembicaraan dan mencari jalan keluar nya yaitu masalah harga yang menimbulkan pertengkaran dicari solusi yang terbaik dan hasilnya transaksi jual beli barang bekas bekas sampah akan kembali berjalan seperti semula antara pemulung dan pengepul sampah. Katup penyelamat ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat juga merupakan sebuah lembaga pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Coser; lewat katup penyelamat itu, permusuhan dihambat agar tidak berpaling melawan obyek aslinya.

3.2 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Konflik Desember 2012

  Pada subbab ini akan menjelaskan tentang konflik yang berawal dari aksi demo atau unjuk rasa yang diprakarsai oleh massa Forkom di area TPA Benowo, aksi tersebut ditujukan kepada Pemerintah Kota Surabaya yang pada waktu itu masih belum bisa mengolah secara modern dan professional. Konflik di TPA Benowo pada bulan Desember 2012 sangat dinamis karena tidak hanya terjadi konflik antara massa Forkom dengan pengelola TPA, namun terjadi konflik selanjutnya antara massa Forkom yang notabene adalah massa yang menentang keberadaan TPA Benowo dengan kelompok pengepul sampah yang sangat pro terhadap keberadaan TPA Benowo. Uraian di bawah ini akan menjelaskan faktor-faktor latar belakang terjadinya konflik.

3.2.1 Pergantian Kepengelolaan TPA Benowo

  TPA Benowo yang dibangun tahun 2000 namun baru beroperasi tahun 2001 yang juga sebelumnya dikelola Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya mulai mempunyai wacana untuk mencari pihak yang bekerja sama untuk mengelola TPA. Proses untuk melelang TPA Benowo sesuai dengan rekomendasi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya:

  Sebelumnya kita tahu bahwa selama berpuluh tahun sampah yang tidak diurai akan memunculkan banyak bahaya sehingga Pemkot mempunyai rencana untuk lelang investasi TPA Benowo (Amin, 2015)

  Dari pernyataan di atas mengartikan bahwa pihak Pemerintah Kota Surabaya mempunyai rencana untuk melelang investasi pengelolaan sampah di TPA Benowo dengan sistem BOT (Built Operate Transfer) dengan anggaran dana yang harus dikeluarkan Pemerintah Kota Surabaya selama 20 tahun mencapai 362 miliar. Pegawai Negeri Sipil dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya tersebut juga berkomentar:

  Pada tahun 2009 sebenarnya Pemkot telah membuka lelang investasi namun tidak ada pihak yang tertarik sehingga pada tahun 2011 lelang investasi pengelolaan sampah dibuka lagi dengan memunculkan 4 calon 4 calon tersebut datang dari bermacam-macam negara bukan hanya dari Indonesia (Amin, 2015)

  Pernyataan di atas menjelaskan bahwa pada tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2009 Pemerintah Kota Surabaya telah mencari pihak yang bisa diajak bekerja sama dalam proses mengurai sampah yang juga bisa diajak kerja sama untuk mengelola TPA benowo dalam waktu yang lama. Pada tahun selanjutnya yaitu pada tahun 2011 ada 4 calon yang mendaftar untuk bisa menjadi mitra dalam pengelolaan sampah TPA Benowo. 4 calon yang akan diajak kerja sama bukan hanya dari Indonesia namun dari mancanegara dan 4 calon tersebut ialah PT Phoniex dari Singapura, PT Sumber Organik dari Indonesia, PT Imantata dari Prancis dan terakhir yaitu PT Medco dari Malaysia. PNS tersebut berujar lagi:

  Namun pihak Pemkot mempunyai kualifikasi untuk menentukan pemenang dan siapa yang berhak diajak kerja sama dalam pembangunan TPA Benowo Dari 4 calon tersebut akhirnya diputuskan kalau pemenangnya adalah PT Sumber Organik dari Indonesia dengan pengajuan investasi Rp 314 miliar dengan tipping fee Rp 119 per kg sampah (Amin, 2015)

  Dari pernyataan di atas pihak Pemerintah Kota Surabaya mempunyai putusan-putusan tersendiri untuk menentukan siapa calon investor yang berhak menjadi mitra mengelola TPA Benowo dan syarat tersebut ialah investor yang dapat memberikan „sharing profit‟ terbesar serta biaya „tipping fee‟ terkecil. PT Sumber Organik dari Indonesia mengajukan investasi Rp 314 miliar dengan tipping fee RP 119 kg namun investasi tersebut berbeda dengan kandidat lainnya yaitu PT Medco dari Malaysia yang mengajukan investasi Rp 640 miliar dengan tipping fee Rp 110 per kg sampah, PT Imantata dari Prancis yang mengajukan investasi 284 miliar dengan tipping fee Rp 110 per kg sampah, dan terakhir PT Phoniex dari Singapura yang mengajukan investasi sebesar Rp 360 miliar dengan tipping fee sebesar Rp 112 per kg sampah.

  Pihak Pemkot mempunyai kualifikasi dan pertimbangan yang berat sehingga sulit mencari yang pas namun yang menjadi pemenang adalah yang mempunyai potensi untuk memajukan TPA Benowo ke arah lebih baik walaupun ada kandidat yang mempunyai tipping fee terkecil namun itu tidak mengubah keputusan Pemkot (Ipung, 2015)

  Dari pernyataan di atas menjelaskan bahwa keputusan Pemerintah Kota Surabaya yang memenangkan PT Sumber Organik dari Indonesia karena mempunyai rencana kerja untuk mengolah sampah menjadi gas dan listrik dan itu sesuai dengan kehendak pihak Pemerintah Kota Surabaya sendiri karena rencana itu bisa membawa TPA Benowo menjadi TPA yang bermanfaat selain itu mereka juga dari negara sendiri yaitu Indonesia.

  

Setelah terjadi pergantian pengelola TPA Benowo lalu memutuskan bahwa

yang resmi menjadi pengelola TPA Benowo yang baru adalah PT Sumber Organik sehingga pada bulan November 2012 adalah waktu yang bersejarah bagi TPA Benowo. Pergantian pengelolaan juga berimbas pada sistem kerja.

  Dengan dikelola pihak swasta kan mereka menggunakan teknologi tinggi itu nanti sampah kan dimanfaatkan dan dibuatkan pabrik hingga sampah dapat dikonvensi menjadi energi listrik yang akan dibuat ke PLN lalu didistribusikan ke masyarakat (Amin, 2015)

  Dari pernyataan di atas menjelaskan bahwa system waste to energy adalah sistem kerja yang menggunakan teknologi tinggi jadi sampah yang masuk dimanfaatkan pabrik hingga dapat dikonvensi menjadi energi listrik lalu didistribusikan ke masyarakat namun sebelumnya dikelola oleh PLN energi listrik tersebut.

  Untuk pengelolaan sampah disana kan lebih bagus mungkin karena dipegang swasta kan punya sistem kedepannya jadi mau dibikin sebuah perusahaan sebuah pengelolaan sampah maupun sampah organic maupun energy listrik jadi mau ditata rapi sampah yang dulunya tidak ada tutup imbra sekarang ada tutup imbra (Mataji, 2015)

  Pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa sisitem kerja di TPA Benowo setelah diambil oleh pihak swasta telah mengalami kemajuan yang pesat bahwa dulu tidak ada tutup imbra untuk mengubah sampah menjadi energi listrik namun sekarang telah ada sistem kerja baru tersebut.

  Untuk struktur supaya TPA Benowo maju kita dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan dari bekerja sama dengan tim ahli dari ITS akademisi untuk mengawasi perkembangan TPA dan sejak diambil oleh pihak swasta masih menggunakan tim ahli tersebut (Ipung, 2015)

  Dari pernyataan di atas menjelaskan bahwa untuk kemajuan dan perkembangan TPA, pihak swasta yaitu PT Sumber Organik bekerja sama dengan Akademisi dari ITS selaku tim ahli untuk mengawasi TPA.

  Di daur ulang untuk sementara ini belum ada dan PT sendiri ke depan mau ada program itu jadi belum ada realisasi ya daur ulang itu ya merupakan kerja pemulung jadi daur ulang diluar perusahaan jadi pemulung mengais barang-barang rongsokan itu yang dijual di tengkulak-tengkulak kemudian dikirim perusahaan jadi untuk PT sendiri ya punya program jadi untuk sementara ini belum ada realisasi (Mataji, 2015)

  Pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa proses daur ulang di TPA yang saat ini masih dikelola oleh pihak swasta masih belum ada. Program ke depannya yaitu PT Sumber Organik akan punya program tersendiri yang belum terealisasi namun bagi pemulung, proses daur ulang terjadi diluar perusahaan jadi barang-barang rongsokan yang dijual oleh pemulung ke tengkulak atau pengepul sampah akan di daur ulang sendiri.

  Di rencana itu ada jadi kita nanti proses composting nya jadi disana nanti juga ada rumah kompos kemudian nanti juga ada proses pemilahannya seperti sampah plastic nanti ada pemilahannya dulu sebelum akhirnya dibawa (Andini, 2015)

  Dari pernyataan di atas dapat dijelaskan bahwa rencana daur ulang TPA Benowo yang baru ialah proses Composting jadi di TPA tersebut akan dibangun rumah kompos yang nanti juga ada proses pemilahannya untuk sampah plastik. Faktor selanjutnya yaitu tidak adanya sosialisasi kerja TPA Benowo yang akan dijelaskan dalam subbab.

3.2.2 Tidak Adanya Sosialisasi Kerja TPA Benowo

  Setelah TPA Benowo memasuki era baru per bulan November 2012, Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya mempunyai mitra baru untuk bersama-sama dalam pengelolahan TPA Benowo yakni PT Sumber Organik dari Indonesia yang notabene adalah perusahaan swasta yang mempunyai sistem kerja mengubah gas menjadi listrik, namun karena tidak adanya sosialisasi kerja dari pengelola TPA Benowo untuk warga sekitar tentang pergantian kepengelolaan TPA lalu munculah massa Forkom yang berdemo:

  Massa Forkom itu terdiri dari orang kampung Pakal dan Benowo dan berisikan orang-orang pemilik tambak, petani tambak dan warga, pada saat itu mereka demo untuk meminta TPA dipindah karena kurang jelasnya sosialisasi dan tiba-tiba kok pindah kepemilikan (Ardi, 2015)

  Argumentasi di atas dapat disimpulkan bahwa warga, petani tambak ikan dan garam serta pemilik tambak ikan dan garam yang menamai diri mereka dengan nama massa Forkom melakukan unjuk rasa untuk meminta TPA benowo dipindahkan karena dari pemegang sebelumnya yaitu Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya yang mempunyai izin mengelola TPA dengan waktu 6 tahun yaitu pada tahun 2001 sampai 2007 namun tanpa pemberitahuan muncul kontrak 25 tahun mengelola TPA dari pihak DKP dan PT Sumber Organik.

  Aku juga kadang-kadang bingung keberadaan sampah disini itu belum ada sosialisasi jadi ketika ditangani DKP itu berapa tahun lalu ditangani swasta itu berapa tahun, aku juga selaku ketua RW ditanyai wargaku sendiri aku tidak tahu Cuma denger-denger itu 20 tahun semenjak ditangani swasta itu kurang lebih 20 tahun (Mataji, 2015)

  Argumentasi yang diberikan oleh karyawan PT Sumber Organik yang juga menjabat sebagai Ketua RW desa Benowo menjelaskan bahwa Pemerintah Kota Surabaya dan mitranya yang baru tersebut kurang memberikan sosialisasi terkait kontrak keberadaan TPA Benowo dan ketika ada warganya yang bertanya, beliau tidak bisa menjawab.

  Saya sendiri terus terang menyayangkan aksi tersebut sebenarnya kalau ada TPA itu enak bagi warga sini yang jadi pengepul bisa buat nyari uang tapi Pemkot dan pihak PT SO sendiri juga nggak mberi tahu atau sosialisasi TPA Benowo itu sampai kapan ya demo itu ya gara-gara itu (Mataji, 2015)

  Dari pernyataan di atas di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan TPA Benowo telah menguntungkan bagi warga sekitar desa benowo yang berprofesi sebagai pengepul sampah karena mereka bisa mencari nafkah dengan membeli barang bekas sampah dari pemulung untuk dijual kembali ke pasar loak, namun karena kurangnya sosialisasi kontrak kerja TPA Benowo maka terjadilah aksi unjuk rasa tersebut.

  Ketika dulu mas waktu Tempat Pembuangan Akhir dari Keputih pindah ke Benowo pertama kali pada tahun 2001, warga sekitar mendapatkan banyak kompensasi seperti pembangunan sekolah, pembangunan musholla, pemberian hewan ternak sapi lah waktu pihak swasta mengambil alih tidak ada sosialisasi dan tidak ada kompensasi waktu pertama kali mengambil alih (Mataji, 2015)

  Dari pernyataan di atas disimpulkan bahwa waktu pertama kali TPA Benowo dibangun ada banyak kompensasi yang diberikan untuk warga sekitar dari Pemerintah Kota Surabaya. Kompensasi tersebut antara lain pembangunan Sekolah, pembangunan Musholla, pemberian hewan ternak, namun ketika pihak swasta yaitu PT Sumber Organik mengambil alih TPA Benowo tidak ada sosialisasi yang diberikan untuk warga sekitar terkait dampak kesehatan dan juga tidak ada warga sekitar yang mendapatkan kompensasi.

  Demo itu diikuti sekitar 700 warga dengan membawa spanduk banyak yang minta TPA itu pindah, ada yang tulisannya „harga mati tutup TPA‟ ada lagi „Mau gak mau TPA harus tutup‟ itu parah unjuk rasa e sampai-sampai ketua mereka nama e Asrofi Musyaf dipukul sama orang tidak dikenal denger-denger se orang itu yang pro keberadaan TPA (Ardy, 2015)

  Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa yang melakukan aksi unjuk rasa berjumlah 700 orang dan pada waktu melakukan aksi tersebut massa Forkom membawa spanduk yang menuntut TPA benowo dipindahkan atau ditutup, namun tak lama kemudian muncul orang yang pro keberadaan TPA melakukan pemukulan terhadap ketua mereka yaitu Asrofi Musyaf.

  Dalam kasus tersebut dapat disimpulkan telah terjadi konflik realistis antara kelompok orang yang kontra keberadaan TPA Benowo melawan Pemerintah Kota Surabaya. Massa Forkom melakukan demo yaitu aksi turun ke jalan untuk menuntut kejelasan masa berlaku TPA yang semula 6 tahun namun menjadi bertahun-tahun karena terbukti pada tahun 2015 TPA di daerah tersebut masih berjalan dan masyarakat menuntut Pemerintah Kota Surabaya untuk membuktikan mengolah sampah secara profesional, modern dan tidak berdampak terhadap lingkungan. Melalui perspektif Coser, ia menegaskan bahwa konflik realistis yaitu konflik yang berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, yang di tujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan.

  Bagi Coser, konflik realistis merupakan satu alat untuk suatu tujuan tertentu, yang kalau tujuan itu tercapai mungkin akan menyelesaikan konflik tersebut. Dalam kasus di TPA Benowo tersebut pengelola TPA sebagai obyek yang mengecewakan warga sekitar karena tidak memberikan sosialisasi kerja terkait pergantian kepengelolaan TPA benowo dan sosialisasi kontrak keberadaan TPA Benowo. Dalam kasus tersebut bermula dari subyek awal yaitu warga sekitar yang memakai konflik realistis lewat aksi unjuk rasa sebagai alat untuk mencapai tujuan yaitu adanya sosialisasi pergantian kepengelolaan dan kontrak keberadaan TPA Benowo. Adanya sosialisasi tersebut dapat menyelesaikan konflik realistis antara warga sekitar dan pengelola TPA.