Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Per
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN TA 2007
Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian
Oleh :
Sahat M. Pasaribu
Bambang Sayaza
Jefferson Situmorang
Wahyuning K. Sejati
Adi Setyanto
Juni Hestina
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
DEPARTEMEN PERTANIAN
2007
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pendahuluan
(1)
Modal adalah salah satu komponen yang tidak dapat diabaikan dalam
proses produksi. Dalam bidang pertanian, modal identik dengan
pembiayaan yang sangat sulit untuk ditanggulangi, khususnya dalam
mengembangkan usahatani di pedesaan. Akses petani terhadap sumbersumber permodalan resmi masih sangat terbatas, kecuali dari para
pelepas uang yang mahal karena dikenai bunga tinggi. Umumnya, hanya
petani yang menguasai lahan luas yang dapat lebih mudah mendapatkan
modal, pada hal, sebagian besar petani di pedesaan hanya menguasai
lahan sempit. Jika lahan usahatani yang dijadikan agunan untuk
mendapatkan kredit modal dari perbankan, maka hampir dapat dipastikan
bahwa sebagian besar petani tidak layak mendapatkan modal yang
bersumber dari lembaga keuangan resmi. Oleh karena itu, modal menjadi
faktor penghambat dalam mengelola usahatani.
(2)
Posisi petani yang umumnya lemah mendorong pemerintah untuk turut
membantu pembiayaan pertanian. Dalam hal ini berbagai instansi
pemerintah terlibat dalam pembiayaan pertanian. Keterlibatan berbagai
instansi tersebut perlu dikoordinasikan agar bisa bersinergi dalam
mengatasi berbagai masalah. Mengingat resiko bisnis sektor pertanian
relatif tinggi dibanding sektor-sektor lainnya, pembiayaan pertanian yang
dilakukan sekarang tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada
mekanisme pasar, tetapi pembiayaan di sektor pertanian perlu dibantu
agar dapat memajukan para pelaku bisnis di sektor ini.
(3)
Keterlibatan lembaga/instansi pemerintah di luar Departemen Pertanian
untuk membangun pertanian secara nasional patut dibanggakan.
Berbagai program yang berkaitan dengan pembangunan pertanian
dilaksanakan dengan fokus perhatian pada bidang tertentu, namun tetap
menyangkut bidang pertanian. Besarnya pembiayaan yang dialokasikan
untuk mendukung program pertanian pada lembaga/instansi di luar
Departemen Pertanian layak diketahui untuk memahami keterlibatan
lembaga/instansi tersebut dalam pembangunan pertanian. Hal ini
diperlukan untuk membantu koordinasi terhadap simpul-simpul sinergi
pembangunan yang direncanakan.
(4)
Masalahnya adalah bahwa pembiayaan pembangunan pertanian yang
dilaksanakan lembaga/instansi pemerintah, baik secara langsung maupun
tidak langsung, hingga kini terus berjalan, namun tidak diketahui
seberapa besar sumbangan masing-masing lembaga/instansi tersebut
dalam pembangunan pertanian nasional. Pembiayaan untuk produksi
tanaman (pangan, hortikultura dan perkebunan) dan produksi peternakan,
masing-masing termasuk produk olahannya perlu diketahui dalam satu
satuan waktu tertentu. Di sini, daftar semua program dan biaya yang
dialokasikan, terserap atau tidak, oleh semua lembaga/instansi yang
terlibat belum dimiliki. Oleh karena itu, analisis pada tingkat makro yang
lebih terfokus pada analisis pengeluaran pemerintah untuk pembangunan
ix
pertanian -- menurut sektor, sub sektor, program dan wilayah -- perlu
dilakukan.
(5)
Masalah lain dalam konteks pembiayaan pertanian adalah tingkat
pengembalian kredit yang umumnya rendah atau menimbulkan kredit
bermasalah. Penghasilan dari usahatani jauh lebih kecil dibanding
kebutuhan rumah tangga sehingga hanya sebagian kecil hasil panen
yang dialokasikan untuk membayar kredit. Bisnis di bidang pertanian
berisiko tinggi, baik dari gangguan alam seperti banjir dan kekeringan,
serangan hama dan penyakit tanaman serta fluktuasi harga yang
signifikan. Persyaratan pengajuan kredit yang tidak sederhana membuat
banyak petani tidak bisa memanfaatkan plafon kredit yang disediakan
pemerintah. Sektor swasta ternyata juga tidak tertarik untuk terlibat
secara langsung dalam pembiayaan pertanian.
(6)
Suatu kajian yang lebih lengkap dan mendalam tentang masalah yang
diuraikan diatas diharapkan dapat dideskripsikan melalui kegiatan
penelitian ini. Perlu dikemukakan bahwa masalah pertama menyangkut
alokasi anggaran pemerintah pada sejumlah lembaga/instansi dan
menuntut jawaban dalam bentuk informasi lengkap tentang program
yang dilaksanakan selama paling tidak 5 (lima) tahun terakhir. Sementara
masalah kedua menyangkut alokasi anggaran yang dikeluarkan
Departemen Pertanian dan menuntut jawaban yang lebih komprehensif
tentang penggunaan dan pencapaian skim pembiayaan yang telah dan
sedang berlangsung saat ini.
Tujuan
(7)
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya
pengeluaran pemerintah untuk membiayai pembangunan sektor pertanian
oleh berbagai lembaga/instansi pemerintah baik serta mengetahui
perkembangan program pembiayaan di sektor pertanian pada 3 (tiga)
skim pembiayaan yang dikelola Departemen Pertanian. Tersedianya data,
informasi dan pengetahuan tentang hal tersebut diatas dinilai sangat
penting untuk merumuskan kebijakan dalam rangka memperbaiki alokasi
anggaran pembangunan pertanian dan meningkatkan kinerja skim
pembiayaan di sektor pertanian. Secara rinci, penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Mengumpulkan data, informasi dan pengetahuan tentang pengeluaran
pemerintah untuk mendukung program pembangunan pertanian oleh
berbagai lembaga/instansi pemerintahan di pusat maupun di daerah.
2. Mempelajari
skim pembiayaan SP3, LM3 dan KKP secara
komprehensif dan menganalisis keuntungan komparatif pembiayaan
sektor pertanian menurut pencapaiannya.
3. Mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan
kegagalan skim pembiayaan sektor pertanian.
4. Merumuskan
saran kebijakan untuk meningkatkan koordinasi
pengalokasian anggaran pembangunan pertanian dan meningkatkan
kinerja skim pembiayaan sektor pertanian.
x
Keluaran yang Diharapkan
(8)
Dengan sasaran tersedianya deskripsi program pembiayaan sektor
pertanian atas dasar pengalokasian anggaran pembangunan nasional
serta dipetakannya skim pembiayaan di sektor pertanian oleh sebagian
program pembiayaan yang dikelola Departemen Pertanian, maka
penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan:
1. Data, informasi dan pengetahuan tentang besarnya alokasi anggaran
pembangunan sebagai pengeluaran pemerintah serta laju
perkembangannya menurut program dan lembaga/instansi terkait.
2. Kinerja skim pembiayaan sektor pertanian, SP3, LM3 dan KKP dan
perkiraan arah pengembangannya menurut sasaran program di lokasi
yang bersangkutan.
3. Informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja skim
pembiayaan pertanian.
4. Saran kebijakan untuk meningkatkan koordinasi pembangunan sektor
pertanian dan perbaikan sasaran program skim pembiayaan di sektor
pertanian.
Metodologi
(9)
Penelitian ini diarahkan untuk menjawab dua bagian kegiatan tentang
pembiayaan sektor pertanian. Kedua bagian tersebut mencakup: (a)
analisis alokasi pengeluaran pemerintah oleh semua lembaga/instansi
untuk sektor pertanian dan (b) analisis skim pembiayaan lingkup
Departemen Pertanian. Memperhatikan dua bagian kegiatan tersebut
diatas, fokus analisis akan dibatasi pada beberapa aspek sebagai berikut:
1. Pengeluaran pemerintah yang sifatnya membiayai kegiatan yang
terkait langsung atau tidak langsung pada pembangunan pertanian
secara nasional maupun regional.
2. Periode program diharapkan tidak lebih dari 5 (lima) tahun terakhir
dan masih berlangsung hingga saat ini.
3. Program atau kegiatan pembiayaan sektor pertanian yang
mendukung peningkatan produksi dan kualitas komoditas pada sub
sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan.
4. Program atau kegiatan skim pembiayaan sektor pertanian yang
ditujukan kepada petani, kelompok tani, lembaga kemasyarakatan
atau kelompok masyarakat lainnya.
5. Analisis yang mencakup kinerja program pembiayaan sektor pertanian
dan skim pembiayaan sektor pertanian.
6. Implikasi kebijakan sebagai hasil analisis penelitian terhadap
pembiayaan sektor pertanian.
(10) Mengingat luasnya kegiatan pembiayaan sektor pertanian ini, maka
pembiayaan di luar pengeluaran pemerintah (government spending) tidak
termasuk di dalam cakupan penelitian ini. Disamping itu, karena
banyaknya skim pembiayaan di Departemen Pertanian, maka akan dipilih
xi
3 (tiga) program skim pembiayaan yang hingga kini masih berjalan untuk
dianalisis secara lebih mendalam (in-depth study).
Ketiga skim
pembiayaan pertanian tersebut adalah: Skim Pelayanan Pembiayaan
Pertanian (SP3), Lembaga Mandiri dan Mengakar pada Masyarakat
(LM3), dan Kredit Ketahanan Pangan (KKP).
(11) Untuk mengetahui besaran investasi pemerintah dalam pembangunan
pertanian, maka dibutuhkan data sekunder yang akan diperoleh dari
berbagai instansi di Jakarta. Sementara itu, lokasi penelitian untuk
menganalisis skim pembiayaan program KKP, SP3, dan LM3 dilakukan di
dua provinsi, yakni Provinsi Jawa Timur (Kabupaten Kediri dan
Kabupaten Tulungagung) dan Provinsi Nusa Tenggara Barat (Kabupaten
Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Tengah). Di tingkat regional data
sekunder KKP diambil dari Provinsi Jawa Timur, data sekunder SP3 dari
Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan data sekunder LM3 dari Provinsi
Jawa Timur dan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Hasil dan Pembahasan
(12) Pada tahun 2007, total anggaran pembangunan pertanian adalah sebesar
Rp 23,2 trilyun. Anggaran paling besar (Rp 8,8 trilyun) dikelola oleh
Departemen Pertanian. Sementara itu, anggaran kedua terbesar (Rp 7,6
trilyun) dialokasikan untuk Departemen Perhubungan, PU, dan ESDM.
Pengelola anggaran pembangunan di sektor pertanian lainnya adalah
Departemen Dalam Negeri (Rp 1,2 trilyun), Departemen Kesehatan (Rp
0,99 trilyun), dan Depnakertrans (Rp 0,93 trilyun). Selebihnya masih
terdapat anggaran pembangunan pertanian yang dikelola oleh
departemen/non departemen maupun instansi pemerintah lainnya.
(13) Rata-rata nilai anggaran pembangunan pertanian selama periode tahun
2002-2007 adalah Rp 17,6 trilyun dengan rata-rata anggaran terbesar (Rp
6,8 trilyun) dikelola oleh Departemen Perhubungan, PU, Kimpraswil, dan
ESDM. Selama periode tersebut rata-rata Departemen Pertanian
mengelola jumlah anggaran terbesar kedua (Rp 4,96 trilyun). Sejak tahun
2002 hingga 2006 nilai anggaran Departemen Pertanian selalu di bawah
akumulasi anggaran yang dikelola oleh Departemen Perhubungan, PU,
Kimpraswil, dan ESDM.
(14) Departemen Kesehatan, BKKBN dan Badan POM selama periode 2002-
2007 mengalami pertumbuhan anggaran pertanian tertinggi, yakni
29,26% per tahun. Pertumbuhan tertinggi berikutnya adalah Departemen
Pertanian (27,77%/tahun), Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(12,39%/tahun) dan Departemen Perhubungan, PU, Kimpraswil dan
ESDM (11,58%/tahun). Pertumbuhan anggaran terendah dialami oleh
BKPM, BSN, dan BPN (-1,09%/tahun), Departemen Dalam Negeri
(0,01%/tahun), dan Kementerian Negara Koperasi dan UKM
(3,00%/tahun).
(15) Secara relatif, rata-rata tertinggi pengelola anggaran pembangunan
pertanian selama periode 2002-2007 adalah Departemen Perhubungan,
PU, Kimpraswil, dan ESDM (38,9%) dan diikuti oleh Departemen
Pertanian (27,1%). Departemen Dalam Negeri, Departemen Tenaga
xii
Kerja dan Transmigrasi, dan BPPT beserta kelompoknya, bertutut-turut
mengelola 7,3%, 4,4%, dan 3,2%.
(16) Pada tahun 2007 secara relatif anggaran Departemen Pertanian
menduduki posisi paling tinggi (37.89%) dibandingkan dengan
departemen/instansi lainnya. Sedangkan Departemen Perhubungan, PU,
dan ESDM menempati urutan kedua (32,61). Masih adanya alokasi
anggaran pembangunan pertanian di berbagai departemen/instansi diluar
Departemen Pertanian (termasuk Departemen Kehutanan dan
Departemen Kelautan dan Perikanan) menunjukkan adanya tumpang
tindih kegiatan pembangunan sektor pertanian. Dalam kaitan ini,
penganggaran untuk program pertanian yang dikelola oleh lembaga non
Departemen Pertanian perlu ditinjau kembali. Juga perlu dipertanyakan
sejauh mana mandat instansi lain dalam mengelola anggaran untuk
sektor pertanian. Hal ini dibutuhkan agar pengaturan program pertanian
yang dikelola berbagai instansi bisa dilaksanakan secara terpadu dan
sekaligus menghindari adanya tumpang tindih program.
(17) Pada
tahun 2007 anggaran pembangunan pertanian terbesar
dialokasikan untuk sarana dan prasarana (infrastruktur) sebesar Rp 2,57
trilyun. Urutan kedua adalah untuk permodalan dan bantuan
pemberdayaan (Rp 1,99 trilyun). Berikutnya adalah untuk penyuluhan
(Rp 0,57 trilyun), penelitian dan pengembangan (Rp 0,36 trilyun), dan
pendidikan dan latihan (Rp 0,30 trilyun). Alokasi anggaran untuk kegiatan
lainnya tercatat sebesar Rp 13,10 trilyun.
(18) Selama periode 2002-2007, rata-rata anggaran pertanian yang terbesar
juga tercatat untuk sarana dan prasarana (infrastruktur), yaitu 10,5 % dan
yang kedua adalah untuk bantuan permodalan (8,5%). Urutan berikutnya
adalah untuk penyuluhan (2,7%), penelitian dan pengembangan (1,6%),
serta untuk pendidikan dan latihan (1,3%). Selama ini pembangunan
infrastruktrur pertanian selalu menempati urutan tertinggi dalam alokasi
anggaran, tetapi belakangan ini banyak diantara infrastruktur pertanian
yang tidak bisa beroperasi secara optimal, terutama saluran irigasi
sekunder maupun tersier yang tidak berfungsi dengan baik. Hal ini
menunjukkan adanya indikasi anggaran yang diduga tidak dikelola secara
efisien.
(19) Pembiayaan di sektor pertanian menempati urutan nilai anggaran kedua
secara nasional, tetapi dikelola oleh berbagai departemen/instansi yang
kegiatannya dilapangan bisa tumpang tindih sehingga hasilnya tidak
tercapai secara efektif. Sedangkan alokasi anggaran penelitian dan
pengembangan yang relatif kecil (kurang dari 2%) tampaknya akan sulit
diharapkan untuk menghasilkan temuan/inovasi yang relatif unggul dan
dinamis. Lebih jauh lagi, anggaran per program bukan hanya dialokasikan
untuk membiayai kegiatan teknis, tetapi juga termasuk biaya administrasi.
(20) Secara aggregat, anggaran untuk pembiayaan pertanian yang dikelola
Departemen Pertanian relatif kecil dan tersebar di berbagai instansi.
Sedangkan alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur pertanian
mendapat porsi terbesar dan dikelola instansi lain. Dalam kaitan ini,
alokasi anggaran pembangunan pertanian sebaiknya dipusatkan atau
dikoordinasikan oleh Departemen Pertanian. Jika modal petani dianggap
xiii
penting, maka jumlah alokasi
seharusnya dapat ditingkatkan.
anggaran
pembiayaan
pertanian
(21) Program pembiayaan KKP sangat membantu petani pangan maupun
peternak. Walaupun demikian, jangka waktu pengajuan terlalu lama dan
jangka waktu pengembalian dianggap terlalu pendek, kemudian besarnya
agunan, biaya notaris, serta NPWP masih merupakan hambatan bagi
petani untuk mendapatkan modal kerja. Petani yang berkelompok dan
ada penjaminanya, misalnya petani tebu, bisa memanfaatkan KKP secara
optimal.
(22) SP3 umumnya hanya diminati kalangan usaha skala mikro, sementara
usaha kecil I dan II yang memanfaatkan kredit tersebut relatif lebih sedikit.
Proses pengajuan dan pencairan kredit dianggap terlalu lama serta
persyaratan agunan dinilai memberatkan petani kecil. Demikian pula
jangka waktu pengembalian kredit dirasakan relatif pendek. Masyarakat
pertanian di sektor hulu hanya sedikit yang memanfaatkan SP3 dibanding
penerima kredit yang bergerak di sektor hilir.
(23) Bantuan dana LM3 berpotensi menggerakkan perekonomian pedesaan.
Penilaian proposal kegiatan ini hendaknya dilakukan lebih cermat agar
tidak ada kesan bahwa dana ini sangat mudah diperoleh serta sangat
mudah dipertanggungjawabkan. Komunikasi antar lembaga calon
penerima bantuan LM3 dengan dinas/instansi terkait setempat perlu
dibina untuk menyiapkan proposal yang layak dan sesuai dengan
program pembinaan yang sedang berjalan di daerah. Pemberian dana
LM3 yang berasal dari dua atau tiga sumber untuk satu lembaga model
perlu ditinjau kembali. Tidak semua lembaga model bisa mengelola dana
LM3 dengan baik. Disamping itu, hal tersebut juga menimbulkan rasa
cemburu bagi lembaga lain di lokasi yang bersangkutan yang tidak
pernah menerima bantuan sejenis.
(24) Strategi yang ditempuh pemerintah dalam kebijakan perkreditan untuk
sektor pertanian dengan mengarahkan pada keterlibatan perbankan
formal sebagai pelaksana (executing agency) merupakan langkah tepat.
Namun, kebijakan pemerintah tersebut perlu diimbangi dengan upaya
yang lebih sungguh-sungguh dalam membantu petani untuk
meningkatkan skala usaha, kemampuan manajerial maupun aksesibilitas
petani terhadap perbankan formal.
(25) Bantuan dan fasilitasi pemerintah dapat diwujudkan dalam bentuk: (i)
sertifikasi lahan secara murah dan mudah untuk memenuhi agunan yang
selama ini menjadi kendala untuk bankable; (ii) pembinaan kelembagaan
petani yang lebih intensif terutama dalam aspek manajerial usaha; (iii)
inovasi teknologi pertanian dari hulu sampai hilir untuk meningkatkan
produksi dan produktivitas usahatani, (iv) pembangunan infrastruktur
pertanian yang memadai; (v) penyediaan sarana produksi secara tepat
waktu dengan biaya terjangkau; (vi) adanya pengawasan dan
pendampingan, misalnya dengan memfungsikan penyuluh pertanian
dalam penyaluran kredit sehingga tepat sasaran; (vi) jaminan pemasaran
produk pertanian, (vii) pemerintah hendaknya mendirikan lembaga
keuangan khusus seperti bank pertanian yang berfungsi untuk menangani
seluruh program pembiayaan pembangunan pertanian; keuntungannya
xiv
adalah agar penyalurannya dapat lebih terarah dan tepat sasaran,
termasuk untuk menghindari adanya penerima/petani yang memperoleh
modal dari dua sumber program pembiayaan yang berbeda untuk
membiayai satu kegiatan yang sama.
Kesimpulan Dan Saran Kebijakan
(26) Anggaran
pembangunan pertanian tidak hanya dialokasikan di
Departemen Pertanian, tetapi juga terdapat di berbagai departemen dan
instansi pemerintah lainnya. Secara relatif, rata-rata tertinggi pengelola
anggaran pembangunan pertanian selama periode 2002-2007 adalah
Departemen Perhubungan, PU, Kimpraswil, dan ESDM dan diikuti oleh
Departemen Pertanian, Depdagri, Depnakertrans dan BPPT. Selama
periode 2002-2007, rata-rata anggaran terbesar adalah untuk sarana dan
prasarana (infrastruktur), dan yang kedua adalah bantuan permodalan.
Urutan berikutnya adalah penyuluhan, litbang, dan diklat.
(27) Penyaluran KKP tidak dapat sepenuhnya di akses oleh petani. Hal ini
disebabkan oleh kurangnya informasi dan pengetahuan petani mengenai
program KKP. Penerima SP-3 terbatas hanya pada petani perorangan
yang pada umumnya memiliki skala usaha menengah dan luas.
Penyaluran LM3 mempunyai potensi untuk dapat dikembangkan menjadi
agen pembangunan agribisnis khususnya agroindustri di pedesaan, yang
menyampaikan pesan pembangunan melalui kegiatan pendidikan moral
dan sosial di dalam masyarakat.
(28) Alokasi anggaran pembangunan pertanian sebaiknya dipusatkan atau
dikoordinasikan oleh Departemen Pertanian agar lebih efisien dan efektif.
Jika modal petani dianggap penting, maka jumlah alokasi anggaran
pembiayaan pertanian seharusnya ditingkatkan.
(29) Jangka waktu pengajuan KKP perlu dipersingkat dan jangka waktu
pengembalian agar diperpanjang. Besarnya agunan dan biaya notaris
perlu ditekan, serta NPWP sebaiknya tidak menjadi syarat pengajuan
kredit.
(30) Proses
pengajuan dan pencairan kredit SP3 agar dipercepat,
persyaratan agunan dikurangi nilainya, dan waktu pengembalian kredit
diperpanjang. Masyarakat pertanian di sektor hulu diupayakan supaya
makin banyak yang memanfaatkan SP3 dibanding penerima kredit yang
bergerak di sektor hilir.
(31) Proposal pengajuan LM3 supaya dinilai lebih cermat. Lembaga penerima
dana supaya berkoordinasi dengan Dinas Pertanian/Peternakan setempat
dalam pelaksanaan kegiatan.
xv
PENELITIAN TA 2007
Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian
Oleh :
Sahat M. Pasaribu
Bambang Sayaza
Jefferson Situmorang
Wahyuning K. Sejati
Adi Setyanto
Juni Hestina
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
DEPARTEMEN PERTANIAN
2007
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pendahuluan
(1)
Modal adalah salah satu komponen yang tidak dapat diabaikan dalam
proses produksi. Dalam bidang pertanian, modal identik dengan
pembiayaan yang sangat sulit untuk ditanggulangi, khususnya dalam
mengembangkan usahatani di pedesaan. Akses petani terhadap sumbersumber permodalan resmi masih sangat terbatas, kecuali dari para
pelepas uang yang mahal karena dikenai bunga tinggi. Umumnya, hanya
petani yang menguasai lahan luas yang dapat lebih mudah mendapatkan
modal, pada hal, sebagian besar petani di pedesaan hanya menguasai
lahan sempit. Jika lahan usahatani yang dijadikan agunan untuk
mendapatkan kredit modal dari perbankan, maka hampir dapat dipastikan
bahwa sebagian besar petani tidak layak mendapatkan modal yang
bersumber dari lembaga keuangan resmi. Oleh karena itu, modal menjadi
faktor penghambat dalam mengelola usahatani.
(2)
Posisi petani yang umumnya lemah mendorong pemerintah untuk turut
membantu pembiayaan pertanian. Dalam hal ini berbagai instansi
pemerintah terlibat dalam pembiayaan pertanian. Keterlibatan berbagai
instansi tersebut perlu dikoordinasikan agar bisa bersinergi dalam
mengatasi berbagai masalah. Mengingat resiko bisnis sektor pertanian
relatif tinggi dibanding sektor-sektor lainnya, pembiayaan pertanian yang
dilakukan sekarang tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada
mekanisme pasar, tetapi pembiayaan di sektor pertanian perlu dibantu
agar dapat memajukan para pelaku bisnis di sektor ini.
(3)
Keterlibatan lembaga/instansi pemerintah di luar Departemen Pertanian
untuk membangun pertanian secara nasional patut dibanggakan.
Berbagai program yang berkaitan dengan pembangunan pertanian
dilaksanakan dengan fokus perhatian pada bidang tertentu, namun tetap
menyangkut bidang pertanian. Besarnya pembiayaan yang dialokasikan
untuk mendukung program pertanian pada lembaga/instansi di luar
Departemen Pertanian layak diketahui untuk memahami keterlibatan
lembaga/instansi tersebut dalam pembangunan pertanian. Hal ini
diperlukan untuk membantu koordinasi terhadap simpul-simpul sinergi
pembangunan yang direncanakan.
(4)
Masalahnya adalah bahwa pembiayaan pembangunan pertanian yang
dilaksanakan lembaga/instansi pemerintah, baik secara langsung maupun
tidak langsung, hingga kini terus berjalan, namun tidak diketahui
seberapa besar sumbangan masing-masing lembaga/instansi tersebut
dalam pembangunan pertanian nasional. Pembiayaan untuk produksi
tanaman (pangan, hortikultura dan perkebunan) dan produksi peternakan,
masing-masing termasuk produk olahannya perlu diketahui dalam satu
satuan waktu tertentu. Di sini, daftar semua program dan biaya yang
dialokasikan, terserap atau tidak, oleh semua lembaga/instansi yang
terlibat belum dimiliki. Oleh karena itu, analisis pada tingkat makro yang
lebih terfokus pada analisis pengeluaran pemerintah untuk pembangunan
ix
pertanian -- menurut sektor, sub sektor, program dan wilayah -- perlu
dilakukan.
(5)
Masalah lain dalam konteks pembiayaan pertanian adalah tingkat
pengembalian kredit yang umumnya rendah atau menimbulkan kredit
bermasalah. Penghasilan dari usahatani jauh lebih kecil dibanding
kebutuhan rumah tangga sehingga hanya sebagian kecil hasil panen
yang dialokasikan untuk membayar kredit. Bisnis di bidang pertanian
berisiko tinggi, baik dari gangguan alam seperti banjir dan kekeringan,
serangan hama dan penyakit tanaman serta fluktuasi harga yang
signifikan. Persyaratan pengajuan kredit yang tidak sederhana membuat
banyak petani tidak bisa memanfaatkan plafon kredit yang disediakan
pemerintah. Sektor swasta ternyata juga tidak tertarik untuk terlibat
secara langsung dalam pembiayaan pertanian.
(6)
Suatu kajian yang lebih lengkap dan mendalam tentang masalah yang
diuraikan diatas diharapkan dapat dideskripsikan melalui kegiatan
penelitian ini. Perlu dikemukakan bahwa masalah pertama menyangkut
alokasi anggaran pemerintah pada sejumlah lembaga/instansi dan
menuntut jawaban dalam bentuk informasi lengkap tentang program
yang dilaksanakan selama paling tidak 5 (lima) tahun terakhir. Sementara
masalah kedua menyangkut alokasi anggaran yang dikeluarkan
Departemen Pertanian dan menuntut jawaban yang lebih komprehensif
tentang penggunaan dan pencapaian skim pembiayaan yang telah dan
sedang berlangsung saat ini.
Tujuan
(7)
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya
pengeluaran pemerintah untuk membiayai pembangunan sektor pertanian
oleh berbagai lembaga/instansi pemerintah baik serta mengetahui
perkembangan program pembiayaan di sektor pertanian pada 3 (tiga)
skim pembiayaan yang dikelola Departemen Pertanian. Tersedianya data,
informasi dan pengetahuan tentang hal tersebut diatas dinilai sangat
penting untuk merumuskan kebijakan dalam rangka memperbaiki alokasi
anggaran pembangunan pertanian dan meningkatkan kinerja skim
pembiayaan di sektor pertanian. Secara rinci, penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Mengumpulkan data, informasi dan pengetahuan tentang pengeluaran
pemerintah untuk mendukung program pembangunan pertanian oleh
berbagai lembaga/instansi pemerintahan di pusat maupun di daerah.
2. Mempelajari
skim pembiayaan SP3, LM3 dan KKP secara
komprehensif dan menganalisis keuntungan komparatif pembiayaan
sektor pertanian menurut pencapaiannya.
3. Mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan
kegagalan skim pembiayaan sektor pertanian.
4. Merumuskan
saran kebijakan untuk meningkatkan koordinasi
pengalokasian anggaran pembangunan pertanian dan meningkatkan
kinerja skim pembiayaan sektor pertanian.
x
Keluaran yang Diharapkan
(8)
Dengan sasaran tersedianya deskripsi program pembiayaan sektor
pertanian atas dasar pengalokasian anggaran pembangunan nasional
serta dipetakannya skim pembiayaan di sektor pertanian oleh sebagian
program pembiayaan yang dikelola Departemen Pertanian, maka
penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan:
1. Data, informasi dan pengetahuan tentang besarnya alokasi anggaran
pembangunan sebagai pengeluaran pemerintah serta laju
perkembangannya menurut program dan lembaga/instansi terkait.
2. Kinerja skim pembiayaan sektor pertanian, SP3, LM3 dan KKP dan
perkiraan arah pengembangannya menurut sasaran program di lokasi
yang bersangkutan.
3. Informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja skim
pembiayaan pertanian.
4. Saran kebijakan untuk meningkatkan koordinasi pembangunan sektor
pertanian dan perbaikan sasaran program skim pembiayaan di sektor
pertanian.
Metodologi
(9)
Penelitian ini diarahkan untuk menjawab dua bagian kegiatan tentang
pembiayaan sektor pertanian. Kedua bagian tersebut mencakup: (a)
analisis alokasi pengeluaran pemerintah oleh semua lembaga/instansi
untuk sektor pertanian dan (b) analisis skim pembiayaan lingkup
Departemen Pertanian. Memperhatikan dua bagian kegiatan tersebut
diatas, fokus analisis akan dibatasi pada beberapa aspek sebagai berikut:
1. Pengeluaran pemerintah yang sifatnya membiayai kegiatan yang
terkait langsung atau tidak langsung pada pembangunan pertanian
secara nasional maupun regional.
2. Periode program diharapkan tidak lebih dari 5 (lima) tahun terakhir
dan masih berlangsung hingga saat ini.
3. Program atau kegiatan pembiayaan sektor pertanian yang
mendukung peningkatan produksi dan kualitas komoditas pada sub
sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan.
4. Program atau kegiatan skim pembiayaan sektor pertanian yang
ditujukan kepada petani, kelompok tani, lembaga kemasyarakatan
atau kelompok masyarakat lainnya.
5. Analisis yang mencakup kinerja program pembiayaan sektor pertanian
dan skim pembiayaan sektor pertanian.
6. Implikasi kebijakan sebagai hasil analisis penelitian terhadap
pembiayaan sektor pertanian.
(10) Mengingat luasnya kegiatan pembiayaan sektor pertanian ini, maka
pembiayaan di luar pengeluaran pemerintah (government spending) tidak
termasuk di dalam cakupan penelitian ini. Disamping itu, karena
banyaknya skim pembiayaan di Departemen Pertanian, maka akan dipilih
xi
3 (tiga) program skim pembiayaan yang hingga kini masih berjalan untuk
dianalisis secara lebih mendalam (in-depth study).
Ketiga skim
pembiayaan pertanian tersebut adalah: Skim Pelayanan Pembiayaan
Pertanian (SP3), Lembaga Mandiri dan Mengakar pada Masyarakat
(LM3), dan Kredit Ketahanan Pangan (KKP).
(11) Untuk mengetahui besaran investasi pemerintah dalam pembangunan
pertanian, maka dibutuhkan data sekunder yang akan diperoleh dari
berbagai instansi di Jakarta. Sementara itu, lokasi penelitian untuk
menganalisis skim pembiayaan program KKP, SP3, dan LM3 dilakukan di
dua provinsi, yakni Provinsi Jawa Timur (Kabupaten Kediri dan
Kabupaten Tulungagung) dan Provinsi Nusa Tenggara Barat (Kabupaten
Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Tengah). Di tingkat regional data
sekunder KKP diambil dari Provinsi Jawa Timur, data sekunder SP3 dari
Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan data sekunder LM3 dari Provinsi
Jawa Timur dan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Hasil dan Pembahasan
(12) Pada tahun 2007, total anggaran pembangunan pertanian adalah sebesar
Rp 23,2 trilyun. Anggaran paling besar (Rp 8,8 trilyun) dikelola oleh
Departemen Pertanian. Sementara itu, anggaran kedua terbesar (Rp 7,6
trilyun) dialokasikan untuk Departemen Perhubungan, PU, dan ESDM.
Pengelola anggaran pembangunan di sektor pertanian lainnya adalah
Departemen Dalam Negeri (Rp 1,2 trilyun), Departemen Kesehatan (Rp
0,99 trilyun), dan Depnakertrans (Rp 0,93 trilyun). Selebihnya masih
terdapat anggaran pembangunan pertanian yang dikelola oleh
departemen/non departemen maupun instansi pemerintah lainnya.
(13) Rata-rata nilai anggaran pembangunan pertanian selama periode tahun
2002-2007 adalah Rp 17,6 trilyun dengan rata-rata anggaran terbesar (Rp
6,8 trilyun) dikelola oleh Departemen Perhubungan, PU, Kimpraswil, dan
ESDM. Selama periode tersebut rata-rata Departemen Pertanian
mengelola jumlah anggaran terbesar kedua (Rp 4,96 trilyun). Sejak tahun
2002 hingga 2006 nilai anggaran Departemen Pertanian selalu di bawah
akumulasi anggaran yang dikelola oleh Departemen Perhubungan, PU,
Kimpraswil, dan ESDM.
(14) Departemen Kesehatan, BKKBN dan Badan POM selama periode 2002-
2007 mengalami pertumbuhan anggaran pertanian tertinggi, yakni
29,26% per tahun. Pertumbuhan tertinggi berikutnya adalah Departemen
Pertanian (27,77%/tahun), Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(12,39%/tahun) dan Departemen Perhubungan, PU, Kimpraswil dan
ESDM (11,58%/tahun). Pertumbuhan anggaran terendah dialami oleh
BKPM, BSN, dan BPN (-1,09%/tahun), Departemen Dalam Negeri
(0,01%/tahun), dan Kementerian Negara Koperasi dan UKM
(3,00%/tahun).
(15) Secara relatif, rata-rata tertinggi pengelola anggaran pembangunan
pertanian selama periode 2002-2007 adalah Departemen Perhubungan,
PU, Kimpraswil, dan ESDM (38,9%) dan diikuti oleh Departemen
Pertanian (27,1%). Departemen Dalam Negeri, Departemen Tenaga
xii
Kerja dan Transmigrasi, dan BPPT beserta kelompoknya, bertutut-turut
mengelola 7,3%, 4,4%, dan 3,2%.
(16) Pada tahun 2007 secara relatif anggaran Departemen Pertanian
menduduki posisi paling tinggi (37.89%) dibandingkan dengan
departemen/instansi lainnya. Sedangkan Departemen Perhubungan, PU,
dan ESDM menempati urutan kedua (32,61). Masih adanya alokasi
anggaran pembangunan pertanian di berbagai departemen/instansi diluar
Departemen Pertanian (termasuk Departemen Kehutanan dan
Departemen Kelautan dan Perikanan) menunjukkan adanya tumpang
tindih kegiatan pembangunan sektor pertanian. Dalam kaitan ini,
penganggaran untuk program pertanian yang dikelola oleh lembaga non
Departemen Pertanian perlu ditinjau kembali. Juga perlu dipertanyakan
sejauh mana mandat instansi lain dalam mengelola anggaran untuk
sektor pertanian. Hal ini dibutuhkan agar pengaturan program pertanian
yang dikelola berbagai instansi bisa dilaksanakan secara terpadu dan
sekaligus menghindari adanya tumpang tindih program.
(17) Pada
tahun 2007 anggaran pembangunan pertanian terbesar
dialokasikan untuk sarana dan prasarana (infrastruktur) sebesar Rp 2,57
trilyun. Urutan kedua adalah untuk permodalan dan bantuan
pemberdayaan (Rp 1,99 trilyun). Berikutnya adalah untuk penyuluhan
(Rp 0,57 trilyun), penelitian dan pengembangan (Rp 0,36 trilyun), dan
pendidikan dan latihan (Rp 0,30 trilyun). Alokasi anggaran untuk kegiatan
lainnya tercatat sebesar Rp 13,10 trilyun.
(18) Selama periode 2002-2007, rata-rata anggaran pertanian yang terbesar
juga tercatat untuk sarana dan prasarana (infrastruktur), yaitu 10,5 % dan
yang kedua adalah untuk bantuan permodalan (8,5%). Urutan berikutnya
adalah untuk penyuluhan (2,7%), penelitian dan pengembangan (1,6%),
serta untuk pendidikan dan latihan (1,3%). Selama ini pembangunan
infrastruktrur pertanian selalu menempati urutan tertinggi dalam alokasi
anggaran, tetapi belakangan ini banyak diantara infrastruktur pertanian
yang tidak bisa beroperasi secara optimal, terutama saluran irigasi
sekunder maupun tersier yang tidak berfungsi dengan baik. Hal ini
menunjukkan adanya indikasi anggaran yang diduga tidak dikelola secara
efisien.
(19) Pembiayaan di sektor pertanian menempati urutan nilai anggaran kedua
secara nasional, tetapi dikelola oleh berbagai departemen/instansi yang
kegiatannya dilapangan bisa tumpang tindih sehingga hasilnya tidak
tercapai secara efektif. Sedangkan alokasi anggaran penelitian dan
pengembangan yang relatif kecil (kurang dari 2%) tampaknya akan sulit
diharapkan untuk menghasilkan temuan/inovasi yang relatif unggul dan
dinamis. Lebih jauh lagi, anggaran per program bukan hanya dialokasikan
untuk membiayai kegiatan teknis, tetapi juga termasuk biaya administrasi.
(20) Secara aggregat, anggaran untuk pembiayaan pertanian yang dikelola
Departemen Pertanian relatif kecil dan tersebar di berbagai instansi.
Sedangkan alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur pertanian
mendapat porsi terbesar dan dikelola instansi lain. Dalam kaitan ini,
alokasi anggaran pembangunan pertanian sebaiknya dipusatkan atau
dikoordinasikan oleh Departemen Pertanian. Jika modal petani dianggap
xiii
penting, maka jumlah alokasi
seharusnya dapat ditingkatkan.
anggaran
pembiayaan
pertanian
(21) Program pembiayaan KKP sangat membantu petani pangan maupun
peternak. Walaupun demikian, jangka waktu pengajuan terlalu lama dan
jangka waktu pengembalian dianggap terlalu pendek, kemudian besarnya
agunan, biaya notaris, serta NPWP masih merupakan hambatan bagi
petani untuk mendapatkan modal kerja. Petani yang berkelompok dan
ada penjaminanya, misalnya petani tebu, bisa memanfaatkan KKP secara
optimal.
(22) SP3 umumnya hanya diminati kalangan usaha skala mikro, sementara
usaha kecil I dan II yang memanfaatkan kredit tersebut relatif lebih sedikit.
Proses pengajuan dan pencairan kredit dianggap terlalu lama serta
persyaratan agunan dinilai memberatkan petani kecil. Demikian pula
jangka waktu pengembalian kredit dirasakan relatif pendek. Masyarakat
pertanian di sektor hulu hanya sedikit yang memanfaatkan SP3 dibanding
penerima kredit yang bergerak di sektor hilir.
(23) Bantuan dana LM3 berpotensi menggerakkan perekonomian pedesaan.
Penilaian proposal kegiatan ini hendaknya dilakukan lebih cermat agar
tidak ada kesan bahwa dana ini sangat mudah diperoleh serta sangat
mudah dipertanggungjawabkan. Komunikasi antar lembaga calon
penerima bantuan LM3 dengan dinas/instansi terkait setempat perlu
dibina untuk menyiapkan proposal yang layak dan sesuai dengan
program pembinaan yang sedang berjalan di daerah. Pemberian dana
LM3 yang berasal dari dua atau tiga sumber untuk satu lembaga model
perlu ditinjau kembali. Tidak semua lembaga model bisa mengelola dana
LM3 dengan baik. Disamping itu, hal tersebut juga menimbulkan rasa
cemburu bagi lembaga lain di lokasi yang bersangkutan yang tidak
pernah menerima bantuan sejenis.
(24) Strategi yang ditempuh pemerintah dalam kebijakan perkreditan untuk
sektor pertanian dengan mengarahkan pada keterlibatan perbankan
formal sebagai pelaksana (executing agency) merupakan langkah tepat.
Namun, kebijakan pemerintah tersebut perlu diimbangi dengan upaya
yang lebih sungguh-sungguh dalam membantu petani untuk
meningkatkan skala usaha, kemampuan manajerial maupun aksesibilitas
petani terhadap perbankan formal.
(25) Bantuan dan fasilitasi pemerintah dapat diwujudkan dalam bentuk: (i)
sertifikasi lahan secara murah dan mudah untuk memenuhi agunan yang
selama ini menjadi kendala untuk bankable; (ii) pembinaan kelembagaan
petani yang lebih intensif terutama dalam aspek manajerial usaha; (iii)
inovasi teknologi pertanian dari hulu sampai hilir untuk meningkatkan
produksi dan produktivitas usahatani, (iv) pembangunan infrastruktur
pertanian yang memadai; (v) penyediaan sarana produksi secara tepat
waktu dengan biaya terjangkau; (vi) adanya pengawasan dan
pendampingan, misalnya dengan memfungsikan penyuluh pertanian
dalam penyaluran kredit sehingga tepat sasaran; (vi) jaminan pemasaran
produk pertanian, (vii) pemerintah hendaknya mendirikan lembaga
keuangan khusus seperti bank pertanian yang berfungsi untuk menangani
seluruh program pembiayaan pembangunan pertanian; keuntungannya
xiv
adalah agar penyalurannya dapat lebih terarah dan tepat sasaran,
termasuk untuk menghindari adanya penerima/petani yang memperoleh
modal dari dua sumber program pembiayaan yang berbeda untuk
membiayai satu kegiatan yang sama.
Kesimpulan Dan Saran Kebijakan
(26) Anggaran
pembangunan pertanian tidak hanya dialokasikan di
Departemen Pertanian, tetapi juga terdapat di berbagai departemen dan
instansi pemerintah lainnya. Secara relatif, rata-rata tertinggi pengelola
anggaran pembangunan pertanian selama periode 2002-2007 adalah
Departemen Perhubungan, PU, Kimpraswil, dan ESDM dan diikuti oleh
Departemen Pertanian, Depdagri, Depnakertrans dan BPPT. Selama
periode 2002-2007, rata-rata anggaran terbesar adalah untuk sarana dan
prasarana (infrastruktur), dan yang kedua adalah bantuan permodalan.
Urutan berikutnya adalah penyuluhan, litbang, dan diklat.
(27) Penyaluran KKP tidak dapat sepenuhnya di akses oleh petani. Hal ini
disebabkan oleh kurangnya informasi dan pengetahuan petani mengenai
program KKP. Penerima SP-3 terbatas hanya pada petani perorangan
yang pada umumnya memiliki skala usaha menengah dan luas.
Penyaluran LM3 mempunyai potensi untuk dapat dikembangkan menjadi
agen pembangunan agribisnis khususnya agroindustri di pedesaan, yang
menyampaikan pesan pembangunan melalui kegiatan pendidikan moral
dan sosial di dalam masyarakat.
(28) Alokasi anggaran pembangunan pertanian sebaiknya dipusatkan atau
dikoordinasikan oleh Departemen Pertanian agar lebih efisien dan efektif.
Jika modal petani dianggap penting, maka jumlah alokasi anggaran
pembiayaan pertanian seharusnya ditingkatkan.
(29) Jangka waktu pengajuan KKP perlu dipersingkat dan jangka waktu
pengembalian agar diperpanjang. Besarnya agunan dan biaya notaris
perlu ditekan, serta NPWP sebaiknya tidak menjadi syarat pengajuan
kredit.
(30) Proses
pengajuan dan pencairan kredit SP3 agar dipercepat,
persyaratan agunan dikurangi nilainya, dan waktu pengembalian kredit
diperpanjang. Masyarakat pertanian di sektor hulu diupayakan supaya
makin banyak yang memanfaatkan SP3 dibanding penerima kredit yang
bergerak di sektor hilir.
(31) Proposal pengajuan LM3 supaya dinilai lebih cermat. Lembaga penerima
dana supaya berkoordinasi dengan Dinas Pertanian/Peternakan setempat
dalam pelaksanaan kegiatan.
xv