Diktat kuliah KAIDAH FIKIH doc

Kaidah fikih izzul 07-10-13
RINGKASAN MATERI
QAWAID AL-FIQHIYYAH (Al-Qawa>id al-Khamsah)
PAI-B
Muttaqin Choiry
A.

Pengertian al-Qawa>'id al-Fiqhiyah
Secara bahasa al-Qawa>'id (mufrad dari qa'idah) bermakna asas,
dasar, pondasi. 1 Unsur penting dari kaidah adalah bersifat kulli
(menyeluruh).2
Sedangkan fiqih secara istilah bermakna ilmu tentang hukum dan
perundang-undangan dalam Isla>m yang berdasarkan pada al-Qur'a>n, alSunnah S}ah}i>h}ah, Ijma>' dan Qiya>s s}ah}i>h}.

3

Dengan demikian maka al-Qawa>'id al-Fiqhiyah adalah dasar-dasar
umum yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum dan perundangundangan dalam Isla>m yang berdasarkan pada al-Qur'a>n, al-Sunnah
S}ah}i>h}ah, Ijma>' dan Qiya>s s}ah}i>h.
Perbedaan kaidah Us}uliyah dengan kaidah fiqhiyah adalah,
Kaidah Us|}uliyah adalah suatu hukum kulli yang dapat dijadikan

standar hukum bagi juz'I yang diambil dari dasar kulli yakni al-Qur'a>n dan
al-Sunnah, yang sering digunakan untuk ‫ تخريج الحأكام‬, yaitu mengeluarkan
hukum dari dalil-dalilnya (al-Qur'a>n dan al-Sunnah).
Adapun pengertian kaidah fiqh selain dari yang sudah penulis jelaskan
di atas, ada lagi defini tentang kaidah fikih yang lebih kongkrit dan tidak
membingnungkan adalah kaidah yang disimpulkan secara general dari
materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari
kasus-kasus baru yang timbul yang tidak jelas hukumnya di dalam nas}s}.

1

2

3

Ali Ah}mad al-Nadwi, al-Qawa>'id al-Fiqhiyah, cet V (Beirut: Da>r al-Qala>m, 2000), 107.
Lihat pula Muh}ammad al-Ru>ki, Qawa>'id al-Fiqh al-Isla>mi>, cet I (Beirut: Da>r alQala>m, 1998), 107
‫ قضية كلية منطبقة على جميع جزئياتها‬Ketetapan yang kulli (menyeluruh) yang mencakup seluruh
bagian-bagiannya. Al Jurja>ni>, Kita>b al-Ta'rifat, (t.tp.: Da>r al-Kutub al-'Ilmiyah,1983), 171.
Atau lihat di al-Suyu>t}i, Jala>l al-Di>n 'Abd al-Rah}ma>n, al-Ashbah wa al-Naz}a>'ir fi>

Qawa>'id wa Furu>' al-Sha>fi'i>, cet. 1 (Beirut: Da>r al-Kutub al-'Ilmiyah, 1979) 5. ‫حأكم كلي‬
‫ ينطبق على جزئيته‬, hukum kulli (menyeluruh) yang meliputi bagian-bagiannya.
Ali Ah}mad al-Nadwi, al-Qawa>'id..., 107. Lihat juga di Asymuni A. Rah}ma>n, QaidahQaidah Fiqh, cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 28. Lihat juga di M. Dahlan, Kamus Induk
Istilah Ilmiah (Surabaya: Target Press, 2003), 211

Kaidah fikih sering digunakan sebagai ‫ تطبيق الحأكام‬, yaitu penerapan
hukum atas kasus-kasus yang timbul dalam bidang kehidupan manusia.
Adapun persamaan antara kaidah usul fikih dengan kaidah fikih
adalah keduanya sama-sama sebagai metodologi hukum Isla>m.
B.

Obyek al-Qawa>'id al-Fiqhiyah
Obyek kaidah-kaidah fikih adalah perbuatan mukallaf sendiri, 4
sedangkan materi fikih dikeluarkan dari kaidah-kaidah fikih yang sudah
mapan yang tidak ditemukan nas}s} nya secara khusus di dalam alQur'a>n dan al-Sunnah al-S}ah}ih}ah.

C.

Manfaat dan Keutamaan Mempelajari al-Qawa>'id alFiqhiyah
Manfaat mempelajari al-Qawa>'id al-Fiqhiyah antara lain:

1.

Mengetahui asas-asas umum fiqh

2.

Lebih arif di dalam menetapkan hukum bagi masalah-masalah

5

yang dihadapi.6
3.

Memberi kemudahan di dalam menemukan hukum-hukum untuk
kasus-kasus hukum yang baru dan tidak jelas nas}s}nya dan
memungkinkan menghubungkannya dengan materi-materi fikih yang
lain yang tersebar di berbagai kitab fikih serta memudahkan di dalam
memberi kepastian hukum.

7


Sedangkan keutamaan mempelajari al-Qawa>'id al-Fiqhiyah adalah
agar dapat tafaqquh (mengetahui, mendalami, menguasai) ilmu fiqh.
D.

8

Proses Kaidah Fikih
Sulit diketahui siapa pembentuk pertama kaidah fiqh, yang jelas
dengan meneliti kitab-kitab kaidah fiqh dan masa hidup penyusunnya,
ternyata kaidah-kaidah fiqh tidak terbentuk sekaligus, tetapi terbentuk
secara bertahap dalam proses sejarah hukum Isla>m. walaupun demikian,

Jala>l al-Di>n 'Abd. Al-Rah}ma>n al-Suyu>t}, al-Ashba>h wa al-Naz}a>'ir fi> Qawa>'id wa
Furu>' Fiqh al-Sha>fi'i>, cet.I (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-'Ilmiyah, 1979). Lihat juga di A.
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2002), 5
5
Yakni dasar-dasar umum fikih yang ada dalam kaidah fikih tersebut seperti al-Qawa>'id alKhamsah.
6
Dengan memasukkan dan menggolongkan masalah pada salah satu kaidah fiqh yang ada.

7
Al-Suyu>t}i, Jalan 'Abd al-Rah>man, al-Ashba>h wa al-Nadz}a>ir fi> Qawa>'id wa
Furu>' Fiqh al-Sha>fi'i>, cet I (Beirut: Da>r al-Kutub al-'Ilmiyah, 1979), 6 atau lihat
Muh}ammad al-Ru>ki, Qawa>'id al-Fiqh al-Isla>mi>, cet I (Beirut: Da>r al-Qala>m, 1998),
1011
8
H}asbi al-S}iddi>qi>, Pengantar Hukum Isla>m, cet III (Jakarta: Bulan Bintang, 1963), 235.
4

2

di kalangan 'ulama>' dibidang kaidah fiqh menyebutkan bahwa Abu>
T}ahir al-Dibasi, ulama>' madzab H}anafi> 9, telah mengumpulkan kaidah
fiqh madzab H}anafi> sebanyak 17 kaidah. Kemudian Abu> Sa'id alH}arawi, ulama>' madzab Shafi'i mengunjungi Abu> T}ahir dan mencatat
kaidah fiqh yang dihafalkan Abu T}a>hir.10

Alur dan proses kaidah fikih adalah sebagai berikut:
alQur'a>n
alSunnah
al-


Us}u>l

11

Kaidah

Fiqh

Fiqh

Fiqh

2

3

4

Kaidah

Fiqh

Fiqh

6

7

S}ah}ih}
ah
1

Qanu>
n
8

Pengujian Kaidah
5

Dari diagram di atas dapat penulis jelaskan sebagai berikut:

(1). Sumber hukum Isla>m yaitu al-Qur'a>n dan al-Sunnah
S}ah}i>h}ah (Nas}s}) ; (2) Kemudian muncul us}u>l fiqh sebagai
9
10

11

Hidup di akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 hijriyah.
Diantaranya adalah lima kaidah (al-Qawa>'id al-Khamsah). Lihat Ah}mad bin Shaikh
Muh}ammad al-Zarqa>' Sharh} al-Qawa>'id al-Fiqhiyah, cet.VI (Damskus: Da>r al-Qalam,
2001), 38
A. Djazuli, Ilmu Fikih: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Isla>m, cet V
(Jakarta: Prenada Media, 2005), 17

3

metodologi istinba>t} al-ah}ka>m. Dengan metodologi us}u>l fiqh yang
menggunakan pola pikir deduktif

12


akhirnya menghasilkan fiqh; (3) Fiqh ini

banyak materinya. Dari materi fiqh yang banyak itu kemudian ulama>'ulama>' yang dalam ilmunya dibidang fiqh, meneliti persamaannya dengan
menggunakan pola pikir induktif

13

, kemudian dikelompokkan. Tiap-tiap

kelompok merupakan kumpulan dari masalah-masalah serupa, akhirnya
disimpulkan menjadi kaidah-kaidah fiqh; (4) Selanjutnya kaidah-kaidah itu
dikritisi kembali dengan menggunakan banyak Nas}s}, terutama untuk
dinilai kesesuaiannya dengan substansi Nas}s}. Pada posisi bagan keempat
ini kaidah fikih masih bersifat ikhtilaf sebab belum dikroscek dan belum diuji
kesesuaiannya dengan substansi nas}s}. (5) Apabila sudah dianggap sesuai
dengan Nas}s}, baru kaidah fiqh tersebut menjadi kaidah yang mapan; (6)
Apabila sudah menjadi kaidah yang mapan/ akurat, maka ulama>'-ulama>'
fiqh menggunakan kaidah tadi untuk menjawab tantangan perkembangan
masyarakat, baik di bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, akhirnya

memunculkan fiqh-fiqh baru; (7) Oleh karena itu tidaklah mengherankan
apabila ulama>' memberi fatwa dalam hal-hal yang baru, yang praktis
selalu menggunakan kaidah-kaidah fiqh yang telah mapan tersebut.

14

(8)

Akhirnya kaidah-kaidah fiqh yang telah mapan tersebut menjadi Qa>nu>n. 15
E.

Teori dan Aplikasi Dari al-Qawa>'id al-Fiqhiyah

1.

al-Qawa>'id al-Khamsah

a.

‫ المأور بمقاصدها‬16

Menurut ulama>' Shafi'iyah, niat diartikan dengan bermaksud

melakukan sesuatu disertai dengan pelaksanaannya.17
Adapun penerapan niat adalah sebagai berikut:
1)
12

13

14
15
16
17

Bertempat di dalam hati

Analisis data–data (yang diambil dari Nas}s} yang S}ah}i>h) yang bersifat khusus
kemudian digeneralkan, diumumkan.
Analisis data-data (yang diambil dari Nas}s} yang S}ah}i>h atau kaidah us}u>l fiqh dan
permasalahn fiqh) yang bersifat umum kemudian dikhususkan.
Sesuai dengan nas}s}
Menjadi undang-undang, peraturan, norma, kaidah yang dita'ati.
Segala perkara tergantung niatnya.
‫قصد الشيئ مقترنا بفعله أو القصد المقارن للفعل‬
Qalyubi wa Umairah, Hashiyah Shiha>b al-Di>n al-Qalyubi wa Umairah, juz. I (Singapura:
Maktabah wa Mat}ba'ah Sulaima>n Mar'i, t.t), 45; lihat juga di Abu> Ish}a>q al-Shirazi>, alMuhadhdhab, juz. I (t.tp: Da>r al-Fikr, t.t), 70

4

2)

Niat didahulukan dari perbuatan atau bersamaan dengan perbuatan
agar dapat menarik kepada keikhlasan.

18

Sedangkankan fungsi niat adalah:
1)

Untuk membedakan antara ibadah dan adat
kebiasaan. Dalam bidang h}ablu>n min Alla>h (ibadah) niat adalah
rukun.19 Sedangkan dalam bidang h}ablu>n min al-Na>s (mu'amalah,
munakah}ah,20 jinayah dll), niat berfungsi sebagai penentu apakah
perbuatan tersebut mempunyai nilai ibadah ataukah bukan. Hal ini
didasarkan pada qarinah dan bukti-bukti yang dapat dijadikan alat
untuk mengetahui macam niat orang yang berbuat.

2)

21

Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan
ataupun kejahatan.

22

Seperti seorang dokter yang mengobati pasien

dengan niat mengobati (jika sesuai dengan dosis dan aturan serta kode
etik kedokteran) atau membunuh (jika tidak sesuai dengan dosis dan
aturan serta kode etik kedokteran).
3)

Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan
ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dan yang sunnah.
Seperti niat s}alat fard}u atau niat s}alat sunnat.
Pengecualian dari kaidah ini
1)

23

adalah :

Tidak diperlukan niat

24

pada perbuatan yang bukan

ibadah.

         …  18
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…al-Qur'a>n, 98 (al-Bayyinah):
5
19
Seperti niat solat, jika untuk menjalankan perintah |Allah akan mendapatkan pahala
sedangkan jika niat s}alat untuk berolah raga, maka tidak mendapat pahala.
20
Seperti nikah dengan niatan memenuhi perintah Allah dan mengikuti sunnah Rasul akan
mendapatkan pahala. Sedangkan nikah hanya dengan niatan untuk memenuhi kebutuhan
sexual saja, maka tidak mendapatkan pahala.
21
Bahkan ada h}adi>th riwayat al-T}abra>ni menjelaskan, ‫ نية المؤمن خير من عمله‬, niat
seorang yang mukmin lebih baik daripada perbuatannya.
                ..... 22

….. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada
dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. al-Qur'a>n, 33 (al-Ah}za>b): 5
23
Artinya niat itu tidak menjadi rukun.
24
Maksudnya niat tidak menjadi rukun.

5

2)

Tidak diperlukan niat

25

dalam mengerjakan dan

meninggalkan perbuatan haram.26 Seperti niat mengerjakan dan
menjauhi perbuatan zina.

b.

‫اليقين ل يزال بالشك‬27
Yang dimaksud yakin28 adalah sesuatu yang menjadi tetap
karena penglihatan pancaindera atau dengan adanya dalil. sedangkan
Shak29 adalah suatu pertentangan antara kepastian dengan
ketidakpastian tentang kebenaran dan kesalahan dengan kekuatan
yang sama, dalam arti tidak dapat ditarjih}kan salah satunya.

30

Prinsip pelaksanaan kaidah ini adalah ikht}iya>t} (berhati-hati
dalam melakukan sesuatu), ditunjang dengan adanya bukti-bukti
yang memperkuatnya.

c.
25
26

27

28

29
30

31

32

31

‫المشقة تجلب التيسر‬32

Niat tidak menjadi rukun
Dalam hal perbuatan h}aram ada beberapa kaidah yang dapat dijadikan sebagai acuan:
(keringanan itu tidak dihubungkan dengan kemaksiatan ) ‫( الرخص ل تناط بالمعاصى‬1)
Seperti qas}ar dan jamak s}alat dalam safar kemaksiatan.
‫( ما حأرم استعماله حأرم إتخاذه‬2)
(apa yang dih}aramkan menggunakannya, dih}aramkan pula memperolehnya )
Seperti minum dan membeli minuman keras yang memabukkan.
‫( ما حأرم أخذه حأرم إعطاءه‬3)
(apa yang diharamkan mengambilnya, diharamkan pula memberikannya), seperti mencuri
dalam keadaan biasa (tidak dalam d}arurat), kemudian hartanya dikonsumsi (seperti
dimakan) oleh keluarganya.
Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan. Kaidah ini berlandaskan pada:
(58 ‫ ص‬/ 9 ‫ )ج‬- ‫سنن الترمذي‬
‫ة ع رن بريد بن أ ربي مريم ع ر ر‬
‫ر‬
‫ر‬
‫حأد دث ررنا ب‬
‫حوورراءء‬
‫شعوب ر ب‬
‫ن أءبي ال و ر‬
‫س ر‬
‫صارءيي ر‬
‫ ر‬- 2442
‫مو ر‬
‫ر و ر ر‬
‫و بر و ء و ء ء‬
‫حأد دث ررنا أببو ب‬
‫ن إ ءد وءري ر‬
‫سى اولن و ر‬
‫و‬
‫حأد دث ررنا ع رب ود ب الل دهء ب و ب‬
‫د‬
‫د‬
‫و‬
‫د‬
‫ر‬
‫د‬
‫د‬
‫د‬
‫و‬
‫و‬
‫و‬
‫ر‬
‫ر‬
‫سعود ءيي رقا ر‬
‫صلى‬
‫ت ء‬
‫حأ ء‬
‫ت ء‬
‫حأ ء‬
‫م قال ر‬
‫ما ر‬
‫ت ل ءل ر‬
‫ن رر ب‬
‫ه ع رلي وهء ور ر‬
‫ن رر ب‬
‫ح ر‬
‫ال د‬
‫فظ ب‬
‫سل ر‬
‫صلى الل ب‬
‫فظ ر‬
‫ي ر‬
‫ل قبل ب‬
‫ل اللهء ر‬
‫ل اللهء و ر‬
‫سو ء‬
‫م و‬
‫سو ء‬
‫م و‬
‫ن ع رل ء ي‬
‫ن بو ء‬
‫س ء‬
‫ريب ب ر‬
‫ريب ب ر‬
‫ة‬
‫ب ءريب ر ة‬
‫مأءنين ر ة‬
‫ن ال وك رذ ء ر‬
‫ة ورإ ء د‬
‫ك فرإ ء د‬
‫ه ع رل ري وهء ور ر‬
‫صد وقر ط ب ر‬
‫ك إ ءرلى ر‬
‫م د رع و ر‬
‫سل د ر‬
‫الل د ب‬
‫ن ال ي‬
‫ما رل ي ر ء‬
‫ما ي ر ء‬
Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, berpindahlah kepada yang tidak meragukanmu. (HR
al-Nasa'i dan al-Turmudhi dari H}asan bin 'Ali)
‫ هو ماكان ثابتا بالنظر أو الدليل‬atau ilmu tentang sesuatu yang membawa kepada kepastian dan
kemantapan hati tentang hakekat sesuatu itu dalam arti tidak ada keraguan lagi. Lihat
Ah}mad al-Nadwi, al-Qawa>'id al-Fiqhiyah, cet. V (Beirut: Da>r al-Qalam, 1998, 358; atau
Asymuni A. Rah}man, Qaidah-Qaidah Fiqh, cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 141.
‫هو ماكان مترددا بين الثبوط وعدمه مع تساوى طرفى الصواب والخطاء دون ترجيح أحأدهما على الخر‬
Posisi yakin adalah 100 %,posisi shak (ragu-ragu) adalah 50 %; posisi z}ann (dugaan) adalah
antara yakin dan shak (di atasnya 50 % dan di bawahnya 100 %); sedangkan posisi wahn
( salah duga) adalah di bawahnya syak (ragu-ragu) yaitu di bawah 50 %.
Contoh kasus: orang yang yakin telah berwud}u dan suci dari h}adath, kemudian dia ragu,
apakah wud}unya batal ataukah tidak? Maka yang menjadi patokan adalah dia dalam
keadaan suci dan mempunyai wud}u. Hanya saja untuk ikht}iya>t}, yang lebih utama
adalah dia memperbarui wud}unya (tajdi>d al-wud}u>').
Kesulitan mendatangkan kemudahan. Landasan dari kaidah ini adalah:
         .... ...
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…
al-Qur'a>n, 2(al-Baqarah): 185.
         

6

Mashaqqah menurut arti bahasa adalah al-ta'ab yaitu
kelelahan, kepayahan, kesulitan dan kesukaran. Prinsip kaidah ini
adalah tidak ifra>t} (melampaui batas), dan tidak tafri>t} (kurang
dari batas). Ukuran dari ifra>t} dan tafri>t} adalah hati yang selalu
taat kepada Allah dan untuk menjaga dan memelihara maqa>s}id
shari>'ah (memelihara dan menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta). Seperti makan bangkai dalam keadaan darurat, maka
diperbolehkan untuk menjaga keselamatan jiwa.

33

Para ulama membagi mashaqqah menjadi tiga tingkatan:

(1)

al-Mashaqqah al-'Az}i>mah (kesulitan yang sangat

berat). Seperti meninggalkan wud}u dengan air, jika dikhawatirkan
tangan/ kaki menjadi rontok, karena suatu penyakit.34

(2)

al-Mashaqqah al-Mutawassit}ah (kesulitan yang

pertengahan, tidak sangat berat, juga tidak sangat ringan).35

(3)

al-Mashaqqah al- Khafi>fah (kesulitan yang ringan),

seperti terasa lapar saat puasa, terasa capek waktu t}awaf dan
sa'i.36
Adapun keringanan/ kemudahan karena adanya mashaqqah
ada tujuh macam:
(1) Takhfi>f Isqa>t

37

(2) Takhfi>f Tanqi>sh
(3) Takhfi>f Ibda>l

38

39

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. alQur'a>n, 4(al-Nisa>'): 28.
33
Muh}ammad S}iddi>q bin AH}mad al-Burnu, al-Waji>z fi> Id}a>h} al-Qawa>'id alFiqhiyah, cet. 1 (Beirut: Mu'assasah l-Risa>lah, 1983), 129
34
Seperti kekhawatiran akan kehilangan nyawa/ rusaknya anggota badan. Hilangnya jiwa/
anggota badan menyebabkan kita tidak bisa melaksanakan ibadah dengan sempurna.
Mashaqqah semacam ini membawa keringanan.
35
Mashaqqah semacam ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada mashaqqah
yang sangat berat, maka ada kemudahan di situ. Apabila lebih dekat kepada mashaqqah
yang ringan, maka tidak ada kemudahan di situ. Inilah mashaqqah yang bersifat individual.
36
Mashaqqah semacam ini dapat ditanggulangi dengan mudah yaitu dengan cara s}abar
dalam melaksanakan ibadah. Alasannya, kemas}lah}atan dunia dan akherat yang tercermin
dalam ibadah tadi lebih utama daripada mashaqqah yang ringan ini. Lihat Muh}ammad alRu>ki, Qawa>'id al-Fiqh al-Isla>mi>, cet I (Beirut: Da>r al-Qala>m, 1998), 2001
37
Yaitu keringanan dalam bentuk penghapusan seperti tidak wajib s}alat bagi wanita yang
sedang menstruasi, nifa>s. Tidak wajib haji bagi yang tidak mampu.
38
Keringanan berupa pengurangan, seperti s}alat qas}ar dua raka'at yang asalnya empat
raka'at.
39
Keringanan berupa penggantian, seperti wud}u>'/ mandi wajib diganti dengan tayammum,
atau berdiri waktu s}alat wajib diganti dengan duduk karena sakit.

7

(4) Takhfi>f Taqdi>m
(5) Takhfi>f Ta'khi>r

40

41

(6) Takhfi>f Tarkhi>s}
(7) Takhfi>f Taghyi>r

42
43

Adapun sebab-sebab keringanan di dalam ibadah dan lainlainnya antara lain adalah:
(a)

Bepergian. Ukurannya adalah bepergian yang bukan karena
kemaksiatan.44

(b)

Sakit.

(c)

Terpaksa.

(d)

Lupa.

(e)

Bodoh, tidak mengerti.

(f)

Kekurangan. Ukurannya adalah kurang dalam salah satu dari

45
46

47
48

tiga hal berikut ini, (1) kurang akal (seperti orang yang belum
baligh), (2) kurang mental (seperti orang yang kurang waras), dan
(3) kurang tenaga (seperti orang yang sedang menderita suatu
penyakit).49
(g)

Kesulitan 50. Hal ini terjadi karena sulit menghindarkan diri,
atau hal yang sudah umum terjadi (umu>m al-Balwa). Seperti

40

41

42

43

44
45
46
47

48
49

50

Keringanan dengan cara didahulukan, seperti jama' taqdi>m di 'Arafah, mendahulukan
mengeluarkan zakat sebelum h}aul (batas waktu satu tahun), jama>' taqdi>m bagi yang
sedang bepergian.
Keringanan dengan cara diakhirkan, seperti s}alat jama>' ta'khir di Muzdalifah, qad}a>'
s}aum ramad}a>n bagi yang sakit, jama' ta'khi>r bagi orang yang sedang dalam perjalanan.
Keringanan karena rukhs}ah, seperti makan dan minum yang dih}aramkan dalam keadaan
terpaksa, sebab jika tidak akan membawa kepada kematian.
Keringanan dalam bentuk berubahnya cara yang dilakukan. Seperti s}alat pada waktu khauf
(kekhawatiran), misalnya pada waktu peperangan.
Boleh menqas}ar s}alat
Boleh s}alat sambil duduk.
Boleh makan/ minum dari barang-barang yan haram.
Boleh makan saat lupa puasa. Hal ini berlandaskan pada sabda Nabi s.a.w, Diangkat dari
ummatku (dosa) karena salah, lupa dan karena terpaksa.
(217 ‫ ص‬/ 6 ‫ )ج‬- ‫سنن ابن ماجه‬
‫حأد دث ررنا اول ر‬
‫ر‬
‫و‬
‫ر‬
‫صدلى‬
‫ب‬
‫ن‬
‫ال‬
‫ن‬
‫ع‬
‫س‬
‫با‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ب‬
‫ا‬
‫ن‬
‫ع‬
‫م‬
‫ء‬
‫طا‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ي‬
‫ع‬
‫زا‬
‫و‬
‫م‬
‫ل‬
‫س‬
‫م‬
‫ن‬
‫ب‬
‫د‬
‫لي‬
‫و‬
‫ل‬
‫ا‬
‫نا‬
‫ث‬
‫د‬
‫حأ‬
‫ي‬
‫ص‬
‫م‬
‫ص د‬
‫ر‬
‫ر‬
‫ر‬
‫ر‬
‫ر‬
‫ء‬
‫ء‬
‫ء‬
‫فى ال و ء‬
‫د‬
‫ر‬
‫ء‬
‫د‬
‫و‬
‫ر‬
‫ر‬
‫و‬
‫ب‬
‫د‬
‫ر‬
‫م ر‬
‫ ر‬‫و‬
‫ء‬
‫ب‬
‫ح و‬
‫ن ال و ب‬
‫ح د‬
‫حأد دث ررنا ب‬
‫ي ر‬
‫م ر‬
‫ي‬
‫و‬
‫و‬
‫و‬
‫ي‬
‫و‬
‫ر ب‬
‫ر‬
‫ي‬
‫مد ب ب و ب‬
‫م‬
‫ء‬
‫م‬
‫ب‬
‫ر‬
‫ر‬
‫و‬
‫د‬
‫و‬
‫م رقا ر‬
‫مءتي ال ر‬
‫ست بكرء ب‬
‫هوا ع رلي وهء‬
‫سريا ر‬
‫ه ور ر‬
‫ل إء د‬
‫ما ا و‬
‫خطأ روالن ي و‬
‫ه ع رل ري وهء ور ر‬
‫ن ور ر‬
‫نأ د‬
‫ن الل ر‬
‫سل د ر‬
‫الل د ب‬
‫ضعر ع ر و‬
Seperti berbicara saat s}alat.
Seperti anak-anak (sampai dewasa) dan wanita (saat menstruasi) tidak dibebani dengan
kewajiban s}alat. Hal ini berlandaskan pada sabda Nabi s.a.w,
(478 ‫ ص‬/ 11 ‫ )ج‬- ‫سنن أبي داود‬
‫ر‬
‫عائ ء ر‬
‫ن أ رءبي ر‬
‫ة‬
‫ن ر‬
‫ن أر و‬
‫ش ر‬
‫م ر‬
‫ن ر‬
‫شي وب ر ر‬
‫ن إ ءب وررا ء‬
‫ن ر‬
‫خب ررررنا ر‬
‫هابرو ر‬
‫ة ر‬
‫ما ب‬
‫ ر‬‫ن اول و‬
‫ن ر‬
‫هي ر‬
‫حأ د‬
‫سل ر ر‬
‫حأ د‬
‫حأد دث ررنا ع بث و ر‬
‫سورد ء ع ر و‬
‫م عر و‬
‫ماد م ع ر و‬
‫ة عر و‬
‫ماد ب ب و ب‬
‫زيد ب ب و ب‬
‫ن بو ب‬
‫حأد دث ررنا ي ر ء‬
‫ر‬
‫ن ال بو‬
‫ر‬
‫ر‬
‫ر‬
‫و‬
‫د‬
‫ر‬
‫د‬
‫د‬
‫د‬
‫د‬
‫ر‬
‫ر‬
‫ر‬
‫ر‬
‫ر‬
‫مب وت ررلى‬
‫ع‬
‫و‬
‫ظ‬
‫ق‬
‫ي‬
‫ت‬
‫س‬
‫ي‬
‫تى‬
‫حأ‬
‫م‬
‫ئ‬
‫نا‬
‫ال‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ة‬
‫ث‬
‫ل‬
‫ث‬
‫ن‬
‫ع‬
‫م‬
‫ل‬
‫ر‬
‫ق‬
‫ل‬
‫ا‬
‫ع‬
‫ف‬
‫ر‬
‫ل‬
‫قا‬
‫م‬
‫ل‬
‫س‬
‫و‬
‫ه‬
‫ي‬
‫ل‬
‫ع‬
‫ه‬
‫ل‬
‫ال‬
‫لى‬
‫ص‬
‫ه‬
‫ل‬
‫ال‬
‫ل‬
‫سو‬
‫ر‬
‫ن‬
‫أ‬
‫ها‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ه‬
‫ل‬
‫ال‬
‫ي‬
‫ض‬
‫ر‬
‫ر‬
‫ر‬
‫ر‬
‫ر‬
‫و د ء ء ر د ر و رو ء‬
‫م‬
‫ب ء ر‬
‫د ر ب‬
‫ب‬
‫و ء ر ر ر‬
‫ب‬
‫ء ر‬
‫ب ور‬
‫ر و‬
‫و‬
‫رر ء ر‬
‫حأتى يبرأ ر‬
‫حأدتى ي رك وب برر‬
‫ي‬
‫ب‬
‫ص‬
‫ال‬
‫ن‬
‫ع‬
‫و‬
‫ر‬
‫د ء ي ر‬
‫ر د رور ر و‬
Seperti s}alat dengan najis (darah kudis, kotoran debu) yang sukar dihindari.

8

sulitnya menghindar dari debu dan cipratan air kotor saat musim
hujan.
Adapun pengecualian dari kaidah ini antara lain:
(a)

Kesulitan-kesulitan yang diklasifikasikan pada mashaqqah
yang ringan. Seperti pening yang ringan saat sujud s}alat.

(b)

Kesulitan-kesulitan yang muncul, memang satu resiko dalam
suatu perbuatan. Seperti lapar yang biasa saat puasa.
Dikalangan madzab Shafi'i>

51

menyebutkan bahwa keringanan

itu bisa beberapa macam hukumnya.

(a)

Wajib mengambil keringanan tersebut.52 Yakni

ketika pada posisi mashaqqah 'az}i>mah.

d.

(b)

Sunnah mengambil yang ringan.53

(c)

Boleh mengambil yang ringan.

54

‫الضرر يزال‬55
'Izz al-Di>n bin 'Abd al-Sala>m

56

menyatakan bahwa

kemas}lah}atan dan kemafsadatan dunia dan akherat diketahui dari
shari>'ah. Sedangkan kemas}lah}atan dan kemafsadatan dunia saja,
bisa dikenal dengan pengalaman, adat kebiasaan, indikator-indikator
yang benar.
51

52

53
54

55
56

57

57

Al-Suyu>t}i, Jalan 'Abd al-Rah>man, al-Ashba>h wa al-Nadz}a>ir fi> Qawa>'id wa
Furu>' Fiqh al-Sha>fi'i>, cet I (Beirut: Da>r al-Kutub al-'Ilmiyah, 1979), 91.
Seperti orang yang terpaksa memakan makanan yang diharamkan karena takut mati
kelaparan. (h}ifz} al-Nafs lebih di dahulukan daripada h}ifz} ma>l).
Seperti s}alat qasar diperjalanan.
Seperti jual beli dengan sistem salam (pesan). Para Shafi'iyah berpendapat bahwa jika
kesulitan itu adalah termasuk al-Mashaqqah al- Khafi>fah (kesulitan yang ringan), maka tidak
ada kemudahan di situ. Hal ini merupakan sebagai sikap berhati-hati dalam beribadah.
Kemud}aratan harus dihilangkan. Pengertian d}ara>r adalah sesuatu yang membahayakan.
'Izz al-Di>n bin 'Abd al-Sala>m, Qawa>'id al-Ah}}ka>m fi> Mas}a>lih} al-Ana>m, juz.1
(t.tp.: Da>r al-Jail, 1980), 10
Perbedaan kaidah ‫ الضرر يزال‬dengan kaidah ‫ المشقة تجلب التيسر‬adalah pertama, kaidah ‫الضرر‬
‫ يزال‬bersifat filosofis, diturunkan kepada materi-materi fiqh yang bersifat teknis, berkaitan
erat dengan maqa>s}id shari>'ah (memelihara dan menjaga agama, jiwa, akal, keturunan
dan harta) dari sisi sadd al-dhari'ah (menutup jalan kepada kemud}aratan) dan
menghilangkan setidaknya meringankan hal-hal yang memberatkan. Kedua, kaidah ‫المشقة‬
‫ تجلب التيسر‬berkaitan dengan perbuatan mukallaf dan bertujuan untuk meringankan hal-hal
yang memberatkan dan menunjukkan bahwa shari'at Isla>m bersifat tidak menyulitkan
dalam pelaksanaannya. Dari sisi meringankan inilah kedua kaidah ini saling bertemu. Lihat
Al-Suyu>t}i, Jalan 'Abd al-Rah>man, al-Ashba>h wa al-Nadz}a>ir fi> Qawa>'id wa
Furu>' Fiqh al-Sha>fi'i>, cet I (Beirut: Da>r al-Kutub al-'Ilmiyah, 1979), 84-92 dan Zayn
al-'Abidi>n bin Ibra>hi>m bin Nuzaim al-H}anafi>, al-Ashba>h wa al-Naz}a>'ir, cet. 1
(Damaskus Da>r al-Fikr, 1983), 84-94

9

Dalam permasalahan d}aru>rat ini perlu kita ketahui bahwa
kebutuhan manusia itu terbagi menjadi lima tingkatan yaitu:
(a)

Tingkat d}aru>rat.

(b)

Tingkat h}a>jat.

(c)

Tingkat manfaat.

(d)

Tingkat Zi>nah.

(e)

Tingkat Fud}u>l.

58

59

60
61

62
63

Adapun dalam keadaan d}aru>rat, yang membolehkan
seseorang melakukan hal-hal yang dilarang adalah keadaan yang
memenuhi syarat sebagai berikut:

(1)

Dalam kondisi d}aru>rat yang dapat mengancam jiwa

dan anggota badan.

(2)

64

Dalam keadaan d}aru>rat hanya dilakukan sekadarnya

dan tidak melampaui batas.

(3)

Tidak ada jalan lain yang h}ala>l kecuali dengan

melakukan yang dilarang.
Pengecualian dari kaidah di atas pada prinsipnya adalah:
(1)

Apabila menghilangkan kemud}aratan
mengakibatkan datangnya kemud}aratan lain yang sama
tingkatannya.65

Jala>l al-Di>n 'Abd. Al-Rah}ma>n al-Suyu>t}i, al-Ashba>h wa al-Naz}a>'ir fi> Qawa>'id wa
Furu>' Fiqh al-Sha>fi'i>, cet.I (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-'Ilmiyah, 1979).
59
Kebutuhan yang wajib ada, bersifat mutlak dan tidak bisa diabaikan. Seperti orang yang
sudah sangat lapar, dia tidak boleh tidak harus makan. Sebab jika tidak, dia akan mati
60
Kebutuhan yang tidak mencapai tingkatan d}aru>rat, bersifat menghilangkan kesulitan
dalam rangka pemeliharaan kulliyah khamsah. Seperti orang yang lapar (tapi masih bisa
ditahan) dan tidak mengakibatkan kematian, hanya tubuh yang payah dan lemah saja.
Adapun kaidah
‫ الحاجة تنزل منزلة الضرورة عامة كان أو خاصة‬, h}ajat menduduki tempat d}arurat, baik secara
umum atau khusus/ pribadi. Karena kebolehan melanggar dalam hal yang h}aram inilah
kedudukan h}ajah ditempatkan pada posisi d}arurat.
61
Kebutuhan yang bersifat penyempurna saja, seperti makanan yang bergizi yang akan
memberikan kesehatan dan kekuatan, sehingga dapat hidup secara wajar.
62
Kebutuhan yang bersifat untuk memperindah dan merupakan kemewahan hidup. Seperti
makanan yang lezat-lezat, perhiasan.
63
Kebutuhan yang bersifat berlebih-lebihan. Seperti banyak makan yang shubhat atau
h}ara>m.
               64
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Al-Qur'a>n, 2 (al-Baqarah):
173
65
Sejalan dengan kaidah ‫ الضررليزال بمثله‬, kemud}aratan tidak bisa dihilangkan dengan
kemud}aratan yang sebanding. Seperti mengambil makanan orang lain yang sama-sama
58

10

(2)

Apabila menghilangkan kemud}aratan
mengakibatkan datangnya kemud}aratan lain yang lebih besar/ tinggi
tingkatannya.

(3)

66

Apabila menghilangkan kemud}aratan dengan cara
melampaui batas, dan bukan merupakan jalan satu-satunya yang
harus dilakukan (ada alternatif lain selain hal haram yang menjadi
pilihan).67
Perbedaan antara h}ajjah dan d}arurat adalah,

(1)

H}ajjah mempunyai efek kesulitan/ kesukaran
dalam melakukan hukum dan yang dilanggar adalah hukum h}aram
lighairihi.

(2)

D}arurat mempunyai efek bahaya yang muncul jika
melakukan/ melaksanakan hukum dan yang dilanggar adalah h}aram
lidhatihi.

e.

68

‫العادة مأحكمة‬

Menurut al-Jurja>ni>

69

al-'a>dah adalah sesuatu perbuatan/

perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia, karena dapat
diterima akal, dan manusia mengulang-ulanginya terus menerus. 'Abd
Wahab al-Khalaf tidak membedakan antara al-'A>dah dan al-'Urf.

70

Menurutnya, al-'Urf adalah sesuatu yang telah diketahui oleh orang
banyak dan dikerjakan oleh mereka, dari perkataan, perbuatan atau
(sesuatu) yang ditinggalkan. Hal ini juga dinamakan al-'A>dah dan
dalam keadaan kelaparan.
Sejalan dengan kaidah ‫إذا تعارض مفسد تان روعى أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما‬
Jika dua mafsadah bertentangan, maka diperhatikan mana yang lebih besar
mad}arahnya dengan dikerjakan yang lebih ringan mad}arahnya. Seperti lari dari medan
perang (sebab kalah dalam peperangan lebih besar mad}aratnya daripada menyelamatkan
diri).
67
Sejalan dengan kaidah ‫ الضرورات تقدر بقدرها‬keadaan d}aru>rat, ukurannya ditentukan
menurut kadar kedaruratannya. Dalam al-Qur'a>n disebutkan:
              
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Al-Qur'a>n, 2 (al-Baqarah): 173
68
Adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum.
69
‫ العادة مااستمر الناس عليه على حأكم المعقول وعادوا إليه مرة بعد أخرى‬lihat di Al Jurja>ni>, Kita>b alTa'rifat, (t.tp.: Da>r al-Kutub al-'Ilmiyah,1983)
70
‫ وفى لسان الشرعيين لفرق بين‬. ‫العرف هو ماتعارفه الناس وساروا عليه من قول أو فعل أو ترك ويسمى العادة‬
‫العرف والعادة‬. Lihat di 'Abd Wahab al-Khalaf, Mas}a>dir al-Tashri' fi> Ma> La> Nas}s} Fi>h,
cet. III (Kwait: Da>r al-Qalam, 1972)
66

11

menurut pendapat ahli Shara>' juga tidak ada perbedaan antara
al-'Urf dan al-'A>dah.
Pengecualian dari kaidah ini:
(1)

al-'adah yang bertentangan dengan nas}s}.

(2)

al-'adah yang menyebabkan kemafsadatan atau

71

menghilangkan kemas}lah}atan, termasuk di dalamnya
mengakibatkan kesulitan atau kesukaran.
(3)

72

al-'adah yang berlaku dan biasa dilakukan oleh
beberapa orang saja dan bukan berlaku pada umumnya kaum
muslimi>n.

73

Seperti reog dengan didahului minum-minuman keras

pada perayaan hari-hari tertentu di kota Ponorogo
Al-Bu>ti menjelaskan

74

segala sesuatu kebiasaan yang dianggap baik

oleh masyarakat (al-'a>dah/ al-'urf) terkadang (pertama) ia merupakan
hukum shar'i itu sendiri dan terkadang (kedua) bukan hukum shar'i> yang
diatur secara rinci, dan belum ada batasannya yang jelas, tapi berhubungan
kuat dengan hukum shar'i serta terkadang (ketiga) bukan merupakan salah
satu dari kedua bentuk tersebut.75
Contoh bentuk pertama: Bersuci dari najis dan h}adath ketika hendak
s}ala>t, nafkah suami terhadap istri, menutupi aurat, qis}a>s}, h}udu>d
dan lain sebagainya. 'Urf seperti ini tidak boleh menerima perubahan atau
pergantian meskipun berbeda zaman dan adat suatu masyarakat.

76

Contoh bentuk kedua : Penentuan usia baligh, batas-batas terjadinya
h}aid} dan nifa>s, s}ighat-s}ighat atau lafaz}-lafaz} yang digunakan dalam
transaksi dan talak. Contoh-contoh tersebut bukan merupakan h}ukum
shara' secara essensial, tetapi ia berhubungan dan menjadi ‫ مناط‬/ standar
obyek bagi hukum-hukum shara'. Bentuk kedua inilah yang dimaksud oleh
para Fuqaha>' dengan konsep ‫ العادة المحكمة‬.

77

Sehingga bentuk hukum

berubah-ubah sesuai dengan perubahan ‫ مناط‬/ kaitan obyek atau tempat
71
72
73

74

75
76
77

Seperti berjudi, menyabung ayam.
Memboroskan harta, hura-hura yang berlebihan dalam suatu perayaan.
Jika berlaku pada beberapa orang saja tidak dianggap adat. Lihat 'Abd Wahab al-Khalaf,
Mas}a>dir al-Tashri' fi> Ma> La> Nas}s} Fi>h, cet. III (Kwait: Da>r al-Qalam, 1972)
Sa'i>d Ramad}a>n al-Bu>t}i>, D}awa>bit} al-Mas}lah}ah fi> al-Shari>'ah al-Isla>mi>yah
(Beirut : Mu'assasah al-Risa>lah, 1992 ), 245-251
Ibid.,245
Ibid., 246
Ibid., 246

12

bergantungnya hukum tersebut yang diserahkan kepada persepsi dan
perkembangan adat masyarakat masing-masing. Sementara substansi
h}ukum tetap dan tidak berubah sebagaimana kewajiban bersuci adalah
salah satu yang bisa dilakukan dengan air dan terkadang dilakukan dengan
debu.78
Adapun bentuk ketiga

79

terdapat dua kemungkinan, yaitu:

1. 'Urf / al-a>dah tersebut mencakup hal-hal yang mubah 'Urf / al-a>dah ini
tidak menjadi persoalan selagi tidak bertentangan dengan batas-batas
shara>'.80 Seperti dalam melakukan haji (dulu menaiki onta, sekarang
menaiki kapal terbang).
2. 'Urf / al-a>dah tersebut bertentangan dengan nas}s} shara>'. 'Urf ini
adakalanya datang bersama dengan nas}s} dan adakalanya datang
kemudian.81
a.

Jika datang bersamaan dengan nas}, maka dilihat apakah 'urf
tersebut berupa ucapan atau perbuatan. Jika berupa ucapan atau
istilah bahasa/ komunikasi, maka ia menjadi h}ujjah. Di sini, posisi
nas}s} ditafsirkan dalam perspektif ucapan/ istilah tersebut. Jika
berupa perbuatan misalnya, istilah makanan ( ‫ )طعام‬hanya
diidentikkan dengan gandum dan sagu, sementara terdapat larangan
shar'i tentang larangan jual beli makanan dengan sejenisnya kecuali
sama jenis dan timbangannya dan saling serah terima secara
langsung (‫)يدابيد‬, maka menurut H}anafiyah, 'urf tersebut dapat
menjadi h}ujah, sehingga ia dapat men-takhs}is keumuman nas}s}.
Sementara jumhur ulama>' berpendapat bahwa 'urf tersebut tidak
dapat men-takhs}is nas}s} dan membiarkan nas}s} secara umum
sesuai dengan asalnya.

78
79

80
81
82

82

Ibid., 247
Bukan merupakan salah satu dari, 1. al-'a>dah (kebiasaan) adalah hukum shar'i itu sendiri,
2. al-'a>dah (kebiasaan) bukan hukum shar'i, tapi berhubungan kuat dengan hukum shar'i.
Ibid., 249
Ibid., 250
Ibid., 250. Seperti ketika shari'ah mengharamkan riba dalam makanan, maka keharaman
tersebut hanya terbatas pada makanan pokok dalam suatu daerah, bukan semua jenis
makanan atau kebolehan akad salam (titip), dan akad istis}na' (pesan, minta dibuatkan
sesuatu). Dalam hal jual biasa (barang yang digunakan jual beli harus telah berwujud).
Namun karena adat dan untuk kelancaran transaksi, maka akad salam (titip), dan akad
istis}na' (pesan, minta dibuatkan sesuatu) diperbolehkan.

13

b.

Jika 'urf datang sesudah nas}s} yang menentangnya, maka 'urf
tersebut tidak bernilai apapun untuk men-takhs}is nas}s}. Baik 'urf
tersebut bersifat umum atau khusus. Baik berbentuk lafaz} atau
ucapan atau perbuatan. Karena 'urf tersebut tidak didasarkan kepada
dasar nas}s} yang legal secara shar'i>.

83

BIBLIOGRAFI
al-Burnu, Muh}ammad S}iddi>q bin AH}mad. al-Waji>z fi> Id}a>h} alQawa>'id al-Fiqhiyah, cet. 1, Beirut: Mu'assasah l-Risa>lah, 1983
al-Bu>t}i>, Sa'i>d Ramad}a>n. D}awa>bit} al-Mas}lah}ah fi> al-Shari>'ah
al-Isla>mi>yah, Beirut : Mu'assasah al-Risa>lah, 1992
Al-Ghaza>li>, al-Mus}tashfa> min 'Ilm al-Us}u>l, juz 1, Beiru>t:Da>r al-Kutub
al-'Ilmiyyah,tt.
Al Jurja>ni>, Kita>b al-Ta'rifat, t.tp.: Da>r al-Kutub al-'Ilmiyah,1983
al-Khalaf, 'Abd Wahab. Mas}a>dir al-Tashri' fi> Ma> La> Nas}s} Fi>h, cet. III,
Kwait: Da>r al-Qalam, 1972
al-Nadwi, Ah}mad. al-Qawa>'id al-Fiqhiyah, cet. V, Beirut: Da>r al-Qalam,
1998
al-Nadwi, Ali Ah}mad, al-Qawa>'id al-Fiqhiyah, cet V, Beirut: Da>r al-Qala>m,
2000
al-Ru>ki, Muh}ammad. Qawa>'id al-Fiqh al-Isla>mi>, cet I, Beirut: Da>r alQala>m, 1998
al-Sala>m, 'Izz al-Di>n bin 'Abd. Qawa>'id al-Ah}}ka>m fi> Mas}a>lih} alAna>m, juz.1, t.tp.: Da>r al-Jail, 1980
al-Sha>t}ibi>, Abu> Ish}a>q. al-Muwa>faqa>t fi> Us}ul al-Shari>'ah, juz. II,
t.tp: al-Maktabah al-Tija>riyah, t.t
al-Shirazi>, Abu> Ish}a>q. al-Muhadhdhab, juz. I, t.tp: Da>r al-Fikr, t.t
al-S}iddi>qi>, H}asbi. Pengantar Hukum Isla>m, cet III, Jakarta: Bulan Bintang,
1963
al-Suyu>t}i, Jala>l al-Di>n 'Abd. Al-Rah}ma>n. al-Ashba>h wa al-Naz}a>'ir
fi> Qawa>'id wa Furu>' Fiqh al-Sha>fi'i>, cet.I, Beiru>t: Da>r al-Kutub
al-'Ilmiyah, 1979.

83

Ibid., 251

14

al-Zarqa>' Ah}mad bin Shaikh Muh}ammad. Sharh} al-Qawa>'id al-Fiqhiyah,
cet.VI, Damskus: Da>r al-Qalam, 2001
Dahlan,M. Kamus Induk Istilah Ilmiah, Surabaya: Target Press, 2003
Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta: Kencana, 2002
Djazuli, A. Ilmu Fikih: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum
Isla>m, cet V, Jakarta: Prenada Media, 2005
Ibn Nuzaim al-H}anafi>, Zayn al-'Abidi>n bin Ibra>hi>m. al-Ashba>h wa alNaz}a>'ir, cet. 1, Damaskus Da>r al-Fikr, 1983
Rah}ma>n, Asymuni A. Qaidah-Qaidah Fiqh, cet. 1, Jakarta: Bulan Bintang,
1976

15