Perjanjian Badan Publik Dengan Pihak Ket

Seri Anotasi: Pasal 11 (1) (e)
Draft Versi 01
15 Oktober 2012

Perjanjian Badan Publik Dengan Pihak Ketiga
Anotasi Pasal 11 ayat (1) (e) Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008
Mohamad Mova Al’Afghani

1. Latar Belakang
Pasal 11 ayat 1 Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi
Publik (UU KIP) berbunyi:
Pasal 11
(1) Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik setiap saat yang meliputi:
a. daftar seluruh Informasi Publik yang berada di bawah penguasaannya, tidak
termasuk informasi yang dikecualikan;
b. hasil keputusan Badan Publik dan pertimbangannya;
c. seluruh kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya;
d. rencana kerja proyek termasuk di dalamnya perkiraan pengeluaran tahunan Badan
Publik;
e. perjanjian Badan Publik dengan pihak ketiga;
f. informasi dan kebijakan yang disampaikan Pejabat Publik dalam pertemuan yang

terbuka untuk umum;
g. prosedur kerja pegawai Badan Publik yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat;
dan/atau;
h. laporan mengenai pelayanan akses Informasi Publik sebagaimana diatur dalam
Undang Undang ini.

Ayat (1) (e) dari Pasal 11 tersebut memasukkan “perjanjian Badan Publik dengan pihak
ketiga” kedalam kategori informasi yang wajib disediakan “setiap saat” oleh badan publik.
Dengan demikian, Pasal 11 Ayat 1 (e) memiliki unsur-unsur sebagai berikut: (1) Badan Publik, (2)
Informasi Publik, (3) setiap saat, (4) Perjanjian dan (5) Pihak Ketiga. Makalah ini hanya akan
membahas unsur (3)-(5) karena unsur-unsur lainnya sebaiknya dibahas dalam anotasi Pasal lain
secara komprehensif.
Selanjutnya, makalah ini akan membahas permasalahan penerapan Pasal 11 (1) (e) ini dalam
kasus-kasus di Komisi Informasi Pusat. Komparasi dengan negara lain akan dilakukan secara adhoc.

2. Uraian unsur-unsur
a. Pengertian “setiap saat”
UU KIP membedakan setidaknya empat macam kategori informasi: informasi yang wajib
tersedia setiap saat (Pasal 11), informasi yang wajib diumumkan sertamerta (Pasal 10),
Informasi yang Wajib Disediakan dan Diumumkan Secara Berkala (Pasal 9) dan Informasi yang

wajib diberikan atas dasar Permintaan (Bab VI). Secara teoritis, informasi yang wajib tersedia
setiap saat, sertamerta dan berkala tergolong kedalam “active disclosure”, sementara informasi
yang wajib dibuka berdasarkan permintaan tergelong kedalam “passive disclosure”. 1
Pembedaan ini dilakukan berdasarkan inisiatif pembukaan informasi dilihat dari posisi badan
publik.
Dalam hal informasi sertamerta, penjelasan Pasal 10 menyatakan bahwa “…yang dimaksud
dengan “sertamerta” adalah spontan, pada saat itu juga”. Sementara Pasal 10 sendiri
mengatakan bahwa yang wajib diumumkan secara sertamerta adalah informasi yang dapat
mengancam hajat hidup orang banyak dan [atau?] ketertiban umum. Dengan demikian,
informasi ini berhubungan erat dengan situasi darurat dan perundangan kebencanaan dan
peraturan sektoral lainnya. 2
Informasi berkala memiliki ciri terdapatnya kewajiban periodikal dalam mengumumkan
informasi tersebut. Dalam UU KIP, kewajiban ini berlaku satu kali setiap 6 (enam) bulan. Dari
informasi yang disebutkan dalam Pasal 6, seperti informasi perihal kegiatan, kinerja dan
laporan keuangan Badan Publik, kelihatan badan informasi berkala ini dimaksudkan untuk
menunjang akuntabilitas dan proforma Badan Publik dalam kesehariannya.
Perihal informasi yang wajib tersedia “setiap saat”, Buku Anotasi UU KIP yang dibuat oleh KIP
dan ICEL telah menjelaskan dengan cukup komprehensif. 3 Namun demikian, masih terdapat
ketidakjelasan apakah permintaan informasi diperlukan untuk mengakses informasi yang wajib
tersedia “setiap saat” ini. Menurut Buku Anotasi UU KIP: “Sesuai dengan asas akses informasi

yang cepat dan tepat waktu serta cara sederhana, maka informasi jenis ini dapat saja
disediakan secara proaktif oleh badan publik tanpa harus menunggu adanya permintaan.”. 4
Kata dapat saja dalam kalimat diatas memberikan kesan bahwa sifat “active disclosure” dalam
kategori informasi ini tidak bersifat imperatif, melainkan fakultatif saja. Dalam artian, untuk
memperoleh informasi ini pun mungkin masih diperlukan usaha dari publik untuk meminta
informasi tersebut sebagaimana diatur dalam Bab VI UU KIP.
1

Al'Afghani, M.M., ‘The Role of Legal Frameworks in Enabling Transparency in Water Utilities Regulation’ (PhD
Thesis, University of Dundee 2012) Lihat Analytical Framework (Bab II); Lihat juga Al'Afghani, M.M., ‘The
transparency agenda in water utilities regulation and the role of freedom of information: England and Jakarta
case studies’ 20 Journal of Water Law 129.
2
Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana ; dalam hal kontaminasi air, lihat
juga Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2005 Tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum Pasal 68
(2) (b) perihal kewajiban Penyelenggara Air Minum untuk memberikan informasi perihal keadaan khusus
3
Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia, Anotasi Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang
Keterbukaan Informasi Publik (1st edn, Indonesian Center for Environmental Law dan Yayasan Tifa 2009)
4

Ibid hal 144

Apabila diinterpretasikan secara sistematik dengan melihat pada judul Pasal dan Bab, maka
akan kelihatan juga bahwa terdapat inkonsistensi tentang sifat “active disclosure” dari informasi
yang wajib tersedia setiap saat ini. Misalnya, judul dari Bab IV adalah “Informasi yang wajib
disediakan dan diumumkan” (garisbawah oleh penulis). Peng-umum-an suatu informasi oleh
badan publik merupakan sesuatu yang bersifat aktif. Namun demikian, hanya judul pasal 9
(informasi berkala) dan 10 (informasi sertamerta) yang mengandung kata “diumumkan”,
sementara Pasal 11 mengenai informasi setiap saat tidak harus diumumkan. Buku Anotasi UU
KIP juga mencatat inkonsistensi ini dalam pembahasa RUU KIP di DPR: 5
“Jadi, pada intinya, Pemerintah ingin mengganti frasa “setiap saat” dengan frasa “dapat
diakses,” tetapi keterbukaannya tergantung dari klasifikasi informasi itu sendiri. Apabila ‘setiap
saat’ dia akan diumumkan setiap saat, kalau kategorinya adalah ‘serta-merta’ dia di serta merta,
‘berkala’ adalah berkala atas permintaan disana juga.”

Dalam kutipan diatas terdapat kesan bahwa dalam hal informasi setiap saat, terdapat aspirasi
bahwa dia akan diumumkan setiap saat. Namun demikian, sebagaimana telah dibahas diatas,
judul Pasal 11 tidak mengandung kata “diumumkan” dan Buku Anotasi KIP sendiri memberikan
tafsiran bahwa penyediaan informasi tersebut “dapat saja” dilakukan secara proaktif, atau
dengan kata lain, tidak harus proaktif walaupun hal itu lebih baik. 6

Apabila tidak ada kewajiban tegas “active disclosure” terhadap informasi dalam Pasal 11, lalu apa
bedanya informasi dalam Pasal 11 dengan informasi lainnya yang dapat diperoleh melalui
mekanisme permintaan (Pasal 22)? Dari isi Pasal, kelihatan bahwa pembedaannya adalah adanya
kewajiban produksi informasi kepada Badan Publik, misalnya produksi daftar informasi, produksi
informasi prosedur kerja, produksi laporan akses pelayanan informasi dan sebagainya.
Sedangkan persamaannya adalah bahwa tidak ada kewajiban “active disclosure” terhadap
informasi tersebut. Terhadap perjanjian dengan pihak ketiga, pencantuman dalam Pasal 11 ini
sebenarnya tidak memiliki pengaruh apapun. Toh, apabila tidak ada Pasal 11 (1) e, tetap saja
perjanjian dengan pihak ketiga merupakan dokumen yang dikuasai oleh badan publik yang dapat
diminta untuk dibuka oleh publik.
Dengan tidak tegasnya pengaturan “active disclosure” dalam Pasal 11, seluruh kategori informasi
dalam pasal tersebut, termasuk perjanjian dengan pihak ketiga, masih harus dimintakan
kembali lewat mekanisme permintaan informasi dalam Pasal 22 agar dapat dibuka ke publik.
b. Pengertian “Perjanjian”
i. Perjanjian menurut Burgerlijk Wetboek
Perjanjian (dalam Pasal 1313 Burgerlijk Wetboek) termasuk dalam Buku Ketiga BW
mengenai Perikatan. Perikatan dapat timbul karena Undang-Undang, maupun karena
persetujuan kedua belah pihak. Perikatan yang timbul karena persetujuan kedua belah pihak
inilah yang disebut dengan “Perjanjian”. Dengan demikian, konsep perikatan lebih luas dari


5
6

Ibid hal 142
Ibid hal 144

perjanjian. Walau demikian, hanya “perjanjian” yang dicakup dalam Pasal 11 (1) e UU KIP,
bukan bentuk perikatan lainnya.

Pasal 1313 BW berbunyi sebagai berikut:
“Suatu persetujuan (Perjanjian) adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.”
Sedangkan mengenai syarat sah-nya perjanjian, BW Pasal 1320 menyatakan:
“Supaya terjadi persetujuan (Perjanjian) yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:
a. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. suatu pokok persoalan tertentu;
d. suatu sebab yang tidak terlarang.”
Dari paparan diatas dapat diketahui bahwa Perjanjian dalam BW tidak terdapat
kewajiban harus tertulis, melainkan juga dapat dilakukan secara lisan. Berhubung UU KIP

Pasal 11 ayat 1 (e) tidak membedakan antara perjanjian lisan dan tertulis, maka kedua
bentuk perjanjian tersebut wajib dibuka apabila diminta oleh publik.
Dalam hubungan bisnis banyak perjanjian yang dituangkan secara lisan, misalnya
melalui percakapan telepon. Yang menarik adalah, apakah perjanjian-perjanjian lisan dalam
hubungan bisnis sehari hari seperti itu juga wajib dibuka kepada publik? Karena UU KIP tidak
membedakan perjanjian lisan dengan tertulis, maka perjanjian yang demikian juga termasuk
kedalam informasi yang wajib tersedia “setiap saat”. Pertanyaan selanjutnya adalah:
bagaimana sesuatu yang lisan sifatnya dapat tersedia setiap saat?
Pengertian “Perjanjian” disini mencakup annex, addendum, lampiran maupun protokolprotokol pelaksanaan terlepas apapun pengistilahannya. Memorandum of Understanding
atau Nota Kesepahaman tidak termasuk kedalam pengertian “Perjanjian”, bahkan dapat
dikecualikan oleh Pasal 17 (i) UU KIP.7
ii. Perjanjian Perdata yang memiliki sifat publik
Dalam beberapa tradisi hukum administrasi, dikenal adanya penyerahan kewenangan
penyelenggaraan sektor pemerintahan atau pelayanan publik kepada pihak ketiga, yang disebut
dengan “delegasi”. Salah satu bentuk delegasi yang berbentuk perjanjian adalah Konsesi.
Menurut Prajudi, konsesi merupakan kombinasi dari izin dan dispensasi yang diikuti oleh pelimpahan
kewenangan pemerintahan secara terbatas kepada penerima konsesi. Ini berbeda dari pengertian
konsesi secara umum yang dianut oleh lembaga keuangan seperti World Bank. 8 Dalam tulisannya,
7


Undang Undang No.14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 17 i
Dalam artian umum, konsesi, bersama affermage dan kontrak manajemen sering diartikan sebagai model
dari partisipasi sektor privat. Menurut World Bank, sebuah Konsesi, “…gives a private operator responsibility
not only for the operation and maintenance of assets but also for financing and managing investment. Asset
ownership typically rests with the government from a legal perspective, however, and rights to all the assets,

8

Prajudi telah memberikan peringatan bahwa sistem konsesi rawan untuk disalah gunakan, karena
besarnya kekuasaan yang dimiliki penerima konsesi. 9 Prajudi memberikan contoh dimana beberapa
konsesi memberikan penerimanya kewenangan untuk membuat lapangan terbang, merelokasi
penduduk, membentuk satuan pengamanan internal, dan membangun infrastruktur seperti telepon,
jalan-jalan dan pembangkit listrik. 10
Syarifudin 11 menganggap bahwa tugas tugas yang diemban oleh penerima konsesi dan tercantum
dalam perjanjian konsesi pada hakekatnya merupakan tugas tugas pemerintahan. Dengan demikian,
menurut Syarifuddn, penerima konsesi dapat dianggap sebagai pejabat publik yang mengerjakan
tugas tugas pemerintahan. 12 Apabila penerima konsesi merupakan pejabat publik menurut teori
hukum administrasi negara, maka keputusan pejabat konsesi merupakan keputusan Tata Usaha
Negara yang dapat dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara. Instrumen delegasinya sendiri –
yang berbentuk kontrak konsesi – pada hakekatnya merupakan bentuk lain dari kombinasi izin,

dispensasi dan delegasi, yang mana pada hakikatnya merupakan dokumen publik. Namun demikian,
para penulis kontemporer seperti Simatupang beranggapan bahwa kontrak konsesi bukan
merupakan Keputusan TUN yang bisa ditelaah oleh Pengadilan TUN. 13
Para ahli administrasi negara membedakan antara kontrak kontrak yang memiliki dimensi publik –
seperti konsesi yang didalamnya terdapat delegasi kewenangan – dengan kontrak kontrak perdata
murni yang tidak memiliki aspek delegasi. Menurut Hadjon 14 dkk, kontrak kontrak dimana negara
menundukkan dirinya secara privat dan bertingkah laku seperti layaknya subyek hukum perdata
lainnya, seperti kontrak kontrak jual-beli, sewa-menyewa atau pengalihan aset tidak tunduk kepada
hukum publik, walaupun menkanismenya bisa didahului oleh dan diatur dalam aturan pemerintahan
mengenai penggunaan anggaran negara atau penggunaan aset negara. 15 Walupun kontrak kontrak
teersebut didahului oleh keputusan TUN, menurut UU PTUN keputusan termaksud tidak termasuk
kedalam yurisdiksi TUN. 16
Akibat hukum dari penerimaan delegasi ini setidaknya ada dua. Pertama, pihak swasta penerima
delegasi sejauh melaksanakan kewenangan yang diperolehnya dari pemerintah merupakan pejabat
publik yang putusannya secara teoritis dapat dikategorikan sebagai putusan TUN dan jabatannya
dianggap sebagai Badan Publik. Kedua, dokumen dimana didalamnya terdapat delegasi kewenangan
tersebut – secara teoritis – dapat dikategorikan sebagai dokumen publik, baik karena isinya maupun
karena penerima delegasinya merupakan Badan Publik.

including those created by the operator, typically revert to the government when the arrangement ends—often

after 25 or 30 years.” Lihat Public-Private Infrastructure Advisory Facility, Approaches to private participation
in water services : a toolkit (International Bank for Reconstruction and Development and the World Bank 2006)
p. 10 Namun demikian, sebenarnya pengertian konsesi yang diambil dari sistem hukum Perancis oleh World
Bank ini terkandung delegasi kekuasaan pemerintahan. Karakter delegasi tersebut jarang didiskusikan oleh
lembaga keuangan internasional.
9
Atmosudirdjo, P., Hukum administrasi negara (Ghalia Indonesia 1981) at p.98-99
10
Ibid at p 98
11
Syafrudin, “Perizinan Untuk Berbagai Kegiatan”, tidak dipublikasikan, sebagaimana dikutip oleh Pudyatmoko
dalam Pudyatmoko, Y.S., Perizinan: Problem dan Upaya Pembenahan (Grasindo 2009)
12
Marbun, S.F., Peradilan administrasi negara dan upaya administratif di Indonesia (UII Press 2003) p.60
13
Simatupang, D.P., Jawaban Tentang Konsesi (Email Correspondence 2011)
14
Hadjon, P.M. and others, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to Indonesian
Administrative Law) (Gadjah Mada University Press 1993) p. 166-167
15

ibid p. 166-167
16
Undang Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Article 2.b. Pasal ini mengecualikan
tindakan perdata dan penjelasannya mengacu pada kegiatan jual beli biasa. Pasal ini dan penjelasannya tidak
mengatur perihal tindakan perdata yng didalamnya terkandung delegasi kewenangan.

Sistem pengadaan barang dan jasa tidak menjadi penentu apakah suatu kontrak berisi delegasi
kewenangan pemerintahan ataupun tidak. Yang dapat menjadi patokan adalah isinya sendiri.
Apabila suatu kontrak mengandung kewenangan yang bersumber dari hukum publik, baik itu
peraturan perundang-undangan maupun keputusan TUN yang mana kekuasaan pihak yang
berkontrak tersebut menjadi hilang apabila hukum publik yang menjadi sumber kewenangannya
dicabut, maka kontrak tersebut berisi kewenangan penyelenggaraan pemerintahan.
3. Pengertian “Pihak Ketiga”
Rumusan “…perjanjian Badan Publik dengan pihak ketiga” dalam Pasal 11 ayat 1 (e) UU KIP
sebenarnya terkesan aneh. Suatu perjanjian hanya dapat terjadi apabila setidak tidaknya
terdapat dua pihak dimana tercapai kata sepakat. 17 Dengan demikian, tidak dimungkinkan terjadi
perjanjian apabila hanya dilakukan oleh satu pihak. Lantas, siapa yang dimaksud dengan “Pihak
Ketiga” dalam Pasal tersebut? UU KIP tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan
“Pihak Ketiga”.
Celah ini pernah diangkat dalam perkara yang melibatkan Kementrian PU, dimana saksi ahli dari
termohon mengatakan bahwa Perjanjian yang dimaksud hanya melibatkan dua pihak, yakni
antara pengguna jasa sebagai pihak pertama dan penyedia jasa sebagai pihak kedua dan bukan
dengan“pihak ketiga”. 18 Tentu saja, sebagaimana diutarakan oleh KIP dalam putusannya, maksud
dari UU KIP disini mungkin adalah bahwa “pihak ketiga” merupakan “pihak lain” dimana Badan
Publik melakukan hubungan hukum. 19 Namun demikian, interpretasi ini juga kurang memuaskan,
karena dalam melakukan hubungan hukum atau perjanjian, sudah pasti harus dengan pihak lain.
Sebagai perbandingan, FoI Act Commonwealth (Australia) memberikan definisi “Commonwealth
Contracts” sebagai berikut 20:
“Commonwealth contract means a contract to which all of the following apply:
a. the Commonwealth, Norfolk Island or an agency is, or was, a party to the contract;
b. under the contract, services are, or were, to be provided:
i. by another party; and
ii. for or on behalf of an agency; and
iii. to a person who is not the Commonwealth, Norfolk Island or an agency;
the services are in connection with the performance of the functions, or the exercise of the
powers, of an agency.”
Definisi diatas berlaku secara kumulatif dan dengan adanya kumulasi ini, penafsiran tentang
kontrak mana yang tercakup dalam FoI Act menjadi lebih restriktif. Hal ini karena terdapat
kewajiban disclosure yang lebih berat dalam FoI Act (Commonwealth) Australia. Butir a
memberikan kewajiban bahwa badan publik harus menjadi pihak dalam perjanjian tersebut,
definisi b memastikan bahwa prestasi perjanjian itu tidak dilakukan oleh dirinya sendiri melainkan
oleh pihak lain dan butir c berkenaan dengan sumber kewenangan melakukan perjanjian.
Adapun kewajiban tambahan dalam FoI Act (Commonwealth) Australia adalah sebagai berikut:
17

Indonesian Civil Code, the "Burgerlijk Wetboek" Pasal 1320 a
Putusan Komisi Informasi Pusat Nomor 361/X/KIP/PS-M-A/2011, Antoni Fernando vs Kementrian Pekerjaan
Umum (Kemen-PU) Lihat 3.2 butir 4
19
Ibid Lihat 4.32
20
Freedom of Information Act 1982, Act No. 3 of 1982 as amended s.4 (interpretation)
18

“ 6C Requirement for Commonwealth contracts
(1) This section applies to an agency if a service is, or is to be, provided under a Commonwealth
contract in connection with the performance of the functions or the exercise of the powers of the
agency.
(2) The agency must take contractual measures to ensure that the agency receives a document if:
(a) the document is created by, or is in the possession of:
(i) a contracted service provider for the Commonwealth contract; or
(ii) a subcontractor for the Commonwealth contract; and (b) the document relates to the
performance of the Commonwealth contract (and not to the entry into that contract); and
(c) the agency receives a request for access to the document”. 21
Dengan demikian, kewajiban Badan Publik di Commonwealth Australia tidak terhenti pada
penyediaan kontrak-kontrak dimana mereka menjadi pihaknya, melainkan juga terhadap dokumendokumen lain yang berada dalam penguasaan penyedia barang dan jasa sejauhmana hal tersebut
berhubungan dengan proforma dan akuntabilitas badan publik dimaksud, atau apabila badan publik
dimaksud mendapat permintaan akses informasi dari khayalak.
Secara filosofis, Pasal 6c dari FoI Act ini memberikan akses informasi dan akuntabilitas terhadap
pelimpahan kewenangan dari badan publik kepada pihak lain. Adapun metodologi perlindungan
akses ini dilakukan dengan instrumen keperdataan; hal mana dikenal dalam teori hukum sebagai
“private ordering”, yakni menggunakan instrumen hukum privat untuk menegakkan hukum publik.

4. Penerapan Dalam Kasus
a. Soal “Pacta Sunt Servanda” dan Pasal 1338
Hampir dalam setiap kasus yang melibatkan perjanjian Badan Publik, Pasal 1338 Burgerlijk
Wetboek yang berbunyi: “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” dikutip oleh Termohon. 22 Termohon
seringkali beranggapan bahwa dengan adanya pasal tersebut maka perjanjian yang mereka buat
bersifat lex specialis sehingga dapat mengesampingkan undang-undang KIP. 23 Dalam setiap kasus
kasus ini, KIP telah memberikan putusan-putusan yang bijak, 24 namun demikian layak untuk kita
bahas secara mendalam agar argumentasi-argumentasi semacam ini tidak terjadi lagi, sebab hanya
akan membuang-buang waktu saja.
Anggapan ini mungkin terjadi akibat salah paham dari pembacaan Pasal 1338 BW, karena
terjemahan yang banyak beredar sekarang ini diterjemahkan dari Bahasa Belanda kedalam Bahasa
Indonesia puluhan tahun yang lalu sedangkan versi aslinya sulit dijumpai. Versi aslinya, yang juga
21

Ibid s.6c
Putusan Komisi Informasi Pusat Nomor 197/VI/KIP-PS-M-A/2011, Yayasan Pusat Pengembangan Informasi
Publik (YP2IP) vs Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kemen-ESDM) LPAW vs BHP, Keputusan Komisi
Informasi Pusat No 001/VII/KIP-PS-A/2010, October 7th, 2010 Putusan Komisi Informasi Pusat Nomor
356/IX/KIP-PS-M-A/2011, Yayasan Pusat Pengembangan Informasi Publik (YP2IP) vs Badan Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP-Migas) Putusan Komisi Informasi Pusat Nomor:391 / XIl/ KIP-PS-MA/:2011 LSM Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air (Kruha) vs Perusahaan Daerah Air Minum Provinsi DKI Jakarta
(PAM Jaya)
23
Lihat 4.15-4.16
24
Lihat misalnya ibid para 4.16
22

identik dengan Pasal 1374 lid 1 BW Belanda versi lama berbunyi: "Alle wettiglijk gemaakte
overeenkomsten strekken dengenen die dezelve hebben aangegaan tot wet". “Wet” dalam kata
inilah yang kemudian diterjemahkan dengan “undang-undang”. Namun demikian, “wet” disini
sebenarnya tidak dalam arti kata formil, atau Undang-Undang yang terdapat dalam hierarki
peraturan perundang-undangan Pasal 7 (1) b dari UU 10/2004 25 melainkan dalam arti hukum yang
berlaku mengikat.
Terjemahan lain dari Pasal ini kedalam bahasa Inggris adalah: “All legally made agreements have
the force of law to the agreeing parties”. 26 Terjemahan ini lebih tepat karena lebih merefleksikan
prinsip “kekuatan mengikat” yang mana merupakan salah satu bagian dari prinsip Pacta Sunt
Servanda. 27 Hal ini ditegaskan oleh Hartogh: “Public legislation does not create the power of
“private legislation”,but only specifies the condition of its enforceability. 28 Maka jelaslah bahwa
pasal 1338 BW bukan berarti ada undang undang tersendiri antara para pihak, apalagi kalau
sampai ditafsirkan undang undang ini bisa menyimpangi ketentuan UU KIP. Maksud dari Pasal
tersebut adalah bahwa penegakannya nanti akan dilakukan sebagaimana layaknya penegakan
undang-undang.
Apabila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia yang kita pakai sekarang ini maka adalah sebagai
berikut: “Seluruh perjanjian yang dibuat berdasarkan undang undang memiliki kekuatan hukum
bagi para pembuatnya”. Jadi sebenarnya kata undang-undang dalam terjemahan lama BW
tersebut lebih kontekstual apabila diterjemahkan kedalam kata “hukum”.
Perlu dicermati, bahwa sebenarnya Pasal sebelumnya (Pasal 1337) berbunyi: “Suatu sebab adalah
terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan
kesusilaan atau dengan ketertiban umum.” Ketentuan pasal ini hendaknya dibaca bersamaan
dengan Pasal 1320 yang mensyaratkan bahwa perjanjian hanya sah apabila didasarkan pada “suatu
sebab yang tidak terlarang.” Yang menarik didiskusikan disini adalah apakah “klausula
kerahasiaan” merupakan sebab yang dilarang oleh undang-undang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1337 jo Pasal 1320?
b. Klausula Kerahasiaan dan Akibat Hukumnya
Salah satu kekhawatiran dari Termohon yang cukup valid adalah kekhawatiran akan gugatan
wanprestasi akibat dibukanya “perjanjian dengan pihak ketiga”. 29 Dalam hal ini, prestasi yang
diperjanjikan oleh pemohon tertuang dalam klausula kerahasiaan, yakni prestasi untuk tidak
membuka perjanjian dan/atau informasi yang timbul akibat dari perjanjian. Salah satu contoh
klausula kerahasiaan yang cukup luas tertuang dalam Kontrak Kerjasama Antara PAM Jaya dengan
Mitra Swasta, Pasal 47 ayat 1 sebagai berikut 30:

25

Undang Undang No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan Lihat Pasal 7 (1)

b
26

Hartogh, G., Mutual expectations: a conventionalist theory of law, vol 56 (Springer 2002) hal 178
Wehberg, H., ‘Pacta sunt servanda’ American Journal of International Law 775
28
Hartogh, Mutual expectations: a conventionalist theory of law hal 178
29
Misalnya Putusan Komisi Informasi Pusat Nomor 356/IX/KIP-PS-M-A/2011 Yayasan Pusat Pengembangan
Informasi Publik (YP2IP) vs Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP-Migas) para 2.18
poin 7-8
dan 12; 3.17
30
Daryanto, A., Jawaban Surat KRuHA (Letter No. 581/DIV.T&P/XI/2011 dated November 8 2011 on PAM
JAYA's response to FoI Request by KRuHA) (PAM Jaya 2011)
27

“Para pihak, pejabat, direktur, pakar dan/atau karyawan dan agen masing-masing Pihak wajib
menjaga kerahasiaan seluruh informasi komersial dan teknis yang mereka miliki dan peroleh dari
masing-masing Pihak, serta dilarang menggunakan informasi tersebut selain untuk tujuan-tujuan
yang dimaksudkan dalam Perjanjian ini, kecuali untuk informasi yang dikategori sebagai:
a. informasi yang telah dikuasai/dimiliki oleh satu Pihak, kecuali jika sepatutnya telah diketahui
oleh Pihak tersebut bahwa informasi tersebut merupakan informasi yang bersifat rahasia
bagi Pihak lainnya;
b. informasi yang telah diketahui umum pada saat pengungkapannya berdasarkan Perjanjian
ini; dan
c. informasi yang setelah pengungkapannya berdasarkan Perjanjian ini menjadi informasi
umum.”
Istilah dari “seluruh informasi komersial dan teknis” ini sangat luas dan dapat melingkupi perjanjian
itu sendiri maupun informasi lainnya yang dihasilkan dari perjanjian kerjasama. 31
Pendapat termohon bahwasanya gugatan wanprestasi dapat timbul atas dibukanya perjanjian ada
benarnya. Dari satu sudut pandang, klausula kerahasiaan merupakan suatu prestasi atau janji untuk
tidak melakukan hal tertentu yang harus ditepati oleh suatu Badan Publik. Apabila Badan Publik yang
bersangkutan melanggar janji ini, maka dapat digugat oleh pihak lainnya dalam perjanjian.
Namun demikian, sebelum memutuskan persoalan yang berkaitan dengan klausula kerahasiaan,
Badan Publik atau KI sebaiknya melihat dulu secara seksama model dari klausulanya. Model klausula
kerahasiaan bermacam-macam, ada yang bersifat resiprokal, atau berlaku bagi kedua belah pihak –
seperti pada kasus Kruha vs PAM Jaya diatas 32 -- atau hanya berlaku satu arah, misalnya pada Model
Kontrak
Pengadaan
Barang
dan
Jasa
Nasional:

Clause 3.2: 33
The Contractor, Subcontractor (if any) and Personnel without prior written approval
from the CO, shall be forbidden during the Contract Period and for a certain period of
time afterward as determined in the SCC, to:
(a) use the Contract Document or any other document/information produced by the
contractor work for purposes other than for the execution of this Contract;
(b) disclose the above said documents/information to any third party.
Dalam model klausul diatas, kewajiban kerahasiaan hanya berlaku satu arah yakni bagi kontraktor
dan subkontraktor, namun tidak bagi badan publik.
Apabila klausulanya berlaku resiprokal – seperti pada kasus Kruha vs PAM Jaya diatas-- memang
benar bahwa Badan Publik seperti PAM Jaya dapat digugat oleh pihak lain dalam kontraknya. Dalam
hal ini KI tidak memiliki yurisdiksi atas proses peradilan antara Badan Publik dengan pihak yang
berkontrak dengannya dan tidak akan dapat memberikan jaminan bahwa Badan Publik yang
bersengketa akan dimenangkan atas keputusannya membuka informasi.

31

Lebih lengkapnya lihat Al'Afghani, ‘The Role of Legal Frameworks in Enabling Transparency in Water Utilities
Regulation’ Bab 5
32
Daryanto, Jawaban Surat KRuHA (Letter No. 581/DIV.T&P/XI/2011 dated November 8 2011 on PAM JAYA's
response to FoI Request by KRuHA)
33
Center for Public Procurement Policy Development, Model National Procurement Document (2007)
Procurement of Works with Prequalification, General Conditions of Contract, clause 3.2 .

Namun demikian, forum penyelesaian sengketa yang dipilih dalam kontrak, baik itu badan arbitrase
maupun pengadilan seharusnya mengacu kepada keputusan KIP. Hal ini adalah karena klausula
kerahasiaan dalam konteks tertentu menjadi tidak sesuai dengan Undang-Undang. Seperti dibahas
diatas, BW Pasal 1337 melarang suatu sebab apabila sebab itu dilarang oleh Undang-Undang.
Pemberlakuan klausula kerahasiaan yang melanggar UU KIP (misalnya karena tidak sesuai dengan uji
konsekuensi dan uji kepentingan publik) tentunya merupakan causa yang dilarang dan karenanya
pengadilan perdata berkewajiban untuk tidak menegakkannya. Dengan demikian, idealnya
tercapailah kepastian hukum antara sengketa informasi di KIP maupun Pengadilan dengan sengketa
kontrak di Pengadilan Perdata.
Terlepas dari uraian diatas, tetap tidak ada jaminan bahwa pengadilan perdata akan mengacu pada
UU KIP maupun Putusan KI. Terlebih lagi, karena tidak tegasnya “active disclosure” dalam Pasal 11
ayat 1 (e), Badan Publik akan cenderung ragu-ragu dalam mempergunakan diskresinya untuk
membuka dokumen kontrak dan ini akan menyebabkan kasus-kasus serupa yang berhubungan
dengan perjanjian Badan Publik dibawa ke KI.
Untuk menghindari gugatan wanprestasi dan untuk mengurangi tumpukan kasus serupa akibat
keraguan Badan Publik dalam membuka kontrak, maka perlu diperlukan langkah-langkah strategis
sebagaimana akan dibahas berikut.
c. Solusi atas gugatan wanprestasi yang disebabkan atas klausula kerahasiaan
Ada dua solusi utama bagi permasalahan gugatan wanprestasi terhadap Badan Publik yang menaati
UU KIP, namun solusi ini bersifat ex-post-facto. Pertama adalah ketegasan active disclosure
pembukaan kontrak dalam peraturan perundang-undangan maupun kebijakan dan kedua adalah
keharusan bagi Badan Publik untuk membuat klausula FoI Waiver, yakni pengecualian keberlakuan
klausula kerahasiaan apabila ada permintaan akses informasi atau apabila ada kewajiban hukum
lainnya untuk membuka kontrak. Karena permasalahannya sering didapatkan pada kontrak
pengadaan barang dan jasa, idealnya FoI Waiver Clause ini dimasukkan sebagai kewajiban peraturan
pengadaan barang dan jasa serta dalam model dokumen kontrak pengadaan barang dan jasa.
Contoh negara yang telah melaksanakan pembukaan kontrak seperti ini adalah Victoria, Australia, ,
pemerintah New South Wales dan Pemerintah Federal Australia. 34 Pada tahun 2000, Perdana
Menteri Victoria mewajibkan pembukaan dokumen kontrak yang bernilai lebih dari 100.000 dollar
Australia ke domain publik. 35 Seluruh kontrak-kontrak ini kemudian didokumentasikan kedalam
Contract Publishing System (CPS) yang mana dapat diakses oleh siapapun melalui internet. 36
Kewajiban pembukaan kontrak di Victoria, Australia juga tertuang dalam kewajiban pelaporan
keuangan badan publik yang dikeluarkan oleh Departemen Keuangan Victoria lewat Directive FRD

34

Lihat juga peraturan pembukaan kontrak di Pemerintah Federal Australia Government Procurement Act 2001
(ACT) Part 3 http://www.legislation.act.gov.au/a/2001-28/current/pdf/2001-28.pdf serta di Negara Bagian
New South Wales, lihat Freedom of Information Act 1981 (Nsw) s.15 A (Disclosure of government contracts
with the private sector) http://www.legislation.nsw.gov.au/fullhtml/inforce/act+5+1989+cd+0+N#pt.2-sec.15a
35
Bracks, S., Ensuring Openness and Probity in Victorian Government Contracts, A Policy Statement (2010)
May 3, 2010
36
Some of the contracts are available in the Victoria Government Contract Publishing System website
http://www.old.tenders.vic.gov.au/CA256AEA00206A7D/webpages/PublicContractsFrameset?Open

12A37 “Disclosure of Major Contracts”. Direktif ini mengacu pada Bracks’ policy statement 38 dan
pedoman implementasinya 39
Kebijakan pembukaan kontrak oleh PM Bracks ini membolehkan penghitaman pada kontrak kontrak
yang dibuka dengan berpedoman pada Undang Undang FoI Victoria dan keputusan-keputusan
sengketa informasi dari Victoria Civil and Administrative Tribunal’s (VCAT) decisions. Selanjutnya,
apabila dilakukan penghitaman pada kalimat-kalimat kontrak, maka penghitaman tersebut harus
disertai alasannya. 40 Ada tiga alasan utama untuk dilakukannya penghitaman: (1) rahasia dagang, (2)
rahasia bisnis (3) materi yang pembukaannya dapat mencederai kepentingan publik. Rahasia bisnis
adalah informasi yang “likely to expose [a private sector contractor] unreasonably to
disadvantage”. 41 Penghitaman ini hanya berlaku bagi enam bilan dan setelahnya ahrus dibuka secara
penuh. 42
Selanjutnya, kebijakan pembukaan kontrak ini diintegrasikan pula dalam kebijakan pengadaan
barang dan jasa untuk pemerintah di Victoria. 43 Peraturan pengadaan barang dan jasa di tingkat
federal Australia juga tunduk pada ketentuan serupa.
Dalam kontrak pengadaan desalinasi air antara Pemerintah Victoria dengan Aquasure (kontrak mana
dapat diunduh di Contract Publishing System Victoria), terdapat klausula kerahasiaan sebagai
berikut 44:
“14.1 Keep Confidential
Subject to clauses 14.2, 14.3 and 14.4, each of the D&C Contractor, the D&C Guarantor and the
Independent Reviewer & Environmental Auditor must keep the contents of this deed and all
documents and information made available to it under, or in connection with, or in the course of the
performance of, this deed or any other Project Document, confidential and must not disclose the
same to any other person without the prior written consent of the other party.”
Sedangkan FoI Waiver Clausenya berbunyi:
14.4

37

Public disclosure
a. Project Co, the D&C Contractor, the D&C Guarantor and the Independent Reviewer &
Environmental Auditor acknowledge and agree that disclosure by the State, the Minister
or any Government Agency may be required:
i.
under the Freedom oflnformation Act 1982 (Vie);
ii.
under the Ombudsman Act 1973 (Vie); or
iii.
to satisfy the disclosure requirements of the Victorian Auditor General,
the requirements of Government policy concerning Partnerships Victoria
projects, or to satisfy the requirements of Parliamentary accountability;
and
iv.
in the case of the Minister, to fulfil his or her duties of office.

Department of Treasury & Finance (Victoria), FRD 12A Disclosure of Major Contracts (2005)
Bracks, Ensuring Openness and Probity in Victorian Government Contracts, A Policy Statement
39
Bracks, S., Ensuring Openness and Probity in Victorian Government Contracts, Implementation Guidelines
(2010)

May 3, 2010
40
Bracks, Ensuring Openness and Probity in Victorian Government Contracts, A Policy Statement 41 para.26
41
Ibid
42
Ibid para 23
43
Australian Government, National Public Private Partnership Guidelines, Volume 2: Practitioners’ Guide (2011)
para 6.5.3.
44
The Minister for Water of the State of Victoria and others, Victorian Desalination Project D&C Direct Deed
(2009)
38

Dapat disimpulkan bahwa melalui kebijakan pembukaan kontrak ini, FoI Act di Victoria sangat
terintegrasi kedalam setidak-tidaknya tiga macam kebijakan dan peraturan sektoral: Pertama adalah
policy intention dari PM Bracks, kedua adalah kebijakan pengadaan barang dan jasa dan ketiga
adalah kewajiban pelaporan keuangan barang dan jasa FRD12A.
Berhubung kebijakan pembukaan kontrak menjadi bagian dari peraturan pelaporan keuangan
FRD12A, maka Auditor-General dari Victoria (fungsinya ekivalen dengan Badan Pemeriksa Keungan
dan BPKP) memiliki kewajiban untuk melakukan evaluasi terhadap kepatuhan Badan Publik di
Victoria atas kebijakan tersebut. 45 Dengan demikian, garda terdepan dalam transparansi di Victoria
tidak berpusat di satu institusi seperti Komisi Informasi (Victoria bahkan tidak memiliki Komisi
Informasi), melainkan merata di setiap institusi.
5. Kesimpulan
Didalam makalah ini terlah diuraikan unsur-unsur dalam Pasal 11 ayat 1 (e) UU KIP dan
hubungannya dengan pasal pasal dalam peraturan lainnya. Sebagaimana dibahas, terdapat
beberapa kesalahpahaman tentang penafsiran pasal 1338 BW yang ditemukan dalam praktek dan
diklarifikasikan lewat makalah ini. Terakhir, makalah ini juga menyoroti pentingnya integrasi
antara passive disclosure rule lewat hak akses informasi dengan active disclosure rule.
Kewajiban active disclosure pembukaan kontrak dalam Pasal 11 ayat 1 (e) UU KIP dinilai tidak
tegas dan tidak strategis. Oleh sebab itu konstruksi yang ada sekarang ini akan mengakibatkan
keraguan dari sisi badan publik, tumpukan kasus pada Komisi Informasi dan kemungkinan
gugatan wanprestasi.
Untuk menanggulangi hal-hal diatas, makalah ini merekomendasikan integrasi lebih lanjut
kebijakan active disclosure kontrak dalam UU KIP kedalam peraturan sektoral, seperti peraturan
pengadaan barang dan aturan pelaporan keuangan badan publik. Komisi Informasi tidak akan
mampu untuk bekerja sendirian dalam garda terdepan transparansi di Indonesia. Oleh karena itu,
kebijakan transparansi perlu diinstutionalisasikan kepada peraturan sektoral dan lembaga negara
lainnya.
Terhadap kemungkinan gugatan wanprestasi akibat klausula kerahasiaan, makalah ini
merekomendasikan agar peraturan pengadaan barang dan jasa memuat model klausula FoI
waiver dan mewajibkan Badan Publik untuk mengadopsinya. Dengan metoda ini, tidak ada lagi
alasan kekhawatiran akan gugatan wanprestasi karena secara perdata semua pihak yang akan
berkontrak dengan pemerintah wajib membuka kontrak dan dokumen lainnya yang berkenaan.

45

Lihat Pearson, D.D.R., Managing the Requirements for Disclosing Private Sector Contracts (2010)
November 10, 2010

Dokumen yang terkait

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Hubungan Antara Kompetensi Pendidik Dengan Kecerdasan Jamak Anak Usia Dini di PAUD As Shobier Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember

4 116 4

Pengaruh Rasio Kecukupan Modal dan Dana Pihak Ketiga Terhadap Penyaluran Kredit (Studi Kasus pada BUSN Non Devisa Konvensional yang Terdaftar di OJK 2011-2014)

9 104 46

Analisis Prioritas Program Pengembangan Kawasan "Pulau Penawar Rindu" (Kecamatan Belakang Padang) Sebagai Kecamatan Terdepan di Kota Batam Dengan Menggunakan Metode AHP

10 65 6

Perancangan Sistem Informasi Akuntansi Laporan Keuangan Arus Kas Pada PT. Tiki Jalur Nugraha Ekakurir Cabang Bandung Dengan Menggunakan Software Microsoft Visual Basic 6.0 Dan SQL Server 2000 Berbasis Client Server

32 174 203

Prosedur Verifikasi Internal Surat Pertanggung Jawaban (SPJ) Pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat

2 110 1

Pengaruh Etika Profesi dan Pengalaman Auditor Terhadap Audit Judgment (Penelitian pada Kantor Akuntan Publik di Wilayah Bandung yang Terdaftar di BPK RI)

24 152 62

Penerapan Data Mining Untuk Memprediksi Fluktuasi Harga Saham Menggunakan Metode Classification Dengan Teknik Decision Tree

20 110 145

Sistem Informasi Pengolahan Data Pertanian di Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan BP4K Kabupaten Sukabumi

10 84 1

Pembangunan Sistem Informasi di PT Fijayatex Bersaudara Dengan Menggunakan Pendekatan Supply Chain Management

5 51 1