Deskripsi Penderita Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Karimun dan Tinjauan Pelaksanaan Program Pemberantasannya Tahun 2011 – 2015

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Demam Berdarah Dengue (DBD)

2.1.1

Definisi Demam Berdarah Dengue
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang

disebabkan oleh virus dengue yang tergolong Arthropod Borne Virus, genus
Flavivirus, dan family Flaviviridae. DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk dari
genus Aedes, terutama Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Penyakit DBD dapat
muncul sepanjang tahun dan dapat menyerang seluruh kelompok umur. Penyakit
ini berkaitan dengan kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat (Profil
Kesehatan Indonesia 2014).
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh Virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti, yang
ditandai dengan demam mendadak 2-7 hari, lemah/lesu, gelisah, nyeri ulu hati,
disertai tanda perdarahan dikulit berupa bintik perdarahan (petechiae), lebam

(echymosis) atau ruam (purpura), kadang-kadang mimisan, berak darah, muntah
darah, kesadaran menurun atau renjatan (shock) (Ibrahim, 2012).
2.1.2

Etiologi DBD
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan

virus Dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses)
yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, family Flaviviridae, dan
mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu; DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Seseorang
yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe
selama hidupnya, keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun.

7
Universitas Sumatera Utara

8

Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang terbanyak berhasil diisolasi (48,6%),
disusul berturut-turut DEN-2 (28,6%), DEN-1 (20%), DEN-4 (2,9%) (Irianto,

2014).
Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi protektif
seumur hidup untuk serotipe yang bersangkutan, tetapi tidak untuk serotipe yang
lain. Ke-4 serotipe virus tersebut ditemukan diberbagai daerah di Indonesia.
Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan di Indonesia dan ada
hubungannya dengan kasus-kasus berat pada saat terjadi kejadian luar biasa
(KLB) (Usman Hadi, 2007).
2.2

Vektor Penular DBD

2.2.1

Morfologi
Di Indonesia nyamuk penular (vektor) penyakit demam berdarah dengue

(DBD) yang penting adalah Aedes aegypti, Aedes albopictus, dan Aedes
scutellaris, tetapi sampai saat ini yang menjadi vektor utama dari penyakit DBD
adalah Aedes aegypti.
Nyamuk Aedes aegypti dikenal dengan sebutan black white mosquito atau

tiger mosquito karena tubuhnya memiliki ciri yang khas yaitu adanya garis-garis
dan bercak-bercak putih keperakan diatas dasar warna hitam. Sedangkan yang
menjadi ciri khas utamanya adalah ada dua garis lengkung yang berwarna putih
keperakan dikedua sisi lateral dan dua buah garis putih sejajar digaris median
punggungnya yang berwarna dasar hitam (lyre shaped marking).
Menurut Soegijanto (2006), masa pertumbuhan dan perkembangan
nyamuk Aedes aegypti termasuk metamorphosis sempurna (holometabola) yang

Universitas Sumatera Utara

9

dapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu telur, larva, pupa, dan dewasa. Berikut
penjelasannya :
1.

Telur
Telur nyamuk Aedes aegypti berbentuk ellips atau oval
memanjang, berwarna hitam, berukuran 0,5-0,8 mm, permukaan poligonal,
tidak memiliki alat pelampung, dan diletakkan satu per satu pada bendabenda yang terapung atau pada dinding bagian dalam tempat

penampungan air (TPA) yang berbatasan langsung dengan permukaan air.
Dilaporkan bahwa dari telur yang dilepas, sebanyak 85% melekat
didinding TPA, sedangkan 15% lainnya jatuh ke permukaan air.

2.

Larva
Larva nyamuk Aedes aegypti tubuhnya memanjang tanpa kaki
dengan bulu-bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini
dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami 4 kali pergantian
kulit (ecdysis), dan larva yang terbentuk berturut-turut disebut larva instar
I, II, III dan IV. Larva instar I, tubuhnya sangat kecil, warna transparan,
panjang 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada (thorax) belum begitu jelas,
dan corong pernapasan (siphon) belum menghitam. Larva instar II
bertambah besar, berukuran 2,5-3,9 mm, duri dada belum jelas, dan corong
pernapasan sudah berwarna hitam. Larva instar III lebih besar sedikit dari
larva instar II. Larva instar IV telah lengkap struktur anatominya dan jelas
tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax), dan
perut (abdomen).


Universitas Sumatera Utara

10

Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang
antenna

tanpa

duri-duri,

dan

alat-alat

mulut

tipe

pengunyah


(chewing). Bagian dada tampak paling besar dan terdapat bulu-bulu yang
simetris. Perut tersusun atas 8 ruas. Ruas perut ke-8 ada alat untuk
bernapas yang disebut corong pernapasan. Corong pernapasan tanpa duriduri, berwarna hitam, dan ada seberkas bulu-bulu (tuft), juga dilengkapi
dengan seberkas bulu-bulu sikat (brush) dibagian ventral dan gigi-gigi
sisir (comb) yang berjumlah 15-19 gigi yang tersusun dalam 1 baris. Gigigigi sisir dengan lekukan yang jelas membentuk gerigi. Larva ini tubuhnya
langsing dan bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negatif, dan waktu
istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan bidang permukaan
air.
3.

Pupa
Pupa nyamuk Aedes aegypti bentuk tubuhnya bengkok, dengan
bagian kepala-dada (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan
bagian perutnya, sehingga tampak seperti tanda baca “koma”. Pada bagian
punggung (dorsal) dada terdapat alat bernapas seperti terompet. Pada ruas
perut ke-8 terdapat sepasang alat pengayuh yang berguna untuk berenang.
Alat pengayuh tersebut berjumbai panjang dan bulu dinomor 7 pada ruas
perut ke-8 tidak bercabang. Pupa adalah bentuk tidak makan, tampak
gerakannya lebih lincah dibandingkan dengan larva. Waktu istirahat posisi

pupa sejajar dengan bidang permukaan air.

Universitas Sumatera Utara

11

4.

Dewasa
Nyamuk Aedes aegypti tubuhnya tersusun dari tiga bagian, yaitu
kepala, dada dan perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata
majemuk dan antena yang berbulu. Alat mulut nyamuk betina tipe
penusuk-pengisap (piercing-sucking) dan lebih menyukai manusia
(anthropophagus). Sedangkan nyamuk jantan bagian mulutnya lebih lemah
sehingga tidak mampu menembus kulit manusia, karena itu tergolong
lebih menyukai cairan tumbuhan (phytophagus). Nyamuk betina
mempunyai antenna tipe pilose, sedangkan nyamuk jantan tipe plumose.
Dadanyamuk ini tersusun atas 3 ruasyaitu porothorax, mesothorax,
dan metathorax. Setiap ruas dada ada sepasang kaki yang terdiri dari femur
(paha), tibia (betis), dan tarsus (tulang pangkal kaki). Pada ruas-ruas kaki

ada gelang-gelang putih, tetapi pada bagian tibia kaki belakang tidak ada
gelang putih. Pada bagian dada terdapat sepasang sayap tanpa noda-noda
hitam. Bagian punggung (mesontum) ada gambaran garis-garis putih yang
dapat dipakai untuk membedakan dengan jenis lain. Gambaran punggung
nyamuk Aedes aegypti berupa sepasang garis lengkung putih (bentuk: lyre)
pada tepinya dan sepasang garis submedian ditengahnya. Pada bagian
perut terdiri dari 8 ruas dan pada ruas-ruas tersebut terdapat bintik-bintik
putih. Waktu istirahat posisi nyamuk Aedes aegypti ini tubuhnya sejajar
dengan bidang yang dihinggapinya.

Universitas Sumatera Utara

12

2.2.2

Siklus Hidup
Nyamuk Aedes aegypti seperti juga jenis nyamuk lainnya mengalami

metamorphosis sempurna, yaitu: telur – jentik (larva) – pupa – nyamuk. Stadium

telur, jentik dan pupa hidup di dalam air. Pada umumnya telur akan menetas
menjadi jentik/larva dalam waktu ± 2 hari setelah telur terendam air. Stadium
jentik/larva biasanya berlangsung 6-8 hari, dan stadium kepompong (pupa)
berlangsung antara 2-4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa
selama 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan (Depkes RI,
2014).

Gambar 2.1 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti(Depkes RI, 2014)
2.2.3

Mekanisme Penularan
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus

dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus Dengue ditularkan
kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes
polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini,
namun merupakan vektor yang kurang berperan. Pada awal mulanya nyamuk
Aedes aegypti berasal dari Mesir yang kemudian menyebar ke seluruh dunia,

Universitas Sumatera Utara


13

melalui kapal laut dan udara. Nyamuk hidup dengan subur dibelahan dunia yang
mempunyai iklim tropis dan subtropis seperti Asia, Afrika, Australia dan
Amerika. Di Indonesia nyamuk ini tersebar luas di pelosok tanah air, baik di kotakota maupun di desa-desa, kecuali di wilayah yang ketinggiannya lebih dari 1000
meter diatas permukaan laut (Irianto, 2014).
Perkembangan hidup nyamuk Aedes aegypti dari telur hingga dewasa
memerlukan waktu sekitar 10-12 hari. Hanya nyamuk betina yang menggigit dan
menghisap darah serta memilih darah manusia untuk mematangkan telurnya.
Sedangkan nyamuk jantan tidak bisa menggigit/menghisap darah, melainkan
hidup dari sari bunga tumbuh-tumbuhan. Umur nyamuk Aedes aegypti betina
berkisar antara 3 minggu sampai 3 bulan atau rata-rata 1½ bulan, tergantung dari
suhu kelembaban udara disekelilingnya. Kemampuan terbangnya berkisar antara
40-100 meter dari tempat perkembangbiakannya. Tempat istirahat yang
disukainya adalah benda-benda yang tergantung yang ada di dalam rumah, seperti
gordyn, kelambu dan baju/pakaian dikamar yang gelap dan lembab. Nyamuk
Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang
sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada dikelenjar liur
berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum

dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus
dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovarian
transmission), namun perannya dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus
dapat masuk dan berkembang biak didalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan
dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di dalam tubuh manusia, virus

Universitas Sumatera Utara

14

memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat
terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2
hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul (Irianto, 2014).
Orang yang didalam tubuhnya terdapat virus dengue tidak semuanya
akan sakit demam berdarah dengue. Ada yang mengalami demam ringan dan
sembuh dengan sendirinya, atau bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit.
Tetapi semuanya merupakan pembawa virus dengue selama satu minggu,
sehingga dapat menularkan kepada orang lain diberbagai wilayah yang ada
nyamuk penularnya. Sekali terinfeksi, nyamuk menjadi infektif seumur hidupnya
(Widoyono, 2008).
2.3

Diagnosis Demam Berdarah Dengue (DBD)
Menurut Ginanjar (2007), untuk menegakkan diagnosis DBD diperlukan

sekurang-kurangnya:

a.

-

Kriteria klinis 1 dan 2

-

Dua kriteria laboratorium

Kriteria klinis :
1. Demam tinggi yang berlangsung dalam waktu singkat, yakni antara 27 hari yang dapat mencapai 40°C. Demam sering disertai gejala tidak
spesifik, seperti tidak nafsu makan (anoreksia), lemah badan (malaise),
nyeri sendi dan tulang, serta rasa sakit di daerah belakang bola mata
(retro orbita) dan wajah yang kemerah-merahan (flushing).

Universitas Sumatera Utara

15

2. Tanda-tanda perdarahan seperti mimisan (epistaksis), perdarahan gusi,
perdarahan pada kulit seperti tes Rumpeleede (+), ptekiae dan
ekimosis, serta buang air besar berdarah berwarna merah kehitaman
(melena).
3. Adanya pembesaran organ hati (hepatomegali).
4. Kegagalan sirkulasi darah, yang ditandai dengan denyut nadi yang
teraba lemah dan cepat, ujung-ujung jari terasa dingin serta dapat
disertai penurunan kesadaran dan renjatan (syok) yang dapat
menyebabkan kematian.
b.

Kriteria laboratoris :
1. Penurunan jumlah trombosit (trombositopenia) < 100.000/mm3
2. Peningkatan kadar hematokrit > 20% dari nilai normal

2.4

Derajat Keparahan Penyakit DBD
Menurut Ginanjar (2007), derajat penyakit DBD berbeda-beda menurut

tingkat keparahannya :
1.

Derajat 1 : Panas badan selama 5-7 hari, gejala umum tidak khas, tes
Rumpeleede (+).

2.

Derajat 2 : Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan pada kulit berupa
ptekiae dan ekimosis, mimisan (epistaksis), muntah darah (hematemesis),
buang air besar berdarah berwarna kehitaman (melena), perdarahan gusi,
perdarahan rahim (uterus), telinga dan sebagainya.

3.

Derajat 3 : Ada tanda-tanda kegagalan sirkulasi darah, seperti denyut nadi
teraba lemah dan cepat (>120x/menit), tekanan nadi (selisih antara tekanan

Universitas Sumatera Utara

16

darah sistolik dan diastolik) menyempit (140x/menit, ujung-ujung jari kaki dan tangan terasa dingin,
tubuh berkeringat, kulit membiru. DBD derajat 4 merupakan manifestasi
syok, yang sering kali berakhir dengan kematian.

2.5

Pencegahan

1.

Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk
mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang
yang sehat menjadi sakit. Secara garis besar ada cara pengendalian vektor
antara lain:
a) Pengendalian cara kimiawi, pada pengendalian kimiawi digunakan
insektisida yang ditujukan pada nyamuk dewasa atau larva. Insektisida
yang

dapat

digunakan

adalah

dari

golongan

organoklorin,

organopospor, karbamat, dan pyrethoid.
b) Pengendalian hayati atau biologik, menggunakan kelompok hidup,
baik

dari

golongan

mikroorganisme hewan

invertebrata atau

vertebrata. Sebagai pengendalian hayati dapat berperan sebagai
patogen, parasit, dan pemangsa. Beberapa jenis ikan kepala timah
(Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusia affinis) adalah pemangsa
yang cocok untuk larva nyamuk.

Universitas Sumatera Utara

17

c) Pengendalian lingkungan, pencegahan yang paling tepat dan efektif
dan aman untuk jangka panjang adalah dilakukan dengan program
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan 3M yaitu: menguras bak
mandi, bak penampungan air, tempat minum hewan peliharaan.
Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa sehingga
tidak dapat diterobos oleh nyamuk dewasa. Mengubur barang bekas
yang sudah tidak terpakai, yang kesemuanya dapat menampung air
hujan sebagai tempat berkembang biaknya nyamuk Aedes aegypty
(Sukohar, 2014).
2.

Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan upaya diagnosis dan dapat
diartikan sebagai tindakan yang berupaya untuk menghentikan proses
penyakit pada tingkat permulaan sehingga tidak akan menjadi lebih parah.
1) Melakukan diagnosis sedini mungkin dan memberikan pengobatan
yang tepat bagi penderita demam berdarah dengue.
2) Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) yang menemukan penderita atau
tersangka penderita demam berdarah dengue segera melaporkan ke
Puskesmas dan Dinas Kesehatan dalam waktu 24 jam.
3) Penyelidikan epidemiologi dilakukan petugas Puskesmas untuk
pencarian penderita panas tanpa sebab yang jelas sebanyak 3 orang
atau lebih, pemeriksaan jentik, dan juga dimaksudkan untuk
mengetahui adanya kemungkinan terjadinya penularan lebih lanjut

Universitas Sumatera Utara

18

sehingga perlu dilakukan fogging fokus dengan radius 200 meter dari
rumah penderita, disertai penyuluhan (Wirayoga, 2013).
3.

Pencegahan Tersier
Pencegahan tersierini dimaksudkan untuk mencegah kematian
akibat penyakit demam berdarah dengue dan melakukan rehabilitasi.
Upaya pencegahan ini dapat dilakukan sebagai berikut: membuat ruangan
gawat darurat khusus untuk penderita DBD disetiap unit pelayanan
kesehatan terutama di Puskesmas agar penderita dapat penanganan yang
lebih baik, transfusi darah penderita yang menunjukkan gejala perdarahan,
mencegah terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) (Sukohar, 2014).

2.6

Epidemiologi DBD
KLB Dengue pertama kali terjadi pada tahun 1653 di French West
Indies (Kepulauan Karibia), meskipun sudah lama dilaporkan di Cina yaitu
pada permulaan tahun 922 SM. Di Australia serangan penyakit DBD
pertama kali dilaporkan pada tahun 1897, serta di Italia dan Taiwan pada
tahun 1931. KLB di Filiphina terjadi pada tahun 1953 sampai 1954, sejak
saat itu serangan penyakit DBD disertai tingkat kematian yang tinggi
melanda negara di wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia, Myanmar,
Thailand, Singapura, Kamboja, Malaysia, dan Vietnam. Selama dua puluh
tahun kemudian, terjadi peningkatan kasus dan wilayah penyebaran DBD
yang luar biasa hebatnya, dan saat ini KLB muncul setiap tahunnya di
beberapa negara di Asia Tenggara (Depkes RI, 2014).

Universitas Sumatera Utara

19

Di Indonesia, penyakit DBD pertama kali dilaporkan pada tahun
1968 di Jakarta dan Surabaya. Pada tahun 2010 telah menyebar di 33
provinsi dan 440 kota/kabupaten. Sejak ditemukan pertama kali kasus
DBD terus meningkat dan bahkan sejak tahun 2004 kasus tersebut
meningkat tajam. Kasus DBD terbanyak dilaporkan di daerah-daerah
dengan tingkat kepadatan yang tinggi seperti provinsi-provinsi di Pulau
Jawa, Bali dan Sumatera (Depkes RI, 2014).
2.7

Distribusi DBD
Distribusi pada penderita DBD dikelompokkan berdasarkan:

1.

Distribusi Berdasarkan Orang
Selama awal tahun epidemi pada setiap negara penyakit DBD ini
kebanyakan menyerang anak-anak dan 95% kasus yang dilaporkan
berumur kurang dari 15 tahun, namun pada berbagai negara melaporkan
bahwa kasus-kasus dewasa meningkat selama terjadi kejadian luar biasa.
Kelompok risiko tertinggi meliputi anak berumur 5-9 tahun. Filipina dan
Malaysia baru-baru ini melaporkan banyak kasus berumur lebih 15 tahun,
walaupun Thailand, Myanmar, Indonesia dan Vietnam tetap melaporkan
banyak kasus dibawah 14 tahun. Kasus DBD yang berumur lebih 15 tahun
banyak dijumpai di Amerika daripada Asia (Soegijanto, 2006).
Dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2000 proporsi kasus DBD
terbanyak adalah pada kelompok umur 4-5 tahun (kelompok umur
sekolah), tetapi pada tahun 1998 dan 2000 proporsi kasus pada kelompok
umur 15-44 tahun meningkat. Jika dilihat menurut jenis kelamin, diketahui

Universitas Sumatera Utara

20

dari laporan beberapa negara bahwa kelompok wanita dengan Dengue
Shock Syndrome (DSS) menunjukkan angka kematian yang tinggi
dibandingkan dengan kelompok laki-laki. Sedangkan untuk distribusi
berdasarkan etnik, Singapura dan Malaysia pernah mencatat adanya
perbedaan angka kejadian infeksi diantara kelompok etnik (Soegijanto,
2006).
2.

Distribusi Berdasarkan Tempat
Tempat terjangkitnya penyakit DBD pada umumnya adalah
perkotaan. Hal ini disebabkan pada daerah perkotaan penduduknya cukup
padat dan jarak antara rumah berdekatan, sehingga lebih memungkinkan
terjadinya penularan penyakit DBD, mengingat jarak terbang nyamuk
Aedes aegypti 50-100 meter. Tetapi sejak tahun 1975 menurut Saroso
penyakit DBD dapat berjangkit di daerah pedesaan yang padat penduduk,
keadaan ini erat hubungannya dengan mobilitas penduduk serta sarana
transportasi yang semakin membaik (Safinah dalam Mandriani, 2009).
Dalam kurun waktu lebih dari 35 tahun sejak ditemukan virus
dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun
daerah penyebaran penyakit terjadi peningkatan yang pesat. Sampai saat
ini DBD telah ditemukan diseluruh propinsi di Indonesia dan lebih dari
200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate
meningkat dari 0,005 per 100.000 penduduk pada tahun 1968 menjadi
berkisar antara 6-30 per 100.000 penduduk (Depkes RI, 2004).

Universitas Sumatera Utara

21

3.

Distribusi Berdasarkan Waktu
Pola berjangkitnya infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan
kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32°C) dengan kelembaban
yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu
yang lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama
disetiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk
setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai
awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada
sekitar bulan April-Mei setiap tahun (Depkes RI, 2004).

2.8

Surveilans Epidemiologi Penyakit DBD

2.8.1

Surveilans Kasus
Surveilans kasus DBD dapat dilakukan dengan surveilans aktif maupun

pasif. Di beberapa negara pada umumnya dilakukan surveilans pasif. Meskipun
sistem surveilans pasif tidak sensitif dan memiliki spesifitas yang rendah, namun
sistem ini berguna untuk memantau kecenderungan penyebaran dengue jangka
panjang. Pada surveilans pasif setiap unit pelayanan kesehatan (rumah sakit,
puskesmas, poliklinik, balai pengobatan, dokter praktek swasta, dll) diwajibkan
melaporkan setiap penderita termasuk tersangka DBD ke dinas kesehatan
selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam (Depkes RI, 2005).
Surveilans aktif adalah yang bertujuan memantau penyebaran dengue di
dalam masyarakat sehingga mampu mengatakan kejadian, dimana berlangsung
penyebaran kelompok serotipe virus yang bersirkulasi. Untuk mencapai tujuan
tersebut sistem ini harus mendapat dukungan laboratorium diagnostik yang baik.

Universitas Sumatera Utara

22

Surveilans seperti ini pasti dapat memberikan peringatan dini atau memiliki
kemampuan prediktif terhadap penyebaran epidemik penyakit DBD (Depkes RI,
2005).
2.8.2

Surveilans Vektor
Surveilans untuk nyamuk Aedes aegypti sangat penting untuk menentukan

distribusi, kepadatan populasi, habitat utama larva, faktor resiko berdasarkan
waktu dan tempat yang berkaitan dengan penyebaran dengue, dan tingkat
kerentanan atau kekebalan insektisida yang dipakai, untuk memprioritaskan
wilayah dan musim untuk pengendalian vektor. Data tersebut akan memudahkan
pemilihan dan penggunaan sebagian besar peralatan pengendalian vektor, dan
dapat dipakai untuk memantau keefektifannya. Ada beberapa metode yang
tersedia untuk deteksi dan pemantauan populasi larva dan nyamuk dewasa.
Pemilihan metode pengambilan sampel yang tepat bergantung pada tujuan khusus
surveilans, tingkat gangguan, dan ketersediaan sarana dan prasarana (Depkes RI,
2005).
a. Survei Jentik (Pemeriksaan jentik)
Survei jentik dilakukan dengan cara melihat atau memeriksa semua tempat
atau bejana yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti
dengan mata telanjang untuk mengetahui ada tidaknya jentik. Ada 2 metode
survei jentik yang dilakukan, yaitu:
i. Single Larva
Cara ini dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat genangan air
yang ditemukan jentik untuk diidentifikasi lebih lanjut.

Universitas Sumatera Utara

23

ii. Visual
Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya jentik disetiap tempat
genangan air tanpa mengambil jentiknya. Biasanya dalam program DBD
menggunakan cara visual.
Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik Aedes aegypti
adalah:
a. House Indeks (HI), yaitu persentase rumah yang terjangkit larva atau pupa.
�� =

�����ℎ����ℎ������������������
� 100%
�����ℎ����ℎ�������������

b. Container Indeks (CI), yaitu persentase container yang terjangkit larva atau
pupa.
�� =

�����ℎ���������������������������
� 100%
�����ℎ����������������������

c. Breteau Indeks (BI), yaitu jumlah container yang positif per-100 rumah yang
diperiksa.
�� =

�����ℎ���������������������������
� 100 ����ℎ
�����ℎ����ℎ�������������

Dari ukuran diatas dapat diketahui persentase Angka Bebas Jentik (ABJ), yaitu
jumlah rumah yang tidak ditemukan jentik per jumlah rumah yang diperiksa
dikalikan 100%.

��� =

�����ℎ����ℎ������������������������
� 100%
�����ℎ����ℎ�������������

ABJ dilakukan oleh kader kesehatan dalam Pemeriksaan Jentik Berkala
(PJB) dengan kategori tidak memenuhi target : ABJ < 95% dan memenuhi target :

Universitas Sumatera Utara

24

ABJ ≥ 95%. Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) merupakan bentuk evaluasi hasil
kegiatan yang dilakukan tiap 3 bulan sekali disetiap Desa/Kelurahan endemis
pada 100 rumah/bangunan yang dipilih secara acak (random sampling).
Angka Bebas Jentik dan House Indeks lebih menggambarkan luasnya
penyebaran nyamuk disuatu wilayah.
d. Survei Nyamuk Dewasa
Survei nyamuk dewasa dilakukan dengan cara menangkap nyamuk
menggunakan umpan orang didalam dan diluar rumah, masing-masing selama 20
menit per rumah serta penangkapan nyamuk yang hinggap di dinding dalam
rumah. Penangkapan nyamuk biasanya dilakukan dengan menggunakan aspirator.
i. Biting / landing rate:
�����ℎ��������������������������������������
�����ℎ�����������������ℎ��������������

ii. Resting per rumah:

2.9

�����ℎ�������������������������������������������������ℎ������
�����ℎ����ℎ������������������������

2.9.1

Program Pemberantasan Demam Berdarah Dengue
Penyelidikan Epidemiologi (PE)

Penyelidikan Epidemiologi adalah kegiatan pencarian penderita/tersangka
DBD lainnya dan pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD yang dilakukan
dirumah penderita dan 20 rumah disekitarnya serta tempat-tempat umum yang
diperkirakan menjadi sumber penularan, hasilnya dicatat dalam formulir PE dan
dilaporkan kepada KepalaPuskesmas selanjutnya diteruskan kepada Lurah melalui
Camat dan penanggulanganseperlunya untuk membatasi penularan. Maksud

Universitas Sumatera Utara

25

penyelidikan epidemiologi ialah untuk mengetahui ada/tidaknya kasus DBD
tambahan dan luas penyebarannya, serta untuk mengetahui kemungkinan
terjadinya penyebaran penyakit DBD lebih lanjut dilokasi tersebut.
Bila pada hasil PE ditemukan penderita DBD lain atau jentik dan penderita
panas tanpa sebab yang jelas lebih dari 3 orang maka akan dilakukan penyuluhan
3M plus, larvasida, fogging fokus / penanggulangan fokus, yaitu pengasapan
rumah sekitar tempat tinggal penderita DBD dalam radius 200 meter, yang
dilaksanakan berdasarkan hasil dari penyelidikan epidemiologi, dilakukan 2 siklus
dengan interval 1 minggu. Bila pada hasil PE tidak ditemukan kasus lain maka
dilakukan penyuluhan dan kegiatan 3M (Depkes RI, 2001).
2.9.2

Penanggulangan Fokus (PF)
Penanggulangan fokus adalah kegiatan pemberantasan nyamuk penular

DBD yang dilaksanakan dengan melakukan pemberantasan sarang nyamuk
demam berdarah dengue (PSN DBD), larvasidasi, penyuluhan dan pengabutan
panas (pengasapan/fogging) dan pengabutan dingin (ULV) menggunakan
insektisida sesuai dengan kriteria pada bagan PE yaitu:
1. Bila ditemukan penderita DBD lainnya (1 atau lebih) atau ditemukan 3 atau
lebih tersangka DBD dan ditemukan jentik≥ 5% dari rumah/bangunan yang
diperiksa, maka dilakukan penggerakan masyarakat dalam PSN DBD,
larvasidasi, penyuluhan dan pengasapan dengan insektisida dirumah penderita
DBD dan rumah/bangunan sekitarnya radius 200 meter sebanyak 2 siklus
dengan interval 1 minggu.

Universitas Sumatera Utara

26

2. Bila tidak ditemukan penderita lainnya seperti tersebut diatas, tetapi
ditemukan jentik, maka dilakukan penggerakan masyarakat dalam PSN DBD,
larvasidasi dan penyuluhan.
3. Bila tidak ditemukan penderita lainnya seperti tersebut diatas dan tidak
ditemukan jentik, maka dilakukan penyuluhan kepada masyarakat.
Penanggulangan fokus ini dilaksanakan untuk membatasi penularan DBD
dan mencegah terjadinya KLB di lokasi tempat tinggal umum berpotensi menjadi
sumber penularan DBD lebih lanjut (Depkes RI, 2014).
2.9.3

Penanggulangan Kejadian Luar Biasa
Penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) adalah upaya penanggulangan

yang meliputi: pengobatan/perawatan penderita, pemberantasan vektor penular
DBD, penyuluhan kepada masyarakat dan evaluasi/penilaian penanggulangan
yang dilakukan di seluruh wilayah yang terjadi KLB.
Sesuai Permenkes Nomor 1501 tahun 2010 disebutkan 7 kriteria KLB,
tetapi untuk pengendalian DBD hanya ada 3 kriteria yang digunakan yaitu:
a. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu (DBD) yang sebelumnya tidak ada
atau tidak dikenal pada suatu daerah.
b. Jumlah penderita baru (kasus DBD) dalam periode waktu (satu) bulan
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka ratarata per bulan dalam tahun sebelumnya.
c. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu)
kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau

Universitas Sumatera Utara

27

lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode
sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
Tujuan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa adalah membatasi penularan
DBD, sehingga KLB yang terjadi disuatu wilayah tidak meluas ke wilayah
lainnya (mengatasi KLB di wilayah sendiri dan membatasi kasus meluas) (Depkes
RI, 2014).
2.10

Stratifikasi Daerah Rawan DBD
Menurut Depkes RI (2014), stratifikasi daerah rawan DBD adalah

endemisitas suatu daerah berdasarkan kriteria :
1. Endemis

: Kecamatan yang dalam 3 tahun terakhir, setiap tahun ada

penderita DBD.
2. Sporadis

: Kecamatan yang dalam 3 tahun terakhir terdapat penderita

DBD tetapi tidak setiap tahun.
3. Potensial : Kecamatan yang dalam 3 tahun terakhir tidak pernah ada
penderita
hubungan

DBD,

transportasi

yang

tetapi

penduduknya

ramai

dengan

padat,
wilayah

mempunyai
lain

dan

persentase rumah yang ditemukan jentik ≥ 5%.
4. Bebas

: Kecamatan yang tidak pernah ada penderita DBD selama
3 tahun terakhir dan persentase rumah yang ditemukan
jentik

Dokumen yang terkait

Prevalensi Demam Berdarah Dengue Di Kota Medan Berdasarkan Data Di Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2011

2 59 116

Survei Jentik dan Perilaku Masyarakat Terhadap Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Medan Marelan Tahun 2006

0 62 106

Karakteristik Penderita Demam Berdarah Dengue Di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe Dan Kegiatan Pemberantasannya Tahun 2003-2007

1 40 88

Survei Jentik Dan Perilaku Masyarakat Terhadap Penyakit Demam Berdarah Dengue (Dbd) Dikecamatan Medan Marelan Tahun 2006

1 43 106

Deskripsi Penderita Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Karimun dan Tinjauan Pelaksanaan Program Pemberantasannya Tahun 2011 – 2015

0 4 119

Deskripsi Penderita Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Karimun dan Tinjauan Pelaksanaan Program Pemberantasannya Tahun 2011 – 2015

0 0 15

Deskripsi Penderita Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Karimun dan Tinjauan Pelaksanaan Program Pemberantasannya Tahun 2011 – 2015

0 0 2

Deskripsi Penderita Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Karimun dan Tinjauan Pelaksanaan Program Pemberantasannya Tahun 2011 – 2015

0 0 6

Deskripsi Penderita Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Karimun dan Tinjauan Pelaksanaan Program Pemberantasannya Tahun 2011 – 2015

0 0 4

Deskripsi Penderita Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Karimun dan Tinjauan Pelaksanaan Program Pemberantasannya Tahun 2011 – 2015

0 0 26