PENGARUH VARIASI JUMLAH CAMPURAN PEREKAT TAPIOKA DAN SEMEN TERHADAP PEMBUATAN BIOBRIKET AMPAS TEBU

  

PENGARUH VARIASI JUMLAH CAMPURAN PEREKAT

TAPIOKA DAN SEMEN TERHADAP PEMBUATAN

BIOBRIKET AMPAS TEBU

Siti Miskah*, Anggun Lestari, Eka Puspita Damayanti

  • Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya Jl. Raya Indralaya-Parbumulih KM. 32 Indralaya Ogan Ilir (OI) 30662

  Email

  

Abstrak

  Kebutuhan terhadap sumber energi terbarukan semakin meningkat sejalan dengan konsumsi energi dan perekonomian masyarakat yang terus meningkat. Biobriket merupakan salah satu bahan bakar alternatif dari pemanfaatan biomassa. Di Indonesia, ampas tebu dari limbah industri gula mempunyai potensi cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai energi terbarukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan biobriket dengan bahan baku ampas tebu, serta untuk mengetahui rasio massa campuran perekat tapioka dan semen yang paling baik digunakan dan memenuhi standar nasional Indonesia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan,rasio massa campuran perekat tapioka dan semen yang terbaik untuk pembuatan biobriket ampas tebu adalah 100% perekat tapioka dengan nilai kalor 5496 kal/gr. Untuk rasio massa campuran perekat tapioka dan semen yang paling mendekati standar nasional

  o

  Indonesia adalah 100% perekat tapioka pada temperature oven 80 C dengan nilai kalor sebesar 5494 kal/gr.

  Kata Kunci : Biobriket, Ampas Tebu, Semen

Abstract

  The need for renewable energy sources has increased a long with energy consumption and economy of the community is also high. Briquettes is one of alternative fuels from biomass utilization. In Indonesia, waste bagasse from the sugar industry has significant potential to be used as a renewable energy. The purpose of this research is to get biobriquette with raw materials bagasse, and also to know the ratio mass of the adhesive mixture of tapioca and cement are best used and to complete national standards of Indonesia. Based on the research conducted, the ratio of the mass of the adhesive mixture of tapioca and cement its best to manufacture Briquettes bagasse is 100% gluten tapioca with calorific value of 5496 cal/g. For mass ratio of tapioca and cement glue mixture that comes closest to the Indonesian national

  

o

standard is 100% gluten tapioca at temperatures of 80 C oven with a calorific value of 5494 cal / g.

  Keywords: Briquettes, Pulp Sugar, Cement 1.

  industri gula di Indonesia memiliki potensi

   PENDAHULUAN

  yang cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari Teknologi energi baru dan terbarukan komposisi rata-rata hasil industri gula di semakin marak dikembangkan di Indonesia Indonesia berupa ampas (bagasse) 32,0 %, untuk memenuhi konsumsi energi yang terus blotong 3,5 %, limbah cair 52,9 %, tetes 4,5 % meningkat, sejalan dengan bertambahnya dan gula 7,05 % serta abu 0,1 %. Limbah populasi manusia serta meningkanya ampas tebu yang melimpah dihasilkan oleh perekonomian masyarakat. industri gula.

  Biomassa memiliki kandungan bahan volatail tinggi namun memiliki kadar karbon Biobriket rendah. Salah satu bioenergi yang memiliki prospek bagus untuk di kembangkan yakni Menurut Subroto (2006), bahan energi pembuatan biobriket sebagai bahan bakar alternatif yang biasa digunakan sebagai alternatif. pengganti briket batu bara diketahui berasal

  Menurut Pusat Penelitian Perkebunan dari sumber alam yang tidak dapat diperbaharui Gula Indonesia (P3GI) tahun 2008, Limbah baik pada skala rumah tangga maupun industri kecil adalah produk biobriket. Berikut merupakan mutu briket berdasarkan SNI :

  Tabel 1. Mutu Briket Berdasarkan SNI Parameter Standar Mutu Briket Arang Kayu (SNI No. 1/6235/2000)

  ligno-cellulose merupakan polimer alami

  dan asam asetat. Pada 275

  o

  C akan menghasilkan tar, metanol dan hasil samping lainnya. Pada temperatur 400- 600

  o C akan terjadi pembentukan karbon.

  Pada bahan baku ampas tebu, analisa yang dilakukan meliputi kadar air, kadar abu, kadar zat terbang, karbon tetap dan nilai kalor. Adapun menurut Winaya (2010), hasil analisa proksimasi kandungan arang ampas tebu dalam tabel 2.

  Ampas Tebu

  Ampas tebu merupakan hasil samping dari proses pemerahan atau ekstraksi cairan tebu, dari ekstraksi tersebut menghasilkan ampas tebu yang berkisar antara 35-40% dari berat tebu yang digiling (Sumiarsih, 1992).

  Sebagian besar kandungan yang berada di ampas tebu berupa ligno-cellulose. Komponen

  dengan berat molekul tinggi yang kaya energi sehingga jumlah ampas tebu yang banyak berpotensi sebagai sumber energi.(Husin, 2007). Berdasarkan analisis kimia, komposisi kimia dari ampas tebu dapat dilihat pada tabel 3 berikut :

  C akan menghasilkan CO, CO

  Tabel 3. Komposisi kimia ampas tebu Kandungan Kadar (%)

  Abu Lignin Selulosa Sari Pentosan SiO

  2

  3,82 22,09 37,65 1,81 27,97 3,01

  (Sumber: Husin, 2007 dalam Siska, 2009)

  Bahan Perekat

  Perekat adalah bahan yang dapat merekatkan dua buah benda berdasarkan ikatan permukaan. Perekat sangat diperlukan dalam pembuatan biobriket, karena sifat alami dari bubuk arang yang akan cenderung saling memisah. Dengan bantuan dari perekat butir- butir arang dapat disatukan dan dibentuk sesuai dengan kebutuhan (Muzi, 2014).

  1) Perekat Organik

  2

  o

  Kadar Air (%) ≤ 8

  Tabel 2. Hasil Analisa Proksimat Kandungan

  Kadar Abu (%) ≤ 8 Kadar Zat Terbang

  (%) ≤ 15

  Kadar Karbon (%) ≥ 77

  Nilai Kalor (kal/g) ≥ 5000

  (Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (1994) dalam Santosa.

  Karbonisasi

  Karbonisasi atau pengarangan adalah proses mengubah bahan menjadi karbon berwarna hitam melalui pembakaran dalam ruang tertutup dengan udara yang terbatas atau seminimal mungkin. Proses pembakaran dikatakan sempurna jika hasil pembakaran berupa abu dan seluruh energi di dalam bahan organik dibebaskan ke lingkungan dengan perlahan.

  Prinsip dari proses karbonisasi yaitu pembakaran biomassa tanpa adanya kontak dengan udara, sehingga unsur karbonnya akan tetap tinggal dan bagian yang terlepas hanya volatile matter saja.

  Arang Ampas Tebu

  Temperatur pembakaran di atas 170

  Kadar Persentase (%)

  Moisture 21,8 Ash 2,5 Volatile 72,7 Fixed carbon 3,5 Carbon 47,0 Hydrogen 6,5 Shulfur 0,1 Nitrogen 0,9 Oxygen 44,0 Gross calorific value 3596,98 J/kg

  (Sumber : Winaya, 2010)

  Komponen utama yang dihasilkan pada proses karbonisasi adalah karbon (arang), gas (CO

  2

  , CO, H

  2,

  CH

  4 , dan lain-lain) dan tar.

  Perekat organik merupakan perekat yang efektif, tidak terlalu mahal dan menghasilkan abu yang relatif sedikit. Contoh perekat organik adalah tepung tapioka. Tapioka merupakan tepung yang terbuat dari singkong. Perekat tapioka akan menghasilkan briket yang nilainya tinggi dalam hal kadar air, kadar karbon dan nilai kalor., akan tetapi lebih rendah dalam hal kerapatan, keteguhan tekan, kadar abu dan zat mudah menguap. (Putra, 2013) IM = Kadar air lembab

  FC (%) = 100 - (IM + Ash + VM ....(1) Dimana: FC = Fixed Carbon

  3) Setelah dingin menimbang cawan dan tutupnya.

  C selama 1 jam.

  4. Lakukan pembakaran semua sampel menjadi abu (±2 Jam). Kemuadian dinginkan di udara bebas, lalu masukkan ke dalam desikator selama 15 menit.

  5. Keluarkan cawan porselen yang berisi residu lalu ditimbang

  6. Catat dan Timbang ash content (A)

  Analisisa Kadar Zat Terbang Untuk menghitung kadar zat terbang

  yang terdapat didalam briket dari kulit biji karet dengan campuran kulit buah kakao, dan serbuk gergaji adalah sebagai berikut: 1)

  Panaskan cawan silica dan tutupnya di atasdudukan kawat nikel chrom suhu 900

  o C selama 7 menit.

  2) Angkat dudukan dan cawan dari furnace lalu dingikan di atas lempengan logam selama 5 menit, kemudian memasukkan ke dalam desikataor.

  4) Menimbang ± 1 gr sampel briket ke dalam cawan.

  3. Naikan temperature sampai 815

  5) Ratakan permukaan sampel dengan cara mengetuk-ngetuk cawan secara perlahan

  6) Panaskan eduduka ke dalam furnace selama 7 menit dengan suhu 900

  o C.

  7) Angkat dan dinginkan dudukan dari

  furnace ke atas lempengan logam selama 5

  menit dan memasukkan ke dalam desikator. 8) Timbang cawan bila sudah dingin. 9)

  Hitung kadar zat terbang

  Analisa Kadar Karbon Tetap (Fixed Carbon)

  Kadar karbon tetap yang terdapat didalam briket dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Padatan ditentukan dengan persamaan berikut:

  o

  o selama 1 jam.

  Langkah –Langkah yang harus dilakukan dalam penentuan kandungan atau kadar air pada bahan baku adalah : 1.

  2) Perekat anorganik

  Perekat anorganik merupakan perekat yang dapat menjaga ketahanan briket dalam proses pembakaran, sehingga briket menjadi tahan lama. Contoh perekat anorganik adalah perekat pabrik seperti semen. Semen adalah suatu bahan pengikat Hydrolis yang dapat mengeras atau membatu jika dicampur air. Selain itu perekat ini juga memiliki daya lekat yang kuat dibandingkan perekat organik, akan tetapi biaya yang dikeluarkan lebih tinggi dan menghasilkan abu yang lebih banyak dibandingkan perekat organik.

  2. METODOLOGI PENELITIAN

  Variabel penelitian yang dilakukan adalah: 1)

  Komposisi campuran perekat organic (tapioka) dan anorganik (semen). 2) Temperature oven.

  Analisa Kadar Air

  Untuk menghitung nilai kadar air pada briket bioarang yaitu menggunakan cara dengan menguapkan air yang terdapat di dalamnya hingga beratnya konstan. Briket yang telah kita dapatkan dari hasil pencetakkan lalu d hancurkan sampai halus kemudian didalam oven pada temperature 105

  o C selama 1 jam.

  Kemudian di dinginkan dan ditimbang.

  • – lahan.

  Timbang 1gr masing–masing briket contoh beserta crushible dan tutup.

  2. Kemudian letakkan cawan porselen berisi sampel ke dalam furnace pada temperatur 450

  2. Panaskan pada temperature 105

  o

  C selama 1 jam.

  3. Keluarkan crushible berisi residu dan tutup.

  4. Dinginkan lalu kemudian dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit.

  5. Timbang residu besert crushible dan tutupnya.

  6. Catat dan Hitung persentase Inherent

  Moisture (IM) Analisa Kadar Abu

  Kadar abu atau ash content adalah suatu material anorganik tak terbakar yang merupakan sisa dari bahan baku dibakar. Untuk menghitung kadar abu dari masing

  Timbang ± 1 gram sampel lalu masukkan ke dalam cawan porselin yang telah ditimbang beratnya.

  • – masing briket dari hasil pembakaran tersebut dilakukan dengan cara berikut : 1.

  • K2 K3
  • K>K6 K7
  • K
  • K10

  o

  C dan 80

  o

  C pada komposisi perekat K1 dan K2 adalah nilai kalor tertinggi yakni 5496 kal/gr dan 5494 kal/ gr dengan komposisi perekat yang digunakan adalah 100% tapioka. Ini terbukti seperti pada penelitian oleh (Pane,2015) menyatakan bahwa hubungan konsentrasi perekat tepung tapioka dan nilai kalor adalah sebanding. Ini ditunjukkan dengan meningkatnya konsentrasi perekat tepung tapioka yang digunakan menyebabkan nilai kalor juga meningkat.

  Komposisi perekat K3, K4, K5, K6 sampai K10 mengalami penurunan nilai kalor secara perlahan, ini diakibatkan oleh penggunaan komposisi perekat taipoka yang dikurangi secara bertahap, sementara perekat semen ditambah secara perlahan. Gambar 4.1 juga menjelaskan nilai kalor pada K8 dengan temperature pengovenan 80

  o

  C lebih tinggi dibandingkan dengan K7 dengan temperature pengovenan 100

  o

  C sementara pada komposisi lainnya komposisi dengan temperature pengovenan 100

  C lebih tinggi dibandingkan temperature pengovenan

  Pada gambar 1 menunjukkan bahwa nilai kalor diperngaruhi oleh komposisi perekat dan temperatur pengovenan briket. Terlihat di gambar dengan temperatur pengovenan 100

  80

  o

  C namun perbedaan kenaikan nilai kalor tersebut tidak terlalu signifikan.

  Pada perekat semen memiliki kandungan yang hampir sama dengan lumpur lapindo yakni memiliki kandungan SiO2, Al2O3, dan Fe2O3. Menurut justin (2013) Fe tersebut memiliki nilai konduktivitas termal yang tinggi sehingga dapat meningkatkan nilai kalor. Akan tetapi kandungan Fe di dalam semen lebih sedikit bila dibandingkan lumpur lapindo. Hal

  1000 2000 3000 4000 5000 6000

  K1

  N il ai Kal o r (k al /g r) Komposisi perekat (gram)

  100 C

  o

  (tapioka dan semen) dan temperatur pengovenan terhadap nilai kalor.

  Ash = Kadar Abu

  Nyalakan water cooler dan C 4000 dinyalakan maa ketinggian airnya berkurang. 7)

  VM = Kadar Zat Terbang

  Analisa Nilai Kalor

  Nilai kalor dari bahan baku merupakan penjumlahan dari harga panas pembakaran dari unsur – unsur yang membentuk bahan baku. Nilai kalor tersebut dapat ditentukkan dengan bom kalorimeter. Langkah –langkah yang dilakukan untuk penentuan nilai kalor dari bahan baku adalah : 1)

  Siapkan peralatan yang digunakan untuk pengujian bom calorimeter. 2)

  Gunakan peralatan sesuai dengan petunjuk dari bom calorimeter. 3)

  Lalu saklar utama dihidupkan, dan isi dengan air aquadest pada bagian jacket melalui lubang bawah penutup. 4)

  Kemudian hubungkan dengan water cooler sirkulator yang ada, dan pasang selangnya ke C 4000. 5)

  Posisikan cover kalorimeternya pada posisi terbuka (saat menunggu ready ataupun saat menunggu pengukuran sampel berikutnya). 6)

  C 4000 dinyalakan melalui proses inisialisasi.Dibutuhkan 30 menit setiap pertama kali dinyalakan untuk memperoleh kondisi water cooler yang sesuai dan kondisi C 4000 yang stabil. 8)

  Gambar 1. Pengaruh variasi campuran perekat

  Menyiapkan sampel dalam bomb

  head,kemudian pastikan volume air pada bucket selalu konstan dan atur suhunya

  selalu 25

  o

  C setiap kali akan melakukan pengukuran. 9)

  Masukkan bomb head ke dalam bucketdan tutup C 4000 maka indicator led hijau akan menyala. lalu nyalakan timer TI selama 10 menit, setelah tercapai catat, suhu TI yang ada pada display. 10)

  Saklar dihidupkan pembakaran maka indicator led kuning akan menyala dan menyalakan timer T2 beberapa menit, setelah tercapai. Mencatat suhu T2 yang ada pada display.Hitung Caloric Value

  11) Hitung nilai kalor dari sampel 3.

   HASIL DAN PEMBAHASAN 1) Pengaruh Variasi Campuran Perekat (tapioka dan semen) dan Temperatur pengovenan Terhadap Nilai kalor.

  80 C

  80 C

  3) Pengaruh Variasi Campuran Perekat (tapioka dan semen) dan Temperatur pengovenan Terhadap Kadar Air.

  100 C

  K ar b o n Tet ap ( % ) Komposisi Perekat (gram)

  50 K1

  40

  30

  20

  10

  2

  3

  4

  (tapioka dan semen) dan temperatur pengovenan terhadap kadar air.

  Gambar 3. Pengaruh variasi campuran perekat

  5

  1

  6

  7

  8

  9 K

  ad ar A ir ( % ) Komposisi Perekat (gram)

  100 C

  80 C

  C namun perbedaan temperature pengovenan pada penelitian ini tidak terlalu berpengaruh terhadap kenaikan nilai kalor.

  o

  C umumnya juga memiliki nilai kalor lebih tinggi dibandingkan dengan temperature pengovenan 80

  o

  Hal ini menjelaskan bahwa perekat tapioka memiliki nilai kalor lebih tinggi dibandingkan dengan perekat semen, sehingga jika semakin banyak tapioka maka akan semakin tinggi nilai kalornya. Sedangkan temperature pengovenan 100

  tersebut mengakibatkan nilai kalor pada biobriket ampas tebu dengan perekat semen hanya mengalami kenaikan nilai kalor yang sedikit.

2) Pengaruh Variasi Campuran Perekat (tapioka dan semen) dan Temperatur pengovenan Terhadap Karbon Tetap.

  • K2 K3
  • K>K6 K7
  • K8 K9
    • K10

      o

      Pada gambar 3 menunjukkan bahwa kadar air diperngaruhi oleh komposisi perekat dan temperatur pengovenan briket. Temperatur pengovenan 100

      Menurut Sudrajat dan Soleh (1994), Perekat tapioka akan menghasilkan briket yang nilainya rendah dalam hal kerapatan, keteguhan tekan, kadar abu dan zat mudah menguap, namun akan lebih tinggi dalam hal kadar air, kadar karbon dan nilai kalor. Hal ini sesuai dengan nilai karbon tetap yang didapat dari hasil analisa karbon tetap untuk pembuatan biobriket ampas tebu ini.

      C di komposisi perekat K1 dan K2 merupakan kadar karbon yang tertinggi, dengan kadar karbon sebesar 47,62% dan 47,87%, komposisi perekat yang digunakan adalah 100% tapioka. Tetapi pada komposisi perekat K5, K6, K7, hingga K10 mengalami penurunan kadar karbon yang tidak tajam, ini diakibatkan oleh penggunaan komposisi perekat tapioka yang dikurangi sedikit demi semi sedikit.

      o

      C dan 80

      o

      Pada gambar 2 menunjukkan bahwa kadar karbon diperngaruhi oleh komposisi perekat dan temperature pengovenan briket. Terlihat di gambar dengan temperatur pengovenan 100

      (tapioka dan semen) dan temperatur pengovenan terhadap karbon tetap.

      Gambar 2. Pengaruh variasi campuran perekat

      C pada komposisi perekat K9 kadar air yang terendah dengar nilai 4,82%, karena komposisi perekat yang digunakan adalah 100% semen. Hal tersebut terlihat pada gambar diatas.. Penggunaan komposisi perekat semen yang ditambahkan secara bertahap mengakibatkan turunnya kadar air secara perlahan pada komposisi perekat K1, K2, K3, hingga K6. Dalam hal ini, pada pembuatan biobriket ampas tebu yang menggunakan perekat semen memiliki kandungan air yang lebih sedikit, dikarenakan semen memiliki kandungan kapur. Menurut Pane (2015), penambahan jumlah kapur membuat kandungan air pada biobriket semakin menurun dan biobriket memiliki kekuatan mekanik yang cukup tinggi. Berbeda dengan komposisi K8 dan K10 yang mengalami kenaikan kadar air dibandingkan K7 dan K9. Ini diakibatkan karena adanya perbedaan temperature, dimana temperature pada K7 dan K9 lebih tinggi dibandingkan K8 dan K10 sehingga kadar airnya berkurang. Kadar air yang tinggi pada

      o

    4) Pengaruh Variasi Campuran Perekat (tapioka dan semen) dan Temperatur pengovenan Terhadap Kadar Abu.

      5

      perekat tapioka dikarenakan adanya ikatan kimia air di dalam tapioka sehingga memerlukan panas yang tinggi untuk menguapkan air.

      20

      25

      30 K1

      K ad ar A b u ( % ) Komposisi Perekat (gram)

      100 C

      80 C

      5) Pengaruh Variasi Campuran Perekat (tapioka dan semen) dan Temperatur pengovenan Terhadap Kadar Zat Terbang.

      C, serta persentase komposisi perekat semen nya tinggi. Jadi semakin tinggi suhu oven, maka semakin tinggi pula kadar abu yang dihasilkan.

      10

      15

      15

      20

      25

      30

      35

      40

      45 K

      ad ar Z at Ter b an g (% ) Komposisi Perekat (gram)

      100 C

      80 C

      10

    • K2 K3
    • K>K6 K7
    • K
    • K10

      C pada komposisi perekat K1 dan K2 adalah kadar zat terbang yang tertinggi yakni 39,59% dan 40,28% karena komposisi perekat yang digunakan adalah 100% tapioka. Akan tetapi pada komposisi perekat K5, K6, K7, hingga K10 mengalami penurunan kadar zat terbang secara perlahan diakibatkan oleh penggunaan komposisi perekat semen yang ditambahkan secara bertahap. Hal ini terjadi dikarenakan perekat semen mengandung kapur yang cukup tinggi berkisar 58 - 65%.

      Menurut peneliti sebelumnya (Putra, 2013), perekat anorganik merupakan perekat yang dapat menjaga ketahanan briket dalam proses pembakaran sehingga briket menjadi tahan lama. Selain itu, perekat ini juga memiliki daya rekat yang lebih kuat bila dibandingkan dengan perekat organik. Namun perekat anorganik akan menghasilkan abu yang lebih banyak dibandingkan perekat organik.

      Gambar 4. Pengaruh variasi campuran perekat

      (tapioka dan semen) dan temperatur pengovenan terhadap kadar abu.

      Pada gambar 4 menunjukkan bahwa kadar abu diperngaruhi oleh komposisi perekat dan temperature pengovenan briket. Komposisi perekat K1 dan K2 merupakan kadar abu yang terendah sebesar 3,98% dan 4,29% dengan temperatur pengovenan 100

      o

      C dan 80

      o

      C yang dapat terlihat pada gambar diatas. Komposisi perekat yang digunakan adalah 100% tapioka. Lain halnya pada komposisi perekat K3, K4, K5, hingga K10 yang mengalami kenaikan kadar abu secara signifikan, karena adanya penambahan perekat semen yang merupakan perekat anorganik di masing-masing komposisi.

      Pada komposisi perekat K7 dan K9 mengalami kenaikan kadar abu yang cukup tinggi dikarenakan temperatur pengovenannya sebesar 100

      o

      o

      C. Sedangkan pada komposisi K8 dan K10 hanya menggunakan temperatur pengovenan 80

      5

      Gambar 5. Pengaruh variasi campuran perekat (tapioka dan semen) dan temperatur pengovenan terhadap kadar zat terbang.

      Pada gambar 5 menunjukkan bahwa kadar zat terbang diperngaruhi oleh komposisi perekat dan temperature pengovenan briket. Terlihat di gambar dengan temperatur pengovenan 100

      o

      C dan 80

      Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pane (2015), persentase kadar zat terbang cenderung akan turun dengan peningkatan komposisi bahan tambahan pada briket, seperti kapur. Namun pada K2 dan K4 kadar zat terbang mengalami kenaikan dikarenakan kadar abu yang terkandung tinggi. Sementara

      7) Pengaruh Variasi Campuran Perekat (tapioka dan semen) dan Temperatur pengovenan Terhadap Waktu Nyala Gambar 7. Pengaruh Variasi Campuran

      pada K1 dan K3 kandungan abunya lebih sedikit.

      Umumnya, temperature pengovenan 100

      o

      C meiliki kadar abu yang sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan temperature pengovenan 80

      o

      C. Namun hal ini tidak terlalu berpengaruh terhadap kadar abu pada biobriket.

    6) Pengaruh Variasi Campuran Perekat (tapioka dan semen) dan Temperatur pengovenan Terhadap Titik Nyala

      80 C

      100 C

      Waktu N y al a (m e n it) Komposisi Perekat (gr)

      80 100 120 140

      60

      40

      20

    • K2 K3
    • K
    • K10
    • >K2 K3
    • K>K6 K7
    • K
    • K10

    • K6 K7
    • K8 K9
    •   o

        K1

        Gambar 6. Pengaruh Variasi Campuran

        Perekat (tapioka dan semen) dan Temperatur pengovenan Terhadap Titik Nyala Pada gambar 6 menunjukkan bahwa kadar zat terbang diperngaruhi oleh komposisi perekat dan temperature pengovenan briket. Terlihat di gambar dengan temperatur pengovenan 100

        o

        K1

        C dan 80

        o

        C pada komposisi perekat K1 dan K2 merupakan titik nyala yang paling cepat yaitu 69 detik dan 68 detik, dikarenakan komposisi perekat yang digunakan adalah 100% tapioka. Tetapi pada komposisi perekat K5, K6, K7, hingga K10 waktu titik nyala nya lebih lama diakibatkan oleh tingginya kadar abu yang terdapat pada biobriket dengan menggunakan perekat semen.

        Menurut Putra (2013), perekat anorganik akan menghasilkan abu yang lebih banyak disbanding perekat organik, hal ini juga didukung oleh rendahnya nilai volatile matter yang akan membuat briket sulit terbakar dan menyala.

        80 C

        100 C

        Ti tik N y al a (d e tik) Komposisi Perekat (gr)

        80 100 120 140 160

        C, titik nyala nya akan lebih cepat bila dibandingkan dengan temperature 100

        60

        40

        20

        C pada komposisi perekat K9 dan K10 merupakan waktu nyala paling lama yakni 126 menit dan 129 menit, hal ini terjadi karena komposisi perekat yang digunakan adalah 100% semen. Tetapi pada komposisi perekat K1, K2, K3, hingga K8 mengalami perubahan lama waktu nyala secara bertahap diakibatkan oleh penggunaan komposisi perekat tapioka yang ditambahkan secara bertahap. Pada briket yang menggunakan perekat tapioka nilai kalor dan kadar karbon nya akan lebih tinggi dibandingkan dengan briket yang menggunakan perekat semen. Karena semakin tinggi nilai kalor dan kadar karbon, maka semakin mempercepat proses pembakaran briket tersebut. (Putra, 2013). Dari masing- masing komposisi perekat tidak menunjukkan perubahan lama nyala yang terlalu besar, begitu pula dengan perbedaan temperature pengovenan nya tidak mengalami perubahan yang besar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan temperatur pengovenan hanya sedikit mempengaruhi waktu nyala nya.

        o

        C dan 80

        o

        Perekat (tapioka dan semen) dan Temperatur pengovenan Terhadap Waktu Nyala.

        Dilihat di gambar briket dengan temperature 80

        C, namun perbedaannya tidak terlalu besar sehingga pengaruh temperature pengovenan ini tidak terllau signifikan.

        o

        Pada gambar 7 menunjukkan bahwa kadar zat terbang diperngaruhi oleh komposisi perekat dan temperature pengovenan briket. Terlihat di gambar dengan temperatur pengovenan 100

      4. KESIMPULAN

        Pane, Julham Prasetya, 2015, Pengaruh Konsentrasi Perekat Tepung Tapioka Dan Penambahan Kapur Dalam Pembuatan Briket Arang Berbahan Baku Pelepah Aren (Arenga

        Mesin Vol 4 No2 (180-188). Bali. Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik. Universitas Udayana.

        Bed Berbahan Bakar Batubara dan Ampas Tebu . Jurnal Ilmiah Teknik

        Winaya, N.I. 2010. Co-Firing Sistem Fluidized

        Thoha, M Yusuf. 2010. Pembuatan Briket Arang Dari Daun Jati Dengan Sagu Aren Sebagai Pengikat. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya.

        Putra, Hijrah Purnama dkk. 2013. Studi Karakteristik Briket berbahan Dasar Limbah Bambu Dengan Menggunakan Perekat Nasi. Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia

        Biobriket dengan Memanfaatkan Biomassa ampas Tebudan Kulit Kopi. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Politeknik Negeri Sriwijaya

        FakultasTeknik, Universitas Sumatera Utara. Pratamha Roes, Siska. 2009. Pembuatan

        Pinnata ).Departemen Teknik Kimia,

        Pada penelitian ini berdasarkan analisa dan uji yang telah diambi beberapa kesimpulan antara lain sebagai berikut : 1.

        Rasio massa perekat K1 (tapioka 100% dan semen 0%) pada temperatur 100

        DAFTAR PUSTAKA Nugraha, Justin Rexanindita. 2013.

        4. Pada hasil penelitian pembuatan biobriket ampas tebu ini menunjukkan bahwa perbandingan temperatur pengovenan tidak terlalu berpengaruh terhadap nilai kalor, kadar karbon, dan kadar zat terbang.

        o C.

        C adalah yang paling mendekati standar mutu briket paling baik : Kadar air : 7,56 % Abu : 4,29 % Zat terbang : 40,28 % Karbon tetap: 47,87 % Nilai kalor : 5494 kal/gr 3. Temperatur oven briket ampas tebu yang paling baik pada pembuatan biobriket ampas tebu adalah 100

        o

        2. Rasio massa perekat K2 (tapioka 100% dan semen 0%) pada temperature 80

        C adalah yang paling efektif untuk pembuatan biobriket ampas tebu. Nilai kalor yang didapatkan yaitu sebesar 5496 Cal/gr.

        o

        Karakteristik Termal Briket Arang Ampas Tebu Dengan Variasi Bahan Perekat Lumpur Lapindo. Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Jember.