Cultural Design: Studi Banding Kritis dari Bali untuk Proyeksi Masa Depan Dayak

  

Jurnal Studi Kultural (2017) Volume II No.2: 98-108

Jurnal Studi Kultural

https://journals.an1mage.net/index.php/ajsk

  Laporan Riset Cultural Design: Studi Banding Kritis dari Bali untuk Proyeksi Masa Depan Dayak Michael Sega Gumelar * Dayak Jangkang, Sanggau, Kalimantan Barat, www.an1mage.org, Universitas Udayana, Universitas Surya Info Artikel Abstrak

  Cultural is a construction runs on an ongoing basis from a bad to a better direction from and for humans Sejarah artikel: in an environment to achieve prosperity, happiness and peace of all people in an area. Clash of cultural is

  Dikirim 19 Februari 2017 a necessity that is inevitable in the era of information and globalization. There is a strong cultural

  Direvisi 7 Maret 2017 dominance in globalization to imply a false consciousness to the younger generation and its hegemonic. Diterima 9 Mei 2017

  Even some people being hegemony information slaves (hegeformaslaves) by cultural and sadly they do not even realised it.

  Kata Kunci: There is a cultural resistance, adaptation, and acculturation occur. When thinking about the need for a

  Cultural strong cultural identity, the need for redigging, reshaping, and finding again the ancestral identity to be

  Design used as construction of new cultural identities as a unifying with the goal of unity, prosperity, happiness

  Bali and peace in a community. Dayak Proyeksi

  This globalization era required a local merger with global thought that does not cancel each other out, but belong together and complete it. Thinking "local go global" resulting in a mix of local and global (Locglo). Instead of thinking global-local (Glocal), global tends to intimidate and repress local in the sense that the main priority is global and not local. Locglo is thought that promotes local equivalent to the global. Dayak in the need of reconstructing a better cultural identity requiring comparative studies with people on the island of Bali that measures future construction design thinking this culture can be projected and used as a cultural construction for the Dayak's new better culture based on humanity and speciesity in achieving the noble values of the ancestors of togetherness, welfare, and peace for Dayak locally and globally.

  © 2017 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

  Teknologi (technology) adalah hasil nyata dari ilmu

1. Pendahuluan

  

Budaya berasal dari kata cultural di Bahasa Inggris dari akar pengetahuan, yaitu karya berupa mobil, smartphone,

kata culturae dari Bahasa Latin. Budaya (cultural) adalah komputer, buku, internet dan hasil karya manusia lainnya

kata sifat, bila dijadikan kata benda maka menjadi yang tidak hanya menjadi ide di pikiran saja tetapi sudah

kebudayaan (culture). Budaya merupakan induk dari semua tertuang menjadi materi (tangible) [1]. yang dilakukan manusia. Budaya melingkupi pengetahuan

(knowledge), ilmu pengetahuan atau sains (science), dan Budaya gobal yang sekarang menjadi tren utama di berbagai

teknologi (technology). area dan masuk ke ranah budaya lokal relatif memengaruhi

secara sedikit dan atau banyak. Budaya global yang berasal

Pengetahuan (knowledge) artinya tahu adanya sesuatu dan dari negara lain yang memiliki cakupan informasi yang lebih

ada kemungkinan mampu menggunakannya. Sebagai contoh luas dan mudah diakses ini memiliki potensi membentuk

tahu adanya mobil, komputer dan lainnya serta mampu untuk kesadaran palsu yang sangat kuat (false consciousness) [2]

menggunakannya, tetapi hanya sebatas sebagai tahu saja dan menjadi hegeformaslaves. tidak mengerti bagaimana cara membuatnya. Ilmu

pengetahuan jauh lebih maju dari sekedar tahu. Jangan heran bila melihat generasi baru di Indonesia karena

kesadaran palsu yang didapat dari negara lain karena arus

Ilmu pengetahuan (science) artinya tahu, mampu globalisasi menyebabkan mereka menjadi lebih mengenal

menggunakannya dan mampu membuatnya. Seperti contoh budaya dari Jepang, budayadari Korea, budaya dari U.S.A,

seseorang di Suku Dayak mengetahui ada mobil, mampu budaya dari negara-negara di Eropa dan budaya lainnya yang

mengemudikan mobil, dan mampu membuat mobil. kuat mendominasi informasi dan pikiran generasi muda,

∗ Peneliti koresponden: www.an1mage.org An1mage Education Division dari Dayak sehingga mereka hanya tahu itulah budaya mereka.

  Djongkang, Jangkang, Sanggau, Kalimantan Barat Mobile: +62818966667 E-mail: michael.sega.gumelar@gmail.com Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org Kesadaran asli budaya mereka sendiri menjadi terkubur dan mereka merasa itu adalah hal yang wajar yang seharusnya terjadi dan bahkan membenarkan budaya tersebut, hal ini disebut dengan nama telah terhegemoni [3]. Budaya adalah konstruksi yang berjalan secara berkelanjutan dari yang buruk dan harapannya ke arah yang lebih baik bagi manusia dalam suatu lingkungan untuk berusaha mencapai kesejahteraan, kebahagiaan dan perdamaian seluruh manusia di suatu area.

  Benturan budaya merupakan keniscayaan yang tidak terelakkan di era informasi dan globalisasi ini. Ada budaya dominasinya kuat dalam globalisasi sehingga mampu memberikan implikasi kesadaran palsu kepada generasi muda dan kesadaran palsu ini menghegemoni di suatu negara.

  karma yang artinya perbuatan dan dari kata phala yang

  Dayak lainnya bila diperlukan untuk menjadi warisan budaya sakral generasi baru yang lahir di Dayak. Tujuannya agar generasi di Dayak berikutnya memegang teguh dan bersikap baik karena bila berbuat buruk akan

  “laban aksi” atau bahasa

  Mengapa dikonstruksi? Agama adalah budaya, hasil konstruksi sosial yang dijadikan budaya yang dilakukan oleh agen sebelumnya. Agen dengan dan untuk kepentingan tertentu untuk diterapkan dan diwariskan ke generasi berikutnya. Saatnya diperlukan konstruksi “asel korija” atau kata setara dalam bahasa Dayak Iban misalnya

  dipercaya oleh masyarakat di Bali sehingga mampu mencegah perbuatan buruk, sehingga perbuatan buruk hanya berhenti di pemikiran saja, kalau perlu dipikirkan di pikiran saja juga tidak terjadi.

  Asel korija dikonstruksi menjadi kata sakral seperti yang

  Sifat umum masyarakat budaya di Bali yang masih memegang kuat budaya karmaphala secara turun-temurun inilah yang merupakan fondasi kuat secara mental masyarakat di Bali, sehingga menghindarkan mereka dari perbuatan mencuri, merampok, merugikan orang lain, membunuh, dan sebagainya karena takut kepada akibatnya yang buruk pada diri sendiri dan orang lain. Sifat (personality) yang baik inilah yang perlu digali untuk diterapkan untuk masyarakat di Dayak. Karmaphala dalam Bahasa Dayak J angkang disebut dengan nama “asel korija” namun perlu diteliti lebih jauh untuk disepakati menjadi konsensus secara meluas, diproyeksikan untuk dikonstruksikan agar budaya yang mirip dengan karmaphala ini dapat dikuati dan menjadi mental utama masyarakat di Dayak.

  berbuat baik maka hasilnya baik dan bila berbuat buruk maka hasilnya buruk, atau lebih sederhananya disebut “sebab akibat”, bila ada sebab maka akan ada akibat, kata yang lebih teknik adalah aksi reaksi.

  Karmaphala ini berlaku pada perbuatan baik dan buruk, bila

  artinya buah atau hasil. Karmaphala memiliki arti hasil perbuatan [4].

  Karakter masyarakat di Bali terbagi menjadi dua subbagian yaitu: sifat (personality) dan penampilan (appearance). Secara sifat, masyarakat di Bali dikenal memiliki dasar pemikiran umum yaitu karmaphala. Karmaphala dari kata

  Ada juga budaya resisten sehingga mampu beradaptasi dan terjadi akulturasi budaya. Tetapi bila diperlukannya pemikiran tentang identitas budaya yang kuat maka diperlukannya menggali ulang dari budaya asli tersebut.

  Karakter yang Baik

  Budaya Bali yang dikenal mampu bertahan dari globalisasi oleh masyarakat nasional di Indonesia dan Bali bahkan memiliki program menguatkan dirinya dengan adagium Ajeg Bali yang berarti Bali yang mempertahankan budayanya.

  bagian dalam penelitian. Studi ini menekankan pada elemen karakter (character), perbuatan (action), lingkungan (environment) dan sistem budaya (cultural system) untuk mengontruksi budaya yang akan dijadikan acuan sebagai proyeksi desain budaya untuk Dayak.

  Studi banding ini tidak bertujuan mengubah Dayak menjadi seperti Bali. Studi banding ini terdapat usulan solusi sebagai

  Dayak dalam rangka membuat konstruksi identitas yang lebih baik memerlukan studi banding dengan masyarakat di Pulau Bali agar langkah-langkah ke depannya desain konstruksi pemikiran budaya ini dapat diproyeksikan dan dijadikan konstruksi budaya untuk Dayak yang baru dalam mencapai nilai-nilai luhur para leluhur untuk identitas, kebersamaan, kesejahteraan, dan perdamaian seluruh Dayak secara lokal yang menglobal.

  Locglo adalah pemikiran yang mengutamakan local yang menguat dan mampu setara dengan global.

  Bukan pemikiran global-local (Glocal) yang cenderung global mengintimidasi dan menindas local karena pemikiran yang diutamakan adalah globalnya dan bukan lokalnya.

  Era globalisasi ini diperlukan pemikiran penggabungan lokal dengan global yang tidak saling menghilangkan, tetapi saling menyatu dan melengkapinya. Pemikiran “local go global ” sehingga terjadi perpaduan local-global (Locglo).

  Membongkar yang buruk dan membentuk ulang, me- redesign dan menemukan lagi jati diri leluhur dan dijadikan konstruksi identitas budaya baru sebagai pemersatu dengan tujuan identitas, kebersamaan, kesejahteraan, kebahagiaan dan perdamaian di suatu komunitas.

2. Diskusi

  berakibat buruk dari perbuatan yang dilakukannya. Perbuatan baik maka hasilnya akan baik di masa depannya, tetapi tidak perlu mengharapkan perbuatan baik tersebut dibalas dengan kebaikan, sebab dalam kenyataa hidup perbuatan baik tidak selalu mendapatkan respon atau hasil yang baik. Pelaksanaan dalam penerapan desain budaya secara proyeksi ini memerlukan keterlibatan aktif dan kepercayaan seluruh masyarakat di Dayak yang sangat patuh pada ayah ibunya. Leluhur merupakan kekuatan penting dalam budaya di Dayak, oleh karena itulah perlu dikontruksi agar kata

  “asel

  Salah satu pakaian adat masyarakat di Bali pada masa lalu. sumber: http://luk.staff.ugm.ac.id/itd/Bali/PKL01_86-111-025_W.jpg kori ja” menjadi memiliki kekuatan sakral karena bila

  dilanggar maka pelanggar yang melakukan perbuatan buruk akan terkena tuah leluhur. Penampilan (appearance) masyarakat di Bali tentu saja tidak terlepas dari akulturasi. Akulturasi dalam penampilan tidak hanya terjadi di Bali, tetapi juga hampir di seluruh wilayah Nusantara yang kini disebut Indonesia. Menengok dokumen di masa lalu seperti foto-foto di Jawa, Bali, dan Pulau Dayak yang cenderung hampir sama, mereka bukan berarti tidak memiliki uang untuk menutup dada, menutup dada dengan selembar kain adalah hal yang mudah Salah satu pakaian adat masyarakat di Dayak pada masa lalu. untuk dilakukan, karena tinggal ditarik dan ditutupkan ke

  sumber:https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/e/e2/Sea_dayak_women_cors

  area dada, tetapi dada terbuka adalah budaya lumrah di masa et_rings.jpg itu, hal ini masih berlangsung juga di Papua Barat yang juga merupakan kelumrahan.

  Salah satu pakaian adat masyarakat di Papua Barat.

  Sumber: http://3.bp.blogspot.com/- 4k9D6Hqkns0/TkzxZZIsodI/AAAAAAAAAC8/aRAm7cr3XXo/s1600/IrianChoir.jpg

  Kini Bali memiliki budaya baru hasil akulturasi dengan budaya lainnya. Tidak akan lagi ditemukan penari wanita dengan pakaian dada yang terbuka, karena kain telah ditutupkan sampai ke area dada, di mana di masa lalu kain tersebut menjadi budaya lumrah tidak menutup area dada. Masyarakat di Bali menerima budaya akulturasi sebagai budaya baru yang dijadikan standar bagi masyarakat di Bali

  Salah satu pakaian adat masyarakat di Jawa pada masa lalu. sumber: http://4.bp.blogspot.com/- untuk saat ini. vjZI7A6bVoM/TZrKvr_rVNI/AAAAAAAAAN4/F0q5FM1Qyc0/s1600/gadis+prianga n+1890.jpg Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org Pernari Bali masa kini dengan kostum yang telah terjadi akulturasi, kain ditutupkan sampai ke area dada. Sumber: https://susisofa77.files.wordpress.com/2011/03/tari2bpendet2b2528blogspot2bcom2529 .jpg

  Namun akulturasi global ini terjadi tidak hanya pada kostum saat untuk pentas kesenian saja, tetapi juga terjadi pada cara berpakaian adat sehari-hari masyarakat di Bali. Pakaian adat sehari-hari di Bali berubah melibatkan t-shirt atau kaos tanpa kerah.

  Pakaian adat sehari-hari berganti dengan t-shirt akulturasi dengan udeng dan sarung khas Bali. Sumber: http://www.balitaksu.com/waroeng/e/baju-safari/baju-safari-bali- 2.jpg

  Penampilan pakaian adat sehari-hari yang telah berubah karena akulturasi ini karena benturan budaya global yang kuat dari penggunaan t-shirt dan kemeja berlengan lainnya, hal ini bila dibenturkan dengan menggali lagi identitas budaya asli dengan tujuan Ajeg Bali sepertinya telah terjadi paradoks atau pertentangan.

  Studi banding di Bali untuk Dayak ini diperlukan salah satunya untuk menggali pakaian adat di Dayak dengan ragam sukunya. Dayak Jangkang akan mencari ciri khas pakaian adatnya sendiri dengan menggali kekayaan pakaian adat leluhur di Jangkang misalnya pakaian dari kulit kayu dengan terobosan akulturasi masa kini agar ada pakaian adat sehari- hari yang menjadi ciri khas identitas Dayak dari Jangkang. Tujuan dari pakaian adat ini diperuntukkan bagi yang tinggal di rumah betang yang merupakan rumah tinggal budaya yang diharapkan masih asli menggunakan adat budaya di Dayak, sehingga tidak diketemukan orang yang tinggal di rumah

  betang menggunakan t-shirt atau kemeja tanpa akulturasi seperti yang di Bali.

  Globalisasi terjadi dominasi penuh di beberapa suku Dayak tanpa terjadi akulturasi, penggunaan t-shirt, kemeja dan pakaian tidak ala Dayak menjadi pemandangan umum di rumah betang, terjadinya kesadaran palsu. Sumber: http://us.images.detik.com/content/2010/10/19/1001/detik_IMG_0233-800.jpg

  Perlu adanya kebangkitan pemikiran Suku Dayak untuk bersatu padu membut konstruksi baru pakaian adat sehari- hari, demikian juga untuk pakaian adat acara khusus dan pakaian kesenian lainnya yang disesuaikan dengan keperluan dan adat di setiap acara suku di Dayak. Hal ini mencetuskan ide adanya musium berbasis komunitas untuk kegiatan turisme yang dapat diterapkan di rumah betang agar terpelihara budayanya salah satunya adalah pakaian adat di Suku Dayak. Turis datang dengan dipandu oleh pemandu dari Dayak dan diperkenalkan Budaya Dayak dengan segala keagungan nilai dan filosofinya akan menjadi daya tarik utama sebagai potensi income ekonomi untuk rumah betang yang telah menjadi musium berbasis komunitas, sehingga kedatangan turis dapat disambut dengan tarian dan juga ada rumah

  betang khusus turis dapat dibuat dan turis yang berkunjung

  wajib menggunakan pakaian adat sehari-hari suku di Dayak agar turis membaur dan menjadi kebanggaan turis itu sendiri.

  Tarian merupakan cara unik untuk menyambut tamu dan merayakan acara adat suku Dayak di rumah betang. Sumber: http://1.bp.blogspot.com/- G0fH6FdVud0/Uc3jT6B6bsI/AAAAAAAABOQ/ugtX53P8uIQ/s1600/IMG_6259.JPG

  Perbuatan

  Perbuatan merupakan elemen yang dilakukan oleh masyarakat di Bali. Masyarakat di Bali demikian patuh pada adat istiadat dari karakter umum dalam sifat yaitu

  karmaphala dan diwujudkannya sehari-hari. Hal ini membuat

  masyarakat di Bali dikenal dengan kejujuran dan integritasnya yaitu sama antara perkataan dan perbuatan. Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

  Bahkan ada adagium bila memilih pegawai bagian keuangan, maka jadikan orang dari Bali sebagai pemegang bagian keuangannya. Orang Bali demikian lekat dengan keramahtamahannya karena karmaphala cenderung ada di benak mereka dalam setiap perbuatan yang dilakukannya.

  ” [6]. Penulis mengusulkan untuk membuat kesepakatan lanjutan dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari Kesepakatan Tumbang Anoi sebelumnya, suatu kesepakatan tambahan yang dihadiri oleh semua suku Dayak untuk:

  Tidak hanya lingkungan alam saja yang menarik para turis tetapi juga hasil karya masyarakat di Bali yang terkumpul di suatu area seperti barang-barang seni dan suvenir khas Bali yang dapat diperoleh di pasar seni di Lodtunduh Ubud, bangunan candi di Candi Dasa, perkampungan rapi dan unik di Penglipuran, dan yang terpenting lagi adalah adanya pura di mana-mana sehingga Bali disebut juga dengan istilah pulau seribu pura.

  Keindahan alam ini tentu menjadi incaran para pendatang dari luar pulau, mereka datang dari pulau lain di Indonesia atau bahkan dari negara lain. Area yang dikenal di Bali adalah Pantai Kuta, Pantai Sanur, Tanah Lot, Danau Beratan di Bedugul, Gunung Kintamani, dan masih banyak lagi lainnya.

  Intinya seluruh pulau Bali berpotensi menjadi area yang dapat dijadikan penarik minat wisatawan, karena seluruh pulau dikelilingi pantai yang indah. Gunung dengan teksturnya yang menghiasi memberikan suasana segar saat di siang dan malam hari dengan pemandangan pegunungan yang tidak kalah uniknya dengan area pantai. Ada area yang bahkan seseorang dapat melihat gunung dan pantai pada saat bersamaan.

  Lingkungan (Environment) di Bali sangat indah karena perpaduan pantai dan gunung yang tidak memerlukan waktu lama untuk melakukan perjalanan dari pantai ke gunung dan dari gunung pantai.

  Lingkungan

  peduli kepada sesama manusia untuk kebersamaan, kenyamanan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan perdamaian bagi seluruh masyarakat yang ada di Pulau Dayak.

  (1) membuat bahasa persatuan identitas Dayak; (2) menjaga satwa, tanaman, dan alam warisan leluhur; (3) menguati dan mengembangkan warisan budaya leluhur yang baik dan menghilangkan yang buruk; (4) menyatukan seluruh Dayak di Pulau Dayak dan di luar Pulau Dayak; (5) Dayak yang

  “kesepakatan menghentikan perang antar suku, kebiasaan adat mengayau atau memenggal kepala, adat perbudakan dan balas dendam antar keluarga, dan diperlukan penyeragaman hukum adat antar suku

  Karmaphala merupakan acuan umum dalam setiap kegiatan

  Bahasa persatuan diperlukan untuk membuat penyamaan istilah dan agar mudah dipahami secara luas. Bahasa persatuan di Dayak disarankan dibentuk dan dikonstruksi, inisiasi bahasa di Dayak dapat dimulai dengan memilih salah satu bahasa di Dayak yang penggunanya paling banyak untuk dijadikan bahasa persatuan untuk Dayak dan sepakat disebut dengan nama Bahasa Suku Dayak, kemudian dibuat kamus, tata bahasanya disusun dan diajarkan menjadi bahasa wajib di seluruh Pulau Dayak. Konstruksi sosial yang memojokkan masyarakat di Dayak dengan istilah “ngayau” harus diperbaiki dengan mengarahkan kata tersebut ke hal yang lebih pada kegiatan positif dalam mencari penghidupan yang layak dan tidak merugikan orang lain. Diperlukan kelanjutan dari perjanjian yang dilakukan di kampung Dayak “Tumbang Anoi” pada tahun 1894 yang melahirkan

  sound system di Pura-pura Bali sebanyak tiga waktu yaitu sekitar pagi hari, siang hari dan sore hari.

  Bahasa Bali digunakan dalam kegiatan ibadah dan menjadi ritual sehari-hari masyarakat di Bali. Ritual yang paling banyak didengar adalah Nyepi, Ngaben, Galungan, Kuningan dan Pager wesi. Bahasa Bali sebagai doa dapat didengar saat dikumandangkan dalam bentuk doa yang menggunakan

  Masyarakat Pulau Bali menggunakan bahasa lokal dari Bali yang merupakan akulturasi dan modifikasi dari bahasa lokal dari Bali awal dengan bahasa orang dari Jawa di era Majapahit. Bahasa Bali merupakan pemersatu seluruh masyarakat di Bali [5].

  karmaphala yang merupakan karakter mental utama orang- orang di Bali.

  perbuatan sehari-hari untuk menciptakan perbuatan yang sama antara perkataan dan perbuatan sehingga akan lahir generasi yang dapat dipercaya dan andal. Kejahatan cenderung kecil terjadi yang dilakukan oleh masyarakat di Bali, kemungkinan besar pelaku kejahatan adalah pendatang yang belum menyelami dan mengamalkan sebab akibat atau karmaphala dalam bahasa lokal Bali,

  karmaphala ala Dayak di benak masyakarat di Dayak dalam

  dan perbuatan masyarakat di Bali. Dayak perlu meniru perbuatan masyarakat di Bali dengan selalu mengingat

  Budaya masyarakat dari Bali juga dibawa ke area lain bila mereka ke luar dari Bali dan bermukim di lain pulau, Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

  sehingga bila orang-orang Bali berkumpul di luar Pulau Bali, maka area tersebut diberi nama Kampung Bali, identitas suku Bali ini demikian kuat bahkan saat di luar Pulau Bali sekalipun.

  Bali sebagai acuan studi banding bukan berarti acuan yang sempurna. Turis yang berdatangan pada awalnya cenderung hanya berkunjung kemudian berubah menjadi mengincar tanah-tanah di Bali dan dibeli, kini orang Bali banyak yang tidak memiliki tanah lagi di Bali. Menjual tanah di Bali mendadak membuat Orang Bali kaya raya, namun setelah kekayaan tersebut habis. Orang Bali yang menjual tanahnya tadi bahkan tidak mampu untuk membeli tanah yang potensial untuk berjualan dan berkarya.

  Kini banyak tanah di Bali dimiliki oleh orang asing dari luar Bali, seperti dari negara U.S.A, Negara-negara Eropa, Jepang, China, Korea, dan negara lainnya yang memiliki perekonomian kuat sehingga akan sangat murah bagi pembeli tanah yang berasal dari negara-negara dengan ekonomi kuat tersebut.

  Banyak tanah di Candi Dasa, Kuta, Sanur, Ubud, dan area wisata lainnya di Bali yang beralih fungsi menjadi restoran, tempat penginapan, tempat hiburan, toko-toko suvenir, tempat pijat, dan tempat fungsi turisme lainnya di mana masyarakat di Bali secara umum tidak mendapatkan manfaat ekonomi tersebut dan tidak mengubah menjadi hidup masyarakat di Bali menjadi lebih baik. Turisme atau pariwisata adalah salah satu bentuk invasi penjajahan terbaru dalam era globalisasi ini yang berpotensi pemindahan tanah pemilik lokal ke tangan para turis sebagai pendatang. Pengrusakan lingkungan karena ada turis dan atau penduduk lokal yang memiliki potensi tidak peduli dengan alam area turisme, dan juga bentrokan budaya yang berpotensi kuat terjadi dari invasi budaya global yang berpotensi mengeliminasi budaya lokal [7].

  Ada beberapa area cagar budaya bahkan menjadi warisan budaya oleh PBB di Bali kini malah menjadi lebih rusak dibanding sebelum dijadikan area cagar budaya. Area cagar budaya adalah tujuannya untuk melindungi area terentu agar tidak rusak dan bukan untuk pariwisata. Sepertinya ada agen yang sengaja menjadikan gelar cagar budaya sebagai “alat’ untuk kepentingan tertentu salah satunya “kapitalisme”. Implikasi turisme adalah menarik pendatang dari luar pulau, dari negara lain yang tertarik bekerja di tempat tersebut, kemudian mencari tempat tinggal di tempat tersebut, bila turis tersebut adalah orang kaya, maka orang kaya tersebut akan tertarik dan membeli lokasi di area tersebut dan berbisnis di tempat tersebut.

  Kedatangan turis mengakibatkan sampah yang berserakan di Pantai Kuta, Sanur, sungai-sungai yang mulai keruh yang membawa penyakit dan tidak bersih lagi.

  Kedatangan para turis ternyata membuat petugas kebersihan di Bali menjadi kewalahan dan overload dengan tugasnya, sehingga pengangkutan sampah dan tempat pembuangan akhir bagi sampah pun menjadi kendala tersendiri, sehingga penulis saat ke area Sarangan akan tercium bau sampah busuk yang sangat kuat bahkan bau busuknya sampai ke jalanan utama by pass Ngurah Rai, puluhan kilometer sudah tercium dari tempat asalnya pada saat tertentu.

  Bisnis turisme ini diminati juga oleh pemerintah daerah yang sudah mulai menerapkan otonomi daerah. Sebagai contoh Tanah Lot dan beberapa area wisata lainnya pengelola organisasi area wisata adalah penduduk area wisata tersebut.

  Penulis mengamati ternyata ada pemerintah daerah mendapatkan bagian keuntungan dari pengelolaan yang dilakukan oleh penduduk area wisata tersebut, bagi hasil ini bervariasi, bahkan ada yang membagi hasilnya 50:50 di mana pengelola area wisata yang merupakan organisasi komunitas penduduk mendapatkan 50% dan pemerintah daerah mendapatkan 50% dari keuntungan. Penulis melihat pembagian sampai 50:50 pada hasil keuntungan suatu area wisata ini, temuan ini tidak sesuai dengan semangat turisme berbasis komunitas, sebab seharusnya pemerintah daerah telah cukup dengan mendapatkan pendapatan dari pajak yang dikenakan pada turis yaitu 10% saja.

  Implikasi turisme lainnya adalah adanya harga tanah dan bangunan yang menjadi melambung karena inflasi lokal pariwisata ini. Harga tanah dan bangunan menjadi dikendalikan sepenuhnya dengan harga semaunya oleh pemilik tanah dan bangunan dengan asumsi keuntungan bagi yang membuka usaha ditempat tersebut dipastikan untung karena membanjirnya para turis dari dalam dan luar negeri. Setelah dijalani untuk berbisnis oleh pebisnisnya malah harga sewa tanah dan bangunan melebihi dari pendapatan bersih di mana cenderung merugikan bagi penyewa dalam jangka waktu tersebut saat sewa tanah atau bangunan berakhir.

  Hal ini menyebabkan silih bergantinya penyewa yang cenderung selalu tertipu oleh pemilik lahan. Implikasi lainnya membuat inflasi dengan mahalnya harga makanan, suvenir, hiburan, penginapan dan lainnya bagi orang lokal tetapi upah lapangan kerja sangat kecil dan tidak mencukupi bagi orang lokal. Studi banding di Bali tersebut hal yang baik dapat diterapkan di Pulau Dayak tetapi dengan modifikasi yang lebih baik agar tidak mengulangi kejadian buruk yang sama di tempat pariwisata lainnya. Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

  Proyeksi rencana budaya ini menjadi sangat penting untuk mengantisipasi jauh-jauh hari apa yang telah terjadi di area wisata lainnya tersebut. Hal pertama yang perlu dilakukan oleh pemerintah di Pulau Dayak adalah mengidentifikasi potensi elemen pariwisata yang meliputi: (1) tempat wisata; (2) penginapan untuk pariwisata; (3) seni dan budaya untuk pariwisata; (4) travel

  agency untuk pariwisata; (5) dokumentasi dan publikasi wisata.

  1) Tempat pariwisata merupakan kekayaan yang dapat diperoleh dari alam dan atau dapat diperoleh dengan membuat suatu area menjadi tempat wisata buatan, seperti taman, kampung wisata, agrowisata dan sejenisnya. Lahan dan bangunan di area wisata wajib diproteksi minimal oleh masyarakat komunitas adat di Dayak dan sekitarnya agar tidak dijual, tetapi hanya disewakan saja, bila diperlukan dibuat larangan adat dan siapa yang melanggar dengan menjual tanah adat atau warisan tanah leluhur akan mendapatkan tulah dari leluhur. Bila perlu pemerintah daerah juga melakukan proteksi yang sama, namun dengan imbalan diberikan sejenis remunerasi (imbal jasa) karena warga Dayak di area tersebut tidak menjual tanahnya kepada pendatang, terutama untuk lahan-lahan kosong, taman, dan hutan yang ada di sana. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi berpindahnya kepemilikan lahan dan bangunan ke tangan para turis seperti yang telah terjadi di Bali.

  Di satu sisi pemilik lahan juga tetap berpegang teguh pada harga tanah dan sewa yang sesungguhnya dan tidak melakukan membuat “harga sendiri” yang akan membuat inflasi lokal dengan implikasi mahalnya harga makanan, suvenir, hiburan, penginapan dan lainnya bagi orang lokal tetapi upah lapangan kerja sangat kecil dan tidak mencukupi bagi orang lokal di area tersebut. 2) Penginapan untuk pariwisata, penginapan yang didesain untuk turis dengan kenyamanan dan layanan yang terkini tingkat bintang lima tetapi dengan bentuk penginapan yang berciri khas bangunan Suku Dayak.

  Turis ingin sekali melihat bangunan ala Dayak dan tinggal di dalamnya, bila diperlukan dibuat perkampungan Dayak seperti rumah betang akulturasi dengan desain minimalis terkini yang dikhususkan untuk turis dan atau turis dapat tinggal di rumah penduduk Dayak seperti home stay dengan pelayanan tingkat internasional bila diperlukan.

  3) Seni dan Budaya, seperti makanan khas untuk pariwisata, atau kuliner khas Dayak wajib digali lagi warisan kuliner leluhur dan bila perlu dilakukan desain ulang (redesign) dari segi bahan, bentuk, rasa dan warna agar mampu menarik perhatian turis yang kemungkinan besar baru pertama kali melihat makanan tersebut dan tertarik untuk mencicipi dan merasakan makanan khas dari Dayak.

  Pakaian khas Dayak untuk pariwisata, turis juga dapat membeli pakaian khas Dayak untuk mereka gunakan di perkampungan Dayak yang mewajibkan menggunakan pakaian khas Suku Dayak di suatu tempat perkampungan Dayak area tertentu. Tarian Dayak untuk pariwisata, di mana turis dapat terlibat ikut menari dalam satu sesi tertentu agar mereka dapat terlibat aktif dalam tarian tersebut. Diperlukan tarian baru dan dapat dikonstruksi sebagai desain tarian khas di Suku Dayak yang dapat dijadikan sakral dan hanya ditarikan pada saat-saat tertentu dan di area tertentu. Suvenir dan kerajinan suku ala Dayak yang khas dapat dijadikan suvenir dalam bentuk normal dan atau ukuran yang lebih kecil seperti minatur, biasanya berbahan dari alam yang dapat diperbaharui, seperti biji-bijian untuk dibuat kalung, batuan alam seperti giok atau lainnya, hiasan-hiasan dari rotan, tetapi hindarkan suvenir berbahan satwa yang sulit untuk diperbaharui, jadi dipastikan menggunakan bahan yang mudah terbaharui seperti tanaman yang mudah tumbuh kembali. Penggunakan suvenir dari satwa akan membunuh lingkungan dan kekayaan Dayak itu sendiri, hindarkan benar-benar dan bila perlu seluruh Masyarakat Adat Dayak mengeluarkan larangan secara adat dan juga pemerintah mengeluarkan larangan untuk menggunakan satwa sebagai suvenir. Budaya dan acara suku Dayak seperti gawai Dayak dapat menjadi kekuatan menarik wisatawan. Namun budaya

  “menghanguskan lahan” perlu diwaspadai karena memiliki potensi untuk dijadikan “alat” menyudutkan Masyarakat Dayak secara keseluruhan karena terjadinya kebakaran hutan beberapa puluh tahun terakhir ini dan Masyarakat Dayak menjadi “sasaran empuk” untuk disalahkan.

  Diperlukan sistem budaya baru oleh Masyarakat Dayak untuk memelihara alam dan menghindarkan terjadinya “penghangusan lahan” sebagai bagian dari menghilangkan Budaya Dayak yang cenderung berpotensi konflik. Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

  Diperlukan izin secara adat dan juga kepada pemerintah bila diperlukan agar “penghangusan lahan” memang benar-benar diperlukan dan dapat dimonitor dan dikendalikan agar tidak dijadikan “alat” oleh orang- orang tertentu untuk menyudutkan Masyarakat Dayak secara keseluruhan.

  4) Travel agency diperlukan untuk mengantar turis ke area tujuan wisata, travel dapat menggunakan pemandu wisata bagi turis asing dari berbagai negara. Potensi travel dalam membuka mengalirnya turis dari luar daerah secara nasional dan dari luar negeri juga sangat kuat.

  5) Dokumentasi dan publikasi untuk berbagai media gambar, foto, audio dan video. Foto-foto dan merekamnya menjadi video saat di area wisata yang dilakukan para turis sangat diperlukan untuk didukung oleh semua pihak, oleh karena itu semua potensi pariwisata harus siap membantu menjadi fotografer dadakan yang menggunakan smartphone atau alat perekam foto dan video sejenisnya.

  Travel, hotel, area, seni, budaya, semua elemen dan

  Masyarakat Dayak agar pariwisatanya menguat perlu bekerja sama dengan penerbit berbasis digital untuk memublikasikan area wisata yang ada dan menarik wisatawan untuk datang ke area wisata.

  Kekuatan publikasi melalui media digital dan media penerbit berbasis digital akan membuat berbagai elemen pariwisata menjadi menggugah calon turis lainnya untuk datang dan melihat daya tarik pariwisata secara langsung. Para turis cenderung menyiarkan area yang mereka anggap unik dan menakjubkan, penginapan yang berkesan, makanan yang mereka anggap unik dan enak, seni dan budaya yang unik, serta perjalanan yang unik dalam suatu wahana oleh agen perjalanan wisata.

  Sistem Budaya Setiap budaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat di area tertentu pasti memiliki sistem, entah sistem tersebut berjalan dengan baik atau tidak. Sistem budaya masyarakat di Bali adalah sistem patriarki dan keagamaan. Hal ini tercermin dari diutamakannya para pria dalam setiap kegiatan di Bali. Keagamaan di Bali juga sudah menjadi budaya, sehingga berbagai kegiatan di Bali sebagian besar erat kaitannya dengan kegiatan keagamaan.

  Kegiatan keagamaan di Bali seperti Galungan, Kuningan,

  Saraswati, Banyupinaruh, Siwaratri dan Nyepi . Kemudian banyak upacara keagamaan seperti otonan, upacara potong gigi, ngaben, melasti, melukat, dan lainnya, upacara sehari- hari di pura, di area lingkungan rumah, jalan, dan tempat kerja lainnya sebanyak tiga waktu dalam sehari yaitu pagi, siang, dan sore. Kegiatan masyakarat dikarenakan adanya sistem tersebut menjadi sangat aktif dan tertanam kuat dalam keseharian masyarakat di Bali.

  Kegiatan keagamaan masyarakat di Bali sehari-harinya menggunakan media persembahan (banten) salah satunya yang paling sederhana adalah canang sari yang diletakkan di area tertentu sebanyak tiga waktu yaitu pagi, siang, dan sore.

  Peletakkan canang sari juga berdasarkan warna bunga sesuai arah seperti bunga berwarna putih disusun di Timur sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Iswara, bunga berwarna merah disusun di Selatan sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Brahma, bunga berwarna kuning disusun di Barat sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Mahadewa, bunga berwarna biru atau hijau disusun di Utara sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Wisnu, sedangkan bunga rampai disusun ditengah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Panca Dewata [8].

  Canang sari yang digunakan sehari-hari dalam kegiatan keagamaan masyarakat di Bali. sumber: http://inputbali.com/wp- content/uploads/2015/04/mmexport1430026711819.jpg

  Penggunaan canang sari atau disingkat canang, saat tanaman dan perkebunan di Bali masih banyak dan kehidupan masyarakat di Bali saat masih menggantungkan keseharian hidupnya dari bertani, bercocok tanam, berkebun, dan beternak adalah hal yang sederhana dan cenderung tidak memerlukan biaya. Seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat yang terkena implikasi pariwisata telah banyak mengubah cara hidup masyarakat di Bali.

  Canang sari dan banten lainnya yang dulunya tinggal

  mengambil di kebun berubah drastis menjadi “beban” keseharian masyarakat di Bali yang masih kuat menganut sistem budaya yang menjadi bagian dari keagamaan mereka. Gelembung Inflasi (inflation bubble) implikasi pariwisata membuat lahan kosong, lahan pertanian, perkebunan, dan peternakan berubah menjadi restoran, café, warung, toko suvenir, tempat hiburan, hotel, dan gedung-gedung keperluan lainnya untuk pariwisata. Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

  Hal ini secara bertahap membuat bunga, tanaman kelapa, lontar dan sejenisnya yang diperlukan untuk membuat

  canang sari dan banten lainnya menjadi sulit disediakan dan didapatkan dari dalam Pulau Bali sendiri.

  Membuat canang sari dan banten lainnya yang didatangkan dari area luar Bali menjadi melonjak mahal dan memerlukan biaya untuk membelinya. Beban inflasi lokal turisme terhadap harga yang melambung untuk makanan, minuman, dan kebutuhan keseharian masyarakat di Bali termasuk

  canang sari dan banten lainnya menjadi melonjak melebihi upah yang menjadi income pendapatan mereka sehari-hari.

  Harga canang sari dan banten lainnya yang melambung sedangkan canang sari diperlukan sebanyak tiga waktu yaitu pagi, siang, dan sore serta untuk beberapa arah mata angin, terlebih lagi untuk di jalan, dan area yang dianggap strategis lainnya menurut keagamaan orang di Bali, disertai banyaknya hari besar keagamaan bagi masyarakat yang memegang kuat budaya keagamaannya merupakan beban yang luar biasa berat dari bidang ekonomi keluarga.

  Bercermin dari yang terjadi di Bali, diperlukan konstruksi membuat hari perayaan bersama di Dayak namun tidak banyak jumlahnya agar tidak menjadi beban bagi masa depan generasi baru di Dayak, cukup dua hari besar dalam setahun untuk seluruh masyarakat di Dayak, misalnya hari besar Gawai dan hari besar berterima kasih pada leluhur dengan diberi nama sesuai kesepakatan.

  Kepercayaan Masyarakat Dayak sangat kuat pada leluhur dan memandang pria dan wanita adalah setara atau gender

  equality yang sudah melekat dalam kehidupan Masyarakat

  Dayak. Hal ini kekuatan warisan leluhur yang sudah bagus wajib dilanjutkan, sehingga Dayak tidak mengenal sistem patriarki dan matriarki. Tinggal mencari jenis upacara keseharian dan caranya yang perlu diciptakan dan dikonstruksikan sebagai ucapan terima kasih sehari-hari pada leluhur, maksimum dua waktu yaitu pagi dan sore, atau minimum satu hari saat siang agar tidak memberatkan secara ekonomi ke depannya. Di desain pula saat upacara kostum apa minimal yang digunakan. Upacara keseharian ini diperlukan dalam rangka “mencuci otak” diri sendiri agar terjadi kepatuhan pada generasi baru Dayak dalam memperkuat pengamalan adat di Dayak yang telah dikonstruksi oleh Leluhur Dayak sebelumnya, hal itu juga yang menguatkan masyarakat di Bali dalam kesehariannya. Kostum upacara adat keseharian masyarakat di Bali untuk wanita yaitu endek sejenis kebaya ala Bali dan selendang sebagai ikat pinggangnya, namun hal tersebut bukan harga baku, minimal dapat menggunakan selendang saja pernah penulis lihat saat observasi dalam penelitian ini.

  Pakaian upacara tersebut dapat diadopsi dan dibuat kostum sejenisnya ala Dayak untuk upacara keseharian selama dua waktu yaitu pagi dan sore atau siang saja untuk wanita dan pria di Dayak.

  Kostum standar upacara keseharian wanita di Bali menggunakan endek dan selendang. Sumber: http://1.bp.blogspot.com/- wbPJj8Pr3nk/UrZcx5mirLI/AAAAAAAAAHc/sQpixNFzvto/s1600/foto-717758.JPG

  Kegiatan keseharian yang merupakan sistem budaya yang menyatu dalam sistem keagamaan ini yang menarik turis mancanegara selain kekayaan alam, seni, dan budaya di Bali. Menciptakan dan membuat konstruksi budaya adat di Dayak tidak perlu mengadopsi sistem keagamaan di Bali, diperlukan intisarinya saja yaitu sistem kepercayaan agama di Bali diadopsi menjadi sistem kepercayaan leluhur yang telah berakar kuat di Masyarakat Dayak. Apakah Masyarakat Dayak memerlukan Agama Dayak? Sepertinya tidak perlu, agama adalah konstruksi budaya yang telah menyebabkan peperangan, kebencian yang diturunkan melalui kitab yang dibuatnya tanpa melihat, mengetahui, dan mengenal secara langsung pada pemarginalan yang dilakukan kitab suci agama tertentu pada seseorang, sekelompok orang, suku, bangsa, agama, jenis kelamin, wilayah, dan ras apakah mereka yang disebutkan tersebut benar-benar jahat? Karena sudah dimarginalkan dalam satu kitab suci tersebut apakah pasti benar demikian adanya? Bagaimana bila ternyata yang jahat adalah yang telah membuat kitab suci tersebut? Banyak agama hasil konstruksi agen di masa sebelumnya yang akhirnya agama hanya digunakan sebagai alat untuk Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2016 www.an1mage.org

  mendapatkan pengaruh, setelah mendapatkan pengaruh akan mendapatkan pengikut, setelah mendapatkan pengikut akan mendapatkan kekuasaan, setelah mendapatkan kekuasaan akhirnya mendapatkan kekuatan, setelah mendapatkan kekuatan akhirnya mendapatkan kekayaan dan wanita. Agama dijadikan alat untuk mencuci otak pengikutnya. Bahkan ada pengikut yang telah terhegemoni secara buruk sehingga memberikan banyak santunan, padahal di rumahnya sendiri kesulitan makanan, minuman, dan tidak memiliki tempat tinggal.

  4. Membuat sistem budaya secara adat dan didukung oleh

  11. Membuat landasan Filosofi Dayak yang peduli kepada sesama manusia untuk kebersamaan, kenyamanan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan perdamaian secara

  10. Mengembangkan sistem organisasi kerakyatan yang dapat membagi secara income secara fair bagi anggota komunitas, pengurus dan lainnya sesuai kebutuhan. Basis sistem ekonomi kerakyatan dalam lembaga badan usaha milik rakyat Dayak (BUMRD).

  9. Mengembangkan sistem kepercayaan adat leluhur Dayak bagi generasi muda di masa depan agar generasi Dayak yang lahir adalah generasi muda Dayak yang memiliki integritas, kreatif, inovatif, mandiri, pendamaian, tangguh, dan teguh menjaga kepercayaan dari leluhurnya.

  8. Mengembangkan potensi pariwisata yang menjaga budaya yang melingkupi seni, kerajinan, travel, keterampilan, makanan, tempat, hiburan dengan tetap menjaga kebersihan dan keamanan, tetap melindungi satwa, tanaman, alam, dan lingkungan untuk meningkatkan income di segala elemen pariwisata bagi Masyarakat Dayak.

  7. Lahan kosong, lahan pertanian, lahan perkebunan, tanah adat, dan lahan adat benar-benar dijaga dan dimanfaatkan secara baik, sehingga masyarakat adat mendapatkan pendapatan (income), melarang penjualan tanah adat dengan alasan apa pun kepada pendatang.

  6. Membentuk Masyarakat Dayak yang mandiri dengan memudahkan Masyarakat Dayak dalam mendapatkan pendapatan sehari-hari dengan kembali pada budaya leluhur yaitu bertani, berkebun, dan menghilangkan budaya berburu diganti dengan budaya beternak agar satwa tidak habis diburu. Tidak perlu mengeluarkan uang untuk mendapatkan makanan, makanan dengan mudah didapat dari alam sekitarnya.

  5. Menguati dan mengembangkan warisan budaya leluhur yang sudah baik dan memperbaiki yang belum baik.

  satwa, tanaman, alam, dan segala kandungan di dalamnya.

  pemerintah dalam m emelihara kekayaan leluhur seperti

  sesama manusia agar Dayak setara, rukun, berdampingan, dan damai dengan suku, ras, bangsa lainnya.

  Tuhan dalam agama-agama tersebut pada umumnya kebanyakan hanya peduli pada masalah seks dan tidak peduli dengan masalah kelaparan dan bagaimana mengatasi kemiskinan, kemiskinan diidentikkan dengan pengemis, padahal pengemis adalah profesi dan belum tentu pengemis adalah seorang yang miskin.

  3. Membuat sistem budaya secara adat yang melindungi

  tidak ada batas-batas wilayah, pemikiran, ideologi, dan adat untuk persatuan satu Dayak.

  2. Menyatukan seluruh Dayak di Pulau Dayak, dan juga

  1. Menentukan bahasa persatuan bagi seluruh Dayak, tetapi tidak menghilangkan Bahasa Dayak ibu masing- masing Subsuku Dayak, hal ini untuk menjaga kelestarian kekayaan bahasa.

  Studi banding secara kritis ini memberikan konklusi penting yang dapat diterapkan agar Generasi Dayak di masa depan sangat andal, kreatif, mandiri, memiliki integritas yang kuat, dan pendamai. Diperlukan inisiasi dan langkah nyata dalam memujudkan desain budaya agar proyeksi bagi generasi baru dapat terlaksana dalam daftar berikut:

  Diperlukan kebersamaan dan kebulatan tekad membentuk persatuan bagi seluruh Masyarakat Dayak. Kebulatan tekad yang telah bersatu diarahkan atau diproyeksikan membentuk Generasi Muda Dayak di masa depan yang lebih baik.

  Kepercayaan Dayak di Jangkang dan seluruh masyarakat Dayak di pulau Dayak meliputi semua hal tersebut.