Sejarah Filsafat Yunani Sm1Md1 docx
BAB I
PARA FILOSOF PRA-SOCRATEAN
Sejarah pemikiran filsafat sistematis dalam sejarah peradaban manusia Barat dan bahkan
dunia bermula dari bangsa Yunani. Affirmasi ini kedengaraannya terasa janggal dan seolah-olah
mengabaikan pemikiran filosofis dalam kebudayaan Timur. Kiranya harus kita akui bahwa
permenungan filsafat secara sistematis dan rasional tentang alam semesta dan berikutnya tentang
dunia dan manusia tanpa embel-embel Allah atau Tuhan dan dewa-dewi tertera secara historis dan
faktual dalam pemikiran para filosof Yunani. Adakah refleksi dan permenungan metafisis dan
distingsi yang tegas, rinci dan sistematis tentang realitas ada, moralitas, politik dst. seperti kita
temukan dalam Metafisica, Etika Nicomacea, Politeia, Anima dll. karya-karya Aristoteles, dalam
pemikiran filosofis Timur? Karena alasan di atas, kita memberikan perhatian cukup besar pada
sejarah perkembangan pemikiran filosofis dalam kebudayaan Yunani klasik.
1. Hakekat dan Problem dalam Filsafat Kuno
Secara filosofis kita dapat mengatakan bahwa filsafat merupakan sebuah aktivitas berpikir
manusia dalam rangka mengenal segala sesuatu yang berada dan hidup dalam sementa raya:
benda-benda mati baik di langit maupun di bumi, makhluk hidup, manusia dan tingkah
lakunya, kematian dan masa depan sesudahnya. Singkat kata, filsafat ingin mengerti semua
yang ada dan memahaminya dengan sebaik-baiknya. Untuk lebih singkatnya, kita dapat
memperlihatkan beberapa ciri dasar filsafat.
a) Muatan atau isi
Filsafat bermaksud menjelaskan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Penjelasan
yang dimaksud bukanlah sekedar memahami kulit luar dari suatu realitas, melainkan ingin
memahami secara mendalam dan menyeluruh. Filsafat bermaksud menemukan prinsip,
sebab dan intisari dari segala sesuatu. Karena itu, filsafat selalu dimulai dengan pertanyaan
mengenai apa yang menjadi prinsip dari totalitas ada dan bagaimana ada-ada dapat
berada secara demikian serta mengapa semua ini dapat berada dalam semesta ini?
b) Metode
Satu-satunya metode yang digunakan oleh filsafat untuk mencoba mengenal,
memahami dan menjelaskan totalitas ada adalah pendekatan rasional. Senjata utama
filsafat adalah nalar, akal, budi manusia semata tanpa embel-embel wahyu maupun tradisi
religius apapun. Berbeda dari ilmu-ilmu sosial lainnya yang banyak berkutat dengan data
dan pengalaman, filsafat menempatkan diri di atas data-data, fakta-fakta dan pengalaman
individu. Argumentasi rasional sebagai pola penjelasan filsafat selalu terarah pada
penemuan sebab-sebab utama, alasan-alasan prinsipil dan prinsip-prinsip dasar dari
totalitas ada.
Dalam arti tertentu, kita bisa mengatakan bahwa pendekatan filsafat bersifat ilmiah
seperti ilmu-ilmu lainnya. Namun perbedaan antara keilmiahan filsafat dan ilmu-ilmu
lainnya terletak dalam karakter keumuman, universalitas, keluasan filsafat dan kekhususan,
specifisitas dan keterbatasan ilmu-ilmu sosial-empiris.
1
Ilmu-ilmu pengetahuan lainnya mempelajari dan menelaahi salah satu aspek saja dari
realitas sesuai dengan bidang garapan, tuntutan metodis dan tujuan ilmiah tertentu. Dapat
saja bahwa studi-studi ilmu-ilmu bersangkutan lebih mendalam dan mendetil dalam
informasi dan pemahaman, namun karakter partikular membatasi kesimpulan yang mesti
diambil. Mengingat obyek studinya hanya menyangkut salah satu bagian dari realitas ada,
maka kesimpulannya bersifat sektoral semata.
c) Tujuan
Tujuan utama filsafat adalah menemukan kebenaran per se. Filsafat memiliki karakter
teoretis murni atau kontemplatif. Yang dikontemplasikan dan yang dicari oleh seorang
filosof adalah kebenaran dalam dirinya sendiri tanpa kepentingan sosial-politik-ekonomi
apapun. Karena itu filsafat merupakan disiplin ilmu yang mencari, menemukan dan
mencintai pengetahuan semata (philo dan sophia), yakni cinta akan kebenaran. Aristoteles
mengungkapkan secara eksplisit tujuan sejati filsafat. “Sesungguhnya manusia telah mulai
berfilsafat karena kekaguman. […] Dengan demikian, jika orang-orang telah berfilsafat
untuk membebaskan diri dari ketidaktahuan, menjadi semakin jelas bahwa mereka mencari
pengetahuan hanya untuk ilmu (pengertian) semata dan bukan untuk mengejar kegunaan
praktis”1.
Gagasan dasar mengenai tujuan filsafat sebagai pertualangan untuk mencari,
mendapatkan dan merenungkan kebenaran semata tanpa tujuan apa-apa, bermaksud
mempertegas superioritas filsafat dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya. Dalam hal ini,
Aristoteles membedakan secara jelas kegunaan dan derajad atau status suatu ilmu: “semua
ilmu lainnya akan menjadi lebih perlu dan penting daripada ini (filsafat), tetapi tiada
satupun yang akan lebih tinggi daripadanya”2. Dalam gagasan demikian, kita dapat
menemukan bahwa salah satu unsur dasar dalam filsafat adalah kebebasan pribadi dalam
berkarya dan menikmati apa yang dilakukannya terlepas dari tuntutan-tuntutan praktispragmatis lainnya. Karena itu, ketika filsafat kehilangan orientasi dasar pada kontemplasi
kebenaran dan berpretensi mengubah dunia, pada saat itu pula filsafat telah mengubah diri
menjadi sebuah sistim ideologis atau ideologi tertentu. Tiada lagi keagungan, keluhuran,
kebebasan dan kontemplasi maupun spekulasi dan kekaguman, melainkan hanya ada
kepentingan, perhitungan untung rugi, pendalaman dan strategi atas dasar pertimbangan
kekuatan dan kelemahan, peluang dan tantangan. Dengan kata lain, pengalihan filsafat dari
spekulasi murni ke tujuan praktis-pragmatis telah mengubah filsafat dari ilmu dan
pengetahuan menjadi alat kekuasaan dan status quo.
2. Beberapa Problem Filosofis Kuno
Totalitas ada sebagai obyek studi filsafat hendaknya dimengerti dalam kerangka dan
cakrawala yang menyeluruh dan luas sekali. Totalitas ada menyangkut seluruh realitas dalam
berbagai aspek dan dimensi masing-masing yang saling tersangkut dan terkait. Atas dasar
keberagaman aspek dan dimensi itu, maka pusat perhatian, permenungan, pengkajian para
pemikir mengalami juga tahap-tahap dan bidang-bidang yang berbeda-beda. Dalam artian
1Aristoteles, Metafisica, A2, 982 b, 11-26.
2Ibid., A2, 982 b, 29 dst.
2
bahwa terdapat permasalahan-permasalahan tertentu yang menjadi titik tekan dalam kajian
para filosof. Berikut adalah klasifikasi problem secar garis besar.
a) Kosmologis
Persoalan pertama yang dihadapi oleh para pemikir Yunani klasik adalah totalitas ada
konkret dan empiris, physis atau kosmos. Mereka terkagum dan terkesima oleh semesta
raya dan dari keterkaguman dan keterkesimaan muncul sekian banyak pertanyaan:
bagaimana dunia dan semesta raya ini muncul? Apa yang menyokong dan menjadi prinsip
utamanya? Apa dan bagaimana tahap-tahap dan momen-momen pemunculannya?
Pertanyaan-pertanyaan dan persoalan-persoalan filosofis semacam inilah yang
mendominasi permenungan awal para filosof.
b) Antroplogis
Dalam tahap permenungan selanjutnya, pokok bahasan filosofis bergerak dari persoalan
kosmologis ke persoalan antropologis. Pusat perhatian adalah realitas manusia itu sendiri.
Fokus permenungan adalah persoalan-persoalan moral dan nilai keutamaan (arête).
Peralihan tersebut disebabkan oleh perubahan multi dimensi yang dibawa oleh perluasan
wilayah taklukkan Aleksander Agung. Perluasan wilayah menciptakan realitas kosmopolitan,
sehingga sendi-sendi kehidupan sosial-politik-ekonomi-kultural dengan segenap perangkat
nilai dan keyakinannya ikut mengalami perubahan yang radikal. Kosmopolitanisme
menciptakan krisis identitas, krisis nilai dan krisis budaya, sebagaimana terungkap dalam
kehancuran polis sebagai fondasi dan rujukan hidup setiap warga. Dengan kata lain,
kosmopolitanisme menyadarkan para pemikir Yunani klasik tentang siapa, apa peran,
kedudukan, nilai dan bagaimana manusia harus hidup, bersikap dan menemukan dirinya
dalam relasi dengan sesama, lingkungan dan dewa-dewi. Persoalan antropologis
merupakan karakter utama permenungan para sofis dan Socrates.
c) Entis, epistemoologis, antropologis dan estetis
Permenungan filosofis selanjutnya mewarisi persoalan-persoalan sebelumnya. Persoalan
kosmologis menjadi persoalan mengenai ada itu sendiri: ada tetap dan ada berubah, sebabsebab pengada, substansi dan aksiden, dunia ide dan dunia konkret. Dari persoalan entis ini
lahir distingsi bidang-bidang kajian dan displin ilmu masing-masing yakni fisika dan
metafisika.
Persoalan antropologis sebelumnya terus diperluas dan diperdalam secara rinci dan
skematis dari sekedar tema siapakah manusia kepada bagaimana relasi dan interaksi antar
individu dan individu dengan polis. Maka lahir sebuah pemahaman yang cukup
komprehensif tentang jatidiri manusia sebagai pribadi dan sekaligus anggota masyarakat
(zoon politikon) dan pokok perhatian bertambah menjadi soal etis dan politik.
Hal baru yang muncul pada tahap ini adalah problem espistemologis, logis dan estetis.
Para pemikir Yunani klasik mulai menganalisa proses-proses berpikir, kebenaran dan caracara untuk mencapai kebenaran, pengalaman inderawi dan berpikir benar atau keliru, soal
buruk, baik dan indah. Dengan demikian mulai digagas dan ditetapkan aturan-aturan
berpikir secara benar, bentuk-bentuk logika dengan mana manusia berpikir, menilai dan
memutuskan serta syarat-syarat keindahan. Persoalan filosofis ini mewarnai permenungan
Platon dan Aristoteles bahkan hingga saat ini.
3
Permenungan sesudah Aristoteles mengembangkan secara lebih sistematis tema-tema
yang telah digarap sebelumnya yakni fisika, logika dan moral. Sejalan dengan perubahan
sosial, politik dan kultural yang tengah berlangsung, filsafat sebagai ilmu ikut berubah diri.
Salah satu tema utama yang menjadi pusat perhatian dan permenungan adalah persoalanpersoalan moral. Para pemikir post Aristotelian mencoba menemukan cara-cara untuk
menemukan hidup ideal dan kebahagiaan jiwani. Problem-problem fisika dan logika
diarahkan untuk menciptakan suatu kondisi hidup ideal seorang bijak. Tampak di sini bahwa
filsafat sebagai spekulasi teoretis murni mengalami modifikasi secara internal. Tugas dan
fungsi filsafat adalah bagaimana manusia dapat hidup dalam secara benar dan dalam
kebenaran.
3. Beberapa Periode Filsafat Kuno
Sejarah filsafat Yunani klasik berlangsung dari abad VI SM sampai dengan 529 M; sebuah
sejarah permenungan yang sangat panjang dan sarat dengan kekayaan intelektual yang tiada
terkira nilainya. Hingga saat ini pun segala permenungan filosofis selalu menoleh kepada para
filosof Yunani klasik dan hal ihwal yang telah mereka uraikan. Kajian-kajian filosofis yang
mereka lakukan ternyata mempunyai nilai yang lintas generasi dan mengatasi jaman: selalu
aktual dan secara prinsipil menyentuh intisari dan hakekat ada itu sendiri.
Kelenyapan filsafat Yunani berjalan beriringan dengan kemunculan kristianisme yang
menyodorkan pola berpikir, cakrawala atau visi tentang dunia manusia dan semesta raya dan
titik tolak yang jauh berbeda dan komprehensif. Secara kronologis, penghabisan filsafat Yunani
terjadi pada 529 atas kemauan kaisar Ystinianus, tulen yang menghendaki agar sekolah-sekolah
paganis ditutup, perpustakaan-perpustakaan dimusnahkan dan para pengikutnya diceraiberaikan. Dengan kata lain, segala permenungan filosofis dan ilmiah selalu berada dalam bingkai
iman kristiani dan kepentingan kekaisaran Romawi.
Kita dapat membedakan sejarah pemikiran Yunani klasik dalam beberapa periode berikut
ini .
3
a) Periode naturalistis. Periode ini dicirikan oleh persoalan-persoalan seputar semesta raya
atau problem kosmologis-physis. Adapun para filosof yang masuk dalam periode ini adalah
kelompok ionis, pitagoris, eleatis dan pluralistis.
b) Periode humanistis. Krisis dalam permenungan seputar alam semesta dan ditambah
dengan perubahan multi dimensi menyebabkan pusat perhatian berpaling kepada manusia.
Permenungan tentang manusia dimulai oleh kelompok sofis, tetapi upaya yang lebih
mendalam untuk menemukan hakekat manusia dilakukan oleh Socrates.
c) Periode berikutnya merupakan era penyimpulan. Persoalan mengenai tetap dan berubah,
yang menjadi problem utama para filosof naturalis dan permenungan tentang manusia
menemukan sintesisnya dalam pemikiran Platon dan Aristoteles. Platon menggagas dunia
ide, sedangkan Aristoteles mengemukakan gagasan tentang aktus dan potensi serta sebabsebab ada.
3Giovanni Reale, Storia della Filosofia Antica, vol. I, Milano: Vita e Pensiero, 1997, h. 40-41.
4
d) Periode keempat dicirikan oleh sekolah helenis yang ditandai oleh kemunculan dan
perkembangan tiga sistim utama yakni stoicism, epicurisme dan skeptisisme. Dalam
perkembangan selanjutnya muncul juga sebuah aliran yang disebut ekletisme.
e) Periode terakhir ditandai dengan pertemuan kebudayaan dan permenungan Yunani klasik
dengan kristianisme. Pada periode ini juga platonisme muncul kembali, yang terkenal
dengan sebutan neoplatonisme.
Permenungan Yunani klasik tetap tinggal sebagai warisan pusakan peradaban dunia sampai
kapanpun. Kemunculan kristianisme sama sekali tidak menghapus filsafat Yunani, sebaliknya
menjadikannya sebagai bahan refleksi untuk memperkaya pemahaman mereka tentang iman
kepercayaan akan Yang Absolut dan relasi antar-manusia. Tentu saja dengan bersikap kritis dan
menyaring gagasan-gagasan yang ada, para pemikir Kristen mencoba memadukan
permenungan rasional Yunani klasik dengan wahyu untuk memberikan sebuah fondasi yang
kuat bagi dunia filsafat itu sendiri maupun dunia teologi. Perpaduan keduanya mewarnai
seluruh permenungan filosofis hingga dewasa ini.
BAB II
PARA FILOSOF KOSMOLOGIS
1. Thales
Menurut perkiraan para ahli, Thales lahir di penghujung abad VII (610) SM dan meninggal
dunia sekitar pertengahan abad VI SM. Namun demikian tidak ada data yang pasti mengenai
kapan filosof ini lahir dan hidup. Sedangkan mengenai pemikirannya seputar alam semesta, kita
dapat mengetahui dengan lebih pasti berkat informasi-informasi yang diberikan oleh
Aristoteles. Berikut adalah beberapa hal yang ditulis oleh Aristoteles seputar Thales.
a) Thales adalah pemulai filsafat physis. Dia adalah orang pertama yang menegaskan bahwa
segala sesuatu disebabkan oleh satu-satunya prinsip ada dan prinsip tersebut adalah air 4.
b) Thales mengatakan juga bahwa semesta raya dipenuhi oleh dewa-dewi5.
c) Filosof ini juga mengemukakan bahwa magnet memiliki suatu jiwa, karena mampu
bergerak. Dalam cara pandang demikian, tampak bahwa Thales ingin mengatakan bahwa
jiwa merupakan prinsip gerak dari setiap ada6.
Dalam pengertian Thales, istilah prinsip merujuk pada gagasan asal mula dari segala
sesuatu. Segala sesuatu berasal dari air, hidup oleh air dan akan kembali kepada air. Air
merupakan sebuah realitas yang stabil, tetap dan berada sebagaimana adanya meskipun telah
melalui fase-fase perkembangan dan perubahan. Air merupakan sebuah prinsip eksistensial,
merujuk pada realitas pertama dan awali serta memiliki peran sebagai dasar atau fondasi dan
roh dari setiap ada.
4Aristoteles, Metafisica, A 3, 983 b, 6.
5Id., Anima, A 5, 411 a, 8.
6Ibid., A 2, 405 a, 19.
5
Bagaimana Thales sampai pada kesimpulan bahwa air adalah sebab dari segala sesuatu?
Seperti diungkapkan oleh Aristoteles, pernyataan Thales bertitik tolak dari kenyataan bahwa
segala sesuatu mengambil sumber hidupnya dari kelembaban. “Thales, penggagas filsafat jenis
ini [alam] mengatakan bahwa prinsip segala sesuatu adalah air (karena itu menegaskan bahwa
bumi ini terapung di atas air) …” 7. Kesimpulan demikian didasarkan pada pengamatan empiris
atas realitas dan pengalaman hidup tentang keberadaan dan nilai penting air bagi segenap
makhluk hidup.
Gagasan Thales mengenai air sebagai prinsip dari segala sesuatu merupakan sebuah karya
ratio, logos murni. Tiada lagi pendekatan terhadap semesta raya dengan menggunakan bahasa
dan gambaran yang bersifat imaginatif, puitis dan mitis. Thales langsung menusuk pada jantung
persoalan itu sendiri dan mencoba menjelaskan serta menemukan jawaban dari realitas
empiris semata. Thales telah membuka era baru: era logos, masa pemikiran rasional.
2. Anaximandros
Para ahli filsafat hampir semuanya sependapat bahwa Anaximandros adalah murid Thales.
Anaximandros diperkirakan berusia 64 tahun pada tahun kedua dari Olimpiade LVIII (547-546
SM) dan meninggal beberapa waktu sesudah even tersebut. Jika perkiraan ini benar, maka
Anaximandros lahir pada 611 SM. Berdasarkan kesaksian kuno, Anaximandros menulis sebuah
karya yang diberi judul Pherì Physeos (Tentang Alam) dan peradaban dunia masih memiliki satu
fragmen dari buku tersebut. Itulah tulisan filosofis pertama dalam sejarah pemikiran filsafat
Yunani dan dunia Barat8.
Anaximandros memperkenalkan istilah arché untuk menjelaskan realitas pertama dan
terakhir dari segala sesuatu (physis). Namun demikian, Anaximandros mengambil jarak dari
sang guru, Thales, dalam menemukan dan menjelaskan asal usul semesta raya.
Atas kesaksian Teofrastus dalam Opini-opini tentang Fisikawan fragmen kedua, kita tahu
bahwa “Anaximandros dari Miletus menegaskan bahwa prinsip dan unsur dari segala sesuatu
adalah apeiron dan dia adalah orang pertama yang memperkenalkan istilah prinsip dan
mengatakan bahwa prinsip dari segala yang ada bukanlah air maupun unsur-unsur lainnya,
melainkan sebuah physis atau hakekat lain dari mana muncul langit dan semesta yang termuat
di dalamnya”. Jadi, menurut Anaximandros, prinsip dari segala sesuatu adalah apeiron,
infinitus, ketiada-berhinggaan, ketidakterbatasan.
Apa arti apeiron? Dari terminologinya, orang dapat mengenal bahwa istilah ini merujuk
pada sesuatu yang bukan peras. Peras berarti tanpa batasan dan ketertentuan baik pada
tataran eksternal maupun internal. Dalam istilah apeiron tersebut terkandung makna ketiadaberhinggaan dalam pengertian kwantitas (tempat, keluasan) maupun ketidakterbatasan
kwalitas. Kedua muatan makna di atas didasarkan pada persepsi orang Yunani klasik bahwa
langit merupakan dunia atas, semesta raya, sehingga apeiron mengarah pada dimensi spasial
7Id., Metafisica, A 3, 983 b, 9.
8Giovanni Reale, Storia della Filosofia Antica, I, Milano: Vita e Pensiero, 1997, h. 59 pada catatan kaki no. 1.
6
dan semesta raya itu mempunyai sekian banyak muatan yang kerap kali secara kwalitatif tidak
tertentu misalkan, air dan udara.
Gagasan Anaximandros mengenai apeiron merujuk pada gagasan yang tiada berawal
maupun berakhir, bukan dilahirkan dan bersifat kekal. Apeiron merupakan realitas tertinggi dari
segala sesuatu, sebab pengadanya. Dengan demikian, tampak logis bila apeiron adalah tiada
berhingga dan tak tertentu. Dalam artian tertentu, apeiron mengandung makna secara implisit
mengenai sesuatu yang abadi dan selalu muda, karena tidak-dapat-binasa dan tidak-dapathancur. Apeiron adalah τò θεĩoν, divinitas; ia melingkupi dan merangkum, menyangga dan
mengatur segala yang ada.
Bagaimana segala sesuatu lahir dari apeiron? Kelahiran segala yang ada disebabkan oleh
pemisahan dari unsur yang berlawanan. Panas melepaskan diri dari dingin, kering memisahkan
diri dari lembab, hidup membebaskan diri dari mati. Berdasarkan kesaksian Aristoteles dalam
Fisika, Anaximandros menguraikan demikian bahwa dari mana segala sesuatu bisa lahir, di
mana terjadi pemisahan seturut keniscayaan; sesungguhnya segala sesuatu menanggung
hukuman dan balasan dari ketidakadilan, seturut tata aturan waktu 9. Dari pemahaman ini,
orang dapat melihat bahwa yang dimaksud dengan ketidakadilan adalah pelampauan atas
unsur oposisional dan sekaligus kelahiran tersebut. Sebab ketika sesuatu muncul, kemunculan
demikian mengandung makna perlawanan terhadap yang lain. Sedangkan waktu dipahami
sebagai hakim yang menandakan batasan dan juga akhir dari dominasi terhadap yang lain dan
sebaliknya. Jadi ada dua ketidakadilan yakni, kelahiran di dunia melalui pemisahan diri dari
kesatuan dan kedua sesudah pemisahan itu, kedua unsur tersebut memposisikan diri sebagai
lawan atau musuh.
3. Anaximenes
Menurut para ahli sejarah, Anaximenes lahir di Miletus pada awal abad ke IV SM dan
meninggal pada akhir abad tersebut pula. Yang pasti, Anaximenes merupakan murid dan
sekaligus penerus Anaximandros.
Namun Anaximenes mengambil posisi yang berseberangan dengan sang guru berkenaan
dengan prinsip dari segala sesuatu. Menurutnya, prinsip dan realitas pertama bukanlah
apeiron seperti yang diajarkan oleh Anaximandros, melainkan udara, udara tak-berhingga.
Segala sesuatu berasal dari udara dan turunannya.
Ada apa di balik pertentangan pendapat ini? Kesulitan utama yang mendorong Anaximenes
menemukan prinsip lain adalah kenyataan bahwa pendapat sang maestro tentang cara unsurunsur yang saling bertentangan memunculkan segala sesuatu: bagaimana pemisahan itu
berlangsung? Teofrastos mengatakan bahwa “sama seperti jiwa kita adalah udara, yang
menyangga dan menata kita, demikian pula nafas dan udara melingkupi semesta seluruhnya” 10.
Pendapat ini timbul dari pengamatan atas eksistensi makhluk hidup termasuk manusia itu
sendiri yang hidup dari nafas dan berakhir dalam ketiadaan nafas. Udara merupakan syarat
9Aristoteles, Fisika, A 4, 187 a, 20.
10 Teofrastus, Opini-opini para Fisikawan, fr. 2.
7
mutlak bagi semua makhluk hidup dan semasa masih bernafas, segala makhluk masih
termasuk dalam kategori hidup.
Prinsip dan realitas pertama dalam gagasan Anaximenes berciri determinatif. Determinasi
mengandaikan dinamika dan gerak itu sendiri. Segala sesuatu lahir dari udara lewat dua proses
berikut: a) proses perenggangan dan b) proses pemadatan. Perenggangan menjadi asal usul
api, sedangkan pemadatan memunculkan air dan tanah. Dari kedua prose situ, terlihat bahwa
Anaximenen berupaya juga menjelaskan kejadian-kejadian alam dan memberikan solusi yang
rasional. Hujan turun dari langit dan hujan adalah air, lalu muncul petir dan kilat yang
merupakan ungkapan lain dari api dan dari bumi/tanah muncul asap dan uap yang bergerak
naik. Udara berciri kasat mata dan tercerapi hanya ketika terdeferensiasi menjadi dingin, panas,
kering, lembab dan bergerak (dalam rupa angin).
Ciri kasat mata (invisibilis) memperlihatkan karakter ketidakberhinggaan. Udara adalah
Infinitus itu sendiri dan infinitus dalam pengertian ini merujuk pada karakter ilahi dan dewani.
Udara adalah Dewa, Allah, Asal muasal dari segala sesuatu. Berberapa pemikir kerap melihat
bahwa solusi Anaximenes mengenai udara sebagai asal muasal, prinsip pengada dan realitas
pertama merupakan sebuah kemunduran dibandingkan dengan solusi yang diberikan oleh
Anaximandros. Anggapan demikian bisa diterima jika titik tolaknya dikaitkan dengan gagasan
mengenai Allah dan prinsip-prinsip metafisik sesudahnya. Namun, jika ditinjau dari segi
permenungan ilmiah dan rasional, solusi Anaximenes menunjukkan sebuah perkembangan
berarti, di mana titik tolaknya berpangkal pada pengamatan dan pengalaman empiris atas
kehakikian dari suatu unsur bagi hidup manusia. Anaximenes dalam artian tertentu merupakan
peletak dasar empirisme klasik dan pioneer dari metode pengamatan empiris.
4. Heraklitos
Menurut kesaksian kronografis Apollodoros, Heraklitos hidup pada Olympiade ke 69. Kalau
kesaksian ini benar, itu berarti bahwa Heraklitos lahir pada sekitar tahun 504-501 SM di Efesus.
Namun hingga saat ini, kapan Heraklitos lahir dan wafat sulit sekali dipastikan dengan tepat;
semuanya bersifat perkiraan.
Ketiga filosof sebelumnya berasal dari Miletus dan karena itu, dalam manual filsafat kerap
disebut para pemikir Miletus. Para filosof Miletus berkutat hanya seputar persoalan tentang
prinsip dari segala sesuatu dan genesis alam semesta yang berawal dari suatu prinsip. Gagasan
dasar yang dapat dipetik dari permenungan para filosof Miletus adalah doktrin mengenai
dinamisme universal dari segala sesuatu yang muncul dan lenyap. Dinamisme universal ini
bersumber dari karakter dinamis secara abadi dari prinsip tersebut.
Kekurangan dasar dari para filosof Miletus adalah bahwa permenungan mereka belum
sampai pada tematika mengenai persoalan tetap dan berubah dan konsekwensi turunannya.
Nah, Heraklitos merupakan orang pertama yang membawa persoalan-persoalan kosmologis
sebelumnya pada suatu status baru, dalam artian bahwa persoalan mengenai prinsip dan
genesis alam semesta dipertajam, diperdalam dan ditematiskan.
8
Heraklitos berpendapat bahwa realitas adalah adalah mobilitas abadi. Tiada suatu hal pun
bersifat tetap, stabil dan tak bergeming. Semuanya terus menerus berubah, bergerak dan
berganti tanpa henti dan pengecualian. Siapa yang terjun ke sungai, selalu dialiri oleh air yang
baru. Orang tidak dapat terjun dua kali ke sungai yang sama dan tiada seorang pun dapat
menyentuh dua kali sebuah benda mati dalam status yang sama, tetapi akibat kesolidan dan
kecepatan perubahan, sesuatu tercerai berai dan terpadu, datang dan pergi. Perasaan bahwa
kita melihat sungai yang sama merupakan suatu tampilan semata, sebab dalam kenyataannya,
air yang datang selalu berbeda. Begitulah manusia tidak bisa menemukan suatu kepastian dan
pegangan, karena untuk mencapainya ia harus menjadi sesuatu yang lain daripada
sebelumnya. Karena itu, tiada yang tetap; semua menjadi, segalanya mengalir (πάντά ρεί).
Realitas menjadi dicirikan oleh peralihan segala sesuatu secara berkelanjutan dari
pertentangan yang satu ke pertentangan yang lain. Yang dingin menjadi panas dan yang panas
menjadi dingin, yang lembab menjadi kering dan yang kering menjadi lembab, orang muda
menjadi tua dan dari hidup menjadi mati. Semuanya berubah, bergerak dan beralih dari sudut
yang satu ke sudut yang lain. Dengan demikian, realitas menjadi merupakan suatu konflik atau
pertentangan dari hal-hal yang berlawanan dan pertentangan itu bersifat abadi.
Fondasi dari segala realitas adalah perang. Namun perang memuat di dalam dirinya damai
dan harmoni. Realitas menjadi secara universal dan mengalir secara abadi dari segala sesuatu
menyingkap diri sekaligus sebagai harmoni dan sintesis dari konflik dan pertentangan dari
segala hal. Menjadi merupakan proses saling berdamai di antara mereka yang terlibat
peperangan dan aktivitas berdamai dari antara orang-orang yang saling bermusuhan; dari
perang dan konflik, dari perbedaan dan penolakan muncul harmoni yang paling indah. Jadi,
semua lahir dari pertentangan.
Pertentangan antara hal-hal yang saling berlawanan selanjutnya memunculkan kesadaran
mengenai makna kepada masing-masing pihak. Begitulah, penyakit membuat sehat terasa
nikmat, rasa lapar menyebabkan kepuasan terasa manis dan letih lesu membuat istirahat
terasa nyaman.
Kesimpulannya, bila segala sesuatu memiliki realitas dalam menjadi semata dan menjadi
dilihat sebagai ciri dasar dari segala yang ada lewat konflik, perang dan pertentangan, prinsip
yang menjelaskan seluruh realitas berada dalam sintesis dari segala pertentangan. Nah, sintesis
itu adalah Yang Ilahi. Dewa adalah siang-malam, dingin-panas, kenyang-lapar, perang-damai,
sehat-sakit, tesis-antitesis.
Setelah menemukan hakekat dari segala sesuatu dalam realitas menjadi, lalu apa prinsip
dari segala sesuatu? Apa peny(s)ebab dari segala yang ada dan unsur dasarnya? Heraklitos
mengatakan bahwa prinsip, sebab dan unsur dasar ada-ada adalah api. Segala sesuatu adalah
transformasi dari api semata dan transformasi dalam pengertian ini mesti dilihat sebagai suatu
pertukaran, perubahan, peralihan. Pertukaran dan perubahan menjadi semacam tata aturan
yang ditimbulkan oleh api hidup yang abadi, yang seturut derajad tertentu padam dan ukuran
tertentu menyala.
Dasar Heraklitos memilih api sebagai prinsip dan sebab ada terletak pada kenyataan bahwa
api mengungkapkan karakter perubahan abadi, konflik, pertentangan dan harmoni secara
9
paradimatis. Api adalah gerak abadi, hidup yang memuat kemampuan mematikan dengan
membakar, perubahan kontinyu menjadi asap dan abu, kepuasan dan kebutuhan. Dewa, Allah
Heraklitos adalah api: kilat, adalah api dewani; kilat memerintah setiap ada. Begitu mencapai
sesuatu, api akan mengadili dan menghukum segala sesuatu. Allah adalah siang-malam, musim
panas dan musim dingin, peran dan damai, kepuasan dan kelaparan. Allah merupakan harmoni
dari pertentangan, kesatuan dari oposisi.
5. Pitagorisme
Pitagoras lahir di Samo sekitar tahun 532/531 SM dan meninggal mungkin pada awal abad
ke empat. Namun, sulit sekali memastikan data yang persis mengenai kapan dia lahir dan
wafat. Yang pasti, Pitagoras berpindah dari Samo ke Italia, khususnya di kota Crotone. Di kota
ini, ia mendirikan sebuah sekolah dan tidak berapa lama sekolah mengalami sukses besar serta
mempunyai pengaruh kuat termasuk dalam bidang politik. Keadaan ini menimbulkan iri hati
dan konflik kekerasan oleh kaum oposisi. Sekolah diserbu dan dihancurkan serta beberapa guru
terbunuh, sedangkan Pitagoras sendiri melarikan di ke Locri, lalu ke Taranto dan terakhir di
Metaponto, tempat ia menghembuskan nafat terakhir.
Dengan Pitagorisme kita memiliki sebuah pola pemikiran yang sungguh-sungguh baru.
Adapun ciri dasar dari pemikiran Pitagoras adalah sebuah visi baru tentang hidup yang berciri
mistik dan asketis. Dalam pembahasan ini, kita akan melihat hanya garis besar pemikiran
pitagorisme dan bukan orang-perorangan. Alasannya adalah sebagai berikut.
a) Mustahil membuat sebuah pembedaan tegas antara Pitagoras dan murid-muridnya.
Alasannya, Pitagoras tidak menulis apapun, yang memungkinkan orang mengetahui secara
tepat dan rinci doktrin-doktrinnya. Adapun karya berjudul “Hidup Pitagoras” merupakan
suatu karangan yang melulu rekaan, mengingat oleh para muridnya, Pitagoras telah
diangkat ke tataran extra manusia.
b) Sekolah yang didirikan Pitagoras di Italia selatan berada di luar konteks dan intensi untuk
mengadakan penelitian ilmiah. Pitagoras bermaksud mempraktekkan suatu bentuk hidup
tertentu dan mewujudkan kesejahteraan bersaman. Dalam konteks ini ilmu dan
pengetahuan menjadi sarana untuk membantu dan mempermudah praktek hidup
demikian. Lebih dari pada itu, sekolah Pitagoras lebih mirip sebagai suatu perkumpulan
(confraternitas) yang berbau religius, semacam sekte keagamaan daripada sebuah sekolah
yang berorientasi pada pengetahuan.
c) Adapun doktrin sekolah Pitagorian dianggap sebagai sebuah rahasia. Untuk dapat ambil
bagian dalam confraternitas ini, orang harus terlebih dahulu menempuh tahap-tahap
inisiasi. Karakter rahasia semacam ini menghalangi penyebarluasan doktrin-doktrin dan
pengetahuan tentang hakekat dan pola hidup pitagorian.
d) Pitagorian pertama yang mempublikasikan buah permenungannya adalah Filolao (hidup
sejaman dengan Socrates, karena terekam dalam dialog Platon di Fedon 61 e). Hendaknya
perlu diperhatikan konteks waktu, dalam artian bahwa secara historis doktrin-doktrin
pitagorian juga mengalami perkembangan dan perubahan, sehingga sangat sulit
10
memastikan apakah doktrin-doktrin yang dipaparkan Filolao termasuk pada generasi
pertama atau kedua. Karena itu, lebih baik melihatnya bukan secara sepotong-sepotong.
e) Jika Filolao hidup sejaman dengan Sokrates, tentu saja doktrin-doktrin pitagorian telah
diperkaya oleh banyak hal, sehingga tidak mengherankan bila pengandaian-pengandaian
dan dasar-dasar argumentasi secara substansial bersifat homogen.
f) Aristoteles sendiri, sebagai seorang pemikir besar dan berwawasan luas sama sekali buta
terhadap para pemikir pitagorian orang per orang. Mereka hanya disebut secara bersama
dan global dengan istilah “yang disebut kaum pitagorian”.
Doktrin Pitagorisme
a) Bilangan sebagai Prinsip
Kita telah melihat bahwa bagi para pitagorian, ilmu pengetahuan bukanlah tujuan
melainkan sarana untuk mewujudkan suatu bentuk hidup tertentu. Karena itu, di sini ada
dua hal yang perlu dihadirkan yakni, gagasan pitagorisme tentang ilmu dan praksis hidup
yang diupayakan. Di sini kita akan mempresentasikan doktrin pitagorisme tentang ilmu
pengetahuan terlebih dahulu, kemudian dibahas praksis hidupnya.
Menurut pitagorisme, prinsip dari segala sesuatu, realitas dasar dan sebab dari semua
yang ada bukan terletak pada udara, apeiron maupun api sebagaimana diutarakan oleh
para filosof kosmologis sebelumnya. Prinsip dan realitas hakiki adalah bilangan dan unsurunsur hakiki bilangan. Aristoteles telah menggarisbawahi keyakinan pitagorisme tersebut
dengan mengatakan bahwa “para pemikir pitagorian merupakan orang pertama yang
berkecimpung dalam bidang matematika dan memajukan-nya. Dari pendalaman di bidang
ini, mereka yakin bahwa prinsip-prinsip matematis merupakan prinsip-prinsip dari seluruh
ada. Dan karena dalam matematika, bilangan-bilangan secara hakiki merupakan prinsipprinsip pertama dan mereka beranggapan sungguh bahwa mereka melihat dalam bilanganbilangan banyak kemiripan dengan segala sesuatu lebih daripada dalam api, tanah maupun
air. [...] Mereka juga melihat bahwa not-not dan akord-akord musik memakai bilangan; dan
karena itu mereka bersikeras bahwa semua hal dalam realitas ini dibuat seturut gambaran
bilangan-bilangan dan bilangan-bilangan merupakan realitas pertama dan berpendapat
bahwa unsur-unsur bilangan merupakan unsur-unsur dari segala sesuatu. Semesta raya
seluruhnya adalah harmoni dan bilangan”11.
Bagi para pemikir pitagorian, segala sesuatu dapat diasalkan dan diterjemahkan ke
dalam bilangan-bilangan; semua realitas ada adalah cetusan, ungkapan, gambaran
bilangan-bilangan. Suara dapat dibeda-bedakan seturut bobot ketukan dan ukuran dari
suatu benda. Dalam lingkup semesta raya, banyak fenomen alam yang dinyatakan dalam
bilangan misalnya, tahun, bulan, minggu, hari, musim dan waktu. Jadi, bilangan merupakan
prinsip dari segala yang ada.
Kiranya harus dicatat dan digarisbawahi mengenai perbedaan konsep dan konsepsi
tentang bilangan antara para pemikir klasik khususnya kaum pitagorian dan para pemikir
modern. Bagi Aristoteles dan kita sekarang ini, bilangan merupakan hasil kegiatan pikiran
11Aristoteles, Metafisica, A 5, 985 b, 23-986 a 3.
11
manusia, buah abstraksi, sehingga dikategorikan sebagai ada nalarian (ens rationis).
Sedang para pemikir pra Aristoteles beranggapan bahwa bilangan merupakan hal yang riil,
bahkan lebih riil dari segala sesuatu; bilangan bagi mereka dipandang sebagai prinsip dasar
dari semua realitas ada.
Pertanyaan penting adalah apa yang dimaksud dengan unsur-unsur bilangan?
Pitagorisme berpendapat bahwa bilangan dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis:
bilangan genap dan bilangan ganjil, kecuali angka 1 yang bisa mendatangkan bilangan
genap bila ditambahkan pada bilangan ganjil maupun menghasilkan ganjil bila ditambahkan
pada bilangan genap. Namun demikian, bilangan genap dan ganjil belum menjadi unsur
tertinggi. Menurut Filolao dan para pitagorian, prinsip tertinggi dari semua ada adalah
ketiadaberhinggaan, ketidak-terbatasan, infinitus dan batas atau pembatas dan akhir. Nah,
simpul dari ketidakberhinggaan dan kehinggaan adalah bilangan itu sendiri. Dengan begitu,
bilangan merupakan ketiadaberhinggaan dan keberhinggaan, tak-tentu dan tertentu.
Bilangan genap merupakan ungkapan unsur-unsur tak-tentu dan bilangan ganjil menjadi
ekspresi elemen-elemen tertentu. Genap dan ganjil sama dengan tak-tentu dan tertentu.
Pengelompok-an ini didasarkan pada pemahaman khas pitagorisme yang melihat bilangan
sebagai keseluruhan titik yang tertera secara geometris. Baiklah kita lihat contoh-contoh
berikut:
.
.
.
.
.
.
Dst.
.
.
.
.
.
.
Dari pengelompokan ini tampak bahwa pembagian bilangan genap manapun tidak akan
mendapatkan batas, melainkan mengarah pada ketakberhinggaan.
.
. .
.
.
. . .
.
.
.
.
dst.
. . .
Sebaliknya, dalam s etiap bilangan ganjil, keterbagian menemukan titik berhenti dalam
kesatuan, yang membuatnya menjadi bilangan dalam artian sebenarnya. Dengan kata lain,
ketika bilangan ganjil dibagi dua, akan tetap ada satu kesatuan di tengahnya, tetapi,
bilamana bilangan genap dibagi dua, tersisa senantiasa ruang kosong tanpa ketertentuan
dan tanpa bilangan. Hal ini merupakan suatu hal yang cacat dan belum sempurna.
Bilangan bagi pitagorisme dipandang sebagai suatu keseluruhan dari realitas, titik, figur.
Titik dianggap sebagai hal yang menduduki suatu tempat, sebagai sebuah massa. Dalam
gagasan pitagorian, semesta raya memperoleh makna baru yakni terdiri atas bilangan,
dengan bilangan dan seturut bilangan pula baik dalam totalitas maupun dalam setiap
bagian dan masing-masing hal. Karena itu, semesta yang didominasi oleh bilangan disebut
12
oleh pitagorisme sebagai kosmos, yang berarti keteraturan. Pitagorisme merupakan aliran
yang menggunakan kosmos dalam pengertian ini.
Gagasan mengenai keteraturan menandakan sebuah babak baru dalam pemahaman
tentang semesta. Tiada lagi kekuatan kegelapan, wilayah tak bertuan, kekuatan tak dikenal.
Semuanya adalah kumpulan bilangan seturut tata aturan tertentu dan keteraturan memuat
didalamnya rasionalitas, kemampuan untuk dikenal dan ditelisik. Dengan demikian,
dominasi bilangan berarti dominasi rasionalitas dan kebenaran.
b) Manusia, Jiwa dan Nasibnya
Pitagoras bukanlan orang pertama yang memperkenalkan istilah metempsikosi atau
suatu doktrin mengenai keterpaksaan jiwa untuk bereinkarnasi diri sekian banyak kali
dalam berbagai rupa makhluk hidup (manusia maupun hewan-hewan). Pitagoras
mengambil doktrin ini dari orfisme dan selanjutnya menyempurnakannya. Reinkarnasi yang
berulang-ulang itu merupakan sebuah jalan untuk memulihkan dosa asal yang telah
diperbuah oleh setiap orang selama hidupnya.
Pitagorisme, sama seperti orfisme, berkeyakinan bahwa jiwa adalah immortal, telah ada
sebelum badan dan akan terus berada sesudah bereinkarnasi dalam badan. Kehadiran jiwa
dalam badan merupakan suatu hukuman dan sekaligus penebusan atas dosa asal yang
telah orang lakukan. Jiwa dan badan bukanlah pasangan kodrati sejak semula, karena
kodrat jiwa adalah ilahi dan karena itu abadi, sementara badan secara kodrati dapat-binasa
dan dapat-mati. Badan adalah penjara jiwa.
Manusia harus hidup bukan dalam hubungannya dengan badan, melainkan untuk
kepentingan jiwanya. Artinya setiap orang mesti bertahan hidup dan hidup untuk
melepaskan dan membebaskan diri dari ikatan dengan badan. Dengan kata lain, hidup
merupakan suatu momen decisif bagi manusia untuk memurnikan diri, menjadikan diri suci
dan murni kembali, seperti pada status sebelum masuk dan terkurung dalam badan.
Jalan pemurnian diri ala pitagorisme berbeda dari kebiasaan dan tradisi-tradisi religius
masyarakat pada umumnya. Untuk memurnikan diri tiada lagi kurban dan perayaan liturgis
serta aneka ritual di kuil-kuil; tidak perlu lagi berseru-seru kepada dewa-dewi. Jalan
pemurnian pitagorian adalah pengetahuan: sebuah kultus terhadap rasionalitas dan
pengetahuan. Perlu diingat bahwa bagi pitagorisme, pengetahuan merupakan misteri
teragung dan tertinggi dalam skala hidup manusia. Pengetahuan adalah jalan utama
pembebasan jiwa dari kurungan badan dan sekaligus pengantar pada status keabadian.
Dalam rangka memiliki akses pada pengetahuan, para pengikut pitagorisme harus
memiliki suatu seni hidup yang penuh dengan berbagai macam aturan baik medis maupun
asketis seputar pantang dan puasa (matiraga). Matiraga merupakan sarana untuk membuat
tubuh menjadi jinak, kehilangan taji-taji kejahatannya. Adapun praktek pemurnian jiwa
mula-mula dengan mempelajari musik (kontak pertama dengan bilangan dan sistim
aritmatika dan geometri). Ketika diterima sebagai anggota, para pengikut pitagorisme mulamula harus diam dan mendengar saja. Sesudah belajar diam dan mendengar, mereka
13
diijinkan bertanya seputar musik, arimatika dan geometri. Pada tahap akhir, mereka belajar
alam semesta seluruhnya.
Selama berlangsung proses pengajaran, maestro berbicara dari tempat tersembunyi.
Praktek ini didasarkan pada anggapan bahwa pengetahuan an sich terpisah dari orang yang
mengajarkannya. Rumusan kata yang diucapkan oleh maestro adalah ipse dixit, ia telah
mengatakannya (sang guru, Pitagoras telah mengatakannya). Ipse dixit merupakan suatu
ekspresi tentang otoritas tertinggi.
Karakter misteri dinyatakan dalam sikap diam para pengikut pitagorisme. Tiada seorang
pun boleh menyebarluaskan pitagorisme secara publik terlepas dari komunitas. Semua
doktrin dan praktek hidup selalu dirahasiakan dari orang biasa; siapa yang melanggar akan
dihukum. Jadi, pitagorisme merayakan misteri suci pengetahuan.
Dalam sejarah peradaban, para pengikut pitagorisme merupakan kelompok pertama
yang menjalankan sebuah pola hidup yang sangat mengagungkan pengetahuan. Karena
devosi dan adorasi terhadap pengetahuan, mereka dianggap sebagai pencetus bios
theoretikos, hidup kontemplatif mencari kebenaran. Mereka berkontemplasi mencari
kebenaran untuk pemurnian diri dan meraih kesempurnaan dewani. Itulah hidup
pitagorian.
Xenophanes dan Aliran Elea
6. Xenophanes
Xenophaness lahir di Kolophon sekitar tahun 570 SM. Sekitar 545 SM ia terpaksa
mengungsi ke Jonia dan dari tempat ini ke Sicilia serta daerah Italia meridional lainnya. Namun,
semua data kelahiran tersebut tetap tinggal sebagai perkiraan alias dugaan semata.
a) Kritik atas Agama Tradisional Yunani
Tema utama yang digagas Xenophanes adalah kritik terhadap konsepsi tentang dewadewi yang telah berakar dalam kepercayaan Yunani dan terutama ditegaskan secara
paragdimatis oleh Homer dan Esiodos. Xenophanes mengungkapkan sekian banyak
kekeliruan prinsipil dalam pemahaman khalayak tentang dewa-dewi dan dari kekeliruan
tersebut muncul sekian banyak gambaran-gambaran dan ungkapan-ungkapan yang terasa
janggal. Nah, kekeliruan dasar itu terletak pada antropomorfisme. Artinya, pendapat dan
keyakinan umum menggambarkan dewa-dewi memiliki rupa, bentuk, perasaan dan
kecenderungan-kecenderungan yang sama dengan manusia. Perbedaan antara dewa-dewi
dan manusia hanya terletak pada kwantitas dan kwalitas semata.
Xenophanes berusaha mengubah gambaran dan keyakinan tersebut dengan
menegaskan bahwa tiada kesamaan antara dewa-dewi dan manusia, apa lagi sampai
mempunyai kebiasaan dan kemampuan untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk dan
jahat sebagaimana diyakini oleh kepercayaan publik. Xenophanes menolak juga gambaran
homerian yang mengatakan bahwa dewa-dewi bergerak dan pergi ke dari satu tempat ke
tempat lain seperti seorang petualang. Ditolak juga keyakinan bahwa umum yang
14
mengidentikkan fenomen-fenomen langit dan bumi dengan aneka macam divinitas,
sebaliknya Xenophanes menganggapnya sebagai fenomen alam semata. Contohnya,
khalayak ramai yakin bahwa lembayung adalah dewi Iris. Filosof kita ini mengatakan bahwa
lembayung merupakan kombinasi dari awan gemawan.
b) Allah dan Keilahian
Lalu siapakah Allah menurut Xenophanes? Allah adalah Dia yang memiliki kekuasaan
lebih tinggi daripada dewa-dewi dan manusia. Namun demikian, ide Xenophanes ini mesti
dipahami dengan tepat; gambaran Allah yang dia maksudkan tentu berbeda daripada
gambaran yang hidup dalam kepercayaan agama-agama wahyu. Allah Xenophanes adalah
Allah-kosmos yang mengakui adanya sekian banyak dewa-dewi dan makhluk-makhluk ilahi
lainnya. Dewa-kosmos itu selalu berada di tempatnya. Dia melihat, mendengar dan berpikir
tapi bukan dalam dimensi manusia, melainkan dimensi kosmologis.
Karena itu, beberapa penafsiran yang mengatakan bahwa Xenophanes berbicara tentang
Allah yang satu dan sama (monoteisme) merupakan sebuah pendapat yang kurang
mempertimbangkan alam kepercayaan Yunani klasik pada umumnya dan bersifat
anakronistis. Yang pasti, gambarannya tentang Allah memang berbeda dari pendapat
umum masa itu yang antropomorfistis dan berbeda pula dari keyakinan Yahudi dan Kristiani
mengenai ketunggalan dan kemahakuasaannya sebagai sang Pencipta.
c) Kosmologi
Mengenai prinsip kosmologis, Xenophanes tidak memiliki suatu kepastian pendapat. Di
satu sisi ia melihat bahwa tanah adalah prinsip dari segala sesuatu, “semua lahir dari tanah
dan akan berakhir menjadi tanah”, di sisi lain, ia menyebut tanah dan air sebagai asal
muasalnya: “segala sesuatu yang tumbuh dan berkembang adalah (dari) tanah dan air”.
Tampaknya, di balik gagasan tentang air dan tanah, Xenophanes bermaksud menjelaskan
makhluk hidup di semesta raya dan bukan keseluruhan ada. Air dan tanah sebagai prinsip
lebih merujuk pada konsepsi Gaia, yaitu sebagai Dewa-Bumi. Pengertian dan penjelasan
Xenophanes tentang prinsip dari segala sesuatu, meskipun agak kabur, tetap
memperlihatkan suatu perubahan cara pikir dan wawasan baru tentang semesta raya.
Walaupun masih tetap mempertahankan makna religius, perlahan-lahan penjelasan
rasional semakin mendapat tempat. Logos sedang menempatkan diri sebagai paradigma
utama dalam memahami alam semesta.
7. Parmenides
Parmenides lahir di kota Elea di daerah Italia Selatan, yang masa itu berada dalam wilayah
kekuasaan imperium Yunani pada awal abad VI (515?) SM dan wafat pada pertengahan abad IV
SM. Di kota kelahirannya ia mendirikan sebuah sekolah yang terkenal dengan sebutan “Sekolah
Elea” dan sekolah ini mempunyai pengaruh besar dan luas dalam alam pemikiran Yunani klasik.
15
Secara filosofis, ada yang mengatakan bahwa pada permulaan Parmenides mendapat
pengajaran dari seorang pitagorian bernama Haminias dan hal ini ditunjukkan lewat puisi
berjudul “Tentang Alam” yang sarat dengan semangat religius dan mistik.
Dari sudut pemikiran, Parmenides merupakan seorang pembaharu radikal dan sekaligus
revolusioner pada era pra-sokratesan. Artinya, persoalan seputar kosmos atau physis telah
dilampaui dan pusat permenungan di fokuskan pada realitas itu sendiri. Tiada lagi rujukan pada
sesuatu yang sepotong-sepotong atau anasir-anasir tertentu. Persoalan seputar prinsip-prinsip
dari segala sesuatu yang sebelumnya begitu menarik perhatian, oleh Parmenides
ditransformasikan menjadi persoalan mengenai ada. Parmenides adalah pemulai ontologi
dalam pengertian yang sebenarnya.
Tiga jalan permenungan Parmenidean
Berkaitan dengan metode permenungan, Parmenides memperkenalkan tiga jalan atau
kemungkinan. Kemungkinan pertama di sebuah sebagai jalan kebenaran absolut. Jalan kedua
dinamakan dengan jalan kekeliruan. Terakhir, jalan ketiga adalah jalan plausibilitas panca
indera (doxa). Berikut uraian singkat mengenai apa arti ketiga jalan yang dimaksud.
a) Jalan Kebenaran Absolut
Prinsip utama pemikiran parmedean bertumpu pada kebenaran ontologis: ada adalah
ada dan tidak dapat tidak ada; tidak ada adalah tidak ada dan mustahil dapat ada. Prinsip
ontologis ini secara jelas ingin mengatakan bahwa ada diterima dan diakui, sementara tidak
ada disangkal. Menyangkal ada dan menerima tidak ada merupakan sebuah kekeliruan
absolut. Jadi, kebenaran terletak pada pengakuan mengenai ada dan penyangkalan
terhadap tidak ada. (Bdk. Fragmen 2, 6, 8).
Ada dan tidak ada dalam permenungan parmenidean mempunyai makna utuh dan
univoc. Artinya, ada merupakan positif murni dan tidak ada bermakna negatif semata
dalam totalitas masing-masing. Tiada kemungkinan bagi masing-masing untuk memuat
salah satunya di dalam dirinya. Dalam kaitannya dengan gerak atau aktivitas pemikiran, ada
merupakan satu-satunya hal yang dapat dipikirkan dan diungkapkan. Berpikir berarti
berpikir tentang ada. Ada dan berpikir saling bertautan dan mengandaikan: tiada aktivitas
pikiran tanpa ada dan tiada ada yang terlepas dari pikiran. Sementara itu, tidak ada
mustahil dipikirkan dan diungkapkan: tiada satu akses pun mampu menembus ketiadaan.
Ketiadaan adalah ketiadaan dan ketiadaan berada di luar jangkauan pikiran.
Para penafsir kemudian menyimpulkan dalam prinsip ontologis parmenidean sebagai
formulasi pertama prinsip non-kontradiksi. Kontradiktoritas terungkap dalam dua sisi ektrim
yang saling berseberangan : ada dan tidak ada. Jika berada ada, tiada pernah ada ketiadaan
atau sebaliknya di mana ketiadaan takkan pernah ada ada apapun.
Adapun makna ada dalam pengertian parmenidean adalah sebagai berikut.
1.
Pada tempat pertama, ada tidak mempunyai awal (ingenerabile) dan tidak dapat
binasa (incorrutibile).
16
2.
Ada tiada mengenal masa lalu maupun masa depan.
3.
Ada tidak dapat berubah dan bersifat tetap secara absolut.
4.
Ada tidak dapat dibagi ke dalam bagian-bagian atau satuan-satuan apapun. Ada
adalah suatu kesatuan utuh, sama dan identik.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa ada parmenidean ialah ada tanpa asal muasal,
incorrutibile, immutabile, immobile, sama, sferiforma (berbentuk bulat) dan satu. Ada
bukanlah prinsip dalam pengertian sebelumnya, karena tidak memiliki turunan, tidak
berubah dan tetap, sama dan tidak dapat dibeda-bedakan. Dalam arti tertentu, ada
parmenidean mempunyai karakter ambigu, mengingat ada bukanlah kosmos maupun
prinsip, sehingga memerlukan suatu penjelasan rinci dan lebih mendalam lagi.
b) Jalan Kekeliruan (opini)
Jalan kebenaran merupakan jalan nalar atau jalan logos. Logos semata dapat mengakui
ada dan menyangkal ketiadaan. Sebaliknya panca indera dapat saja meyakini eksistensi
menjadi dan gerak, lahir dan mati, ada dan ketiadaan. Sayang sekali bahwa sebagian amat
besar pendapat dan keyakinan manusia didasarkan pada panca indera.
Mengakui ada dan sekaligus ketiadaan secara substansial berarti mengakui keabsurdan,
nullus. Jika orang mengatakan bahwa nullus est, dan menegaskan bahwa terdapat ada dan
ketiadaan secara bersamaan, pernyataan tersebut bertentangan secara esensial dengan
kenyataan sesungguhnya. Pernyataan demikian sama saja membuka suatu kemungkinan
bagi kontradiksi negatif (ketiadaan), yang berarti di luar akal sehat dan absurd. Jadi, jalan
kekeliruan berakar dalam pengakuan bahwa ada berada bersama dengan ketiadaan.
c) Plausibilitas fenomen dan doxa
Dalam fragmen 9, Parmenides mengakui bahwa cahaya dan malam adalah sama, karena
tidak satu pun dari keduanya adalah ketiadaan dan karena itu keduanya adalah ada. Jika
cahaya dan malam merupakan dua bagian dari ada, itu berarti bahwa perubahan dan
gerak, yang menjadi bahan pencerapan panca indera, dalam arti tertentu, diterima sebagai
sebuah kebenaran lain (kebenaran inderawi), selain kebenaran ontologis.
8. Zenon
Zenon lahir di Elea pada sekitar akhir abad ke VI atau awal abad ke V SM (490 SM?). Zenon
merupakan murid Parmenides dan sekaligus penerusnya di Sekolah Elea yang didirikan oleh
Parmenides. Sama seperti gurunya, Zenon terlibat dalam kehidupan politik dan pernah masuk
penjara gara-gara menentang seorang Tiran, bernama Nearcus atau Diomedontes, seperti
terungkap dalam Epitome Satir.
Pemikiran Parmenides tentu saja menyulut perdebatan besar di kalangan para pemikir
Yun
PARA FILOSOF PRA-SOCRATEAN
Sejarah pemikiran filsafat sistematis dalam sejarah peradaban manusia Barat dan bahkan
dunia bermula dari bangsa Yunani. Affirmasi ini kedengaraannya terasa janggal dan seolah-olah
mengabaikan pemikiran filosofis dalam kebudayaan Timur. Kiranya harus kita akui bahwa
permenungan filsafat secara sistematis dan rasional tentang alam semesta dan berikutnya tentang
dunia dan manusia tanpa embel-embel Allah atau Tuhan dan dewa-dewi tertera secara historis dan
faktual dalam pemikiran para filosof Yunani. Adakah refleksi dan permenungan metafisis dan
distingsi yang tegas, rinci dan sistematis tentang realitas ada, moralitas, politik dst. seperti kita
temukan dalam Metafisica, Etika Nicomacea, Politeia, Anima dll. karya-karya Aristoteles, dalam
pemikiran filosofis Timur? Karena alasan di atas, kita memberikan perhatian cukup besar pada
sejarah perkembangan pemikiran filosofis dalam kebudayaan Yunani klasik.
1. Hakekat dan Problem dalam Filsafat Kuno
Secara filosofis kita dapat mengatakan bahwa filsafat merupakan sebuah aktivitas berpikir
manusia dalam rangka mengenal segala sesuatu yang berada dan hidup dalam sementa raya:
benda-benda mati baik di langit maupun di bumi, makhluk hidup, manusia dan tingkah
lakunya, kematian dan masa depan sesudahnya. Singkat kata, filsafat ingin mengerti semua
yang ada dan memahaminya dengan sebaik-baiknya. Untuk lebih singkatnya, kita dapat
memperlihatkan beberapa ciri dasar filsafat.
a) Muatan atau isi
Filsafat bermaksud menjelaskan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Penjelasan
yang dimaksud bukanlah sekedar memahami kulit luar dari suatu realitas, melainkan ingin
memahami secara mendalam dan menyeluruh. Filsafat bermaksud menemukan prinsip,
sebab dan intisari dari segala sesuatu. Karena itu, filsafat selalu dimulai dengan pertanyaan
mengenai apa yang menjadi prinsip dari totalitas ada dan bagaimana ada-ada dapat
berada secara demikian serta mengapa semua ini dapat berada dalam semesta ini?
b) Metode
Satu-satunya metode yang digunakan oleh filsafat untuk mencoba mengenal,
memahami dan menjelaskan totalitas ada adalah pendekatan rasional. Senjata utama
filsafat adalah nalar, akal, budi manusia semata tanpa embel-embel wahyu maupun tradisi
religius apapun. Berbeda dari ilmu-ilmu sosial lainnya yang banyak berkutat dengan data
dan pengalaman, filsafat menempatkan diri di atas data-data, fakta-fakta dan pengalaman
individu. Argumentasi rasional sebagai pola penjelasan filsafat selalu terarah pada
penemuan sebab-sebab utama, alasan-alasan prinsipil dan prinsip-prinsip dasar dari
totalitas ada.
Dalam arti tertentu, kita bisa mengatakan bahwa pendekatan filsafat bersifat ilmiah
seperti ilmu-ilmu lainnya. Namun perbedaan antara keilmiahan filsafat dan ilmu-ilmu
lainnya terletak dalam karakter keumuman, universalitas, keluasan filsafat dan kekhususan,
specifisitas dan keterbatasan ilmu-ilmu sosial-empiris.
1
Ilmu-ilmu pengetahuan lainnya mempelajari dan menelaahi salah satu aspek saja dari
realitas sesuai dengan bidang garapan, tuntutan metodis dan tujuan ilmiah tertentu. Dapat
saja bahwa studi-studi ilmu-ilmu bersangkutan lebih mendalam dan mendetil dalam
informasi dan pemahaman, namun karakter partikular membatasi kesimpulan yang mesti
diambil. Mengingat obyek studinya hanya menyangkut salah satu bagian dari realitas ada,
maka kesimpulannya bersifat sektoral semata.
c) Tujuan
Tujuan utama filsafat adalah menemukan kebenaran per se. Filsafat memiliki karakter
teoretis murni atau kontemplatif. Yang dikontemplasikan dan yang dicari oleh seorang
filosof adalah kebenaran dalam dirinya sendiri tanpa kepentingan sosial-politik-ekonomi
apapun. Karena itu filsafat merupakan disiplin ilmu yang mencari, menemukan dan
mencintai pengetahuan semata (philo dan sophia), yakni cinta akan kebenaran. Aristoteles
mengungkapkan secara eksplisit tujuan sejati filsafat. “Sesungguhnya manusia telah mulai
berfilsafat karena kekaguman. […] Dengan demikian, jika orang-orang telah berfilsafat
untuk membebaskan diri dari ketidaktahuan, menjadi semakin jelas bahwa mereka mencari
pengetahuan hanya untuk ilmu (pengertian) semata dan bukan untuk mengejar kegunaan
praktis”1.
Gagasan dasar mengenai tujuan filsafat sebagai pertualangan untuk mencari,
mendapatkan dan merenungkan kebenaran semata tanpa tujuan apa-apa, bermaksud
mempertegas superioritas filsafat dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya. Dalam hal ini,
Aristoteles membedakan secara jelas kegunaan dan derajad atau status suatu ilmu: “semua
ilmu lainnya akan menjadi lebih perlu dan penting daripada ini (filsafat), tetapi tiada
satupun yang akan lebih tinggi daripadanya”2. Dalam gagasan demikian, kita dapat
menemukan bahwa salah satu unsur dasar dalam filsafat adalah kebebasan pribadi dalam
berkarya dan menikmati apa yang dilakukannya terlepas dari tuntutan-tuntutan praktispragmatis lainnya. Karena itu, ketika filsafat kehilangan orientasi dasar pada kontemplasi
kebenaran dan berpretensi mengubah dunia, pada saat itu pula filsafat telah mengubah diri
menjadi sebuah sistim ideologis atau ideologi tertentu. Tiada lagi keagungan, keluhuran,
kebebasan dan kontemplasi maupun spekulasi dan kekaguman, melainkan hanya ada
kepentingan, perhitungan untung rugi, pendalaman dan strategi atas dasar pertimbangan
kekuatan dan kelemahan, peluang dan tantangan. Dengan kata lain, pengalihan filsafat dari
spekulasi murni ke tujuan praktis-pragmatis telah mengubah filsafat dari ilmu dan
pengetahuan menjadi alat kekuasaan dan status quo.
2. Beberapa Problem Filosofis Kuno
Totalitas ada sebagai obyek studi filsafat hendaknya dimengerti dalam kerangka dan
cakrawala yang menyeluruh dan luas sekali. Totalitas ada menyangkut seluruh realitas dalam
berbagai aspek dan dimensi masing-masing yang saling tersangkut dan terkait. Atas dasar
keberagaman aspek dan dimensi itu, maka pusat perhatian, permenungan, pengkajian para
pemikir mengalami juga tahap-tahap dan bidang-bidang yang berbeda-beda. Dalam artian
1Aristoteles, Metafisica, A2, 982 b, 11-26.
2Ibid., A2, 982 b, 29 dst.
2
bahwa terdapat permasalahan-permasalahan tertentu yang menjadi titik tekan dalam kajian
para filosof. Berikut adalah klasifikasi problem secar garis besar.
a) Kosmologis
Persoalan pertama yang dihadapi oleh para pemikir Yunani klasik adalah totalitas ada
konkret dan empiris, physis atau kosmos. Mereka terkagum dan terkesima oleh semesta
raya dan dari keterkaguman dan keterkesimaan muncul sekian banyak pertanyaan:
bagaimana dunia dan semesta raya ini muncul? Apa yang menyokong dan menjadi prinsip
utamanya? Apa dan bagaimana tahap-tahap dan momen-momen pemunculannya?
Pertanyaan-pertanyaan dan persoalan-persoalan filosofis semacam inilah yang
mendominasi permenungan awal para filosof.
b) Antroplogis
Dalam tahap permenungan selanjutnya, pokok bahasan filosofis bergerak dari persoalan
kosmologis ke persoalan antropologis. Pusat perhatian adalah realitas manusia itu sendiri.
Fokus permenungan adalah persoalan-persoalan moral dan nilai keutamaan (arête).
Peralihan tersebut disebabkan oleh perubahan multi dimensi yang dibawa oleh perluasan
wilayah taklukkan Aleksander Agung. Perluasan wilayah menciptakan realitas kosmopolitan,
sehingga sendi-sendi kehidupan sosial-politik-ekonomi-kultural dengan segenap perangkat
nilai dan keyakinannya ikut mengalami perubahan yang radikal. Kosmopolitanisme
menciptakan krisis identitas, krisis nilai dan krisis budaya, sebagaimana terungkap dalam
kehancuran polis sebagai fondasi dan rujukan hidup setiap warga. Dengan kata lain,
kosmopolitanisme menyadarkan para pemikir Yunani klasik tentang siapa, apa peran,
kedudukan, nilai dan bagaimana manusia harus hidup, bersikap dan menemukan dirinya
dalam relasi dengan sesama, lingkungan dan dewa-dewi. Persoalan antropologis
merupakan karakter utama permenungan para sofis dan Socrates.
c) Entis, epistemoologis, antropologis dan estetis
Permenungan filosofis selanjutnya mewarisi persoalan-persoalan sebelumnya. Persoalan
kosmologis menjadi persoalan mengenai ada itu sendiri: ada tetap dan ada berubah, sebabsebab pengada, substansi dan aksiden, dunia ide dan dunia konkret. Dari persoalan entis ini
lahir distingsi bidang-bidang kajian dan displin ilmu masing-masing yakni fisika dan
metafisika.
Persoalan antropologis sebelumnya terus diperluas dan diperdalam secara rinci dan
skematis dari sekedar tema siapakah manusia kepada bagaimana relasi dan interaksi antar
individu dan individu dengan polis. Maka lahir sebuah pemahaman yang cukup
komprehensif tentang jatidiri manusia sebagai pribadi dan sekaligus anggota masyarakat
(zoon politikon) dan pokok perhatian bertambah menjadi soal etis dan politik.
Hal baru yang muncul pada tahap ini adalah problem espistemologis, logis dan estetis.
Para pemikir Yunani klasik mulai menganalisa proses-proses berpikir, kebenaran dan caracara untuk mencapai kebenaran, pengalaman inderawi dan berpikir benar atau keliru, soal
buruk, baik dan indah. Dengan demikian mulai digagas dan ditetapkan aturan-aturan
berpikir secara benar, bentuk-bentuk logika dengan mana manusia berpikir, menilai dan
memutuskan serta syarat-syarat keindahan. Persoalan filosofis ini mewarnai permenungan
Platon dan Aristoteles bahkan hingga saat ini.
3
Permenungan sesudah Aristoteles mengembangkan secara lebih sistematis tema-tema
yang telah digarap sebelumnya yakni fisika, logika dan moral. Sejalan dengan perubahan
sosial, politik dan kultural yang tengah berlangsung, filsafat sebagai ilmu ikut berubah diri.
Salah satu tema utama yang menjadi pusat perhatian dan permenungan adalah persoalanpersoalan moral. Para pemikir post Aristotelian mencoba menemukan cara-cara untuk
menemukan hidup ideal dan kebahagiaan jiwani. Problem-problem fisika dan logika
diarahkan untuk menciptakan suatu kondisi hidup ideal seorang bijak. Tampak di sini bahwa
filsafat sebagai spekulasi teoretis murni mengalami modifikasi secara internal. Tugas dan
fungsi filsafat adalah bagaimana manusia dapat hidup dalam secara benar dan dalam
kebenaran.
3. Beberapa Periode Filsafat Kuno
Sejarah filsafat Yunani klasik berlangsung dari abad VI SM sampai dengan 529 M; sebuah
sejarah permenungan yang sangat panjang dan sarat dengan kekayaan intelektual yang tiada
terkira nilainya. Hingga saat ini pun segala permenungan filosofis selalu menoleh kepada para
filosof Yunani klasik dan hal ihwal yang telah mereka uraikan. Kajian-kajian filosofis yang
mereka lakukan ternyata mempunyai nilai yang lintas generasi dan mengatasi jaman: selalu
aktual dan secara prinsipil menyentuh intisari dan hakekat ada itu sendiri.
Kelenyapan filsafat Yunani berjalan beriringan dengan kemunculan kristianisme yang
menyodorkan pola berpikir, cakrawala atau visi tentang dunia manusia dan semesta raya dan
titik tolak yang jauh berbeda dan komprehensif. Secara kronologis, penghabisan filsafat Yunani
terjadi pada 529 atas kemauan kaisar Ystinianus, tulen yang menghendaki agar sekolah-sekolah
paganis ditutup, perpustakaan-perpustakaan dimusnahkan dan para pengikutnya diceraiberaikan. Dengan kata lain, segala permenungan filosofis dan ilmiah selalu berada dalam bingkai
iman kristiani dan kepentingan kekaisaran Romawi.
Kita dapat membedakan sejarah pemikiran Yunani klasik dalam beberapa periode berikut
ini .
3
a) Periode naturalistis. Periode ini dicirikan oleh persoalan-persoalan seputar semesta raya
atau problem kosmologis-physis. Adapun para filosof yang masuk dalam periode ini adalah
kelompok ionis, pitagoris, eleatis dan pluralistis.
b) Periode humanistis. Krisis dalam permenungan seputar alam semesta dan ditambah
dengan perubahan multi dimensi menyebabkan pusat perhatian berpaling kepada manusia.
Permenungan tentang manusia dimulai oleh kelompok sofis, tetapi upaya yang lebih
mendalam untuk menemukan hakekat manusia dilakukan oleh Socrates.
c) Periode berikutnya merupakan era penyimpulan. Persoalan mengenai tetap dan berubah,
yang menjadi problem utama para filosof naturalis dan permenungan tentang manusia
menemukan sintesisnya dalam pemikiran Platon dan Aristoteles. Platon menggagas dunia
ide, sedangkan Aristoteles mengemukakan gagasan tentang aktus dan potensi serta sebabsebab ada.
3Giovanni Reale, Storia della Filosofia Antica, vol. I, Milano: Vita e Pensiero, 1997, h. 40-41.
4
d) Periode keempat dicirikan oleh sekolah helenis yang ditandai oleh kemunculan dan
perkembangan tiga sistim utama yakni stoicism, epicurisme dan skeptisisme. Dalam
perkembangan selanjutnya muncul juga sebuah aliran yang disebut ekletisme.
e) Periode terakhir ditandai dengan pertemuan kebudayaan dan permenungan Yunani klasik
dengan kristianisme. Pada periode ini juga platonisme muncul kembali, yang terkenal
dengan sebutan neoplatonisme.
Permenungan Yunani klasik tetap tinggal sebagai warisan pusakan peradaban dunia sampai
kapanpun. Kemunculan kristianisme sama sekali tidak menghapus filsafat Yunani, sebaliknya
menjadikannya sebagai bahan refleksi untuk memperkaya pemahaman mereka tentang iman
kepercayaan akan Yang Absolut dan relasi antar-manusia. Tentu saja dengan bersikap kritis dan
menyaring gagasan-gagasan yang ada, para pemikir Kristen mencoba memadukan
permenungan rasional Yunani klasik dengan wahyu untuk memberikan sebuah fondasi yang
kuat bagi dunia filsafat itu sendiri maupun dunia teologi. Perpaduan keduanya mewarnai
seluruh permenungan filosofis hingga dewasa ini.
BAB II
PARA FILOSOF KOSMOLOGIS
1. Thales
Menurut perkiraan para ahli, Thales lahir di penghujung abad VII (610) SM dan meninggal
dunia sekitar pertengahan abad VI SM. Namun demikian tidak ada data yang pasti mengenai
kapan filosof ini lahir dan hidup. Sedangkan mengenai pemikirannya seputar alam semesta, kita
dapat mengetahui dengan lebih pasti berkat informasi-informasi yang diberikan oleh
Aristoteles. Berikut adalah beberapa hal yang ditulis oleh Aristoteles seputar Thales.
a) Thales adalah pemulai filsafat physis. Dia adalah orang pertama yang menegaskan bahwa
segala sesuatu disebabkan oleh satu-satunya prinsip ada dan prinsip tersebut adalah air 4.
b) Thales mengatakan juga bahwa semesta raya dipenuhi oleh dewa-dewi5.
c) Filosof ini juga mengemukakan bahwa magnet memiliki suatu jiwa, karena mampu
bergerak. Dalam cara pandang demikian, tampak bahwa Thales ingin mengatakan bahwa
jiwa merupakan prinsip gerak dari setiap ada6.
Dalam pengertian Thales, istilah prinsip merujuk pada gagasan asal mula dari segala
sesuatu. Segala sesuatu berasal dari air, hidup oleh air dan akan kembali kepada air. Air
merupakan sebuah realitas yang stabil, tetap dan berada sebagaimana adanya meskipun telah
melalui fase-fase perkembangan dan perubahan. Air merupakan sebuah prinsip eksistensial,
merujuk pada realitas pertama dan awali serta memiliki peran sebagai dasar atau fondasi dan
roh dari setiap ada.
4Aristoteles, Metafisica, A 3, 983 b, 6.
5Id., Anima, A 5, 411 a, 8.
6Ibid., A 2, 405 a, 19.
5
Bagaimana Thales sampai pada kesimpulan bahwa air adalah sebab dari segala sesuatu?
Seperti diungkapkan oleh Aristoteles, pernyataan Thales bertitik tolak dari kenyataan bahwa
segala sesuatu mengambil sumber hidupnya dari kelembaban. “Thales, penggagas filsafat jenis
ini [alam] mengatakan bahwa prinsip segala sesuatu adalah air (karena itu menegaskan bahwa
bumi ini terapung di atas air) …” 7. Kesimpulan demikian didasarkan pada pengamatan empiris
atas realitas dan pengalaman hidup tentang keberadaan dan nilai penting air bagi segenap
makhluk hidup.
Gagasan Thales mengenai air sebagai prinsip dari segala sesuatu merupakan sebuah karya
ratio, logos murni. Tiada lagi pendekatan terhadap semesta raya dengan menggunakan bahasa
dan gambaran yang bersifat imaginatif, puitis dan mitis. Thales langsung menusuk pada jantung
persoalan itu sendiri dan mencoba menjelaskan serta menemukan jawaban dari realitas
empiris semata. Thales telah membuka era baru: era logos, masa pemikiran rasional.
2. Anaximandros
Para ahli filsafat hampir semuanya sependapat bahwa Anaximandros adalah murid Thales.
Anaximandros diperkirakan berusia 64 tahun pada tahun kedua dari Olimpiade LVIII (547-546
SM) dan meninggal beberapa waktu sesudah even tersebut. Jika perkiraan ini benar, maka
Anaximandros lahir pada 611 SM. Berdasarkan kesaksian kuno, Anaximandros menulis sebuah
karya yang diberi judul Pherì Physeos (Tentang Alam) dan peradaban dunia masih memiliki satu
fragmen dari buku tersebut. Itulah tulisan filosofis pertama dalam sejarah pemikiran filsafat
Yunani dan dunia Barat8.
Anaximandros memperkenalkan istilah arché untuk menjelaskan realitas pertama dan
terakhir dari segala sesuatu (physis). Namun demikian, Anaximandros mengambil jarak dari
sang guru, Thales, dalam menemukan dan menjelaskan asal usul semesta raya.
Atas kesaksian Teofrastus dalam Opini-opini tentang Fisikawan fragmen kedua, kita tahu
bahwa “Anaximandros dari Miletus menegaskan bahwa prinsip dan unsur dari segala sesuatu
adalah apeiron dan dia adalah orang pertama yang memperkenalkan istilah prinsip dan
mengatakan bahwa prinsip dari segala yang ada bukanlah air maupun unsur-unsur lainnya,
melainkan sebuah physis atau hakekat lain dari mana muncul langit dan semesta yang termuat
di dalamnya”. Jadi, menurut Anaximandros, prinsip dari segala sesuatu adalah apeiron,
infinitus, ketiada-berhinggaan, ketidakterbatasan.
Apa arti apeiron? Dari terminologinya, orang dapat mengenal bahwa istilah ini merujuk
pada sesuatu yang bukan peras. Peras berarti tanpa batasan dan ketertentuan baik pada
tataran eksternal maupun internal. Dalam istilah apeiron tersebut terkandung makna ketiadaberhinggaan dalam pengertian kwantitas (tempat, keluasan) maupun ketidakterbatasan
kwalitas. Kedua muatan makna di atas didasarkan pada persepsi orang Yunani klasik bahwa
langit merupakan dunia atas, semesta raya, sehingga apeiron mengarah pada dimensi spasial
7Id., Metafisica, A 3, 983 b, 9.
8Giovanni Reale, Storia della Filosofia Antica, I, Milano: Vita e Pensiero, 1997, h. 59 pada catatan kaki no. 1.
6
dan semesta raya itu mempunyai sekian banyak muatan yang kerap kali secara kwalitatif tidak
tertentu misalkan, air dan udara.
Gagasan Anaximandros mengenai apeiron merujuk pada gagasan yang tiada berawal
maupun berakhir, bukan dilahirkan dan bersifat kekal. Apeiron merupakan realitas tertinggi dari
segala sesuatu, sebab pengadanya. Dengan demikian, tampak logis bila apeiron adalah tiada
berhingga dan tak tertentu. Dalam artian tertentu, apeiron mengandung makna secara implisit
mengenai sesuatu yang abadi dan selalu muda, karena tidak-dapat-binasa dan tidak-dapathancur. Apeiron adalah τò θεĩoν, divinitas; ia melingkupi dan merangkum, menyangga dan
mengatur segala yang ada.
Bagaimana segala sesuatu lahir dari apeiron? Kelahiran segala yang ada disebabkan oleh
pemisahan dari unsur yang berlawanan. Panas melepaskan diri dari dingin, kering memisahkan
diri dari lembab, hidup membebaskan diri dari mati. Berdasarkan kesaksian Aristoteles dalam
Fisika, Anaximandros menguraikan demikian bahwa dari mana segala sesuatu bisa lahir, di
mana terjadi pemisahan seturut keniscayaan; sesungguhnya segala sesuatu menanggung
hukuman dan balasan dari ketidakadilan, seturut tata aturan waktu 9. Dari pemahaman ini,
orang dapat melihat bahwa yang dimaksud dengan ketidakadilan adalah pelampauan atas
unsur oposisional dan sekaligus kelahiran tersebut. Sebab ketika sesuatu muncul, kemunculan
demikian mengandung makna perlawanan terhadap yang lain. Sedangkan waktu dipahami
sebagai hakim yang menandakan batasan dan juga akhir dari dominasi terhadap yang lain dan
sebaliknya. Jadi ada dua ketidakadilan yakni, kelahiran di dunia melalui pemisahan diri dari
kesatuan dan kedua sesudah pemisahan itu, kedua unsur tersebut memposisikan diri sebagai
lawan atau musuh.
3. Anaximenes
Menurut para ahli sejarah, Anaximenes lahir di Miletus pada awal abad ke IV SM dan
meninggal pada akhir abad tersebut pula. Yang pasti, Anaximenes merupakan murid dan
sekaligus penerus Anaximandros.
Namun Anaximenes mengambil posisi yang berseberangan dengan sang guru berkenaan
dengan prinsip dari segala sesuatu. Menurutnya, prinsip dan realitas pertama bukanlah
apeiron seperti yang diajarkan oleh Anaximandros, melainkan udara, udara tak-berhingga.
Segala sesuatu berasal dari udara dan turunannya.
Ada apa di balik pertentangan pendapat ini? Kesulitan utama yang mendorong Anaximenes
menemukan prinsip lain adalah kenyataan bahwa pendapat sang maestro tentang cara unsurunsur yang saling bertentangan memunculkan segala sesuatu: bagaimana pemisahan itu
berlangsung? Teofrastos mengatakan bahwa “sama seperti jiwa kita adalah udara, yang
menyangga dan menata kita, demikian pula nafas dan udara melingkupi semesta seluruhnya” 10.
Pendapat ini timbul dari pengamatan atas eksistensi makhluk hidup termasuk manusia itu
sendiri yang hidup dari nafas dan berakhir dalam ketiadaan nafas. Udara merupakan syarat
9Aristoteles, Fisika, A 4, 187 a, 20.
10 Teofrastus, Opini-opini para Fisikawan, fr. 2.
7
mutlak bagi semua makhluk hidup dan semasa masih bernafas, segala makhluk masih
termasuk dalam kategori hidup.
Prinsip dan realitas pertama dalam gagasan Anaximenes berciri determinatif. Determinasi
mengandaikan dinamika dan gerak itu sendiri. Segala sesuatu lahir dari udara lewat dua proses
berikut: a) proses perenggangan dan b) proses pemadatan. Perenggangan menjadi asal usul
api, sedangkan pemadatan memunculkan air dan tanah. Dari kedua prose situ, terlihat bahwa
Anaximenen berupaya juga menjelaskan kejadian-kejadian alam dan memberikan solusi yang
rasional. Hujan turun dari langit dan hujan adalah air, lalu muncul petir dan kilat yang
merupakan ungkapan lain dari api dan dari bumi/tanah muncul asap dan uap yang bergerak
naik. Udara berciri kasat mata dan tercerapi hanya ketika terdeferensiasi menjadi dingin, panas,
kering, lembab dan bergerak (dalam rupa angin).
Ciri kasat mata (invisibilis) memperlihatkan karakter ketidakberhinggaan. Udara adalah
Infinitus itu sendiri dan infinitus dalam pengertian ini merujuk pada karakter ilahi dan dewani.
Udara adalah Dewa, Allah, Asal muasal dari segala sesuatu. Berberapa pemikir kerap melihat
bahwa solusi Anaximenes mengenai udara sebagai asal muasal, prinsip pengada dan realitas
pertama merupakan sebuah kemunduran dibandingkan dengan solusi yang diberikan oleh
Anaximandros. Anggapan demikian bisa diterima jika titik tolaknya dikaitkan dengan gagasan
mengenai Allah dan prinsip-prinsip metafisik sesudahnya. Namun, jika ditinjau dari segi
permenungan ilmiah dan rasional, solusi Anaximenes menunjukkan sebuah perkembangan
berarti, di mana titik tolaknya berpangkal pada pengamatan dan pengalaman empiris atas
kehakikian dari suatu unsur bagi hidup manusia. Anaximenes dalam artian tertentu merupakan
peletak dasar empirisme klasik dan pioneer dari metode pengamatan empiris.
4. Heraklitos
Menurut kesaksian kronografis Apollodoros, Heraklitos hidup pada Olympiade ke 69. Kalau
kesaksian ini benar, itu berarti bahwa Heraklitos lahir pada sekitar tahun 504-501 SM di Efesus.
Namun hingga saat ini, kapan Heraklitos lahir dan wafat sulit sekali dipastikan dengan tepat;
semuanya bersifat perkiraan.
Ketiga filosof sebelumnya berasal dari Miletus dan karena itu, dalam manual filsafat kerap
disebut para pemikir Miletus. Para filosof Miletus berkutat hanya seputar persoalan tentang
prinsip dari segala sesuatu dan genesis alam semesta yang berawal dari suatu prinsip. Gagasan
dasar yang dapat dipetik dari permenungan para filosof Miletus adalah doktrin mengenai
dinamisme universal dari segala sesuatu yang muncul dan lenyap. Dinamisme universal ini
bersumber dari karakter dinamis secara abadi dari prinsip tersebut.
Kekurangan dasar dari para filosof Miletus adalah bahwa permenungan mereka belum
sampai pada tematika mengenai persoalan tetap dan berubah dan konsekwensi turunannya.
Nah, Heraklitos merupakan orang pertama yang membawa persoalan-persoalan kosmologis
sebelumnya pada suatu status baru, dalam artian bahwa persoalan mengenai prinsip dan
genesis alam semesta dipertajam, diperdalam dan ditematiskan.
8
Heraklitos berpendapat bahwa realitas adalah adalah mobilitas abadi. Tiada suatu hal pun
bersifat tetap, stabil dan tak bergeming. Semuanya terus menerus berubah, bergerak dan
berganti tanpa henti dan pengecualian. Siapa yang terjun ke sungai, selalu dialiri oleh air yang
baru. Orang tidak dapat terjun dua kali ke sungai yang sama dan tiada seorang pun dapat
menyentuh dua kali sebuah benda mati dalam status yang sama, tetapi akibat kesolidan dan
kecepatan perubahan, sesuatu tercerai berai dan terpadu, datang dan pergi. Perasaan bahwa
kita melihat sungai yang sama merupakan suatu tampilan semata, sebab dalam kenyataannya,
air yang datang selalu berbeda. Begitulah manusia tidak bisa menemukan suatu kepastian dan
pegangan, karena untuk mencapainya ia harus menjadi sesuatu yang lain daripada
sebelumnya. Karena itu, tiada yang tetap; semua menjadi, segalanya mengalir (πάντά ρεί).
Realitas menjadi dicirikan oleh peralihan segala sesuatu secara berkelanjutan dari
pertentangan yang satu ke pertentangan yang lain. Yang dingin menjadi panas dan yang panas
menjadi dingin, yang lembab menjadi kering dan yang kering menjadi lembab, orang muda
menjadi tua dan dari hidup menjadi mati. Semuanya berubah, bergerak dan beralih dari sudut
yang satu ke sudut yang lain. Dengan demikian, realitas menjadi merupakan suatu konflik atau
pertentangan dari hal-hal yang berlawanan dan pertentangan itu bersifat abadi.
Fondasi dari segala realitas adalah perang. Namun perang memuat di dalam dirinya damai
dan harmoni. Realitas menjadi secara universal dan mengalir secara abadi dari segala sesuatu
menyingkap diri sekaligus sebagai harmoni dan sintesis dari konflik dan pertentangan dari
segala hal. Menjadi merupakan proses saling berdamai di antara mereka yang terlibat
peperangan dan aktivitas berdamai dari antara orang-orang yang saling bermusuhan; dari
perang dan konflik, dari perbedaan dan penolakan muncul harmoni yang paling indah. Jadi,
semua lahir dari pertentangan.
Pertentangan antara hal-hal yang saling berlawanan selanjutnya memunculkan kesadaran
mengenai makna kepada masing-masing pihak. Begitulah, penyakit membuat sehat terasa
nikmat, rasa lapar menyebabkan kepuasan terasa manis dan letih lesu membuat istirahat
terasa nyaman.
Kesimpulannya, bila segala sesuatu memiliki realitas dalam menjadi semata dan menjadi
dilihat sebagai ciri dasar dari segala yang ada lewat konflik, perang dan pertentangan, prinsip
yang menjelaskan seluruh realitas berada dalam sintesis dari segala pertentangan. Nah, sintesis
itu adalah Yang Ilahi. Dewa adalah siang-malam, dingin-panas, kenyang-lapar, perang-damai,
sehat-sakit, tesis-antitesis.
Setelah menemukan hakekat dari segala sesuatu dalam realitas menjadi, lalu apa prinsip
dari segala sesuatu? Apa peny(s)ebab dari segala yang ada dan unsur dasarnya? Heraklitos
mengatakan bahwa prinsip, sebab dan unsur dasar ada-ada adalah api. Segala sesuatu adalah
transformasi dari api semata dan transformasi dalam pengertian ini mesti dilihat sebagai suatu
pertukaran, perubahan, peralihan. Pertukaran dan perubahan menjadi semacam tata aturan
yang ditimbulkan oleh api hidup yang abadi, yang seturut derajad tertentu padam dan ukuran
tertentu menyala.
Dasar Heraklitos memilih api sebagai prinsip dan sebab ada terletak pada kenyataan bahwa
api mengungkapkan karakter perubahan abadi, konflik, pertentangan dan harmoni secara
9
paradimatis. Api adalah gerak abadi, hidup yang memuat kemampuan mematikan dengan
membakar, perubahan kontinyu menjadi asap dan abu, kepuasan dan kebutuhan. Dewa, Allah
Heraklitos adalah api: kilat, adalah api dewani; kilat memerintah setiap ada. Begitu mencapai
sesuatu, api akan mengadili dan menghukum segala sesuatu. Allah adalah siang-malam, musim
panas dan musim dingin, peran dan damai, kepuasan dan kelaparan. Allah merupakan harmoni
dari pertentangan, kesatuan dari oposisi.
5. Pitagorisme
Pitagoras lahir di Samo sekitar tahun 532/531 SM dan meninggal mungkin pada awal abad
ke empat. Namun, sulit sekali memastikan data yang persis mengenai kapan dia lahir dan
wafat. Yang pasti, Pitagoras berpindah dari Samo ke Italia, khususnya di kota Crotone. Di kota
ini, ia mendirikan sebuah sekolah dan tidak berapa lama sekolah mengalami sukses besar serta
mempunyai pengaruh kuat termasuk dalam bidang politik. Keadaan ini menimbulkan iri hati
dan konflik kekerasan oleh kaum oposisi. Sekolah diserbu dan dihancurkan serta beberapa guru
terbunuh, sedangkan Pitagoras sendiri melarikan di ke Locri, lalu ke Taranto dan terakhir di
Metaponto, tempat ia menghembuskan nafat terakhir.
Dengan Pitagorisme kita memiliki sebuah pola pemikiran yang sungguh-sungguh baru.
Adapun ciri dasar dari pemikiran Pitagoras adalah sebuah visi baru tentang hidup yang berciri
mistik dan asketis. Dalam pembahasan ini, kita akan melihat hanya garis besar pemikiran
pitagorisme dan bukan orang-perorangan. Alasannya adalah sebagai berikut.
a) Mustahil membuat sebuah pembedaan tegas antara Pitagoras dan murid-muridnya.
Alasannya, Pitagoras tidak menulis apapun, yang memungkinkan orang mengetahui secara
tepat dan rinci doktrin-doktrinnya. Adapun karya berjudul “Hidup Pitagoras” merupakan
suatu karangan yang melulu rekaan, mengingat oleh para muridnya, Pitagoras telah
diangkat ke tataran extra manusia.
b) Sekolah yang didirikan Pitagoras di Italia selatan berada di luar konteks dan intensi untuk
mengadakan penelitian ilmiah. Pitagoras bermaksud mempraktekkan suatu bentuk hidup
tertentu dan mewujudkan kesejahteraan bersaman. Dalam konteks ini ilmu dan
pengetahuan menjadi sarana untuk membantu dan mempermudah praktek hidup
demikian. Lebih dari pada itu, sekolah Pitagoras lebih mirip sebagai suatu perkumpulan
(confraternitas) yang berbau religius, semacam sekte keagamaan daripada sebuah sekolah
yang berorientasi pada pengetahuan.
c) Adapun doktrin sekolah Pitagorian dianggap sebagai sebuah rahasia. Untuk dapat ambil
bagian dalam confraternitas ini, orang harus terlebih dahulu menempuh tahap-tahap
inisiasi. Karakter rahasia semacam ini menghalangi penyebarluasan doktrin-doktrin dan
pengetahuan tentang hakekat dan pola hidup pitagorian.
d) Pitagorian pertama yang mempublikasikan buah permenungannya adalah Filolao (hidup
sejaman dengan Socrates, karena terekam dalam dialog Platon di Fedon 61 e). Hendaknya
perlu diperhatikan konteks waktu, dalam artian bahwa secara historis doktrin-doktrin
pitagorian juga mengalami perkembangan dan perubahan, sehingga sangat sulit
10
memastikan apakah doktrin-doktrin yang dipaparkan Filolao termasuk pada generasi
pertama atau kedua. Karena itu, lebih baik melihatnya bukan secara sepotong-sepotong.
e) Jika Filolao hidup sejaman dengan Sokrates, tentu saja doktrin-doktrin pitagorian telah
diperkaya oleh banyak hal, sehingga tidak mengherankan bila pengandaian-pengandaian
dan dasar-dasar argumentasi secara substansial bersifat homogen.
f) Aristoteles sendiri, sebagai seorang pemikir besar dan berwawasan luas sama sekali buta
terhadap para pemikir pitagorian orang per orang. Mereka hanya disebut secara bersama
dan global dengan istilah “yang disebut kaum pitagorian”.
Doktrin Pitagorisme
a) Bilangan sebagai Prinsip
Kita telah melihat bahwa bagi para pitagorian, ilmu pengetahuan bukanlah tujuan
melainkan sarana untuk mewujudkan suatu bentuk hidup tertentu. Karena itu, di sini ada
dua hal yang perlu dihadirkan yakni, gagasan pitagorisme tentang ilmu dan praksis hidup
yang diupayakan. Di sini kita akan mempresentasikan doktrin pitagorisme tentang ilmu
pengetahuan terlebih dahulu, kemudian dibahas praksis hidupnya.
Menurut pitagorisme, prinsip dari segala sesuatu, realitas dasar dan sebab dari semua
yang ada bukan terletak pada udara, apeiron maupun api sebagaimana diutarakan oleh
para filosof kosmologis sebelumnya. Prinsip dan realitas hakiki adalah bilangan dan unsurunsur hakiki bilangan. Aristoteles telah menggarisbawahi keyakinan pitagorisme tersebut
dengan mengatakan bahwa “para pemikir pitagorian merupakan orang pertama yang
berkecimpung dalam bidang matematika dan memajukan-nya. Dari pendalaman di bidang
ini, mereka yakin bahwa prinsip-prinsip matematis merupakan prinsip-prinsip dari seluruh
ada. Dan karena dalam matematika, bilangan-bilangan secara hakiki merupakan prinsipprinsip pertama dan mereka beranggapan sungguh bahwa mereka melihat dalam bilanganbilangan banyak kemiripan dengan segala sesuatu lebih daripada dalam api, tanah maupun
air. [...] Mereka juga melihat bahwa not-not dan akord-akord musik memakai bilangan; dan
karena itu mereka bersikeras bahwa semua hal dalam realitas ini dibuat seturut gambaran
bilangan-bilangan dan bilangan-bilangan merupakan realitas pertama dan berpendapat
bahwa unsur-unsur bilangan merupakan unsur-unsur dari segala sesuatu. Semesta raya
seluruhnya adalah harmoni dan bilangan”11.
Bagi para pemikir pitagorian, segala sesuatu dapat diasalkan dan diterjemahkan ke
dalam bilangan-bilangan; semua realitas ada adalah cetusan, ungkapan, gambaran
bilangan-bilangan. Suara dapat dibeda-bedakan seturut bobot ketukan dan ukuran dari
suatu benda. Dalam lingkup semesta raya, banyak fenomen alam yang dinyatakan dalam
bilangan misalnya, tahun, bulan, minggu, hari, musim dan waktu. Jadi, bilangan merupakan
prinsip dari segala yang ada.
Kiranya harus dicatat dan digarisbawahi mengenai perbedaan konsep dan konsepsi
tentang bilangan antara para pemikir klasik khususnya kaum pitagorian dan para pemikir
modern. Bagi Aristoteles dan kita sekarang ini, bilangan merupakan hasil kegiatan pikiran
11Aristoteles, Metafisica, A 5, 985 b, 23-986 a 3.
11
manusia, buah abstraksi, sehingga dikategorikan sebagai ada nalarian (ens rationis).
Sedang para pemikir pra Aristoteles beranggapan bahwa bilangan merupakan hal yang riil,
bahkan lebih riil dari segala sesuatu; bilangan bagi mereka dipandang sebagai prinsip dasar
dari semua realitas ada.
Pertanyaan penting adalah apa yang dimaksud dengan unsur-unsur bilangan?
Pitagorisme berpendapat bahwa bilangan dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis:
bilangan genap dan bilangan ganjil, kecuali angka 1 yang bisa mendatangkan bilangan
genap bila ditambahkan pada bilangan ganjil maupun menghasilkan ganjil bila ditambahkan
pada bilangan genap. Namun demikian, bilangan genap dan ganjil belum menjadi unsur
tertinggi. Menurut Filolao dan para pitagorian, prinsip tertinggi dari semua ada adalah
ketiadaberhinggaan, ketidak-terbatasan, infinitus dan batas atau pembatas dan akhir. Nah,
simpul dari ketidakberhinggaan dan kehinggaan adalah bilangan itu sendiri. Dengan begitu,
bilangan merupakan ketiadaberhinggaan dan keberhinggaan, tak-tentu dan tertentu.
Bilangan genap merupakan ungkapan unsur-unsur tak-tentu dan bilangan ganjil menjadi
ekspresi elemen-elemen tertentu. Genap dan ganjil sama dengan tak-tentu dan tertentu.
Pengelompok-an ini didasarkan pada pemahaman khas pitagorisme yang melihat bilangan
sebagai keseluruhan titik yang tertera secara geometris. Baiklah kita lihat contoh-contoh
berikut:
.
.
.
.
.
.
Dst.
.
.
.
.
.
.
Dari pengelompokan ini tampak bahwa pembagian bilangan genap manapun tidak akan
mendapatkan batas, melainkan mengarah pada ketakberhinggaan.
.
. .
.
.
. . .
.
.
.
.
dst.
. . .
Sebaliknya, dalam s etiap bilangan ganjil, keterbagian menemukan titik berhenti dalam
kesatuan, yang membuatnya menjadi bilangan dalam artian sebenarnya. Dengan kata lain,
ketika bilangan ganjil dibagi dua, akan tetap ada satu kesatuan di tengahnya, tetapi,
bilamana bilangan genap dibagi dua, tersisa senantiasa ruang kosong tanpa ketertentuan
dan tanpa bilangan. Hal ini merupakan suatu hal yang cacat dan belum sempurna.
Bilangan bagi pitagorisme dipandang sebagai suatu keseluruhan dari realitas, titik, figur.
Titik dianggap sebagai hal yang menduduki suatu tempat, sebagai sebuah massa. Dalam
gagasan pitagorian, semesta raya memperoleh makna baru yakni terdiri atas bilangan,
dengan bilangan dan seturut bilangan pula baik dalam totalitas maupun dalam setiap
bagian dan masing-masing hal. Karena itu, semesta yang didominasi oleh bilangan disebut
12
oleh pitagorisme sebagai kosmos, yang berarti keteraturan. Pitagorisme merupakan aliran
yang menggunakan kosmos dalam pengertian ini.
Gagasan mengenai keteraturan menandakan sebuah babak baru dalam pemahaman
tentang semesta. Tiada lagi kekuatan kegelapan, wilayah tak bertuan, kekuatan tak dikenal.
Semuanya adalah kumpulan bilangan seturut tata aturan tertentu dan keteraturan memuat
didalamnya rasionalitas, kemampuan untuk dikenal dan ditelisik. Dengan demikian,
dominasi bilangan berarti dominasi rasionalitas dan kebenaran.
b) Manusia, Jiwa dan Nasibnya
Pitagoras bukanlan orang pertama yang memperkenalkan istilah metempsikosi atau
suatu doktrin mengenai keterpaksaan jiwa untuk bereinkarnasi diri sekian banyak kali
dalam berbagai rupa makhluk hidup (manusia maupun hewan-hewan). Pitagoras
mengambil doktrin ini dari orfisme dan selanjutnya menyempurnakannya. Reinkarnasi yang
berulang-ulang itu merupakan sebuah jalan untuk memulihkan dosa asal yang telah
diperbuah oleh setiap orang selama hidupnya.
Pitagorisme, sama seperti orfisme, berkeyakinan bahwa jiwa adalah immortal, telah ada
sebelum badan dan akan terus berada sesudah bereinkarnasi dalam badan. Kehadiran jiwa
dalam badan merupakan suatu hukuman dan sekaligus penebusan atas dosa asal yang
telah orang lakukan. Jiwa dan badan bukanlah pasangan kodrati sejak semula, karena
kodrat jiwa adalah ilahi dan karena itu abadi, sementara badan secara kodrati dapat-binasa
dan dapat-mati. Badan adalah penjara jiwa.
Manusia harus hidup bukan dalam hubungannya dengan badan, melainkan untuk
kepentingan jiwanya. Artinya setiap orang mesti bertahan hidup dan hidup untuk
melepaskan dan membebaskan diri dari ikatan dengan badan. Dengan kata lain, hidup
merupakan suatu momen decisif bagi manusia untuk memurnikan diri, menjadikan diri suci
dan murni kembali, seperti pada status sebelum masuk dan terkurung dalam badan.
Jalan pemurnian diri ala pitagorisme berbeda dari kebiasaan dan tradisi-tradisi religius
masyarakat pada umumnya. Untuk memurnikan diri tiada lagi kurban dan perayaan liturgis
serta aneka ritual di kuil-kuil; tidak perlu lagi berseru-seru kepada dewa-dewi. Jalan
pemurnian pitagorian adalah pengetahuan: sebuah kultus terhadap rasionalitas dan
pengetahuan. Perlu diingat bahwa bagi pitagorisme, pengetahuan merupakan misteri
teragung dan tertinggi dalam skala hidup manusia. Pengetahuan adalah jalan utama
pembebasan jiwa dari kurungan badan dan sekaligus pengantar pada status keabadian.
Dalam rangka memiliki akses pada pengetahuan, para pengikut pitagorisme harus
memiliki suatu seni hidup yang penuh dengan berbagai macam aturan baik medis maupun
asketis seputar pantang dan puasa (matiraga). Matiraga merupakan sarana untuk membuat
tubuh menjadi jinak, kehilangan taji-taji kejahatannya. Adapun praktek pemurnian jiwa
mula-mula dengan mempelajari musik (kontak pertama dengan bilangan dan sistim
aritmatika dan geometri). Ketika diterima sebagai anggota, para pengikut pitagorisme mulamula harus diam dan mendengar saja. Sesudah belajar diam dan mendengar, mereka
13
diijinkan bertanya seputar musik, arimatika dan geometri. Pada tahap akhir, mereka belajar
alam semesta seluruhnya.
Selama berlangsung proses pengajaran, maestro berbicara dari tempat tersembunyi.
Praktek ini didasarkan pada anggapan bahwa pengetahuan an sich terpisah dari orang yang
mengajarkannya. Rumusan kata yang diucapkan oleh maestro adalah ipse dixit, ia telah
mengatakannya (sang guru, Pitagoras telah mengatakannya). Ipse dixit merupakan suatu
ekspresi tentang otoritas tertinggi.
Karakter misteri dinyatakan dalam sikap diam para pengikut pitagorisme. Tiada seorang
pun boleh menyebarluaskan pitagorisme secara publik terlepas dari komunitas. Semua
doktrin dan praktek hidup selalu dirahasiakan dari orang biasa; siapa yang melanggar akan
dihukum. Jadi, pitagorisme merayakan misteri suci pengetahuan.
Dalam sejarah peradaban, para pengikut pitagorisme merupakan kelompok pertama
yang menjalankan sebuah pola hidup yang sangat mengagungkan pengetahuan. Karena
devosi dan adorasi terhadap pengetahuan, mereka dianggap sebagai pencetus bios
theoretikos, hidup kontemplatif mencari kebenaran. Mereka berkontemplasi mencari
kebenaran untuk pemurnian diri dan meraih kesempurnaan dewani. Itulah hidup
pitagorian.
Xenophanes dan Aliran Elea
6. Xenophanes
Xenophaness lahir di Kolophon sekitar tahun 570 SM. Sekitar 545 SM ia terpaksa
mengungsi ke Jonia dan dari tempat ini ke Sicilia serta daerah Italia meridional lainnya. Namun,
semua data kelahiran tersebut tetap tinggal sebagai perkiraan alias dugaan semata.
a) Kritik atas Agama Tradisional Yunani
Tema utama yang digagas Xenophanes adalah kritik terhadap konsepsi tentang dewadewi yang telah berakar dalam kepercayaan Yunani dan terutama ditegaskan secara
paragdimatis oleh Homer dan Esiodos. Xenophanes mengungkapkan sekian banyak
kekeliruan prinsipil dalam pemahaman khalayak tentang dewa-dewi dan dari kekeliruan
tersebut muncul sekian banyak gambaran-gambaran dan ungkapan-ungkapan yang terasa
janggal. Nah, kekeliruan dasar itu terletak pada antropomorfisme. Artinya, pendapat dan
keyakinan umum menggambarkan dewa-dewi memiliki rupa, bentuk, perasaan dan
kecenderungan-kecenderungan yang sama dengan manusia. Perbedaan antara dewa-dewi
dan manusia hanya terletak pada kwantitas dan kwalitas semata.
Xenophanes berusaha mengubah gambaran dan keyakinan tersebut dengan
menegaskan bahwa tiada kesamaan antara dewa-dewi dan manusia, apa lagi sampai
mempunyai kebiasaan dan kemampuan untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk dan
jahat sebagaimana diyakini oleh kepercayaan publik. Xenophanes menolak juga gambaran
homerian yang mengatakan bahwa dewa-dewi bergerak dan pergi ke dari satu tempat ke
tempat lain seperti seorang petualang. Ditolak juga keyakinan bahwa umum yang
14
mengidentikkan fenomen-fenomen langit dan bumi dengan aneka macam divinitas,
sebaliknya Xenophanes menganggapnya sebagai fenomen alam semata. Contohnya,
khalayak ramai yakin bahwa lembayung adalah dewi Iris. Filosof kita ini mengatakan bahwa
lembayung merupakan kombinasi dari awan gemawan.
b) Allah dan Keilahian
Lalu siapakah Allah menurut Xenophanes? Allah adalah Dia yang memiliki kekuasaan
lebih tinggi daripada dewa-dewi dan manusia. Namun demikian, ide Xenophanes ini mesti
dipahami dengan tepat; gambaran Allah yang dia maksudkan tentu berbeda daripada
gambaran yang hidup dalam kepercayaan agama-agama wahyu. Allah Xenophanes adalah
Allah-kosmos yang mengakui adanya sekian banyak dewa-dewi dan makhluk-makhluk ilahi
lainnya. Dewa-kosmos itu selalu berada di tempatnya. Dia melihat, mendengar dan berpikir
tapi bukan dalam dimensi manusia, melainkan dimensi kosmologis.
Karena itu, beberapa penafsiran yang mengatakan bahwa Xenophanes berbicara tentang
Allah yang satu dan sama (monoteisme) merupakan sebuah pendapat yang kurang
mempertimbangkan alam kepercayaan Yunani klasik pada umumnya dan bersifat
anakronistis. Yang pasti, gambarannya tentang Allah memang berbeda dari pendapat
umum masa itu yang antropomorfistis dan berbeda pula dari keyakinan Yahudi dan Kristiani
mengenai ketunggalan dan kemahakuasaannya sebagai sang Pencipta.
c) Kosmologi
Mengenai prinsip kosmologis, Xenophanes tidak memiliki suatu kepastian pendapat. Di
satu sisi ia melihat bahwa tanah adalah prinsip dari segala sesuatu, “semua lahir dari tanah
dan akan berakhir menjadi tanah”, di sisi lain, ia menyebut tanah dan air sebagai asal
muasalnya: “segala sesuatu yang tumbuh dan berkembang adalah (dari) tanah dan air”.
Tampaknya, di balik gagasan tentang air dan tanah, Xenophanes bermaksud menjelaskan
makhluk hidup di semesta raya dan bukan keseluruhan ada. Air dan tanah sebagai prinsip
lebih merujuk pada konsepsi Gaia, yaitu sebagai Dewa-Bumi. Pengertian dan penjelasan
Xenophanes tentang prinsip dari segala sesuatu, meskipun agak kabur, tetap
memperlihatkan suatu perubahan cara pikir dan wawasan baru tentang semesta raya.
Walaupun masih tetap mempertahankan makna religius, perlahan-lahan penjelasan
rasional semakin mendapat tempat. Logos sedang menempatkan diri sebagai paradigma
utama dalam memahami alam semesta.
7. Parmenides
Parmenides lahir di kota Elea di daerah Italia Selatan, yang masa itu berada dalam wilayah
kekuasaan imperium Yunani pada awal abad VI (515?) SM dan wafat pada pertengahan abad IV
SM. Di kota kelahirannya ia mendirikan sebuah sekolah yang terkenal dengan sebutan “Sekolah
Elea” dan sekolah ini mempunyai pengaruh besar dan luas dalam alam pemikiran Yunani klasik.
15
Secara filosofis, ada yang mengatakan bahwa pada permulaan Parmenides mendapat
pengajaran dari seorang pitagorian bernama Haminias dan hal ini ditunjukkan lewat puisi
berjudul “Tentang Alam” yang sarat dengan semangat religius dan mistik.
Dari sudut pemikiran, Parmenides merupakan seorang pembaharu radikal dan sekaligus
revolusioner pada era pra-sokratesan. Artinya, persoalan seputar kosmos atau physis telah
dilampaui dan pusat permenungan di fokuskan pada realitas itu sendiri. Tiada lagi rujukan pada
sesuatu yang sepotong-sepotong atau anasir-anasir tertentu. Persoalan seputar prinsip-prinsip
dari segala sesuatu yang sebelumnya begitu menarik perhatian, oleh Parmenides
ditransformasikan menjadi persoalan mengenai ada. Parmenides adalah pemulai ontologi
dalam pengertian yang sebenarnya.
Tiga jalan permenungan Parmenidean
Berkaitan dengan metode permenungan, Parmenides memperkenalkan tiga jalan atau
kemungkinan. Kemungkinan pertama di sebuah sebagai jalan kebenaran absolut. Jalan kedua
dinamakan dengan jalan kekeliruan. Terakhir, jalan ketiga adalah jalan plausibilitas panca
indera (doxa). Berikut uraian singkat mengenai apa arti ketiga jalan yang dimaksud.
a) Jalan Kebenaran Absolut
Prinsip utama pemikiran parmedean bertumpu pada kebenaran ontologis: ada adalah
ada dan tidak dapat tidak ada; tidak ada adalah tidak ada dan mustahil dapat ada. Prinsip
ontologis ini secara jelas ingin mengatakan bahwa ada diterima dan diakui, sementara tidak
ada disangkal. Menyangkal ada dan menerima tidak ada merupakan sebuah kekeliruan
absolut. Jadi, kebenaran terletak pada pengakuan mengenai ada dan penyangkalan
terhadap tidak ada. (Bdk. Fragmen 2, 6, 8).
Ada dan tidak ada dalam permenungan parmenidean mempunyai makna utuh dan
univoc. Artinya, ada merupakan positif murni dan tidak ada bermakna negatif semata
dalam totalitas masing-masing. Tiada kemungkinan bagi masing-masing untuk memuat
salah satunya di dalam dirinya. Dalam kaitannya dengan gerak atau aktivitas pemikiran, ada
merupakan satu-satunya hal yang dapat dipikirkan dan diungkapkan. Berpikir berarti
berpikir tentang ada. Ada dan berpikir saling bertautan dan mengandaikan: tiada aktivitas
pikiran tanpa ada dan tiada ada yang terlepas dari pikiran. Sementara itu, tidak ada
mustahil dipikirkan dan diungkapkan: tiada satu akses pun mampu menembus ketiadaan.
Ketiadaan adalah ketiadaan dan ketiadaan berada di luar jangkauan pikiran.
Para penafsir kemudian menyimpulkan dalam prinsip ontologis parmenidean sebagai
formulasi pertama prinsip non-kontradiksi. Kontradiktoritas terungkap dalam dua sisi ektrim
yang saling berseberangan : ada dan tidak ada. Jika berada ada, tiada pernah ada ketiadaan
atau sebaliknya di mana ketiadaan takkan pernah ada ada apapun.
Adapun makna ada dalam pengertian parmenidean adalah sebagai berikut.
1.
Pada tempat pertama, ada tidak mempunyai awal (ingenerabile) dan tidak dapat
binasa (incorrutibile).
16
2.
Ada tiada mengenal masa lalu maupun masa depan.
3.
Ada tidak dapat berubah dan bersifat tetap secara absolut.
4.
Ada tidak dapat dibagi ke dalam bagian-bagian atau satuan-satuan apapun. Ada
adalah suatu kesatuan utuh, sama dan identik.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa ada parmenidean ialah ada tanpa asal muasal,
incorrutibile, immutabile, immobile, sama, sferiforma (berbentuk bulat) dan satu. Ada
bukanlah prinsip dalam pengertian sebelumnya, karena tidak memiliki turunan, tidak
berubah dan tetap, sama dan tidak dapat dibeda-bedakan. Dalam arti tertentu, ada
parmenidean mempunyai karakter ambigu, mengingat ada bukanlah kosmos maupun
prinsip, sehingga memerlukan suatu penjelasan rinci dan lebih mendalam lagi.
b) Jalan Kekeliruan (opini)
Jalan kebenaran merupakan jalan nalar atau jalan logos. Logos semata dapat mengakui
ada dan menyangkal ketiadaan. Sebaliknya panca indera dapat saja meyakini eksistensi
menjadi dan gerak, lahir dan mati, ada dan ketiadaan. Sayang sekali bahwa sebagian amat
besar pendapat dan keyakinan manusia didasarkan pada panca indera.
Mengakui ada dan sekaligus ketiadaan secara substansial berarti mengakui keabsurdan,
nullus. Jika orang mengatakan bahwa nullus est, dan menegaskan bahwa terdapat ada dan
ketiadaan secara bersamaan, pernyataan tersebut bertentangan secara esensial dengan
kenyataan sesungguhnya. Pernyataan demikian sama saja membuka suatu kemungkinan
bagi kontradiksi negatif (ketiadaan), yang berarti di luar akal sehat dan absurd. Jadi, jalan
kekeliruan berakar dalam pengakuan bahwa ada berada bersama dengan ketiadaan.
c) Plausibilitas fenomen dan doxa
Dalam fragmen 9, Parmenides mengakui bahwa cahaya dan malam adalah sama, karena
tidak satu pun dari keduanya adalah ketiadaan dan karena itu keduanya adalah ada. Jika
cahaya dan malam merupakan dua bagian dari ada, itu berarti bahwa perubahan dan
gerak, yang menjadi bahan pencerapan panca indera, dalam arti tertentu, diterima sebagai
sebuah kebenaran lain (kebenaran inderawi), selain kebenaran ontologis.
8. Zenon
Zenon lahir di Elea pada sekitar akhir abad ke VI atau awal abad ke V SM (490 SM?). Zenon
merupakan murid Parmenides dan sekaligus penerusnya di Sekolah Elea yang didirikan oleh
Parmenides. Sama seperti gurunya, Zenon terlibat dalam kehidupan politik dan pernah masuk
penjara gara-gara menentang seorang Tiran, bernama Nearcus atau Diomedontes, seperti
terungkap dalam Epitome Satir.
Pemikiran Parmenides tentu saja menyulut perdebatan besar di kalangan para pemikir
Yun