FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STOMATITIS AFTOSA REKUREN (SAR) PADA MAHASISWA DI PONTIANAK

JKMK JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT KHATULISTIWA

  http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/JKMK?page=index

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STOMATITIS AFTOSA

REKUREN (SAR) PADA MAHASISWA DI PONTIANAK

  

1

  2 Otik Widyastutik , Angga Permadi 1,2

Fakultas Ilmu Kesehatan: Universitas Muhammadiyah Pontianak

Jl. Jenderal Ahmad Yani No.111 : Pontianak

  

Email : otik@unmuhpnk.ac.id

Abstrak Info Artikel

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor penyebab terjadinya kejadian SAR pada Sejarah Artikel: mahasiwa di Pontianak. Desain yang digunakan adalah observasional analitik dengan pendekatan cross Diterima 26 Juni 2017 sectional terhadap 279 sampel. Analisis data melalui tiga tahapan yaitu univariat, bivariat (Chi square),

  Disetujui 01 Juli 2017 dan analisis multivariat (regresi logistik). Hasil penelitian menjelaskan bahwa faktor genetik (p value = Di Publikasi 31 Agustus 0,002) (PR = 1,786; CI 95% 1,278-2,497), trauma sikat gigi (p value = 0,002) (PR = 1,874; CI 95% 1,259- 2017 2,790) dan konsumsi air putih (p value = 0,024) (PR = 1,558; CI 95% 1,070-2.270 yang berarti ada hubungan dengan riwayat kejadian SAR. Hasil analisis multivariat menunjukkan faktor penyebab yang

  Keywords: paling berpengaruh dalam menyebabkan SAR adalah Trauma Sikat Gigi (PR = 1,994). Kemungkinan SAR, genetik, trauma, seseorang yang memiliki genetik SAR dan sering mendapatkan trauma sikat gigi berisiko 48,66%. untuk konsumsi air putih mengalami SAR. Anjuran kepada penderita SAR untuk mewaspadai sariawan berkepanjangan untuk segera memeriksakan dan mengatasi faktor-faktor yang menjadi pemicu timbulnya SAR guna mengantisipasi munculnya penyakit sistemik.

  

FACTORS RELATED TO RECURRENT APHTHOUS STOMATITIS AT

THE UNIVERSITY STUDENTS IN PONTIANAK Abstract This study aimed to find out the factors related to canker sores history in university students in Pontianak.

  An analytical observation and a cross sectional design were carried out in this study. The samples were 279 university students. The data were analyzed in three stages; univariate, bivariate (ChiSquare), and multivariate (logistic regression). The study revealed two findings. First, there were correlation of genetic factor ( p value=0,002) (PR=1,786;CI 95% 1,278-2,497), toothbrush trauma (p value=0,002)(PR=1,874; CI 95% 1,259-2,790), mineral water intake (p value=0,024)(PR=1,558; CI 95% 1,070-2.270), and canker sores history. Hence, the multivariate analysis indicated that the most influential factor in canker sores was toothbrush trauma (PR=1,994). Also, the possibility of a person who had genetic factor of canker sores and had tooth brush trauma of 48,66% would experience more canker sores.

  © 2017, Universitas Muhammadiyah Pontianak 

  Alamat korespondensi:

  ISSN 2581-2858 Universitas Muhammadiyah Pontianak, Pontianak Email: otik@unmuhpnk.ac.id

  JKMK., Jurnal Kesehatan Masyarakat Khatulistiwa Vol.4, No.3, Agustus 2017 PENDAHULUAN

  Stomatitis Aftosa rekuren atau Recurent Aphthous Stomatitis yang juga dikenal dengan

  sariawan. Apthous ulser merupakan ulser pada mukosa mulut yang rekuren (berulang) terasa sakit dan tidak diketahui penyebabnya. Stomatitis aftosa

  rekuren

  (SAR) adalah salah satu kelainan mukosa yang paling sering terjadi dan menyerang kira-kira 15-20% populasi di Inggris. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan pada golongan sosioekonomi atas dan di antara para mahasiswa selama waktu-waktu ujian. 1 Sariawan dapat menyerang selaput lendir pipi bagian dalam, bibir bagian dalam, lidah, gusi, serta langit-langit dalam rongga mulut. SAR tergolong

  ulkus yang merupakan suatu luka terbuka dari kulit

  atau jaringan mukosa yang memperlihatkan disintegrasi dan nekrosis jaringan yang sedikit demi sedikit, biasanya berupa bercak putih ke kuning-kuningan baik tunggal maupun berkelompok. Penyakit ini sangat mengganggu bagi penderitanya, karena penyakit ini bermanifestasi di dalam rongga mulut yang dapat mengganggu fungsi pengunyahan. Sehingga tidak jarang penderita yang mengalami penyakit ini nafsu makannya berkurang asupan gizi untuk tubuh juga berkurang karena kekurangan vitamin C, vitamin B1, vitamin B2 dan zat besi. 2 SAR pada tahap awal umumnya sakit, dapat sembuh sendiri dalam waktu 10-14 hari tanpa pengobatan dan dapat kambuh kembali. Dapat dikatakan bahwa setiap orang pasti pernah mengalami stomatitis baik yang ringan maupun yang berat hingga stomatitis tersebut mengganggu fungsi fisiologis. Gangguan ini dapat menyebabkan penderita mengalami gangguan bicara, mengunyah, menelan bahkan kelainan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi tubuh bila terjadi dalam waktu yang lama dengan frekuensi kejadian yang sering terjadi. 3 Para ahli mengatakan terdapat beberapa faktor yang telah diketahui turut berperan dalam timbulnya lesi-lesi SAR. Faktor-faktor tersebut terdiri dari: genetika, alergi, stres (psikologi atau emosi), dan trauma (luka di mulut). 4 Berdasarkan survei pendahuluan yang telah peneliti lakukan terhadap 30 mahasiswa Reguler

  Universitas Muhammadiyah Pontianak, didapatkan 76,66% (23 responden) pernah mengalami SAR atau sariawan 3 bulan terakhir dengan 56,52% (13 responden) adalah perempuan dan 43,47% (10 responden) adalah laki-laki. Sedangkan pada 30 mahasiswa Universitas Tanjung Pura Pontianak, didapatkan 73,33% (22 responden) pernah mengalami sariawan dalam 3 bulan terakhir, dengan 80% (12 orang) responden adalah perempuan dan 66,66% (11 orang) responden adalah laki-laki.

  Berbagai sumber menyebutkan bahwa episode pertama SAR sering dimulai pada dekade kedua kehidupan yang sesuai dengan usia rata-rata mahasiswa. Di usia mahasiswa yang aktivitasnya padat dapat memunculkan satu persatu faktor penyebab SAR salah satunya stres sehingga mahasiswa lebih rentan untuk terkena SAR dibandingkan pada kelompok usia lainnya. Maka dari itu peneliti memilih membandingkan hasil survei awal di dua universitas yang keduanya merupakan universitas terbesar di Pontianak. Hasil survey pendahuluan di atas menunjukkan bahwa jumlah penderita SAR yang tidak jauh berbeda menjadi acuan untuk peneliti meneliti di 5 kampus terbesar di Pontianak yang dapat mewakili kampus-kampus lainnya di Pontianak yaitu Universitas Tanjungpura, IKIP PGRI Pontianak, Universitas Muhammadiyah Pontianak, STIK Muhammadiyah Pontianak, dan Politeknik Kesehatan Kemenkes Pontianak.

  Berdasarkan penjelasan di atas peneliti tertarik untuk meneliti faktor apa saja yang menjadi penyebab riwayat terjadinya Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) pada mahasiswa di Pontianak.

  METODE

  Jenis penelitian ini adalah observasional

  analitik, yaitu penelitian yang mengamati dan

  menganalisis hubungan antara faktor risiko melalui pengujian hipotesis dan desain penelitian yang digunakan adalah potong lintang (cross sectional).

  Otik Widyastutik & Angga Permadi. Faktor yang Berhubungan dengan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)

  Berdasarkan tabel 1 di atas diketahui bahwa sebagian besar responden berumur 18-22 tahun (88,5%) sedangkan responden berumur 23-28 tahun sebesar (11,5%) dan sebagian besar responden adalah perempuan yaitu sebesar (71%), sedangkan laki-laki sebesar (29%),

  Berdasarkan tabel

  86 30,8 Tidak ada genetik 193 69,2 Trauma Sikat Gigi Ya 160 57,3 Tidak 119 42,7 Konsumsi Air Putih Tidak Cukup 158 43,4 Cukup 121 56,6 Sumber: Data Primer, 2017

  Tabel 3. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Riwayat SAR Variabel Frekuensi Persentase Riwayat SAR Ada Riwayat 88 31,45 Tidak ada riwayat 191 68,45 Genetik Ada genetik

  Berdasarkan tabel 2 di atas, responden terbanyak terdapat di Universitas Tanjungpura sebesar 57,7%, dan yang paling sedikit adalah di STIK Muhammadiyah Pontianak yaitu 2,9%. Jumlah tersebut didapatkan dari hasil perhitungan proporsi dari jumlah mahasiswa seluruh kampus.

  8 2,9 Jumlah 279 100 Sumber: Data Primer, 2017

  22 7,9 Poltekkes Kemenkes Pontianak 17 6,1 STIK Muhammadiyah Pontianak

  IKIP PGRI Pontianak 71 25,4 Universitas Muhammadiyah Pontianak

  161 57,7

  2. Distribusi Karakteristik Responden berdasarakan Tempat Pendidikan Variabel Frekuensi Persentase Tempat Universitas Tanjung Pura Pontianak

  Tabel

  71 Sumber: Data Primer, 2017

  Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa di 5 kampus terbesar di Pontianak yang

  29 Perempuan 198

  81

  Tabel.1 Distribusi Karakteristik Responden Umur dan jenis Kelamin Variabel Frekuensi Persentase Umur 18-22 247 88,5 23-28 32 11,5 Jenis Kelamin Laki-laki

  Penelitian dilakukan di 5 kampus terbesar di Pontianak yaitu Universitas Tanjungpura Pontianak yang memiliki 22.557 mahasiswa, Universitas Muhammadiyah Pontianak yang memiliki 3.191 mahasiswa, STIK Muhammadiyah Pontianak yang memiliki 897 mahasiswa, IKIP PGRI Pontianak yang memiliki 8.153 mahasiswa, dan Poltekes Kemenkes Pontianak yang memiliki 741 mahasiswa.

  HASIL

  Data diperoleh melalui wawancara langsung dan observasi. Analisis data dilakukan secara bertahap meliputi analisis univariat, bivariat diuji secara statistik Chi Square dengan derajad ketepatan 95% (α = 0,05), dan multivariat untuk mengetahui pengaruh hubungan variabel bebas mana yang lebih berkaitan erat hubungannya dengan variabel terikat.

  sampel yang digunakan adalah accidental yaitu siapa saja mahasiswa yang ditemui akan terpilih menjadi sampel.

  sampel minimal 279 orang , teknik pengambilan

  dari 5 kampus terbesar di Pontianak, dengan

  Sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa

  berjumlah 38.030 mahasiswa.

  3 Diketahui bahwa responden yang memiliki riwayat SAR yaitu sebesar 31,45%, sedangkan responden yang tidak memiliki riwayat SAR yaitu sebesar 68,45%, responden yang ada genetik sebesar (30,8%), lebih sedikit dibandingkan dengan responden yang tidak ada genetik (69,2%). Sebagian besar responden yang mengalami trauma sikat gigi (57,3%) sedangkan responden yang tidak trauma sikat gigi sebesar (42,7%).

  JKMK., Jurnal Kesehatan Masyarakat Khatulistiwa Vol.4, No.3, Agustus 2017 Tabel 4. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi Sikat Gigi dan Stress Variabel Frekuensi Persentase Frekuensi Sikat Gigi Tidak memenuhi syarat

  52 18,6 Memenuhi syarat 227 81,4 Stres Berat 1 0,4 Sedang 276 98,9 Sumber: Data Primer, 2017

  Berdasarkan tabel 4 di atas, responden yang tidak memenuhi syarat frekuensi menyikat gigi sebesar (18,6%), sedangkan responden yang memenuhi syarat frekuensi menyikat gigi sebesar (81,4%). Responden yang tidak mencukupi kebutuhan konsumsi air putih perhari sebesar (43,4%) sedangkan yang cukup konsumsi air putih (56,6%). Responden yang mengalami stres berat (0,4%), responden yang mengalami stres sedang sebesar (98,9%) , dan responden yang mengalami stres ringan 0,7%.

  Tabel 5. Hasil Analisa Bivariat Variabel p value PR 95% CI Genetik 0,002 1,786 1,278-2,497 Trauma Sikat Gigi 0,002 1,874 1,259-2,790 Frekuensi Menyikat Gigi

  0,305 1,284 0,863-1,910 Konsumsi Air Putih 0,024 1,558 1,070-2,270 Stres 0,315 3,195 2,685-3,803 Sumber: Data Primer, 2017

  Berdasarkan tabel 5 didapatkan hasil bahwa hasil uji statistik genetik dengan riwayat SAR diperoleh nilai p value= 0,002 lebih kecil dari α = 0,05 dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara genetik dengan riwayat kejadian Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR). ukuran asosiasi ditunjukkan dengan nilai prevalensi rasio sebesar 1,786 yang artinya bahwa kejadian SAR pada kelompok yang memiliki riwayat genetik 1,786 kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang tidak memiliki riwayat genetik.

  Hasil uji statistik trauma sikat gigi dengan riwayat SAR diperoleh nilai p value= 0,002 lebih kecil dari α = 0,05 dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan menyikat gigi dengan riwayat

  Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) pada mahasiswa

  di Pontianak. Ukuran asosiasi ditunjukkan dengan nilai prevalensi rasio sebesar 1,874 yang artinya bahwa kejadian SAR pada kelompok mengalami trauma sikat gigi 1,874 kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang tidak mengalami trauma sikat gigi.

  Hasil uji statistik frekuensi menyikat gigi dengan riwayat SAR diperoleh nilai p value= 0,305 lebih besar dari α = 0,05 dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara frekuensi menyikat gigi dengan riwayat Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Nilai PR = 1,284 artinya prevalensi SAR oleh karena frekuensi menyikat gigi tidak memenuhi syarat 1,284 kali lebih besar dibandingkan dengan prevalensi SAR oleh karena frekuensi menyikat gigi memenuhi syarat dan merupakan faktor risiko kejadian SAR.

  Hasil uji statistik konsumsi air putih dengan riwayat SAR diperoleh nilai p value= 0,024 lebih kecil dari α 0,05 dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara konsumsi air putih dengan riwayat kejadian Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR). Ukuran asosiasi ditunjukkan dengan nilai prevalensi rasio sebesar 1,558 yang artinya bahwa kejadian SAR pada kelompok yang SAR oleh karena konsumsi air putih yang tidak cukup 1,558 kali lebih besar dibandingkan dengan prevalensi SAR oleh karena konsumsi air putih yang cukup.

  Hasil uji statistik stres dengan riwayat SAR diperoleh nilai p value = 0,315 lebih besar dari α = 0,05 dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara stres dengan riwayat Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR). Nilai PR = 3,195 artinya prevalensi SAR oleh karena stres berat 3,195 kali lebih besar dibandingkan dengan prevalensi SAR oleh karena stres sedang dan ringan dan merupakan faktor risiko kejadian SAR.

  Berdasarkan uji Hosmer and Lemeshow didapat nilai p = 0,583 lebih besar dari 0,05 artinya persamaan yang diperoleh mempunyai nilai kalibrasi yang baik. Berdasarkan uji Receive

  Operating Curve (ROC) didapat nilai Area Under

  Otik Widyastutik & Angga Permadi. Faktor yang Berhubungan dengan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Curve (AUC) = 63,9% yang artinya nilai

  faktor yang berpengaruh terhadap riwayat kejadian

  sitotoksik dengan jalan mengaktifkan sel mononukleus ke epitelium. 5 Prevalensi paling

  beberapa ahli masih menolak hal tersebut. HLA menyerang sel-sel melalui mekanisme

  Human Leucocyte Antigen (HLA), namun

  Selain itu, hasil penelitian dari Akkoca, dkk 6 yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara riwayat genetik dengan pasien SAR (p value = 0,0001) dan 32,8% pasien memiliki riwayat keluarga positif SAR. Faktor genetik dianggap mempunyai peranan yang sangat besar pada pasien yang menderita SAR. Faktor ini diduga berhubungan dengan peningkatan jumlah

  Hasil penelitian Jurge 5 yang menunjukkan bahwa sebuah kecenderungan genetik ditemukan, 20% dari pasien yang mengalami SAR memiliki riwayat keluarga positif SAR.

  1. Hubungan antara genetik dengan Stomatitis Aftosa Rekuren

  PEMBAHASAN

  51,44% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak termasuk dalam uji regresi logistik ini. Hasil uji diskriminasi tersebut menjelaskan bahwa model yang digunakan tidak dapat memunculkan probabilitas variabel berupa persen sebagai faktor penyebab SAR.

  SAR adalah Genetik (PR = 1,981; 95% CI 1,131 - 3,469) dan Trauma Sikat Gigi (PR = 2,015; 95% CI 1,140 - 3,560). Sedangkan faktor yang paling berpengaruh dalam menyebabkan SAR adalah Trauma sikat Gigi (PR=2,015). Dengan demikian probabilitas seseorang yang memiliki riwayat genetik dan mengalami trauma sikat gigi untuk mengalami SAR adalah 48,66% sedangkan

  Berdasarkan tabel.5 di atas diketahui bahwa

  persamaan mempunyai diskriminasi yang kurang memuaskan.

  Sumber: Data Primer, 2017

  0,700 0,016 2,015 (1,140- 3,560) 32,45%

  3,469) 32,11% Trauma Sikat Gigi

  PR ( 95% CI ) Probabilitas Genetik 0,684 0,017 1,981 (1,131-

  Variabel β p value

  Tabel 5. Hasil analisa multivariat regresi logistik antara Genetik dan Trauma sikat gigi dengan riwayat Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)

  ) p = 1/(2,055) p = 0,4866 => 48,66%

  Probabilitas seseorang yang memiliki riwayat genetik dan memiliki kebiasaan terbentur saat menyikat gigi untuk mengalami SAR adalah sebagai berikut: y = konstanta + a 1 x 1 \ + a 2 x 2 y = -1,438 + 0,684 (genetik) + 0,700 (trauma sikat gigi) y = -1,467 + 0,684 (1) + 0,700 (1) y = -0,054 Probabilitas untuk mengalami SAR adalah: p = 1/(1 + e

  • -y ) p = 1/(1 + 2,7 0,054

  Sumber: Data Primer, 2017

  Tabel 6. Hasil analisis multivariat variabel bebas dengan variabel terikat Variabel p value Ket Genetik 0,024 + Trauma Sikat Gigi 0,024 + Frekuensi Menyikat Gigi 0,137 + Konsumsi Air Putih 0,094 + Stres 1,000 -

  tinggi dari SAR dapat terindikasi dari latar belakang kondisi genetik. keturunan dari beberapa gen tertentu, terutama sitokin proinflamasi yang berperan dalam pembentukan ulser SAR, dapat mempengaruhi anggota keluarga untuk SAR. 7 Pada hampir dari 50% pasien mempunyai riwayat SAR yang mengenai salah seorang orang tuanya, jarang SAR tersebut terdapat pada kedua orang tua. Saudara-saudara pasien tidak selalu terserang, dan sangat jarang ditemukan adanya serangan SAR pada seluruh anggota keluarga. Sircus berpendapat bahwa bila kedua orang tua terkena SAR, maka besar kemungkinan timbul SAR pada anak-anaknya. 8 Pasien dengan riwayat keluarga SAR akan menderita SAR sejak usia muda dan lebih berat

  JKMK., Jurnal Kesehatan Masyarakat Khatulistiwa Vol.4, No.3, Agustus 2017

  dibandingkan dengan pasien tanpa riwayat keluarga SAR. 9 Walaupun SAR dari genetik tidak dapat dihindari namun pencegahan terjadinya SAR dapat dilakukan dengan menghindari faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya SAR seperti menjaga pola makan untuk memenuhi kecukupan gizi agar memperkuat imunitas dan menghindari terjadinya trauma di dalam rongga mulut.

  2. Hubungan antara Trauma Sikat Gigi dengan Riwayat Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)

  Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Darmanta 14 yang memperoleh hasil bahwa 91,1% responden pernah mengalami lesi yang diduga sebagai SAR dan lesi yang muncul setelah responden mengalami trauma di dalam rongga mulutnya. Trauma yang sering dialami yaitu trauma karena terbentur sikat gigi saat menyikat gigi dan tidak sengaja tergigit bagian tertentu dari mukosa mulut.

  Beberapa pasien mengira bahwa lesi terjadi akibat trauma, sebab gejala awalnya didahului oleh sikat gigi yang menyodok mukosa mulut. Letak lesinya tergantung pada daerah yang terlibat dalam trauma tersebut. 13 Temuan ini mengkonfirmasi bahwa cedera yang disebabkan mekanis dari mukosa mulut dapat menyebabkan ulserasi pada orang rentan terhadap stomatitis aftosa rekuren. 15 Meskipun hasil uji multivariat memiliki model yang kurang baik, namun angka probabilitas yang didapat sebesar 32,45% untuk menyebabkan SAR, maka dari itu sangat perlu berhati-hati dalam menyikat gigi, tidak terburu- buru dan mengganti sikat gigi secara rutin maksimal 3 bulan sekali tergantung kondisi sikat gigi itu sendiri.

  3. Hubungan antara Frekuensi Menyikat Gigi dengan Riwayat Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)

  Hasil penelitian dari Anitasari 17 menunjukkan bahwa frekuensi menyikat gigi yang kurang dari 2 kali sehari sebanyak 55,56% responden memiliki tingkat kebersihan yang buruk.

  Mengeliminasi faktor-faktor predisposisi dilakukan untuk mengurangi jumlah koloni bakteri dalam rongga mulut guna mencegah infeksi sekunder serta mempercepat penyembuhan SAR, salah satu hal yang dilakukan yaitu membersihkan rongga mulut. 18 Secara tidak langsung kebersihan rongga mulut bisa mempengaruhi munculnya SAR.

  Menjaga kebersihan rongga mulut adalah salah satu upaya pencegahan penyakit rongga mulut. Meskipun etiologi SAR belum dapat dipastikan penyebabnya, namun SAR bisa saja terjadi karena bakteri yang ada di mulut ketika menyikat gigi tidak bersih sepenuhnya. Anjuran dari Federasi Dokter Gigi International mengatakan bahwa menyikat gigi sebaiknya 2 kali sehari, pagi dan malam hari.

  Meskipun tidak berhubungan, namun frekuensi menyikat gigi yang tidak memenuhi syarat kemungkinan menyebabkan SAR 21,43%. Sebaiknya tetap menjaga kebersihan mulut dengan menyikat gigi dengan teratur sebagai upaya mencegah timbulnya penyakit gigi dan mulut salah satunya SAR.

  4. Hubungan antara Konsumsi Air Putih dengan Riwayat Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)

  Pengetahuan akan pentingnya air putih bagi kesehatan sangat minim. Sebagian besar remaja dewasa hanya minum air sebagai kebutuhan sehari-hari tanpa mengetahui minuman apa yang baik untuk tubuh dan juga betapa pentingnya peran air bagi kesehatan. 19 Untuk melakukan perbandingan data belum ditemukan penelitian mengenai faktor penyebab SAR yang disebabkan oleh kurangnya konsumsi air putih. Namun, data di lapangan menunjukkan antara konsumsi air putih dengan riwayat kejadian SAR memiliki hubungan yang signifikan, bahkan hasil uji multivariat juga menjelaskan angka kemungkinan seseorang yang kurang

  Otik Widyastutik & Angga Permadi. Faktor yang Berhubungan dengan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)

  Berdasarkan uji regresi logistik diketahui dua variabel yang memiliki pengaruh sebagai penyebab SAR yaitu faktor Genetik dan trauma sikat gigi dengan riwayat Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) pada mahasiswa di Pontianak.

  lanjut tentang pengaruh stres terhadap sariawan/SAR menggunakan instrument penelitian

  Bagi Peneliti Lainnya Perlunya penelitian lebih

  namun kasus SAR sangat sering ditemukan di lapangan, maka perlu adanya program pencegahan penyakit tidak menular SAR.

  Bagi Instansi Terkait Data terkait Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) belum tercatat di instansi,

  mulut, menyikat gigi dengan benar dan teratur, serta rutin mengganti sikat gigi minimal 1 bulan sekali. Membiasakan diri mengkonsumsi air putih minimal 8 gelas perhari.Melakukan pemeriksaan ke dokter jika sariawan/SAR sering terjadi dan mengurangi frekuensi konsumsi makanan/ minuman panas.

  Saran Bagi Mahasiswa Menjaga kebersihan gigi dan

  Dari hasil analisis bivariat terdapat beberapa variable yang memiliki hubungan yaitu genetik, trauma sikat gigi, konsumsi dan konsumsi air putih dengan riwayat Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) pada mahasiswa di Pontianak. Sedangkan dua variable yaitu frekuensi menyikat gigi dan stress tidak memiliki hubungan.

  mengkonsumsi air putih untuk mengalami SAR sebesar 27,09%.

  KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

  Stres dapat disebabkan oleh tuntutan tugas dan pemenuhan target responden untuk menyelesaikan studinya. Ada juga masalah- masalah pribadi di luar kegiatan di kampus yang menyebabkan stres pada responden. 13 Meskipun tidak berhubungan sebaiknya berusaha mencegah agar tidak mengalami stres yang berat. Hasil penelitian Tirahiningrum 20 menunjukkkan bahwa mahasiswa kedokteran gigi tingkat akhir sebagian besar jarang mengalami stomatitis (72,5%) dengan tingkat stres psikologis yang ringan (77,5%). Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat keeratan hubungan yang signifikan antara tingkat stres psikologis dengan timbulnya stomatitis pada mahasiswa kedokteran gigi tingkat akhir sebesar 62,2%. Untuk mengurangi terjadinya stress berat, salah satunya membuat jadwal pekerjaan dan mengambil hari libur untuk beristirahat atau melakukan hal yang menyenangkan selain memenuhi tuntutan tugas kuliah.

  Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Tangkilisan yang menunjukkan bahwa gambaran stres mahasiswa Fakultas Kedokteran Sam Ratulangi yang mengalami SAR sebesar 59,7% dengan tingkat stress yang tinggi. Penelitian Darmanta 14 juga menunjukkan hasil bahwa responden yang mengalami SAR saat stres sebesar 33%.

  Hasil perbandingan prevalensi stres yang ekstrim terkait dengan jumlah responden untuk mengukur tingkatan stres masih terlalu kecil, sehingga menjadi salah satu keterbatasan penelitian, bahkan kemungkinan penyebab variabel stres yang tidak berhubungan.

  Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)

  Sebesar 80% di dalam tubuh manusia terdiri dari cairan. Tubuh sangat memerlukan air sekitar 2 liter untuk mengganti cairan yang keluar lewat air seni, keringat, pernapasan, dan sekresi. Para dokter juga menyarankan untuk mengkonsumsi air putih 8-10 gelas perhari untuk menghindari dehidrasi dan tidak menghalangi aktivitas tubuh. Mulut terasa kering dan lidah menjadi bengkak, dan sariawan adalah tanda panas dalam, bisa saja panas dalam diakibatkan oleh dehidrasi. Oleh sebab itu, upaya yang dapat dilakukan dalam upaya mencegah terjadinya SAR adalah dengan mengkonsumsi air putih secara rutin (≤8 gelas perhari).

5. Hubungan antara Stres dengan Riwayat

  JKMK., Jurnal Kesehatan Masyarakat Khatulistiwa Vol.4, No.3, Agustus 2017

  yang bisa menggali lebih dalam mengenai stress seperti mengukur gangguan tidur seseorang dan jenis pasta gigi berdasrakan merk.

  13. Herlofson, BB. and Barkvoll, P. 1994. Sodium Lauryl Sulfate and Aphthous Ulcers. A Preliminary Study . Acta Odontal Scand 1994:

  Sciences Vol. 4 (11): 946-949,2007.

  12. Atai, Zahra. 2007. Side Effect and Complications of Dental Materials on Oral Cavity . Journal. American Journal of Applied

DAFTAR PUSTAKA

  3. Scully, C. et al. 2003. The Diagnosis and Management of Recurrent Aphthous Stomatitis .

  18. Permatasi, Rina dan Usman, Munyati. 2008.

  15. Marwati, Enny. 2011. Penatalaksanaan Rasa Nyeri Pada Stomatitis Aftosa Rekuren . Jurnal.

  Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti.

  16. Akintoye, S.O. and Greenberg, MS. Reccurent

  Aphthous Stomatitis. Journal. Dent Clin N Am Vol. 58 (2014) 281-297.

  17. Anitasari, Silvia. 2005. Hubungan Frekuensi Menyikat Gigi dengan Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut Siswa Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Palaran Kotamadya Samarinda Provinsi Kalimanatan Timur . Jurnal. Majalah

  Kedokteran Gigi, (Dent. J), Vol. 38. No. 2, April-Juni 2005: 88-90.

  Tata Laksana SAR Minor Untuk Mengurangi rekurensi dan Keparahan (Laporan Kasus).

  Vol. 52: 257-259. Oslo.

  Jurnal. Indonesian Journal of Dentistry 2008; Vol. 15 (2): 147-154.

  19. Pratiwi, Herlia Uddy dan Rahayu, Esthi. 2012.

  Perilaku Konsumsi Air Putih Ditinjau dari Persepsi Terhadap Perilaku Kesehatan .

  Penelitian. Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang.

  20. Tirahiningrum, Purwani dkk. 2012. Hubungan Antara Tingkat Stres Psikologis dengan Timbulnya Stomatitis pada Mahasiswa Kedokteran Gigi Tingkat Akhir Universitas Brawijaya . Jurnal. Fakultas Kedokteran

  Universitas Brawijaya

  14. Darmanta, Anom Y. 2013. Angka Kejadian Lesi Yang Diduga Sebagai Stomatitis Aftosa Rekuren pada mahasiswa Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi.

  1. Lewis, M.A.O., dan Lamey, P-J. 2012. Tinjauan Klinis Penyakit Mulut (Clinical Oral Medicine) (drg.

  Journal. JADA, Vol.134, February 2003.

  7. Slebioda, Suzanna. 2013. Genetic Backround of Reccurent Aphthous Stomatitis . Postepy Dermatol Alergol; Vol: 30 No.2 ; 96-102.

  4. Scully, C. and Felix, D. H. 2005. Aphthous and Other Common Ulcers . Journal. British Dental Journal Vol:199 No.5 Sept 10 2005.

  5. Jurge, S. 2006. Mucosal Disease Series.

  Number VI. Reccurent Aphthous Stomatitis .

  Oral Medicine, Eastman Dental, University College London, UK. Oral Dis. Jan; Vol: 12 No.1; 1-21.

  6. Akkoca et al, 2014. The Frequency and Etiology of Recccurent Apthous Stomatitis in Helicobacter Pylori Positive Patients . Journal.

  American Journal of Internal Medicine. Vol. 2 No.4; 72-78.

  8. Haskell, R., dan Gayford, J.J. 1991. Penyakit Mulut (Clinical Oral medicine) (drg. Lilian Yuwono, Alih Bahasa). EGC. Jakarta.

  Elly Wiriawan, Alih Bahasa). Jakarta: Widia Medika.

  9. Porter, S.R.,et al. 1998. Reccurent Aphthous Stomatitis . Journal. Crit rev Oral Biol Med. Vol.

  9 No.3; 306-321 (1998).

  10. Jeong-Seung Kwon. 2012. Effect of Sodium Lauryl Sulfate on Reccurent Aphthous Stomatitis: A Randomized Controlled Clinical Trial . Oral Diseases, Vol 18:655-660. TMJ and

  Orofacial Pain Clinic, Departement of Oral Diagnosis & Oral Medicine, College of Dentistry, Yonsei University, Seoul, Korea.

  11. Benzian, H., et. Al. 2012. The UN High-level Meeting on Prevention and Control of Non- communicable Diseases and its significance for oral health worldwide. American Association

  Head and Neck medicine and Surgery. Vol:27 (2006) 229-232.

  2. Koybasi, S. et al. 2005. Reccurent Aphthous Stomatitis: Investigation of Possible Etiologic Factors . American Journal of Otolaryngology-

  of Public Health Dentistry, Vol. 72 No. 2 ; (91- 93). 2012