PENCITRAAN KONDUK TIVITAS BAWAH PERMUKAAN

Geoforum HAGI Bandung 2003

PENCITRAAN KONDUKTIVITAS BAWAH-PERMUKAAN
DAN APLIKASINYA UNTUK IDENTIFIKASI
PENYEBARAN KONTAMINAN CAIR
Tedi Yudistira dan Hendra Grandis
Program Studi Geofisika, Departemen Geofisika dan Meteorologi
Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral – ITB
Jl. Ganesha 10 Bandung – 40132
e-mail : tedi@geoph.itb.ac.id, grandis@geoph.itb.ac.id

Abstrak
Makalah ini membahas studi penyebaran kontaminan cair dalam tanah berdasarkan citra konduktivitas
bawah-permukaan 2-D yang diperoleh dari survey geolistrik. Pengukuran dilakukan pada bekas lokasi
penimbunan akhir sampah Pasir Impun Bandung. Secara kualitatif (dari pseudosection) maupun
kuantitatif (dari model hasil inversi) diperoleh gambaran penyebaran rembesan (leachate) yang berpotensi
menimbulkan pencemaran air-tanah di sekitar lokasi tersebut.
Abstract
The paper describes a study on contaminant fluid dispersion in the ground based on 2-D subsurface
conductivity image obtained from a geoelectrical survey. The survey was conducted at a former domestic
waste disposal at Pasir Impun Bandung. The results qualitatively (from pseudosection) and quantitavely

(from inverse model) show distribution of conductive leachate which is potential to groundwater
contamination at the surrounding area.

1. Pendahuluan
Metoda geolistrik dapat dimanfaatkan untuk
studi masalah lingkungan, yaitu untuk mendeteksi
kontras resistivitas medium akibat penyebaran
kontaminan yang umumnya diasosiasikan sebagai
fluida konduktif (Reynolds, 1998). Beberapa
studi telah dilakukan diantaranya untuk
identifikasi intrusi air laut (Nassir dkk., 2000),
kebocoran limbah hasil aktivitas industri (Van
dkk., 1991) atau pertambangan (Yuval &
Oldenburg, 1996). Perkembangan perangkat
pengukuran geolistrik (Griffiths dkk., 1990)
memungkinkan perolehan data dengan cepat
pada suatu lintasan untuk keperluan identifikasi
penyebaran fluida konduktif (Park, 1998).
Efektivitas metoda geolistrik pada studi
penyebaran kontaminan ditentukan terutama oleh

kemampuan untuk memperoleh citra atau model
resistivitas bawah-permukaan secara relatif
akurat melalui pemodelan inversi. Makalah ini
membahas penerapan metoda inversi data
geolistrik yang dapat menghasilkan model
resistivitas bawah-permukaan 2-D. Inversi pada
data sintetik dan data dari model analog
memberikan hasil yang cukup memuaskan

(Grandis & Yudistira, 2000; 2002). Inversi data
hasil pengukuran di tempat pembuangan akhir
(TPA)
sampah
Pasir
Impun
Bandung
menghasilkan
model
resistivitas
bawahpermukaan

yang
memberikan
gambaran
disitribusi rembesan (leachate) konduktif.
Rembesan tersebut berpotensi minimbulkan
pencemaran air-tanah di sekitar lokasi TPA.
2. Metoda Geolistrik
Pengukuran geolistrik dilakukan dengan
menginjeksikan arus listrik ke dalam bumi
melalui elektroda arus (C1 C2) dan mengukur
respons formasi batuan bawah-permukaan pada
elektroda potensial (P1 P2). Jarak antar elektroda
menentukan kedalaman penyelidikan. Pada
teknik pencitraan (imaging) 2-D pengukuran
dilakukan dengan memvariasikan jarak tersebut
dan menggeser posisi keseluruhan konfigurasi
elektroda pada suatu lintasan untuk memperoleh
informasi mengenai distribusi resistivitas baik
secara vertikal maupun lateral.
Resistivitas semu (ρa dalam Ohm.m)

diperoleh dari hasil pengukuran arus (I dalam

Geoforum HAGI Bandung 2003

Ampere) dan beda potensial (∆V dalam Volt)
melalui persamaan:

ρa = K

∆V
I

(1)

dimana K adalah faktor geometri elektroda
(dalam meter) yang dinyatakan oleh :

 1
1
1

1 
K = 2π 


+

C 2 P1
C1P2
C 2 P2 
 C1 P1

−1

Data resistivitas semu di-plot dan dikontur
pada penampang 2-D (pseudosection) dengan
posisi horisontal dan vertikal tiap data
disesuaikan dengan posisi titik pengukuran dan
jarak elektroda (lihat Gambar 1 untuk konfigurasi
Wenner). Skala vertikal pseudosection adalah
dalam kelipatan spasi elektroda (n-spacing)

dimana semakin besar n secara relatif
menggambarkan kedalaman yang makin besar.
Skala tersebut dapat pula dinyatakan dalam
pseudo-depth atau kedalaman efektif dari
konfigurasi dan jarak antar elektroda yang
digunakan (Barker, 1989).
Pemodelan inversi data geolistrik 2-D
dilakukan dengan software RES2DINV yang
dikembangkan oleh Loke & Barker (1996). Pada
prinsipnya
metoda
inversi
non-linier
didasasarkan pada linierisasi fungsi forward
modeling di sekitar model tertentu. Gradien
fungsi
digunakan
untuk
memperkirakan
modifikasi model secara iteratif hingga diperoleh

model optimum. Model pada iterasi ke n+1
diperoleh dari persamaan :

(

m n +1 = m n + [ GTn C−d1 G n ]−1 GTn C−d1 [d − f (m n )]

)

(2)
dimana d menyatakan data, G = [Gij] =
(∂fi(m)/∂mj) adalah matriks Jacobi dengan
komponen turunan parsial orde pertama dari
fungsi forward modeling f(m) terhadap setiap
parameter model m, Cd = [σi2] adalah matriks
diagonal dengan elemen diagonal varians data.
Kesesuaian antara data dan respons model
digunakan sebagai kriteria model atau solusi
inversi. Kendala tambahan untuk memperoleh
kestabilan iterasi adalah kehalusan (smoothness)

model. Persamaan (2) menjadi :

m n +1 = m n + [ G Tn C −d1 G n + λ W ] −1 ×

G Tn C d−1 [d − f (m n )]

(3)

W adalah matriks variasi spasial parameter
model yang secara diskret didekati oleh selisih

dua parameter model yang saling berdekatan.
Lagrange multiplier (λ)
dipilih untuk
menentukan tingkat kehalusan (smoothness)
model (Uchida, 1993; Loke & Barker, 1996).
3. Data Lapangan
Pengukuran pada model analog dilakukan
untuk mengkaji efektivitas beberapa konfigurasi
elektroda yang populer (Wenner, Schlumberger,

dipole-dipole serta pole-pole) dalam identifikasi
penyebaran polutan. Alat ukur yang digunakan
adalah resistivity-meter merk OYO model
McOHM-21 yang dilengkapi dengan scanner
yang dapat diprogram untuk pengiriman arus dan
pengukuran potensial pada elektroda-elektroda
tertentu secara otomatis. Pengukuran dilakukan
pada lintasan sepanjang 20 meter dengan 21
elektroda yang dipasang tiap 1 meter.
Simulasi penyebaran kontaminan cair dalam
tanah dilakukan dengan infiltrasi larutan garam
(NaCl) di tengah lintasan (sekitar 4000 liter
dengan konsentrasi 10 gram/liter). Pengukuran
dilakukan sebelum dan sesudah infiltrasi fluida
konduktif serta pada selang waktu 24 jam, 48
jam, 72 jam dan 120 jam setelah infiltrasi. Data
dengan konfigurasi Wenner dan Schlumberger
dianggap dapat merepresentasikan distribusi
fluida konduktif terhadap ruang dan waktu
(Grandis & Yudistira, 2000; 2002).

Pengukuran data lapangan dilakukan di bekas
tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Pasir
Impun di Desa Karang Pamulang Kecamatan
Cicadas, Kotamadya Bandung (Gambar 2). TPA
Pasir Impun mulai beroperasi tahun 1987 dan
ditutup pada akhir tahun 1999 karena tidak
mampu lagi menampung sampah. Infiltrasi air
hujan dan air-tanah serta kontak dengan material
timbunan sampah dapat menimbulkan rembesan
(leachate) yang dapat menyebabkan pencemaran
air-tanah. Tanah dan air-tanah yang telah
tercemar akan mempunyai sifat lebih konduktif
karena kandungan total dissolved solid (TDS)
yang tinggi.
Salah satu studi geofisika yang telah
dilakukan adalah survey VLF-EM untuk
mengetahui distribusi zona konduktif secara
lateral pada kedalaman tertentu. Secara umum
ditemukan adanya zona konduktif yang
memanjang pada arah utara–selatan sementara

aliran rembesan diperkirakan mengikuti pola
topografi dan aliran air tanah, yaitu ke arah
tenggara (Sumargana dkk., 2002).

Geoforum HAGI Bandung 2003

0

200

400

600

600

600

Gambar 1. Konfigurasi elektroda Wenner dan plot data pada pseudosection.

N
100 m

400

400

lintasan-2

kolam leachate

200

200

lintasan-1

batas TPA

0

0

0

200

400

600

Gambar 2. Lintasan pengukuran geolistrik pada lokasi bekas TPA sampah Pasir Impun Bandung.

Geoforum HAGI Bandung 2003

Pada penelitian ini pengukuran geolistrik
dilakukan dengan konfigurasi Wenner dan
Schlumberger pada dua lintasan (Lintasan-1 dan
Lintasan-2) masing-masing dengan 32 elektroda
yang dipasang tiap 5 meter (Gambar 2).
4. Hasil dan Pembahasan
Kontur resistivitas semu dan model
resistivitas 2-D hasil inversi yang diperoleh
dengan menggunakan konfigurasi elektroda
Wenner dan Schlumberger pada Lintasan-1 dan
Lintasan-2 menunjukkan pola yang hampir sama.
Hasil pengukuran mapping menggunakan
konfigurasi Wenner lebih menggambarkan
struktur
horisontal
(layering),
sementara
konfigurasi Schlumberger lebih sensitif terhadap
struktur vertikal (Grandis & Yudistira, 2002).
Distribusi rembesan diperkirakan mengikuti pola
akifer air-tanah dan topografi sehingga
cenderung mengikuti perlapisan horisontal. Oleh
karena itu pembahasan lebih difokuskan pada
hasil pemodelan 2-D dari data dengan
konfigurasi Wenner.
Pada Lintasan-1 terdapat lapisan konduktif
(resistivitas kurang dari 10 Ohm.m) secara
hampir homogen sepanjang lintasan pada
kedalaman antara 5 sampai 15 meter yang
diperkirakan berasosiasi dengan leachate. Zona
konduktif di dekat permukaan di ujung timur laut
lintasan (nomor elektroda besar) diduga
merupakan akibat timbunan sampah yang relatif
masih baru (Gambar 3). Lapisan konduktif
tersebut secara lateral bersesuaian dengan zona
konduktif yang diperoleh dari survey VLF-EM,
yaitu memanjang searah dengan punggungan
timbunan sampah. Batuan dasar dengan harga
resistivitas yang tidak terlalu besar (sekitar 30
Ohm.m) pada kedalaman 20 sampai 25 meter
dibentuk oleh batuan breksi volkanik, dengan
komposisi didominasi oleh batupasir tufaan,
kerikil tufaan dengan sisipan batulempung tufaan
(Sumargana dkk., 2002).
Pada Lintasan-2 terdapat zona konduktif yang
relatif lebih tidak beraturan dan tidak membentuk
suatu lapisan yang homogen (Gambar 4). Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh proses leaching
yang belum berlangsung lama mengingat
timbunan sampah di sebelah timur relatif lebih
baru. Lintasan-2 terletak di sebelah timur dan
lebih rendah sekitar 5 meter dari Lintasan-1
sehingga bagian dasar lapisan konduktif yang
berasosiasi dengan leachate terlihat lebih
dangkal (kedalaman antara 10 sampai 20 meter).
Hasil survey VLF-EM yang memperlihatkan
kontur resistivitas semu rendah yang membuka

ke arah tenggara menunjukkan bahwa aliran
plume kontaminan ini bergerak ke arah tenggara
mengikuti pola aliran air-tanah bebas dan pola
topografinya. Analisa air dari beberapa sumur
penduduk di sebelah tenggara lokasi TPA
menunjukkan indikasi adanya pencemaran (TDS,
kandungan Mn dan Fe tinggi) meskipun dengan
kadar yang semakin berkurang ke arah tenggara
atau makin jauh dari lokasi TPA (Bungkang,
2000).
5. Kesimpulan
Pemodelan inversi data geolistrik 2-D dapat
dengan cepat merekonstruksi citra resistivitas
bawah-permukaan berdasarkan data yang diukur
di permukaan. Hal tersebut memungkinkan
aplikasi
teknik
geolistrik
dan
metoda
pemodelannya pada studi masalah lingkungan
yang umumnya berupa kegiatan pemantauan atau
monitoring. Perolehan citra resistivitas dapat
dilakukan secara real time.
Pada studi yang dilakukan di bekas TPA
sampah Pasir Impun, anomali konduktif yang
diperoleh menunjukkan adanya akumulasi
leachate yang dapat mencemari air-tanah di
sekitar daerah tersebut, terutama ke arah selatan
dan tenggara. Oleh karena itu diperlukan usaha
penanganan atau remediasi. Di samping itu perlu
dilakukan pemantauan kualitas air-tanah dan air
sumur penduduk untuk mendeteksi adanya
pencemaran dan merekomendasikan peruntukan
air sesuai dengan kualitasnya.
Studi penyebaran kontaminan dalam tanah /
air-tanah perlu dilakukan secara terpadu sehingga
citra distribusi resistivitas yang diperoleh dari
metoda geolistrik dapat dikorelasikan dengan
sifat fisika dan kimia material secara lebih
spesifik. Hal ini dapat dilakukan melalui
pengukuran konduktivitas secara in-situ terhadap
sampel yang diperoleh dari lubang bor,
pengukuran log resistivitas dan analisis sifat
fisika dan kimia air-tanah. Survey geolistrik
membantu penentuan titik pengambilan sampel
atau titik pemboran secara lebih efisien.
Aplikasi metoda geolistrik beserta perangkat
lunak pemodelannya dapat diperluas, misalnya
untuk studi kebocoran tempat penampungan
limbah dari aktivitas penambangan yang sering
disebut sebagai tailing pond, intrusi air laut di
akifer daerah pantai dan sebagainya.
Daftar Pustaka
Barker, R.D., 1989, Depth of investigation of
collinear symmetrical four-electrode arrays,
Geophysics, 54, 1031-1037.

Geoforum HAGI Bandung 2003

Bungkang, Y., 2000, penentuan tahanan jenis
tanah dengan metoda geolistrik tahanan jenis
konfigurasi wenner di TPA Pasir Impun
Kotamadya Bandung, Thesis Magister, Dept.
Fisika – ITB.
Grandis, H., Yudistira, T., 2000, Studi
pendahuluan identifikasi penyebaran polutan
bawah-permukaan menggunakan metoda
geolistrik, Geofisika Dekat Permukaan (Nearsurface Geophysics), M. Untung (editor),
HAGI, 81 - 91.
Grandis, H., Yudistira, T., 2002, Pencitraan
konduktivitas
bawah-permukaan
dan
aplikasinya untuk identifikasi penyebaran
polutan, Laporan Penelitian Hibah Bersaing
IX, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Griffiths, D.H., Turnbull, J., Olayinka, A.I.,
1990, Two-dimensional resistivity mapping
with a computer controlled array, First Break,
8, 121 - 129.
Loke, M.H., Barker, R.D., 1996, Rapid leastsquares inversion of apparent resistivity
pseudosection by a quasi-Newton method,
Geophysical Prospecting, 44, 131 - 152.
Nassir, S.S.A., Loke, M.H., Lee, C.Y., Nawawi,
M.N.M., 2000, Salt-water intrusion mapping

by
geoelectrical
imaging
surveys,
Geophysical Prospecting, 48, 647 - 661.
Park, S.K., 1998, Fluid migration in the vadose
zone from 3-D inversion of resistivity
monitoring data, Geophysics, 63, 41 - 51.
Reynolds, J.M., 1998, An introduction to applied
and environmental geophysics, John Wiley &
Sons, New York.
Sumargana, L., Sulistijo, B., Kristianto, A., 2002,
Penggunaan metoda Very Low Frequency
(VLF)
untuk
pemetaan
penyebaran
kontaminan di TPA Pasir Impun Kodya
Bandung, Prosiding PIT HAGI 27.
Uchida, T., 1993, Smooth 2-D inversion of
magnetotelluric data based on statistical
criterion ABIC, Journal of Geomagnetism &
Geoelectricity, 45, 841 - 858.
Van, G.P., Park, S.K., Hamilton, P., 1991,
Monitoring leaks from storage ponds using
resistivity methods, Geophysics, 56, 1267 1270.
Yuval, Oldenburg, D.W., 1996, DC resistivity
and IP methods in acid mine drainage
problems: results from the Copper Cliff mine
tailings impoundments, Journal of Applied
Geophysics, 34, 187 - 198.

Geoforum HAGI Bandung 2003

Gambar 3.
Data konfigurasi Wenner (jarak antar elektroda 5 meter) Lintasan-1 dan model resistivitas hasil inversi.

Gambar 4.

Geoforum HAGI Bandung 2003
Data konfigurasi Wenner (jarak antar elektroda 5 meter) Lintasan-2 dan model resistivitas hasil inversi.