BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teori - Efektivitas Pelaksananaan Pendidikan Khusus Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Di Sekolah Luar Biasa Negeri Kota Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teori Menurut Kerlinger, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstruk,

  definisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara mengonstruksi hubungan antar konsep dan proposisi dengan menggunakan asumsi dan logika tertentu. Adapun kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

2.1.1. Kebijakan Publik 2.1.1.1. Pengertian Kebijakan Publik

  Secara etimologis, istilah kebijakan publik atau public policy berasal dari bahasa Yunani

  “polis” yang berarti negara kota yang kemudian masuk ke dalam

  bahasa Latin menjadi

  “politia” yang berarti negara. Akhirnya masuk ke dalam

  bahasa Inggris

  “policie” yang artinya berkenaan dengan pengendalian masalah- masalah atau administrasi pemerintahan.

  Menurut Chandler dan Plano dalam Tangkilisan (2003: 1), kebijkan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Kebijakan publik merupakan kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas. Pengertian kebijakan publik menurut Chandler dan Plano dapat diklasifikasikan kebijakan sebagai intervensi pemerintah. Dalam hal ini pemerintah mendayagunakan berbagai instrumen yang dimiliki untuk mengatasi persoalan publik.

  Easton dalam Tangkilisan (2003: 2) berpendapat bahwa Kebijakan publik diartikan sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Dalam hal ini hanya pemerintah yang dapat melakukan suatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat. Definisi kebijakan publik menurut Easton ini dapat diklasifikasikan sebagai suatu proses management, yang merupakan fase dari serangkaian kerja pejabat publik. Dalam hal ini hanya pemerintah yang mempunyai andil untuk melakukan tindakan kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah publik, sehingga definisi ini juga dapat diklasifikasikan dalam bentuk intervensi pemerintah.

  Sedangkan menurut pendapat Henz Eulau dan Kenneth Previt dalam Soenarko (2003: 41), merumuskan kebijakan sebagai keputusan yang tetap, ditandai oleh kelakuan yang berkesinambungan dan berulang-ulang pada mereka yang membuat kebijakan dan yang melaksanakannya. Carl Friedrich dalam Soenarko (2003: 42) kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkup tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai intervensi pemerintah (intervensi sosio kultural) dengan mendayagunakan berbagai instrumen (baik kelompok, individu maupun pemerintah) untuk mengatasi persoalan publik.

2.1.1.2. Tahapan Kebijakan Publik

  Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu bebrapa ahli politik menaruh minat untuk mengkaji kebijakan public membagi proses- proses penyusunan kebijakan public ke dalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan dalam mengkaji kebijakan publik. Berikut tahapan kebijkan publik (Winarno, 2002: 28): a.

  Tahapan penyusunan agenda Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Apada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali dan beberapa yang lain pembahasan untuk masalah tersebut ditunda untuk waktu yang lama.

  b.

  Tahap formulasi kebijakan Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefenisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternative atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk kedalam agenda kebijakan, dalam tahapan perumusan kebijakan masing masing alternative bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.

  c.

  Tahap adopsi kebijakan Dari sekian banyak alternative kebijakan yang ditawarkan oleh para perumusan kebijakan, pada akhirnya salah satu alternative kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislative, consensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

  d.

  Tahap implementasi kebijakan Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, program kebijakan yang telah dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen- agen pemerintah ditingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit- unit administrasi yang memobilisasikan sumberdaya financial dan manusia. Pada tahap implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.

  e.

  Evaluasi kebijakan Pada tahap ini kebijakan yan telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalh. Kebijkan public pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini, memperbaiki masalah yang dihadapi masyrakat. Oleh karena itu, ditentukan ukuran-ukuran atau criteria yang mebjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan public telah meraih dampak yang diinginkan.

2.1.2. Implementasi Kebijakan 2.1.2.1. Pengertian Implementasi Kebijakan

  Penggunaan istilah implementasi pertama sekali digunakan oleh Harold Lawswell (Purwanto, 2012: 17). Sebagai ilmuwan yang pertama sekali mengembangkan studi tentang kebijakan publik, Laswell menggagas suatu pendekatan yang ia sebut sebagai pendekatan proses (policy process approach). Menurutnya, agar ilmuwan memperoleh pemahaman yang baik tentang apa beberapa bagian sebagai tahapantahapan, yaitu: agenda-setting, formulasi, legitimasi, implementasi, evaluasi, reformulasi dan terminasi. Dari siklus tersebut terlihat secara jelas bahwa implementasi hanyalah bagian atau salah satu tahap dari proses besar bagaimana suatu kebijakan publik dirumuskan.

  Sementara itu, Van Meter dan Van Horn dalam Winarno (2002: 102) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-idividu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan.

  Implementasi adalah tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Implementasi merupakan tahapan atau serangkaian kegiatan setelah suatu kebijakan dirumuskan. Tanpa suatu implementasi maka suatu kebijakan yang telah dirumuskan akan sia-sia belaka. Implementasi kebijakan merupakan hal yang paling berat, karena tahapan inilah masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan (Nugroho, 2006: 119).

  Dalam implementasi kebijakan, terdapat beberapa model kebijakan, yaitu sebagai berikut:

1. Model Implementasi Kebijakan Menurut Van Meter dan Van Horn

  Van Meter dan Van Horn menetapkan beberapa variabel yang diyakini dapat mempengaruhi implementasi dan suato model kinerja kebijakan. Beberapa variabel yang terdapat dalam Model Van Meter dan Van Horn adalah (Winarno, 2002: 110):

Gambar 2.1. Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn

  Sumber: (Winarno, 2002: 110)

a) Standar dan Sasaran Kebijakan

  Dalam melakukan studi implementasi, tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran suatu program yang akan dilaksanakan harus diidentiikasi dan diukur karena implementasi tidak dapat berhasil atau mengalami kegagalan bila tujuan-tujuan itu tidak dipertimbangkan. Dalam menentukan ukuran-ukuran dasar dari sasaran- sasaran, kita dapat menggunakan pernyataan-pernyataan dari para pembuat regulasi dan garis-garis pedoman program yang menyatakan kriteria untuk evaluasi pencapaian kebijakan. Akan tetapi, dalam beberapa hal ukuran-ukuran dasar dan sasaran-sasaran kebijakan harus dideduksikan oleh peneliti perorangan dan pilihan ukuran-ukuran pencapaian bergantung pada tujuan-tujuan yang didukung oleh penelitian.

  b) Sumber Daya

  Di samping standar dan tujuan kebijakan, yang perlu mendapatkan perhatian dalam proses implementasi kebijakan adalah sumber daya yang tersedia.

  Kebijakan menuntut tersedianya sumber daya, baik berupa dana maupun perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif. Sumber-sumber layak mendapat perhatian karena sangat menunjuang dalam keberhasilan implementasi kebijakan.

  c) Komunikasi antar Organisasi dan Kegiatan-kegiatan Pelaksana

  Menurut Van Meter dan Van Horn prospek-prospek tentang implementasi yang efektif ditentukan oleh kejelasan ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan yang dinyatakan dan oleh ketepatan dan konsistensi dalam mengkomunikasikan ukuran-ukuran dan tujuan tersebut.

  d) Karekteristik Badan-badan Pelaksana

  Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat dalam pengimplementasian kebijakan. Hal ini penting karena kinerja implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya yang berkaitan dengan konteks kebijakan yang akan dilaksanakan pada beberapa kebijakan dituntut pelaksana kebijakan yang ketat dan displin. Pada konteks lain diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan persuasif. Selaian itu, cakupan atau luas wilayah menjadi pertimbangan penting dalam menentukan agen pelaksana kebijakan.

  e) Kecenderungan Implementator/Pelaksana

  Kognisi, netralitas dan obyektivitas para individu pelaksana sangat berpengaruh bentuk respons mereka terhadap semua variabel tersebut. Wujud respons individu pelaksana menjadi penyebab dari berhasil dan gagalnya implementasi. Jika pelaksana tidak memahami tujuan kebijakan, lebih-lebih apabila sistem nilai yang mempengaruhi sikapnya berbeda dengan sistem nilai pembuat kebijakan maka implementasi tidak akan efektif.

  f) Kondisi Sosial, Politik, dan Ekonomi

  Kondisi sosial, ekonomi dan politik juga berpengaruh terhadap efektivitas implementasi kebijakan. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan eksternal yang kondusif.

2. Model Implementasi Kebijakan George Edward III

  Menurut Edwards dalam Winarno (2002, 125-126), terdapat empat faktos atau variable krusial dalam implementasi kebijakan publik. Factor-faktor atau variable tersebut adalah sebagai berikut:

Gambar 2.2. Model Implementasi Kebijakan Menurut George Edwards III

  Sumber: (Winarno, 2002: 125)

a) Komunikasi

  Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.

  b) Sumber-sumber (Resources)

  Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasika secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumber daya dalam melaksanakannya, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, yakni kompetensi implementor, sumber daya finansial.

  Sumber daya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumber daya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja.

  c) Kecenderungan-kecenderungan (Disposisi)

  Disposisi adalah watak atau karakteristik yang dimiliki oleh implementator, seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis. Kecenderungan perilaku atau karakteristik dari pelaksana kebijakan berperan penting untuk mewujudkan implementasi kebijakan yang sesuai dengan tujuan atau sasaran. Karakter penting yang harus dimiliki oleh pelaksana kebijakan misalnya kejujuran dan komitmen yang tinggi. Apabila implementator memiliki sikap yang baik maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan, sebaliknya apabila sikapnya tidak mendukung maka

d) Struktur Birokrasi

  Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap Implementor dalam bertindak.

3. Model Implementasi Merilee S. Grindle

  Menurut Grindle (Subarsono, 2009: 99), ada dua variable besar yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yaitu:

Gambar 2.3. Model Implementasi Kebijakan Menurut Grindle

  Sumber: (Subarsono, 2009: 99) 1.

  Variabel isi kebijakan (content of policy) mencakup: a.

  Sejauh mana kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan, b.

  Jenis manfaat yang diterima oleh target group, c. Sejauh mana perubahan yang diinginkan dari suatu kebijakan, d.

  Apakah letak suatu program sudah tepat, e. Apakah suatu kebijakan telah menyebutkan implementatornya dengan rinci, dan f.

  Apakah suatu program sudah didukung oleh sumber daya yang memadai. a.

  Seberapa besar kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh para actor yang terlibat dalam implementasi kebijakan, b.

  Karakteristik institusi dan rezim yang sedang berkuasa, dan c. Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

2.2. Variabel-variabel dalam Penelitian

  Dalam mengkaji suatu studi implementasi kebijakan dapat dilakukana dengan menggunakan berbagai model implementasi kebijakan. Sehingga dapat dilihat pelaksanaan suatu kebijakan dengan variable-variabel dalam model-model implementasi tersebut. Model implementasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan model implementasi kebijakan George C. Edwards, dengan variable sebagai berikut: a.

  Komunikasi Komunikasi diperlukan supaya tercipta konsistensi atau kesepakatan dari ukuran dasar dan tujuan sehingga implementator mengetahui secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu. Komunikasi antar organisasi juga menunujuk adanya tuntutan saling mendukung antar institusi yang berkaitan dengan program/kebijakan.

  Komunikasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah: 1)

  Kerjasama para implementator 2)

  Metode sosialisasi kebijakan/program yang digunakan b.

  Sumber Daya Sumber daya yang memadai baik sumber daya manusia maupun finasial sangat penting dalam menjalankan kebijakan/program. Sumber daya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah:

  1) Kemampuan implementator, dengan melihat jenjang pendidikan, pemahaman terhadap tujuan dan sasaran serta aplikasi detail program, kemampuan menyampaikan program dan mengarahkan.

  2) Ketersedian fasilitas sarana dan prasarana

  3) Ketersediaan finansial, dengan melihat kebutuhan dana, prediksi kekuatan dana dan besaran biaya.

  c.

  Disposisi Sikap para implementator sangat dibutuhkan dalam menjalankan sebuah kebijakan/program. Adapun yang dimaksud dengan sikap implementator yan ditujukan dalam penelitian ini adalah:

  1) Gambaran komitmen dan kejujuran yang dapat dilihat dari konsistensi antar pelaksana kegiatan dengan guideline yang telah ditetapkan

  2) Sikap demokratis yang dapat terlihat dari proses kerjasama antar implementator.

  d.

  Struktur Birokrasi Aspek struktur birokrasi ini mencangkup dua hal penting, yang pertama

1) Ketersedian SOP yang mudah dipahami.

  2) Struktur organisasi pelaksana yang melihat rentang kendali antara pemimpin dan bawahan.

2.3. Hasil-hasil Penelitian mengenai Pelaksanaan Pendidikan Khusus

  Sebagai bahan pertimbangan, peneliti mencantumkan beberapa hasil penelitian terdahulu mengenai pelaksanaan pendidikan khusus di sekolah luar biasa.

  Dalam penelitian Slamet H dan Joko Santosa mengenai Revitalisasi Sekolah Luar Biasa pasca implementasi program pendidikan inklusi melakukan penelitian di empat Kabupaten/Kota yaitu Surakarta, Karanganyar, Sragen, dan Wonogiri dengan pemilihan sampel yaitu empat SLB Negeri dan delapan SLB Swasta dengan delapan jenis ketunaan yaitu tunanetra, tunarungu wicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autis, tunaganda, dan lambar belajar.

  Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dalam penyelenggaraan pendidikannya, beberapa SLB negeri maupun swasta sudah memiliki asrama bagi peserta didik.

  Tolok ukur standar pelayanan pendidikan antara lain pemenuhan standar isi, standar kompetensi lulusan, standar proses, sarana dan prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan, pengelolaan, penilaian, dan pembiayaan. Dalam sarana dan prasarana, diketahui bahwa satu SLB swasta tidak memiliki ruang perpustakaan dan lima SLB swasta tidak memiliki ruang laboratorium. Sementara SLB negeri yang tidak kekurangan standar sarana dan prasarana di beberapa SLB baik negeri maupun swasta.

  Sedangkan standar pendidik dan tenaga kependidikan diketahui bahwa dari 12 SLB terdapat empat SLB Negeri yang tidak memiliki tenaga laboratorium dan tujuh SLB swasta yang tidak memiliki tenaga laboratorium. Secara garis besar dapat ditarik kesimpulan bahwa tenaga yang kurang memenuhi, baik di SLB negeri maupun swasta adalah tenaga laboratorium dan perpustakaan.

  Dan mengenai Guru Pembimbing Khusus (GPK) diketahui bahwa guru pembimbing khusus yang sudah tersertifikasi lebih sedikit dari pada yang belum tersertifikasi. bahkan seluruh guru pembimbing khusus Tuna daksa, Tuna ganda, dan Lambat belajar belum ada yang sertifikasi. Hanya guru pembimbing khusus Tuna grahita yang telah sertifikasi jumlahnya lebih banyak dari pada yang belum.

  Selain itu juga dalam penelitian Estitika Rochmatul, Irwan Noor, dan Heru Ribawanto dengan judul Pengembangan Kapasitas Sekolah Luar Biasa untuk Meningkatkan Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus melakukan penelitian di SDLBN Kedungkandang Malang bahwa anak berkebutuhan khusus tidak dapat disamakan dengan anak normal pada umumnya. Pelayanan pendidikan yang diberikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus sangat humanis. Cara memberikan pendidikannya yaitu perindividu dan tidak bisa secara klasikal. Anak- anak berkebutuhan khusus tidak dapat mengikuti pelajaran secara klasikal, karena pelayanan pendidikannya. Akan tetapi, kurikulum tersebut tidak dapat diterapkan seratus persen karena setiap anak mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dan tidak bisa menyesuaikan kurikulum.

  Dari hasil penelitian di SDLBN Kedungkandang masih terdapat sarana prasarana yang penting dan belum terpenuhi yaitu (1) ruang orientasi dan mobilitas untuk latihan ketrampilan gerak, pembentukan postur tubuh, gaya jalan dan olahraga untuk anak tunanetra, (2) Ruang Bina Wicara untuk lahihan wicara anak tunarungu, (3) Ruang Bina Diri untuk pembelajaran Bina Diri untuk anak tunagrahita, (4) Ruang tata usaha untuk pengelolaan administrasi. Ruangan-ruangan inilah yang seharusnya dipenuhi terlebih dahulu oleh sebuah sekolah luar biasa.

  Berdasarkan sumberdaya manusianya yang dimaksud yaitu guru terdapat suatu program yaitu PIGP yang merupakan singkatan dari Program Induksi Guru Pembimbing. Program ini dilakukan kepada guru baru yang ada di sekolah tersebut dengan dibimbing oleh Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah, dan sebagian besar dibimbing oleh guru senior. Sebelum dipercayakan untuk mengajar sendiri di kelas, maka guru baru akan dibimbing oleh guru senior dalam arti guru senior membagikan pengalamannya dengan guru baru tentang mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. Program ini dilakukan selama satu sampai dua tahun. Jadi apabila dirasa guru baru sudah mempunyai keahlian yang baik untuk mengajar anak berkebutuhan khusus

  .

  sendiri, maka sekolah berani untuk melepaskan guru untuk mengajar sendiri di kelas

  Upaya pengembangan kapasitas dalam hal budaya organisasi di SDLBN Kedungkandang, berdasarkan penelitian yaitu sekolah menerapkan budaya kekeluargaan dan saling keterbukaan satu sama lainnya. Adanya budaya demikian memberikan pengaruh yang besar di dalam sekolah. Suasana sekolah menjadi lebih nyaman dan kondusif. Akan tetapi, tetap seluruh kewenangan dan pengambilan keputusan masih sentalistik pada kepala Sekolah. Namun, guru-guru juga dapat menyampaikan pendapatnya karena sifatnya sharing. Semua pendapat dari guru akan didengarkan dan ditampung oleh Kepala Sekolah. Selanjutnya dalam keputusannya Kepala Sekolah tetap mempunyai andil besar dalam memutuskan apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh Kepala Sekolah.

  Sedangkan faktor yang dapat menghambat pengembangan yaitu gaya kepemimpinan Kepala Sekolah. Dalam hal ini pemimpin terkesan tidak mau berupaya untuk mengembangkan kapasitasnya. Dengan gaya kepemimpinan yang demikian terkadang membuat guru merasa nyaman dengan situasi dan kondisi yang ada. Hal itu karena guru tidak perlu berpikir yang rumit, karena semua keputusan ada di Kepala Sekolah. Sehingga guru-guru tidak dapat mengembangkan kemampuannya. Selain itu, gaya kepemimpinan Kepala Sekolah juga tertutup untuk segala hal tentang perkembangan sekolah. Sehingga yang mengetahui segala sesuatu tentang sekolah hanya Kepala Sekolah.

  Selain itu, faktor penghambat lainnya yaitu beban administrassi yang lebih banyak lagi. Dalam mengajar anak-anak berkebutuhan khusus membutuhkan energi yang besar dan butuh fokus yang besar pula. Apabila guru dibebankan dengan tugas lain di luar tugas utamanya yaitu mengajar maka guru akan merasa kewalahan. Kegiatan administrasi di sebuah sekolah luar biasa seharusnya dibebankan kepada personil lain di luar guru.

  Dari dua penelitian yang telah peneliti paparkan tadi terungkap bahwa dalam pelaksanaan pendidikan khusus di sekolah luar biasa memang masih banyak kendala yang dihadapi seperti halnya sarana dan prasarana dalam menunjang pelaksanaan pendidikan khusus ini masih kurang memadai khususnya ruang-ruang khusus bagi setiap jenis kelainan atau kebutuhan khusus dan tidak memiliki tenaga laboratorium baik di SLB negeri maupun swasta. Kendala yang kedua ialah gaya kepemimpinan Kepala Sekolah. Dalam hal ini pemimpin terkesan tidak mau berupaya untuk mengembangkan kapasitasnya. Dengan gaya kepemimpinan yang demikian terkadang membuat guru merasa nyaman dengan situasi dan kondisi yang ada. Hal itu karena guru tidak perlu berpikir yang rumit, karena semua keputusan ada di Kepala Sekolah sehingga guru-guru tidak benar-benar dapat mengembangkan kemampuannya. Selain itu juga beban administrassi yang dilakukan oleh guru sehingga guru selain tugasnya adalah mengajar juga menjadi tenaga administrasi yang membuat guru tersebut menjadi kewalahan dalam menjalankan tugas utamanya sebagai guru yaitu mengajar.

2.4. Kebijakan-kebijakan mengenai Pelaksanaan Pendidikan Khusus

  Pendidikan khusus bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) sejak berdirinya hingga sekarang telah mengalami perjalanan yang panjang, baik yang terjadi di Indonesia maupun di negara-negara lain di dunia. Pendidikan anak berkebutuhan khusus secara umum dapat dilaksanakan di sekolah khusus, maupun di sekolah umum/sekolah reguler.

  Di Indonesia, perkembangan pendidikan khusus bagi anak berkebutuhan khusus dan pendidikan khusus lainnya, mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam dua dasa warsa terakhir. Dengan lahirnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989 yang kemudian disempurnakan menjadi Undang- Undang Nomor.20 tahun 2003, pendidikan luar biasa tidak saja diselenggarakan melalui sistem persekolahan khusus (SLB), namun juga dapat diselenggarakan secara inklusif di sekolah reguler pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

  Dalam Undang-Undang Nomor.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, dan pada pasal 5 ayat 2 juga disebutkan bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau social berhak memperoleh pendidika khusus.

  Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, ada bermacam-macam ada beberapa

  1. Tunanetra Tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya, berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat bantu khusus masih tetap memerlukan pendidikan khusus.

  2. Tunawicara Tunawicara merupakan individu yang mengalami kesulitan berbicara. Hal ini dapat disebabkan oleh kurang atau tidak berfungsinya alat-alat bicara, seperti rongga mulut, lidah, langit-langit dan pita suara. Selain itu, kurang atau tidak berfungsinya organ pendengaran, keterlambatan perkembangan bahasa, kerusakan pada system saraf dan struktur otot, serta ketidakmampuan dalam kontrol gerak juga dapat mengakibatkan keterbatasan dalam berbicara.

  3. Tunarungu Tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal dan walaupun telah diberikan pertolongan dengan alat bantu dengar masih tetap memerlukan pendidikan khusus.

  4. Tunadaksa

  Tunadaksa adalah anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) sedemikian rupa sehingga memerlukan pendidikan khusus.

  5. Tunalaras Tunalaras adalah anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya, sehingga merugikan dirinya maupun orang lain, dan karenanya memerlukan pendidikan khusus demi kesejahteraan dirinya maupun lingkungannya.

  6. Tunagrahita Tunagrahita adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental jauh di bawah rata-rata (IQ dibawah 70) sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial, dan karenanya memerlukan pendidikan khusus. Hambatan ini terjadi sebelum umur 18 tahun 7.

  Berkesulitan Belajar Anak yang berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus (terutama dalam hal kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau matematika), diduga disebabkan karena faktor disfungsi neugologis, bukan disebabkan karena factor memerlukan pendidikan khusus. Anak berkesulitan belajar spesifik dapat berupa kesulitan belajar membaca (disleksia), kesulitan belajar menulis (disgrafia), atau kesulitan belajar berhitung (diskalkulia), sedangkan mata pelajaran lain mereka tidak mengalami kesulitan yang signifikan.

  8. Lamban belajar (slow learner) Lamban Belajar adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita. Dalam beberapa hal mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding dengan yang tunagrahita, lebih lamban dibanding dengan yang normal, mereka butuh waktu yang lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non akademik, dan karenanya memerlukan pendidikan khusus.

  9. Autis Autis adalah gangguan perkembangan anak yang disebabkan oleh adanya gangguan pada sistem syaraf pusat yang mengakibatkan gangguan dalam interaksi sosial, komunikasi dan perilaku.

  10. Memiliki Gangguan Motorik 11.

  Menjadi Korban Penyalagunaan Narkotika, Obat Terlarang, dan Zat Adiktif Lainnya, dan 12. Memiliki Kelainan Lain

  Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan, penyelenggaraan pendidikan khusus bagi anak berkelainan diselenggarakan pada semua jalur dan jenis pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan dapat diselenggarakan pada satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan satuan pendidikan keagamaan. Pada satuan pendidikan khusus, diselenggarakan oleh pemerintah provinsi dan pada satuan pendidikan umum diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota.

  Bentuk-bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu: 1)

  Sistem Layanan Segregasi Sistem layanan pendidikan segregasi adalah pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Pendidikan anak berkebutuhan khusus melalui sistem segregasi meksudnya adalah penyelenggaran pendidikan yang dilakasanakan secara khusus, dan terpisah dari penyelenggarakan pendidikan untuk anak normal. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus diberikan layanan pendidikan pada lembaga pendidikan khusus untuk anak berkebutukhan khusus seperti SLB, SDLB, SMPLB, SMALB.

  Ada empat bentuk penyelenggarakan pendidikan dengan sistem segregasi, yaitu SLB, SLB Berasrama, Kelas Jauh/Kelas Kunjung, dan lain sebagainya. Bentuk Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua. SLB berkembang sesuai dengan kelainan yang ada(satu kelaianan saja), sehingga ada SLB untuk Tunanetra (SLB-A), SLB untuk tunarungu (SLB-B), SLB untuk tunagrahita (SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), SLB untuk tunalaras (SLB-E). Di SLB tesebut ada tingkat persiapan,tingkat dasar, dan tingkat lanjut. Sistem pengajarannya lebih mengarah ke sistam individualisasi.

  2) Sistem Layanan Terpadu/Integrasi/Inklusif

  Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi/inklusi adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak biasa (normal) di sekolah umum. Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus, si sekolah terpadu di sediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK).

  Berdasarkan Pedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan Khusus, yang menjadi tujuan utama penyelenggaraan pendidikan khusus ialah membantu peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, itelektual, dan social agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan dengan lingkungan social, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan.

  Selain itu dalam SPM tersebut ada juga tujuan setiap jenjang pendidikan, yaitu: a.

  Taman Kanak-kanak Luar Biasa bertujuan untuk membantu peserta didik mengembangkan berbagai potensi baik fisik maupun psikis yang meliputi moral dan nilai-nilai agama, social, emosional, kognitif, bahasa, fisik/motoric, kemandirian dan seni untuk sipa memasuki pendidikan dasar, b.

  Sekolah Dasar Luar Biasa bertujuan agar peserta didika memiliki kemampuan dasar baca, tulis, hitung, pengetahuan imtak, berkarakter, berbudi pekerti luhur dan keterampilan dasar yang bermanfaat bagi peserta didik sesuai dengan tingkat perkembangannya, mempersiapkan peserta didika untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, c. Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar yang merupakan perluasan serta peningkatan pengetahuan dasar peningkatan pengetahuan dasar dan sikap serta keterampilan yang diperoleh di SDLB yang bermanfaat bagi siswa untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat dan warga Negara sesuai dengan kelainan yang dimilikinya dan tingkat perkembangannya serta mempersiapkan mereka untuk mengikuti pendidikan pada jenjang SMALB d.

  SMALB bertujuan memberikan bekal kemampuan yang merupakan peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperoleh di SMPLB yang bermanfaat bagi siswa untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat dan warga Negara sesuai dengan kelainan yang dimilikinya. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasinonal No. 33 tahun 2008 disebutkan bahwa setiap SLB baik pada tingkatan SD, SMP, maupun SMA sekurang-kurangnya memiliki ruang pembelajaran umum, ruang pembelajaran khusus dan ruang penunjang sesuai dengan jenjang pendidikan dan jenis ketunaan peserta didik yang dilayani, dengan rincian sebagai berikut: 1.

   Ruang Pembelajaran Umum

a) Ruang Kelas

  Fungsi ruang kelas adalah tempat kegiatan pembelajaran teori dan praktik dengan alat sederhana yang mudah dihadirkan. Jumlah minimum ruang kelas sama dengan banyak rombongan belajar. Kapasitas maksimum ruang kelas adalah 5 peserta didik untuk ruang kelas tingkat SD dan 8 peserta didik untuk ruang kelas tingkat SMP dan SMA.

  2 Rasio minimum luas ruang kelas adalah 3 m /peserta didik. Untuk rombongan

  belajar dengan peserta didik kurang dari 5 orang, luas minimum ruang kelas adalah

  2

  15 m . Lebar minimum ruang kelas adalah 3 m. Ruang kelas memiliki jendela yang memberikan pandangan ke luar ruangan. Ruang kelas memiliki pintu yang memadai agar peserta didik dan guru dapat segera keluar ruangan jika terjadi bahaya, dan dapat dikunci dengan baik saat tidak digunakan. Salah satu dinding ruang kelas dapat berupa dinding semi permanen agar pada suatu saat dua ruang kelas yang bersebelahan dapat digabung menjadi satu ruangan.

b) Ruang Perpustakaan

  Ruang perpustakaan berfungsi sebagai tempat kegiatan peserta didik, guru dan orangtua peserta didik memperoleh informasi dari berbagai jenis bahan pustaka dengan membaca, mengamati dan mendengar, dan sekaligus tempat petugas

  2

  mengelola perpustakaan. Luas minimum ruang perpustakaan adalah 30 m . Lebar minimum ruang perpustakaan adalah 5 m. Ruang perpustakaan dilengkapi jendela untuk memberi pencahayaan yang memadai untuk membaca buku.

2. Ruang Pembelajaran Khusus

a) Ruang Orientasi dan Mobilitas (OM) untuk Tunanetra (A)

  Ruang Orientasi dan Mobilitas (OM) merupakan tempat latihan keterampilan gerak, pembentukan postur tubuh, gaya jalan dan olahraga, serta dapat berfungsi sebagai ruang serbaguna. Sekolah yang melayani peserta didik SDLB dan/atau SMPLB tunanetra memiliki minimum satu buah ruang OM dengan luas minimum 15

  2 m .

  b) Ruang Bina Komunikasi, Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI) untuk Tunarungu (B)

  i) Ruang Bina Wicara

  Ruang Bina Wicara berfungsi sebagai tempat latihan wicara perseorangan. Sekolah yang melayani peserta didik SDLB dan/atau SMPLB tunarungu memiliki minimum satu buah ruang Bina Wicara dengan luas

  2 minimum 4 m .

  ii) Ruang Bina Persepsi Bunyi dan Irama

  Ruang Bina Persepsi Bunyi dan Irama berfungsi sebagai tempat mengembangkan kemampuan memanfaatkan sisa pendengaran dan/atau perasaan vibrasi untuk menghayati bunyi dan rangsang getar di sekitarnya, serta mengembangkan kemampuan berbahasa khususnya bahasa irama. Sekolah yang melayani peserta didik SDLB dan/atau SMPLB tunarungu memiliki minimum satu buah ruang Bina Persepsi Bunyi dan Irama yang dapat

  2 menampung satu rombongan belajar dengan luas minimum 30 m .

  c) Ruang Bina Diri untuk Tunagrahita (C)

  Ruang Bina Diri berfungsi sebagai tempat kegiatan pembelajaran Bina Diri yang meliputi merawat diri (makan, minum, menjaga kebersihan badan, buang air), mengurus diri (berpakaian dan berhias diri), okupasi (melakukan kegiatan sehari-hari yang meliputi mencuci dan menyeterika baju, menyemir sepatu, membuat minuman,

  Sekolah yang melayani peserta didik SDLB dan/atau SMPLB tunagrahita

  2

  memiliki minimum satu buah ruang Bina Diri dengan luas minimum 24 m . Ruang Bina Diri dilengkapi dengan kamar mandi dan/atau jamban khusus untuk latihan atau dapat memanfaatkan jamban yang ada.

  Ruang Bina Diri dan Bina Gerak untuk Tunadaksa (D)

  d)

  Ruang Bina Diri dan Bina Gerak berfungsi sebagai tempat latihan koordinasi, layanan perbaikan disfungsi organ tubuh, terapi wicara dan terapi okupasional, serta sekaligus berfungsi sebagai ruang asesmen. Sekolah yang melayani peserta didik SDLB dan/atau SMPLB tunadaksa memiliki minimum satu buah ruang Bina Diri dan Bina Gerak yang dapat menampung satu rombongan belajar dengan luas minimum 30

  2

  m . Ruang Bina Diri dan Bina Gerak dilengkapi dengan kamar mandi dan/atau jamban khusus untuk latihan atau dapat memanfaatkan jamban yang ada.

  e) Ruang Bina Pribadi dan Sosial untuk Tunalaras (E)

  Ruang Bina Pribadi dan Sosial berfungsi sebagai tempat penanganan dan pemberian tindakan kepada peserta didik dalam usaha perubahan perilaku, pribadi dan sosial. Sekolah yang melayani peserta didik SDLB dan/atau SMPLB tunalaras memiliki minimum satu ruang Bina Pribadi dan Sosial dengan luas minimum 9

  2

  m .Ruang Bina Pribadi dan Sosial dapat memberikan kenyamanan suasana bagi peserta didik.

  f) Ruang Keterampilan

  Ruang keterampilan berfungsi sebagai tempat kegiatan pembelajaran keterampilan sesuai dengan program keterampilan yang dipilih oleh tiap sekolah.

  Pada setiap sekolah yang menyelenggarakan jenjang pendidikan SMPLB dan/atau SMALB minimum terdapat dua buah ruang keterampilan. Ruang tersebut digunakan untuk kegiatan pembelajaran pada jenis keterampilan yang dapat dipilih dari tiga kelompok keterampilan: keterampilan rekayasa, keterampilan jasa atau keterampilan

  2

  perkantoran. Ruang keterampilan memiliki luas minimum 24 m dan lebar minimum 4 m. Ruang keterampilan dilengkapi dengan sarana sesuai jenis keterampilan.

3. Ruang Penunjang

  a) Ruang Pimpinan

  Ruang pimpinan berfungsi sebagai tempat melakukan kegiatan pengelolaan SDLB, SMPLB dan/atau SMALB, pertemuan dengan sejumlah kecil guru, orang tua murid, unsur komite sekolah, petugas dinas pendidikan, atau tamu lainnya. Luas

  2

  minimum ruang pimpinan adalah 12 m dan lebar minimum adalah 3 m. Ruang pimpinan mudah diakses oleh guru dan tamu sekolah, serta dapat dikunci dengan baik.

  b) Ruang Guru

  Ruang guru berfungsi sebagai tempat guru bekerja dan istirahat serta menerima tamu, baik peserta didik maupun tamu lainnya.Rasio minimum luas ruang

  2

  2 dicapai dari halaman SDLB, SMPLB dan/atau SMALB ataupun dari luar lingkungan SDLB, SMPLB dan/atau SMALB, serta dekat dengan ruang pimpinan.

  c) Ruang Tata Usaha

  Ruang tata usaha berfungsi sebagai tempat kerja petugas untuk mengerjakan administrasi SDLB, SMPLB dan/atau SMALB. Rasio minimum luas ruang tata usaha

  2

  2

  adalah 4 m /petugas dan luas minimum adalah 16 m . Ruang tata usaha mudah dicapai dari halaman SDLB, SMPLB dan/atau SMALB ataupun dari luar lingkungan SDLB, SMPLB dan/atau SMALB, serta dekat dengan ruang pimpinan.

  d) Tempat Beribadah

  Tempat beribadah berfungsi sebagai tempat warga SDLB, SMLPB dan/atau SMALB melakukan ibadah yang diwajibkan oleh agama masing-masing pada waktu sekolah. Banyaknya tempat beribadah sesuai dengan kebutuhan tiap SDLB, SMPLB

  2 dan/atau SMALB, dengan luas minimum adalah 12 m .

  e) Ruang UKS

  Ruang UKS berfungsi sebagai tempat untuk penanganan dini peserta didik yang mengalami gangguan kesehatan di SDLB, SMPLB dan/atau SMALB. Luas

  2 minimum ruang UKS adalah 12 m .

  f) Ruang Konseling/Asesmen

  Ruang konseling/asesmen berfungsi sebagai tempat peserta didik mendapatkan layanan konseling dari konselor berkaitan dengan pengembangan menggali data kemampuan awal peserta didik sebagai dasar layanan pendidikan

  2

  selanjutnya. Luas minimum ruang konseling/asesmen adalah 9 m . Ruang konseling/asesmen dapat memberikan kenyamanan suasana dan menjamin privasi peserta didik.

  g) Ruang Organisasi Kesiswaan

  Ruang organisasi kesiswaan berfungsi sebagai tempat melakukan kegiatan kesekretariatan pengelolaan organisasi kesiswaan. Luas minimum ruang organisasi

  2 kesiswaan adalah 9 m .

  h) Jamban

  Jamban berfungsi sebagai tempat buang air besar dan/atau kecil. Minimum terdapat 2 unit jamban. Pada SDLB, SMPLB, dan/atau SMALB untuk tunagrahita dan/atau tunadaksa, minimum salah satu unit jamban merupakan unit yang dapat digunakan oleh anak berkebutuhan khusus, termasuk pengguna kursi roda.

  Jamban dilengkapi dengan peralatan yang mempermudah peserta didik berkebutuhan khusus untuk menggunakan jamban. Luas minimum 1 unit jamban

  2

  adalah 2 m . Jamban harus berdinding, beratap, dapat dikunci, dan mudah dibersihkan. Tersedia air bersih di setiap unit jamban.

i) Gudang

  Gudang berfungsi sebagai tempat menyimpan peralatan pembelajaran di luar kelas, tempat menyimpan sementara peralatan SDLB, SMPLB dan/atau SMALB yang tidak/belum berfungsi, dan tempat menyimpan arsip SDLB, SMPLB dan/atau

  2 SMALB yang telah berusia lebih dari 5 tahun. Luas minimum gudang adalah 18 m . j) Ruang Sirkulasi

  Ruang sirkulasi horizontal berfungsi sebagai tempat penghubung antar ruang dalam bangunan SDLB, SMPLB dan/atau SMALB dan sebagai tempat berlangsungnya kegiatan bermain dan interaksi sosial peserta didik di luar jam pelajaran, terutama pada saat hujan ketika tidak memungkinkan kegiatan-kegiatan tersebut berlangsung di halaman SDLB, SMPLB dan/atau SMALB.

  Ruang sirkulasi horizontal berupa koridor yang menghubungkan ruang-ruang di dalam bangunan SDLB, SMPLB dan/atau SMALB dengan luas minimum adalah 30% dari luas total seluruh ruang pada bangunan, lebar minimum adalah 1,8 m, dan tinggi minimum adalah 2,5 m.

  Ruang sirkulasi horizontal dapat menghubungkan ruang-ruang dengan baik, beratap, serta mendapat pencahayaan dan penghawaan yang cukup. Koridor tanpa dinding pada lantai atas bangunan bertingkat dilengkapi pagar pengaman dengan tinggi 90 -110 cm.

  k) Tempat Bermain/Berolahraga

  Tempat bermain/berolahraga berfungsi sebagai area bermain, berolahraga, pendidikan jasmani, upacara, dan kegiatan ekstrakurikuler, serta sebagai tempat latihan orientasi dan mobilitas bagi peserta didik tunanetra dan latihan mobilitas bagi peserta didik tunadaksa.

  Minimum terdapat tempat bermain/berolahraga berukuran 20 m x 10 m yang memiliki permukaan datar, drainase baik, dan tidak terdapat pohon, saluran air, serta benda-benda lain yang mengganggu kegiatan berolahraga.

  Sebagian lahan di luar tempat bermain/berolahraga ditanami pohon yang berfungsi sebagai peneduh. Lokasi tempat bermain/berolahraga diatur sedemikian rupa sehingga tidak banyak mengganggu proses pembelajaran di kelas. Tempat bermain/berolahraga tidak digunakan untuk tempat parkir.

  Mengenai kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan khusus yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 157 tahun 2014 tentang Kurikulum Pendidikan Khusus bahwa kurikulum pendidikan khusus bagi peserta didika berkelainan atau kebutuhan khusus merupakan kurikulum 013 PAUD, kurikulum 2013 SD/MI, kurikullum 2013 SMP/MTS, kurikulum 2013 SMA/MA, kurikulum 2013 SMK/MA yang kemudian disesuaikan dengan kebutuhan khusus peserta didik berkelainan atau berkebutuhan khusus.