Hanggedhe Daru 13413244024 Review Fungsi (1)

Hanggedhe Daru
13413244024
Review Fungsionalisme Struktural oleh Talcott Parsons dan Robert K. Merton
Sejarah Kelahiran Teori
Fungsionalisme struktural atau lebih sering disebut dengan teori struktural
fungsional merupakan hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori sistem umum di
mana pendekatan fungsionalisme yang diadopsi dari ilmu yang menekankan
pengkajiannya pada cara-cara mengorganisasikan dan mempertahankan sistem. Dan
pendekatan strukturalisme yang berasal dari linguistik, menekankan pengkajiannya
pada hal-hal yang menyangkut pengorganisasian bahasa dan sistemsosial.
Fungsionalisme struktural atau analisa sistem pada prinsipnya berkisar pada beberapa
konsep, namun yang paling penting adalah konsep fungsi dan konsep struktur.
Perkataan fungsi digunakan dalam berbagai bidang kehidupan manusia, menunjukkan
kepada aktivitas dan dinamika manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Dilihat dari
tujuan hidup, kegiatan manusia merupakan fungsi dan mempunyai fungsi. Pendekatan
itu tidak terlepas dari asumsi dan pemikiran Auguste Comte, bahwa sosiologi
merupakan studi tentang strata sosial (struktur) dan dinamika sosial (proses/fungsi).
Menurut Comte, kajian utama dari teori ini, tentang statis (keteraturan) dan dinamis
(perkembangan) masyarakat serta ia juga menekankan pada adanya kebutuhan
keteraturan sosial (Social Equilibrium). Munculnya teori ini juga tidak terlepas dari
pernyataan Herbert Spencer, seorang ahli sosiologi Inggris dari pertengahan abad ke19 bahwa berbagai perbedaan dan kesamaan khusus antara sistem biologis dan sistem

sosial. Masyarakat juga sebagai Organisme (Darwinisme Sosial) dan berkembang
melalui

evolusi.

Tahapan

masyarakat:

1)

Pengandaan/pertambahan;

2)

Kompleksifikasi; 3) Differensiasi; dan 4) Integrasi.
Lahirnya fungsionalis struktural sebagai suatu perspektif yang “berbeda” dalam
sosiologi memperoleh dorongan yang sangat besar melalui karya-karya klasik
seorang ahli sosiologi Prancis yaitu Emile Durkheim. Masyarakat modern oleh
Durkheim dilihat sebagai keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri.

Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu

yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam
keadaan normal dan tetap langgeng.
Fungsionalis dalam teori sosiologi Amerika masih merupakan perpektif yang
cukup dominan. Melalui karya Herbert Spencer dan Emile Durkheim serta di awali
oleh Auguste Comte. Malinowski dan Radcliffe Brown, sebagai antropolog yang
terkenal, mereka kemudian mempengaruhi sosiolog Amerika, yaitu Talcot Parsons.
Sebagai seorang instruktur muda Parsons memperkenalkan karya Emile Durkheim
dan perspektif fungsionalisme kepada Robert K. Merton, salah seorang muridnya di
universitas Harvard.
Asumsi Dasar dan Fokus Teori
Asumsi dasar dari teori fungsional ini, Spencer (Haryanto, 2012:16) melihat
masyarakat sebagai sebuah struktur yang menyeluruh, antar hubungan bagian-bagian
masyarakat dan kaitan fungsi bagian-bagian satu sama lain maupun pada sistem
sebagai

suatu

keseluruhan.


Jika

kita

melihat

paradigma

yang

menaungi

fungsionalisme maka kita akan mengetahui bahwa yang menjadi pokok persoalan
dalam fungsionalisme adalah struktur sosial dan pranata sosial, maka dari itu
sebagaimana yang dijelaskan oleh Spencer, banyak juga sosiolog lain yang
mengasumsikan teori struktural fungsional ini seperti organ tubuh yang satu dengan
yang lainnya memiliki fungsi serta peran masing masing dan saling terintegrasi dalam
membentuk serta menjaga kerteraturan di dalam masyarakat
Pemikiran struktural fungsional ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis

yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yang terdiri dari organorgan yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau
konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan
pendekatan lainnya, pendekatan struktural fungsional ini juga bertujuan untuk
mencapai keteraturan sosial dalam kehidupan masyarakat.
Dalam karyanya, Parsons membangun teori sosiologinya melalui “analytical
realism”, maksudnya adalah teori sosiologi harus menggunakan konsep-konsep
tertentu yang memadai dalam melingkupi dunia luar. Konsep-konsep ini tidak
bertanggungjawab pada fenomena konkrit, tapi lebih kepada elemen-elemen di

dalamnya yang secara analitis dapat dipisahkan dari elemen-elemen lainnya.
Keunikan realisme analitik Parsons ini terletak pada penekanan tentang bagaimana
konsep abstrak ini dipakai dalam analisis sosiologi. Sehingga yang di dapat adalah
organisasi konsep dalam bentuk sistem analisis yang mencakup semua persoalan
dunia tanpa terganggu oleh detail empiris.
Menurut Robert K Merton, yang merupakan penganut dari teori ini, berpendapat
bahwa obyek analisa sosiologi adalah fakta sosial seperti: peranan sosial, pola-pola
institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial dan lain-lain
(George Ritzer, 2010:22).
Materi Utama Teori
Fungsionalisme Struktural oleh Talcott Parsons

Dalam teori Fungsionalisme Strukturalnya, Parsons mengungkapkan suatu
keyakinan yang optimis terhadap perubahan dan kelangsungan suatu sistem. Akan
tetapi optimisme Parson itu dipengaruhi oleh keberhasilan Amerika dalam Perang
Dunia II dan kembalinya masa kejayaan setelah depresi. Bagi mereka yang hidup
dalam sistem yang kelihatannya mencemaskan dan kemudian diikuti oleh pergantian
dan perkembangan lebih lanjut maka optimisme teori Parsons dianggap benar.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Gouldner (1970: 142): ”Untuk melihat
masyarakat sebagai sebuah firma, yang dengan jelas memiliki batas-batas
srukturalnya, seperti yang dilakukan oleh teori baru Parsons, adalah tidak
bertentangan dengan pengalaman kolektif, dengan realitas personal kehidupan seharihari yang sama-sama kita miliki”.
Dalam mengkategorikan tindakan atau menggolongkan tipe-tipe peranan dalam
sistem sosial, Parsons mengembangkan 5 buah skema yang dilihat sebagai kerangka
teoritis utama dalam analisa sistem sosial. 5 buah skema itu adalah (M.Poloma,
Margaret, :173-174):
1. Affective versus Affective Neutrality, maksudnya, dalam suatu hubungan
sosial, orang dapat bertindak untuk pemuasan Afeksi (kebutuhan emosional)
atau bertindak tanpa unsur tersebut (netral).

2. Self-orientation
berhubungan,


versus

Collective-orientation,

maksudnya,

dalam

orientasinya hanya pada dirinya sendiri atau mengejar

kepentingan pribadi. Sedangkan dalam hubungan yang berorientasi kolektif,
kepentingan tersebut didominasi oleh kelompok.
3. Universalism versus Particularism, maksudnya, dalam hubungan yang
universalistis, para pelaku saling berhubungan menurut kriteria yang dapat
diterapkan kepada semua orang. Sedangkan dalam hubungan yang
Partikularistis, digunakan ukuran/kriteria tertentu.
4.

Quality versus Performance, maksudnya variable Quality ini

menunjuk pada Ascribed Status (keanggotaan kelompok berdasarkan
kelahiran/bawaan lahir). Sedangkan Performance (archievement) yang berarti
prestasi yang mana merupakan apa yang telah dicapai seseorang.

5.

Specificity versus Diffusness, maksudnya dalam hubungan
yang spesifik, individu berhubungan dengan individu lain dalam situasi
terbatas .

Parsons kemudian mengembangkan apa yang dikenal sebagai imperatif-imperatif
fungsional agar sebuah sistem bisa bertahan. Imperatif-imperatif tersebut adalah
Adaptasi, Pencapaian Tujuan, Integrasi, dan Latensi atau yang biasa disingkat AGIL
(Adaptation, Goal attainment, Integration, Latency).
1.

Adaptasi, sebuah sistem ibarat makhluk hidup, artinya agar
dapat terus berlangsung hidup, sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang ada. harus mampu bertahan ketika situasi eksternal sedang
tidak mendukung.


2. Goal (Pencapaian), sebuah sistem harus memiliki suatu arah yang jelas dapat
berusaha mencapai tujuan utamanya. Dalam syarat ini, sistem harus dapat
mengatur, menentukan dan memiliki sumberdaya untuk menetapkan dan
mencapai tujuan yang bersifat kolektif.
3.

Integrasi, sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian
yang menjadi komponennya. Sistem juga harus dapat mengelola hubungan
antara ketiga fungsi penting lainnya.

4. Latensi, Pemeliharaan pola, sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan
memperbaiki pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.
Parsons juga memberikan jawaban atas masalah yang ada pada fungsionalisme
struktural dengan menjelaskan beberapa asumsi sebagai berikut:
1.

Sistem mempunyai properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling
tergantung.


2. Sistem cenderung bergerak kearah mempertahankan keteraturan diri atau
keseimbangan.
3. Sistem bergerak statis, artinya ia akan bergerak pada proses perubahan yang
teratur.
4. Sifat dasar bagian suatu system akan mempengaruhi begian-bagian lainnya.
5. Sistem akam memelihara batas-batas dengan lingkungannya.
6. Alokasi dan integrasi merupakan ddua hal penting yang dibutuhkan untuk
memelihara keseimbangan system.
7. Sistem cenderung menuju kearah pemeliharaan keseimbangan diri yang
meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian
dengan keseluruhan sistem, mengendalikan lingkungan yang berbeda dan
mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam.
Teori Perubahan Sosial, dalam teorinya ini, Parsons berpendapat bahwa
masyarakat terdiri dari serangkaian subsistem yang berada dalam struktur berbeda
baik di dalamnya maupun hanya jelas fungsionalnya saja dan mengenai hal ini
Parsons meyebutnya sebagai proses diferensisasi.
Teori Sistem Tindakan, Teori Sistem Tindakan ini menjelaskan bagaimana
seseorang yang memiliki sistem kepribadian berupa kemapuan kemapuan serta
perilakunya sendiri dalam mencapai harapan atau tujuan yang jadi cita-ciatanya,
kemudian difasilitasi oleh budaya berupa norma dan nilai serta sistem sosial yang ada

untuk menjaga keteraturannya dalam mencapai tujuannya tersebut.
Fungsionalisme Struktural oleh Robert K. Merton
Merton (Ritzer, 2012:427-428) mengkritik tiga dalil yang dikemukakan oleh
Malinowski dan Radcliffe-Brown. Pertama adalah dalil kesatuan fungsional

masyarakat, hal ini menunjukan bahwa semua sistem distandarkan bermanfaat bagi
masyarakat tapi bagi Merton belum tentu hal itu bisa karena bagi masyarakat yang
kecil tidak mungkin sistemnya dapat diterapkan dimasyarakat yang besar.
Kedua adalah dalil bahwa fungsionalisme universal dalam arti semua bentuk
sosial dan budaya yang distandarkan memiliki fungsi-fungsi positif. Kenyataannya
bagi Merton hal tersebut tidak ditemukan dalam keseharian kita, maka dari itu tidak
semua sistem yang ada di masyarakat memiliki fungsi positif.
Ketiga adalah dalil kebutuhan mutlak maksudnya adalah semua aspek masyarakat
yang distandarisasi tidak hanya mempunyai fungsi-fungsi positif dan menggambarkan
dari cara kerja masyarakat secara keseluruhan dengan kata lain semua struktur
bermanfaat bagi masyarakat. Kritikannya ini juga ditujukan pada Parsons bahwa
setidaknya kita harus bersedia mengikuti berbagai alternatif struktural dan fungsional
yang ada dalam masyarakatdan tidak semua struktur berfungsi bagi masyarakat.
Merton mengutip tiga postulat yang ada dalam analisis fungsional yang kemudian
disempurnakan satu demi satu. Pertama, kesatuan fungsional masyarakat yang yang

dapat dibatasi sebagai suatu keadaan di mana seluruh bagian dari sosial bekerjasama
dalam suatu tingkat keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa
menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur (Merton
1967: 80)
Paradigma Merton menegaskan bahwa disfungsi (elemen disintegratis) tidak
boleh diabaikan karena hanya karena orang begitu terpesona oleh fungsi-fungsi
positif (elemen integratif). Ia juga menegaskan bahwa apa yang fungsional bagi suatu
kelompok bisa jadi tidak fungsional bagi kelompok lain.
Postulat kedua, yaitu fungsionalisme universal berkaitan dengan postulat pertama.
Fungsionalisme universal menganggap bahwa seluruh bentuk sosial dan kebudayaan
yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif (Merton 1967: 84).
Postulat ketiga, indispensability bahwa dalam setiap tipe peradaban, setiap
kebiasaan, ide, objek materil, dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting,
memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan dan merupakan bagian penting yang
tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan (Merton 1967: 86).

Dalam penjelasan lebih lanjut , Merton mengemukakan mengenai fungsi manifest
dan fungsi laten. Fungsi manifest adalah fungsi yang dikehendaki, laten adalah yang
tidak dikehendaki. Tetapi, lebih jauh dari itu konsepnya mengenai fungsi manifest dan
laten telah membuka kekakuan bahwa fungsi selalu berada dalam daftar menu
struktur. Merton pun mengungkap bahwa tidak semua struktur sosial tidak dapat
diubah oleh sistem sosial. Tetapi beberapa sistem sosial dapat dihapuskan. Dengan
mengakui bahwa struktur sosial dapat membuka jalan bagi perubahan sosial.
Analisis Merton tentang hubungan antara kebudayaan, struktur, dan anomi.
Budaya didefinisikan sebagai rangkaian nilai normative teratur yang mengendalikan
perilaku yang sama untuk seluruh anggota masyarakat. Stuktur sosial didefinisikan
sebagai serangkaian hubungan sosial teratur dan mempengaruhi anggota masyarakat
atau kelompok tertentu dengan cara lain.
Anomi terjadi jika ketika terdapat disfungsi antara norma-norma dan tujuan
kultural yang terstruktur secara sosial dengan anggota kelompok untuk bertindak
menurut norma dan tujuan tersebut. kebudayaan menghendaki adanya beberapa jenis
perilaku yang dicegah oleh struktur sosial. Merton menghubungkan anomi dengan
penyimpangan dan dengan demikian disjungsi antara kebudayan dengan struktur akan
melahirkan konsekuensi disfungsional yakni penyimpangan dalam masyarakat.
Dalam mengatasi anomi tersebut, merton memiliki tingkatan dalam disfungsi
yang terjedi (Merton, 1968 dalam Haryanto, 2012:37)
1. Comformity, tujuan budaya yang terinternalisasi dan memiliki akses
untuk memperbaiki sarana mencapai tujuan.
2. Innovation, memiliki tujuan budaya yang terinternalisasi, tetapi tidak memiliki
akses untuk memperbaiki saran pencapaian tujuan.
3. Ritualism, memiliki akses untuk memperbaiki sarana pencapaian tujuan
tetapikehilangan konteks tujuan kebudayaan.
4. Reatreatism, tujuan budaya yang tidak tercapai demikian juga perbaikan
sarana.
Kelemahan / Kekurangan Teori
Memang, fungsionalisme struktural dikembangkan itu sebagian besar merupakan
reaksi terhadap pendekatan evolusioner historis yang dilakukan oleh antropolog

tertentu. Khususnya pada tahun-tahun awal, fungsionalisme struktural melangkah
terlampau jauh dalam mengkritik teori evolusi yang kemudian berfokus pada
masyarakat kontemporer maupun abstrak. Akan tetapi, fungsionalisme struktural
tidak pasti ahistoris (J. Turner dan Maryanski, 1979). Nyatanya seperti yang sudah
kita lihat, karya parsons (1966, 1971) mengenai perubahan sosial mencerminkan
kemampuan para fungsionalis struktural membahas perubahan jika mereka mau.
Kaum fungsionalis struktural juga turut diserang karena mereka tidak mampu
mebahas secara efektif proses perubahan sosial (Abrahamson, 1978; P. Cohen, 1968;
Mills, 1959; J. Turner dan Maryanski, 1979). Kalau kritik terdahulu terkait dengan
ketidakmampuan fungsionalis struktural untuk mengurusi masa lampau, kritik ini
terkait dengan ketidakmampuan serupa pendekatan itu untuk membahas proses
perubahan sosial kontemporer. Percy Cohen (1968) melihat masalahnya terletak pada
teori fungsionalis struktural, yaitu semua unsur masyarakat dan juga sistem secara
keseluruhan dilihat saling diperkuat satu sama lain. Hal itu menyulitkan kita untuk
melihat bagaimana unsur-unsur tersebut dapat menyumbang bagi perubahan.
Sementara Cohen melihat masalah itu melekat di dalam teori, Turner dan Maryanski
percaya, masalahnya terletak pada praktisi dan bukan pada teori.
Kritik metodologis spesifik antara lain adalah isu mengenai apakah ada metodemetode yang memadai untuk mempelajari persoalan-persoalan yang diperhatikan para
fungsionalis struktural. Percy Cohen (1968), misalnya, ingin tahu alat-alat apa saja
yang dapat digunakan untuk mempelajari sumbangan satu bagian sistem kepada suatu
sistem secara keseluruhan. Kritik metodologis lainnya ialah bahwa fungsionalisme
struktural menyulitkan analisis komparatif. Jika asumsinya, bahwa suatu bagian dari
suatu sistem dapat dipertimbangkan hanya di dalam konteks sistem sosial tempat ia
berada, bagaimana kita dapat membandingkannya dengan bagian serupa di sistem
yang lain?
Kritik utama lainnya adalah fungsionalisme struktural bersifat tautologis, yaitu
argumen yang kesimpulannya hanya mengeksplisitkan hal yang implisit di dalam
pernyataannya atau hanya merupakan pengulangan pernyataan itu dengan cara yang
lain. Di dalam fungsionalisme struktural, penalaran yang berputar-putar semacam itu
sering berupa pendefinisian keseluruhan di dalam kerangka bagian-bagiannya dan

kemudian pendefinisian bagian-bagian di dalam kerangka keseluruhan. Dengan
demikian, diargumenkan bahwa suatu sistem sosial didefinisikan oleh hubungan antar
bagian-bagian yang menyusunnya dan bahwa bagian-bagian yang menyusun sistem
itu didefinisikan oleh tempat mereka di dalam sistem sosial yang lebih besar.
Relevansi Teori dengan Realitas Terkini
Analisis AGIL milik Parsons bila diterapkan ke dalam masyarakat yaitu adaptasi
akan menjadi faktor ekonomi di masyarakat. Masyarakat akan berusaha mencari
sumberdaya dari lingkungan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan
mendistribusikannya ke semua sistem yang ada di dalam masyarakat tersebut. Goal
attainment (pencapaian) lebih dekat kepada politik atau merumuskan tujuan yang
akan dicapai bersama dalam suatu sistem yang ada di dalam masyarakat. Integrasi
dapat berarti hukum yaitu upaya-upaya untuk mengkoordinasi dan mengatur
hubungan antar elemen dalam sebuah sistem. Latensi dapat juga diartikan sebagai
proses tranfer nilai-nilai kolektif yang dibutuhkan untuk kelangsungan masyarakat,
proses ini biasanya dilakukan melaui keluarga, pendidikan dan agama.
Masyarakat dipandang terdiri dari berbagai sistem yang memiliki fungsi yang
berbeda-beda tetapi tetap terintegrasi untuk mencapai keteraturan sosial. Misalnya,
pada sebuah organisasi atau pun lembaga tertentu, karena saya sendiri adalah
mahasiswa maka akan saya contohkan, Ormawa (Organisasi Mahasiswa). Di dalam
suatu ormawa, terdiri dari suatu pengurus inti dan juga bagian-bagian pendukung
dibawah pengurus inti tersebut. Pengurus inti yang terdiri dari ketua, sekretaris dan
juga bendahara yang mempunyai peran dan fungsi untuk mengatur bagian-bagian
pendukung yang berada dibawahya. Dengan adanya peran dan fungsi yang diemban
oleh masing masing pengurus, maka haruslah ada keteraturan dan keterintegrasian
dalam menjalankan peran dan fungsi tersebut agar dapat mencapai tujuan organisasi
secara sempurna. Karena jika tidak berjalan sesuai peran dan fungsinya, maka tujuan
dari organisasi tersebut tidak akan tercapai, bahkan dapat dikatakan organisasi
tersebut akan hancur.

DAFTAR PUSTAKA
Haryanto, Sindung. 2012. Spektrum Teori Sosial. Ar-Ruz Media: Jogjakarta
Poloma, M. Margaret. 2013. Sosiologi Kontemporer. RajaGrafindo Persada: Jakarta
Ritzer,

George.

2012.

Teori

Sosiologi

dari

Sosiologi

Klasik

sampai

Perkembangan Terkahir Post Modern. Edisi Kedelapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Wirawan, IB. 2012. Teori-teori Sosial Dalam Tiga Paradigma. Jakarta:
Prenadamedia Group