Penerapan Recurrent Nural Network Dalam Identifikasi Tulisan Tangan Huruf Jepang Jenis Katakana

18
 

 

BAB 2

LANDASAN TEORI

Bab ini membahas tentang teori penunjang dan penelitian sebelumnya yang berhubungan
dengan penerapan metode Recurrent Neural Network untuk mengidentifikasi jenis tulisan
Jepang huruf Katakana.

2.1 Citra

Citra secara harfiah, adalah gambar pada bidang dua dimensi dan disusun oleh banyak
piksel yang merupakan bagian terkecil dari citra. Pada umumnya, citra dibentuk dari
kotak-kotak persegi empat yang teratur sehingga jarak horizontal dan vertikal antara
piksel adalah sama pada seluruh bagian citra (Ldya, et al. 2010). Citra sebagai keluaran
dari suatu sistem perekaman data dapat bersifat :
1. optik berupa foto,

2. analog berupa sinyal video seperti gambar pada monitor televisi,
3. digital yang dapat langsung disimpan pada suatu pita magnetik.
Citra digital adalah representasi visual dari suatu objek setelah mengalami bebagai
transformasi data dari berbagai bentuk rangkaian numeric (Putra, 2012). Citra digital
dapat dikategorikan dalam beberapa jenis, yaitu :


 

 

Universitas Sumatera Utara

19
 

 

1. Citra Biner
Citra biner adalah citra yang hanya mempunyai dua nilai derajat keabuan yaitu

hitam dan putih. Piksel-piksel objek bernilai 1 dan piksel-piksel latar belakang
bernilai 0. Piksel bernilai 0 ada pada warna putih dan piksel bernilai 1 ada pada
warna hitam pada saat menampilkan citra.
2. Citra Keabuan
Citra keabuan adalah citra yang disetiap piksel nya mengandung satu layer
dimana nilai instensitasnya berada pada nilai 0 (hitam) – 255 (putih). Untuk
menghitung citra keabuan digunakan rumus :
I (x,y) = α . R + β . G + y . B
dengan I(x,y) adalah level keabuan pada suatu koordinat yang diperoleh dengan
mengatur warna R (merah), G (hijau), B (biru) yang ditunjukkan oleh nilai
parameter α, β dan γ. Secara umum nilai α, β dan γ adalah 0.33. Nilai yang lain
juga dapat diberikan untuk ketiga parameter tersbut asalkan total keseluruhannya
adalah 1 (Putra, 2009).
3. Citra warna
Citra warna adalah citra digital yang memiliki informasi warna pada setiap
pikselnya. Sistem pewarnaan citra warna ada beberapa macam seperti RGB,
CMYK, HSV, dll.

2.2


Image Processing

Image Processing atau pengolahan citra adalah suatu pemrosesan citra, khususnya
menggunakan komputer dengan tujuan menghasilkan citra dengan kualitas lebih baik.
Tiga bidang studi yang berkaitan dengan Pengolahan Data Citra, yaitu:


 

 

Universitas Sumatera Utara

20
 

 

a. Grafika Komputer (computer graphics).


Grafika komputer bertujuan untuk menghasilkan citra dengan primitif-primitif
geometri seperti garis, lingkaran, dan sebagainya. Primitif-primitif geometri
tersebut memerlukan data deskriptif untuk melukis elemen-elemen gambar.

b.

Pengenalan Pola (pattern recognition/image interpretation).

Pengenalan pola adalah proses pengelompokan data numerik dan simbolik secara
otomatis oleh mesin. Tujuan dari pengelompokan ini adalah untuk mengenali
suatu objek didalam citra. Manusia bisa mengenali objek-objek disekitarnya
karena otak manusia belajar mengklasifikasi objek-objek di alam sehingga mampu
membedakan suatu objek dengan objek lainnya. Kemampuan sistem visual
manusia inilah yang akan ditiru oleh mesin. Komputer menerima masukan berupa
citra objek yang akan diidentifikasi, memproses citra tersebut, dan memberikan
keluaran berupa deskripsi objek didalam citra.

c. Pengolahan Citra (image processing).

Pengolahan Citra bertujuan memperbaiki kualitas citra agar mudah diinterpretasi

oleh manusia / mesin (computer). Teknik - teknik pengolahan citra
mentransformasikan citra menjadi citra dengan kualitas yang lebih baik.
Pengenalan pola mengelompokkan data numerik dan simbolik (termasuk citra)
secara otomatis oleh mesin (komputer). Pengelompokan ini untuk mengenali suatu
objek di dalam citra. Komputer menerima masukan berupa citra objek yang
diidentifikasi, memproses citra, dan memberi keluaran berupa deskripsi objek di
dalam citra (Ldya, et al. 2010).

Beberapa teknik yang termasuk dalam Image Processing yaitu grascale, resizing,
normalisasi, thinning.


 

 

Universitas Sumatera Utara

21
 


 

a. Grayscale

Grayscale adalah teknik yang digunakan untuk mengubah citra berwarna menjadi bentuk
grayscale atau tingkat keabuan (dari hitam - putih). Pembentukan citra keabuan
menggunakan metode luminance yakni nilai RGB dikalikan dengan nilai yang telah
ditentukan yang kecocokan nya sesuai dengan sensitivitas mata terhadap warna. Hijau
adalah warna paling dominan, diikuti merah dan terakhir biru (Lennie et al. 1993). Hasil
akhir proses ini adalah nilai keabuan (8 bit) dengan rentang hitam (0) dan putih (255).
Pada pengubahan sebuah gambar menjadi grayscale dapat dilakukan dengan cara
mengambil semua pixel pada gambar kemudian warna tiap pixel akan diambil informasi
mengenai 3 warna dasar yaitu merah, biru dan hijau (melalui fungsi warnatoRGB), ketiga
warna dasar ini akan dijumlahkan kemudian dibagi tiga sehingga didapat nilai ratarata.
Nilai rata-rata inilah yang akan dipakai untuk memberikan warna pada pixel gambar
sehingga warna menjadi grayscale, tiga warna dasar dari sebuah pixel akan diset menjadi
nilai rata-rata (melalui fungsi RGBtowarna). Contoh citra yang sudah mengalami
grayscalling dapat dilihat pada gambar 2.1


Gambar 2.1 Proses Grayscalling (Santi, 2011)

b. Resizing

Resizing merupakan proses mengubah dan menyamakan citra masukan, dengan
mengubah resolusi horizontal dan vertikal citra masukan tersebut. Kinerja sistem akan
melambat apabila terdapat keanekaragaman ukuran citra masukan. Resizing dilakukan
agar citra dapat direpresentasikan dalam bentuk yang lebih kompak sehingga memerlukan
memori yang lebih sedikit. Hal penting yang harus diperhatikan dalam resizing adalah

 

 

Universitas Sumatera Utara

22
 

 


citra yang telah resize harus tetap mempunyai kualitas citra yang bagus. Contoh citra
yang sudah mengalami resizing dapat dilihat pada gambar 2.2. Citra sebelah kiri (a)
adalah citra kapal yang berukuran 258 KB. Citra sebelah kanan (b) merupakan hasil
resizing sehingga ukuran citra menjadi 49 KB .

Gambar 2.2 Proses Resizing (Wijaya et al , 2010)
c. Normalisasi
Normalisasi adalah proses mengubah nilai daripada intensitas piksel menjadi satu
keseragaman dalam satu intensitas yang lebih mendekati kenormalan daripada
kemampuan melihat suatu gambar. Normalisasi terkadang disebut juga pelebaran kontras
dan pelebaran histogram (Gonzalez & Woods, 2007). Normalisasi dalam image
processing adalah proses yang ditujukan untuk membuat citra lebih mudah dimunculkan
fitur-fiturnya. Dengan cara mengubah rentang nilai intensitas piksel dan juga
meningkatkan akurasi pengenalan. Contoh citra yang sudah mengalami normalisasi dapat
dilihat pada gambar 2.3

Gambar 2.3 Proses Normalisasi (Prastyo, 2010)



 

 

Universitas Sumatera Utara

23
 

 

d. Thinning
Thinning merupakan proses yang bertujuan untuk mengurangi ukuran dari suatu citra
(imagesize) dengan tetap mempertahankan informasi dan karakteristik penting dari citra
tersebut. Hal ini diimplementasikan dengan mengubah citra awal dengan pola binary
menjadi representasi kerangka (skeletal representation) image tersebut. Objek seperti
huruf atau silhouettes dapat lebih mudah dikenali dengan melihat kepada kerangkanya
saja (Phillips, 2000).
Thinning hanya digunakan pada citra biner dan menghasilkan citra biner lain sebagai
outputnya . Thinning merupakan bentuk "pre-processing" yang digunakan dalam banyak

teknik analisa citra. Output dari proses ini disebut sebagai "skeleton" , oleh karena itu
thinning bisa juga disebut sebagai "skeletonisasi" . Thinning bertujuan untuk mengurangi
bagian yang tidak perlu (redudant) sehingga hanya dihasilkan informasi yang essensial
saja. Pola hasil penipisan harus tetap menyerupai bentuk pola asal . Sebagai contoh pada
gambar 2.3 adalah huruf "R" dan hasil polanya menjadi rangka "R"

Gambar 2.4 Proses Thinning (Fitri, 2013)
Algoritma penipisan yang umum adalah memeriksa pixel-pixel di dalam jendela yang
berukuran 3 X 3 pixel dan mengelupas satu pixel pada pinggiran (batas) objek pada setiap
lelaran, sampai objek berkurang menjadi garis tipis. Notasi pixel di dalam jendela 3 X 3
diperlihatkan pada gambar 2.5 (c). Algoritma bekerja secara iteratif, pada setiap lelaran
dilakukan premrosesan pada jendela yang berukuran 3 X 3 pixel.


 

 

Universitas Sumatera Utara


24
 

 

Algoritmanya adalah sebagai berikut:

1. Mula-mula diperiksa jumlah pixel objek (yang bernilai 1), N, di dalam jendela 3 X 3
pixel.
2. Jika N kurang atau sama dengan 2, tidak ada aksi yang dilakukan karena di dalam
jendela terdapat ujung lengan objek.
3. Jika N lebih besar dari 7, tidak ada aksi yang dilakukan karena dapat menyebabkan
pengikisan (erosion) objek.

Gambar 2. 5 (a) Penghapusan pixel pinggir menyebabkan ketidakterhubungan,
(b) penghapusan pixel pinggir memperpendek lengan objek,
(c) notasi pixel yang digunakan untuk memeriksa keterhubungan.

4. Jika N lebih besar dari 2, periksa apakah penghilangan pixel tengah menyebabkan
objek tidak terhubung. Ini dilakukan dengan membentuk barisan p1p2p3…p8p1. Jika
jumlah peralihan 0 ® 1 di dalam barisan tersebut sama dengan 1, berarti hanya terdapat
satu komponen terhubung di dalam jendela 3 X 3. Pada kasus ini, dibolehkan menghapus
pixel tengah yang bernilai 1 karena penghapusan tersebut tidak mempengaruhi
keterhubungan.

2.3

Ekstraksi Fitur

Ekstraksi fitur adalah proses pengukuran terhadap data yang telah dinormalisasi untuk
membentuk sebuah nilai fitur. Nilai fitur digunakan oleh pengklasifikasi untuk mengenali
unit masukan dengan unit target keluaran dan memudahkan pengklasifikasian karena nilai

 

 

Universitas Sumatera Utara

25
 

 

ini mudah untuk dibedakan (Pradeep et. al, 2011). Secara luas, fitur adalah semua hasil
pengukuran yang bisa diperoleh. Fitur juga bisa menggambarkan karakteristik objek yang
dipantau (Putra, 2009). Contoh dari fitur level rendah adalah intensitas sinyal. Fitur bisa
berupa simbol, numerik atau keduanya. Contoh dari fitur simbol adalah warna. Contoh
dari fitur numerik adalah berat. Fitur bisa diperoleh dengan mengaplikasikan algoritma
pencari fitur pada data masukan.
Fitur dapat dinyatakan dengan variabel kontinu, diskret atau diskret-biner. Fitur biner
dapat digunakan untuk menyatakan ada tidaknya suatu fitur tertentu. Fitur yang baik
memiliki syarat berikut, yaitu mudah dalam komputasi, memiliki tingkat keberhasilan
yang tinggi dan besarnya data dapat diperkecil tanpa menghilangkan informasi penting
(Putra, 2009).

2.4

Diagonal Based Featured Extraction

Diagonal Based Feature Extraction adalah proses untuk mengenali karakter tulisan
dengan metode offline di dalam pengerjaannya (Pradeep, et.al, 2011). Setiap citra karakter
berukuran 90 x 60 piksel kemudian dibagi menjadi 54 zona yang sama, dan masing –
masing zona berukuran 10 x 10 piksel. Fitur yang akan di ekstraksi dari setiap zona piksel
dengan bergerak secara diagonal dari tiap zona yang masing – masing berukuran 10 x 10
piksel. Setiap zona memiliki 19 garis diagonal dan foreground pixel yang ada disetiap
baris diagonal dan dijumlahkan untuk mendapatkan sub-fitur tunggal.
Kemudian, nilai dari 19 sub-fitur ini dibagi rata untuk mendapatkan satu nilai fitur
dan ditempatkan di zona yang sesuai. Prosedur ini dilakukan berulang secara berurutan di
semua zona. Apabila ada suatu zona yang garis diagonal nya bernilai kosong, maka nilai
fitur yang sesuai dengan zona tersebut adalah 0. Untuk lebih jelas dapat dilihat seperti
pada gambar 2.6.


 

 

Universitas Sumatera Utara

26
 

 

Gambar 2.6 Diagonal Based Featured Extraction (Pradeep et al.2011)

Algoritma diagonal based feature extraction (Pradeep et al. 2011) :
1. Hitung histogram diagonal setiap zona. Histogram diagonal adalah banyaknya
piksel hitam setiap diagonal pada satu zona. Setiap zona memiliki 19 nilai
histogram diagonal yang disebut Histds, dimana 1 ≤ d ≤ 19. Secara jelas dapat
dilihat pada gambar 2.7.

Gambar 2.7 Histogram Diagonal Zona (Pradeep et al. 2011)

2. Hitung nilai fitur setiap zona, yaitu rata-rata histogram setiap zona, disebut Zn
dimana 1 ≤ n ≤ 54.

 

 

Universitas Sumatera Utara

27
 

 

Zn =
19
3. Hitung rata-rata zona setiap baris, disebut Bi, dimana 1 ≤ i ≤ 9.
Bi =
6
Baris 1 = (Z1+Z2+Z3+Z4+Z5+Z6) /6
Baris 2 = (Z7+Z8+Z9+Z10+Z11+Z12) /6
Baris 3 = (Z13+Z14+Z15+Z16+Z17+Z18) /6
Baris 4 = (Z19+Z20+Z21+Z22+Z23+Z24) /6
Baris 5 = (Z25+Z26+Z27+Z28+Z29+Z30) /6
Baris 6 = (Z31+Z32+Z33+Z34+Z35+Z36) /6
Baris 7 = (Z37+Z38+Z39+Z40+Z41+Z42) /6
Baris 8 = (Z43+Z44+Z45+Z46+Z47+Z48) /6
Baris 9 = (Z49+Z50+Z51+Z52+Z53+Z56) /6

4. Hitung rata-rata zona setiap kolom, disebut Kj, dimana 1 ≤ j ≤ 6
Kj =
9
Kolom 1 = (Z1+Z7+Z13+Z19+Z25+Z31+Z37+Z43+Z49) /9
Kolom 2 = (Z2+Z8+Z14+Z20+Z26+Z32+Z38+Z44+Z50) /9
Kolom 3 = (Z3+Z9+Z15+Z21+Z27+Z33+Z39+Z45+Z51) /9
Kolom 4 = (Z4+Z10+Z16+Z22+Z28+Z34+Z40+Z46+Z52) /9
Kolom 5 = (Z5+Z11+Z17+Z23+Z29+Z35+Z41+Z47+Z53) /9
Kolom 6 = (Z6+Z12+Z18+Z24+Z30+Z36+Z42+Z48+Z54) /9

2.5

Jaringan Syaraf Tiruan

Jaringan saraf tiruan adalah paradigma pengolahan informasi yang terinspirasi oleh sistem
saraf secara biologis, seperti proses informasi pada otak manusia. Elemen kunci dari

 

 

Universitas Sumatera Utara

28
 

 

paradigma ini adalah struktur dari sistem pengolahan informasi yang terdiri dari sejumlah
besar elemen pemrosesan yang saling berhubungan (neuron), bekerja serentak untuk
menyelesaikan masalah tertentu. Cara kerja jaringan saraf tiruan adalah seperti cara kerja
manusia, yaitu belajar pola atau klasifikasi data, melalui proses pembelajaran (Sutojo et
al. 2010).
Jaringan saraf tiruan disusun dengan asumsi yang sama seperti jaringan saraf biologi
(Puspitaningrum, 2006):
1. Pengolahan informasi terjadi pada elemen-elemen pemrosesan (neuron).
2. Sinyal antara dua buah neuron diteruskan melalui link-link koneksi.
3. Setiap link koneksi memiliki bobot terasosiasi.
4. Setiap neuron menerapkan sebuah fungsi aktivasi terhadap input jaringan
(jumlah sinyal input berbobot). Tujuannya adalah untuk menentukan sinyal output.

Pembagian arsitektur jaringan saraf tiruan bisa dilihat dari kerangka kerja dan skema
antar interkoneksi. Kerangka kerja jaringan saraf tiruan bisa dilihat dari jumlah lapisan
(layer) dan jumlah node pada setiap lapisan (Puspitaningrum, 2006).

Lapisan – lapisan penyusun jaringan saraf tiruan dapat dibagi menjadi tiga :
1. Lapisan input
Node-node di dalam lapisan input disebut unit-unit input. Unit-unit input
menerima input dari dunia luar. Input yang dimasukkan merupakan penggambaran
dari suatu masalah.

2. Lapisan tersembunyi
Node-node di dalam lapisan tersembunyi disebut unit-unit tersembunyi. Output
dari lapisan ini tidak secara langsung dapat diamati.

3. Lapisan output
Node-node pada lapisan output disebut unit-unit output. Keluaran atau output dari
lapisan ini merupakan output jaringan saraf tiruan terhadap suatu permasalahan.

 

 

Universitas Sumatera Utara

29
 

 

Mengadopsi esensi dasar dari system syaraf biologi, syaraf tiruan dijelaskan yaitu
menerima input atau masukan (baik dari data yang dimasukkan atau dari output sel syaraf
pada jaringan syaraf. Setiap input datang melalui suatu koneksi atau hubungan yang
mempunyai sebuah bobot (weight). Setiap sel syaraf mempunyai sebuah nilai ambang.
Jumlah bobot dari input dan dikurangi dengan nilai ambang kemudian akan mendapatkan
suatu aktivasi dari sel syaraf (post synaptic potential, PSP, dari sel syaraf). Signal aktivasi
kemudian menjadi fungsi aktivasi / fungsi transfer untuk menghasilkan output dari sel
syaraf. Jika tahapan fungsi aktivasi digunakan ( output sel syaraf = 0 jika input = 0) maka tindakan sel syaraf sama dengan sel syaraf biologi yang dijelaskan
diatas (pengurangan nilai ambang dari jumlah bobot dan membandingkan dengan 0
adalah sama dengan membandingkan jumlah bobot dengan nilai ambang). Biasany
tahapan fungsi jarang digunakan dalam jaringan syaraf tiruan.

2.6

Recurrent Neural Network

Recurrent Neural Network ( RNN ) adalah neural network dengan fasilitas umpan balik
menuju neuron itu sendiri maupun neuron yang lain, sehingga aliran informasi dari
masukan mempunyai arah jamak (Aribowo, 2010) . Recurrent Neural Network adalah
jaringan yang mempunyai minimal satu feedback loop. RNN memiliki kemampuan
penggambaran yang sangat bagus dan dapat mengatasi kelemahan feedfoward (Soelaiman
& Rifa’i, 2010) . Keluaran RNN tidak hanya bergantung pada masukan saat itu saja,
tetapi juga tergantung pada kondisi masukan neural network untuk waktu lampau.
Kondisi ini dimaksudkan untuk menampung kejadian lampau diikutkan pada proses
komputasi. Hal ini penting untuk masalah yang cukup rumit, dan tanggapan keluaran
neural network berkaitan dengan variasi waktu ( time-varying ), sehingga neural network
memiliki kepekaan terhadap waktu dengan memori kondisi lampau. Struktur Recurrent
Neural Network dapat dilihat pada gambar 2.8


 

 

Universitas Sumatera Utara

30
 

 

Gambar 2.8 Struktur Recurrent Neural Network (Aribowo, 2011)
Keluaran Recurrent Neural Network dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

dimana :


xˆ(k) ∈ℜ n adalah internal state vector



A∈ℜ nxn adalah matrik tetap



x(k) ∈ℜ n adalah state vector



u(k) ∈ℜ m adalah vektor masukan, Nilai u(k) dan x(k) diketahui



mxnk k W W ∈ℜ 1, 2, , adalah bobot pada lapisan hidden



nxm k k V V ∈ℜ 1, 2, , adalah bobot pada lapisan output



xˆ(k +1) adalah nilai dari state vektor hasil perkiraan pada iterasi ke k +1

Fungsi aktifasi yang digunakan pada jaringan adalah

T m [ ... ] 1 σ = σ σ , σ ∈ℜ m dan φ ∈ℜ mxm


 

 

Universitas Sumatera Utara

31
 

 

Nilai σ dan φ dihitung dengan menggunakan fungsi sigmoid (Soelaiman & Rifa’i, 2010).
Adapun arsitektur umum Recurrent Neural Network yang dapat dilihat pada gambar 2.9

Gambar 2.9 Arsitektur umum Recurent Neural Network (Soelaiman & Rifa’i, 2010).

2.7

Huruf Katakana

Bahasa Jepang memiliki aturan gramatikal, cara baca dan cara menulis huruf bahasa
Jepang. Bahasa Jepang memiliki 3 (tiga) huruf, yaitu huruf hiragana, huruf katakana, dan
huruf kanji.
Katakana jauh lebih sulit dikuasai dibanding Hiragana karena hanya digunakan untuk
kata-kata tertentu, sehingga kesempatan untuk berlatih membacanya lebih jarang.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, katakana digunakan terutama untuk kata yang
diimpor dari bahasa asing. Kata-kata impor tersebut banyak yang berasal dari bahasa
Inggris. Katakana juga bisa digunakan untuk menekankan kata-kata tertentu sebagaimana
penggunaan huruf tebal.

 

 

Universitas Sumatera Utara

32
 

 

Katakana melambangkan suara-suara yang sama dengan Hiragana, namun tentu saja
semua hurufnya berbeda (Handoyono & Susanto, 2010). Untuk lebih jelas dapat dilihat
seperti pada gambar 2.10.

Gambar 2.10 Tabel huruf Katakana ( Handoyono ,2011 )

2.8 Penelitian Terdahulu

Di bagian ini akan dijabarkan beberapa penelitian terdahulu. Saat ini sudah banyak
penelitian teknologi informasi yang bergerak dibidang kedokteran bagian kardiologi.
Untuk lebih jelasnya, pada tabel 2.1 berikut akan dijelaskan penelitian – penelitian yang
telah dibuat sebelumnya.

Tabel 2.1 Penelitian terdahulu
No
1

Judul
Penerapan Jaringan
Syaraf Tiruan Metode
Propagasi Balik dalam

Penulis dan
Tahun
Handoyono,
Susanto. 2012

Metode yang
digunakan
Metode
Propagasi
Balik

Keterangan
Pengujian jaringan
syaraf tiruan
propagasi balik


 

 

Universitas Sumatera Utara

33
 

 

Tabel 2.1 Penelitian terdahulu (lanjutan)
No

Judul

Penulis dan
Tahun

Metode yang
digunakan

Pengenalan Tulisan
Tangan Huruf Jepang
Jenis Hiragana dan
Katakana

Keterangan
dengan
menggunakan
gambar pelatihan
yang bertujuan untuk
menguji ingatan
jaringan dengan cara
menggeneralisasikan
kasus yang dihadapi
dan kemudian
menarik kesimpulan
yang cenderung ke
output tertentu .

2

Diagonal Feature
Extraction Based
Handwritten Character
System Using Neural
Network.

J.Pradeep, et.al Diagonal
2011
Based feature
extraction dan
menggunakan
Neural
Network

Menggunakan
ekstraksi fitur
Diagonal Based
untuk mengenali
karakter tulisan dan
menggunakan
Neural Network
dalam mengambil
keputusan dan
kesimpulan dari
karakter tulisan.

3

Identifikasi Nonlinier
dengan Menggunakan
Metode Recurrent
Neural Network dan
Algoritma Dead-Zone
Kalman Filter

Soelaiman dan
Rifa’i. 2010

Algoritma
diimplementasikan
pada state space
RNN untuk
mengidentifikasi
system nonlinier
dengan mengupdate
bobot pada lapisan
tersembunyi dan
lapisan keluaran dari
jaringan syaraf
tiruan berdasarkan
identifikasi error
antara target dengan
estimasi state .

Metode
Recurrent
Neural
Network
(RNN) dan
algoritma
Dead-Zone
Kalman Filter


 

 

Universitas Sumatera Utara

34
 

 

Tabel 2.1 Penelitian terdahulu (lanjutan)
No

Judul

Penulis dan
Tahun

Metode yang
digunakan

Keterangan
Pembuktian hasil
identifikasi
menggunakan DeadZone Kalman Filter.

4

Implementasi Recurrent
Neural Network dengan
metode pembelajaran
Gradient Descent
Adaptive Learning Rate
untuk pendugaan curah
hujan.

Salman. 2011

Recurrent
Neural
Network
(RNN)dan
metode
Gradient
Descent
Adaptive
Learning Rate

RNN dapat dilatih
untuk mempelajari
dan menganalisa
pola data masa lalu
dan berusaha
mencari suatu
formula atau fungsi
yang
menghubungkan
pola data masa lalu
dengan keluaran
yang diinginkan
pada saat ini
berdasarkan
koefisien
determinasi dan
Root Mean Square
Error.


 

 

Universitas Sumatera Utara