SPATIAL ANALYSIS FOR LAND CAPABILITY ASSESSMENT USING GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM

  

SPATIAL ANALYSIS FOR LAND CAPABILITY ASSESSMENT

USING GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM

By:

a a b c a

Rahmawaty , Sari Adryana , Ahmad Sofyan , Abdul Rauf

  

Forestry Study Program, Faculty of Agriculture, Sumatera Utara University,

b c

BP DAS Wampu Sei Ular, Ministry of Forestry

Agroecotecnology Study Program, Faculty of Agriculture, Sumatera Utara University,

Medan, North Sumatra, Indonesia

Address: Jl. Tri Dharma Ujung No. 1 Kampus USU, Medan, 20155, North Sumatra, INDONESIA

email:

  

ABSTRACT

Land utilization in Wampu Hulu Sub Watershed should be based on its land capability.

  

This research was conducted in March-September 2011 at Wampu Watershed, Langkat,

North Sumatra, Indonesia. Land capability classification was conducted by spatial

analysis for capability of land criteria using Geographic Information System (GIS)

(overlay technique). The land criteria are slope, soil erodibility, level of erosion hazard,

soil depth, soil texture, permeability and drainage. Soil analyze was done in order to

obtain the data of soil texture, permeability, soil erodibility, while slope, soil depth, level

of erosion hazard and drainage was obtain from land system map. The result showed that

the land capability classification at Wampu Hulu Sub Watershed, divided by three

classes, namely: Class III, V, and VI.

Keywords: Geographic Information System, Land Capability, Overlay, Wampu

Watershed

I. PENDAHULUAN

  Kemampuan lahan merupakan salah satu upaya untuk memanfaatkan lahan (sumberdaya lahan) sesuai dengan potensinya. Penilaian potensi lahan sangat diperlukan terutama dalam rangka penyusunan kebijakan, pemanfaatan lahan dan pengelolaan lahan secara berkesinambungan. Untuk menyusun kebijakan tersebut sangat diperlukan peta- peta yang salah satunya adalah peta kemampuan lahan. Analisis dan evaluasi kemampuan lahan dapat mendukung proses dalam penyusunan rencana penggunaan lahan di suatu wilayah yang disusun dengan cepat dan tepat sebagai dasar pijakan dalam mengatasi benturan pemanfaatan penggunaan lahan atau sumberdaya alam (Suratman dkk.,1993).

  Peristiwa penting yang pernah terjadi di DAS Wampu adalah peristiwa banjir bandang pada tanggal 2 November 2003. Banjir bandang yang terjadi di kawasan Sub tersebut. Setelah delapan tahun terjadinya banjir, tentunya telah terjadi banyak perubahan penggunaan lahan. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntakannya juga akan memperburuk kondisi DAS Wampu yang merupakan DAS yang masuk kategori perlu dipulihkan daya dukungnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai kemampuan lahan di wilayah DAS Wampu ini dengan menggunakan analisis spatial menggunakan teknik overlay yang dapat dilakukan dengan bantuan software Sistem Informasi Geografis (SIG).

  Penelitian mengenai klasifikasi kelas kemampuan lahan terutama setelah terjadinya banjir bandang di kawasan DAS ini dengan menggunakan SIG belum pernah dilakukan sebelumnya. Oleh sebab itu data dan informasi mengenai kemampuan lahan perlu dikaji lebih lanjut. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan kelas kemampuan lahan di Sub DAS Wampu Hulu.

II. METODE PENELITIAN

  Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan September 2011, di DAS Wampu Sub DAS Wampu Hulu (Gambar 1).

  Gambar 1. Peta lokasi penelitian Pengambilan sampel tanah dan ground check dilaksanakan pada bulan Juli 2011. Analisis data spasial dilakukan di Laboratorium Manajemen Hutan Terpadu, Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Utara pada bulan Juli 2011 dan Analisis sampel tanah dilakukan di Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas pertanian Universitas Sumatera Utara pada bulan Juli 2011. Data yang dikumpulkan pada penelitian berupa data primer dan sekunder. Data diperoleh dengan mengambil koordinat titik dengan menggunakan GPS serta pengambilan sampel tanah yang akan dianalisis di laboratorium untuk mengukur tekstur tanah, permeabilitas tanah dan C-organik. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait, penelitian sebelumnya maupun literatur pendukung lainnya.

  Pengambilan sampel tanah diambil berdasarkan 12 land system di kawasan Sub DAS Wampu Hulu. Hal ini untuk megetahui kriteria tanah tersebut berdasarkan pengelompokkannya agar sesuai untuk mengklasifikasikan kelas kemampuan lahan tersebut. Menurut Reinberger (1999) land system atau sistem lahan adalah pengelompokkan tanah dalam mengenali pola tanah yang dapat dibedakan secara nyata dalam variabel susunan tanah di suatu daerah yaitu kandungan mineral batuan induknya. Sistem lahan yang sama akan mencerminkan kesamaan potensi serta faktor-faktor pembatasnya di mana pun sistem lahan tersebut dijumpai. Sistem lahan yang sama diakui di mana pun kombinasi yang sama, faktor ekologi atau lingkungan tersebut terjadi. Pengambilan sampel tanah bertujuan untuk menghitung permeabilitas tanah, tekstur tanah, C-Organik dan struktur tanah.

  Pengambilan sampel tanah untuk menghitung permeabilitas tanah termasuk ke dalam sampel tanah utuh dilakukan dengan cara mengambil tanah pada kedalaman tanah antara 0-20 cm menggunakan tabung (ring), tabung diletakkan pada lapisan tanah kemudian tabung ditekan sampai tiga per empat bagiannya masuk kedalam tanah, dengan menggunakan tabung kedua, tabung di gali dengan menggunakan cangkul, tanah yang berada dalam tabung tidak boleh pecah (utuh), kemudian tabung ditutup dengan menggunakan plastik dan diberi label. Pengambilan sampel tanah untuk C-Organik, tekstur tanah dan struktur tanah termasuk kedalam sampel tanah terganggu, diambil dengan menggunakan cangkul pada kedalaman tanah 0-20 cm sebanyak 1-2 kg kemudian dikemas ke dalam plastik dan diberi label.

  Analisis klasifikasi kemampuan lahan dilakukan dengan metode faktor penghambat. Pada metode ini setiap kualitas lahan atau sifat-sifat lahan diurutkan dari yang terbaik sampai yang terburuk atau dari yang paling kecil hambatan atau ancamannya sampai yang terbesar. Kemudian disusun tabel kriteria untuk setiap kelas, penghambat yang terkecil untuk kelas yang terbaik dan berurutan semakin besar hambatan semakin besar hambatan semakin rendah kelasnya. Klasifikasi kemampuan lahan yang digunakan adalah sistem klasifikasi kemampuan lahan Hokensmith dan Steele (1943) dalam Arsyad (2006) yaitu metode klasifikasi dengan sistem faktor penghambat. Pengelompokan di dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat. Penghambat yang digunakan adalah erosi (e), drainase (w), tekstur tanah (s), kemiringan lereng (g), kedalaman tanah (k), permeabilitas (p).

  Peta kemampuan lahan diperoleh dari karakteristik kelas kemampuan lahan dan peta land system. Peta land system digunakan untuk melihat karekteristik lahan yang terdapat didalam peta land system yaitu tingkat bahaya erosi, drainase, kelerengan dan kedalaman tanah, land system ini juga digunakan dalam pengambilan sampel tanah untuk mendapatkan data permeabilitas, kepekaan erosi dan tekstur tanah dan kemudian dioverlaykan kedalam peta land system sehingga didapati peta kelas kemampuan lahan.

  Penentuan matriks kelas kemampuan lahan menurut Arsyad (2006) di lakukan dengan menentukan faktor penghambat terbesar, dapat dicontohkan penghambat yang digunakan adalah e (erosi), w (drainase), s (tanah) dan g (kelerengan). Pada klasifikasi ini dikenal prioritas penanganan penghambat berdasarkan tingkat kemudahan penanganannya. Pada kelas yang sama, bilamana mempunyai beberapa penghambat maka akan dipilih prioritas penghambat yang paling besar. Urutan prioritas penghambat tersebut adalah (dari yang paling mudah diatasi) e

  • – w – s – g. Jadi apabila hasil klasifikasi dalam satu unit lahan menunjukkan Klas IVe, IVw dan IVs, maka akan ditetapkan sebagai Kelas IVs karena mempunyai jenis penghambat yang paling sulit ditangani.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

  Berdasarkan Peta Administrasi Langkat tahun 2010, kawasan Sub DAS Wampu Hulu terletak di 5 kecamatan, yaitu : Kecamatan Bahorok, Kecamatan Kutam, Kecamatan Sirapi, Kecamatan Wampu dan Kecamatan Selesai (Gambar 2). Wilayah Sub DAS Wampu Hulu berbatasan dengan Kecamatan Batang Serangan di Sebelah Utara, Kecamatan Salapi dan Kuala di Sebelah Selatan, Kecamatan Binjai dan Kecamatan Stabat Sebelah Timur, dan Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh di Sebelah Barat

  Di kawasan Sub DAS Wampu Hulu terdapat 12 land system adapun land system yang terdapat di kawasan Sub DAS Wampu Hulu, yaitu: Bakunan (BKN), Pakasi (PKS), Batuapung (BTG), Pandreh (PDH), Bukit Pandan (BPD), Lubuk Sikaping (LBS), Gunung Gadang (GGD), Maput (MPT), Taweh (TWH), Kalung (KLG), Kahayan (KHY), dan Bukit tinggi (BGI) (Gambar 14), hasil klasifikasi kemampuan lahan dapat dilihat pada Lampiran 8.

  Berdasarkan hasil overlay kriteria kelas kemampuan lahan kawasan Sub DAS Wampu Hulu menunjukkan bahwa kawasan tersebut mempunyai kelas kemampuan lahan III, V, VI.

  Gambar 2. Lokasi penelitian pada peta administrasi Kabupaten Langkat Gambar 3. Peta land system pada Sub DAS Wampu ISBN : 2459-9867

  Lahan yang tergolong ke dalam kelas III mempunyai tingkat kelerengan datar, lahan pada kelas III berada di tutupan lahan sawah dan pertanian kering dengan luas 919,77 ha, Hasil klasifikasi kemampuan lahan ini sesuai dengan pernyataan Wirosuprojo (2005) yang menyatakan bahwa berdasarkan pada bentuk lahan dan arahan penggunaan lahan, maka dapat dijelaskan bahwa daerah yang memiliki lereng datar dan landai dengan tanah yang subur dan tersedia sumber air yang cukup secara terus menerus merupakan kawasan pertanian lahan basah yang dapat dimantapkan sebagai sentra tanaman pangan. Tutupan lahan sawah dan pertanian kering yang tergolong kedalam kelas III ini juga sesuai dengan pernyataan Arsyad (2006) yang menyatakan bahwa lahan yang tergolong ke dalam kelas III merupakan lahan yang mempunyai hambatan yang berat yang mengurangi pilihan penggunaan atau memerlukan tindakan konservasi khusus dan keduanya. Lahan kelas III dapat dipergunakan untuk tanaman semusim dan tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, tanaman rumput, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung dan suaka margasatwa. Hal ini juga didukung oleh Fletcher dan Gibb (1990) yang menyatakan bahwa kelas kemampuan lahan I-IV dapat digunakan untuk sawah, tegalan atau tumpang sari.

  Lahan yang tegolong ke dalam kelas V mempunyai kelerengan yang berbeda- beda yaitu datar, landai, sedang dan agak curam, lahan pada kelas V berada di tutupan lahan pertanian kering, belukar, sawah, pemukiman, dan perkebunan dengan luas 27.442,93 ha. Tutupan sawah, pemukiman dan belukar tidak sesuai berada pada lahan kelas V. Menurut Fletcher dan Gibb (1990) hal ini disebabkan karena lahan kelas V hanya dapat digunakan untuk tumpang sari dengan tindakan konservasi tanah, pernyataan tersebut juga didukung oleh Arsyad (2006) pada kelas V hanya dapat digunakan untuk rumput, padang pengembalaan, hutan produksi atau hutan lindung dan suaka alam Menurut Arsyad (2006) Tanah-tanah di dalam lahan kelas V tidak terancam erosi akan tetapi mempunyai hambatan lain yang tidak untuk dihilangkan sehingga membatasi pilihan penggunaanya, oleh karena itu lahan ini sesuai untuk tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan produksi atau hutan lindung dan suaka alam. Tanah-tanah didalam kelas V mempunyai hambatan yang membatasi pilihan macam penggunaan tanaman dan menghambat pengolahan tanah bagi tanaman semusim. Tanah-tanah ini terletak pada topografi datar atau hampir datar tetapi tergenang air, sering terlanda banjir atau berbatu-batu atau iklim yang kurang sesuai atau mempunyai kombinasi hambatan tersebut.

  Lahan yang tergolong ke dalam kelas VI mempunyai tingkat kelerengan yang curam, lahan pada kelas VI berada di tutupan lahan hutan primer, hutan sekunder dan belukar dengan luas 21.987,44 ha. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wirosuprojo (2005) yang menyatakan bahwa daerah yang berlereng curam sebaiknya dimanfaatkan untuk hutan produksi terbatas, hutan lindung dan cagar alam. Tutupan lahan yang tergolong ke dalam kelas VI juga sesuai dengan pernyataan Arsyad (2006) yang menyatakan bahwa ISBN : 2459-9867

  tanah-tanah ini tidak sesuai untuk penggunaan pertanian, penggunaanya terbatas untuk tanaman rumput atau padang pengembalaan, hutan produksi, hutan lindung, cagar alam. Tanah-tanah kelas VI yang terletak pada lereng agak curam, jika dipergunakan untuk penggembalaan dan hutan produksi harus dikelola dengan baik untuk menghindari erosi. Beberapa tanah dalam kelas VI dan daerah perakarannya dalam tetapi terletak pada lereng agak curam dapat dipergunakan untuk tanaman semusim dengan tindakan konservasi yang berat. Hal ini juga didukung oleh Rahmawaty (2011) yang menyatakan bahwa lahan pada kelas VI tidak dapat digunakan untuk budidaya.

  

Gambar 4. Peta kelas kemampuan lahan berdasarkan kriteria kelas lahan

IV. KESIMPULAN

  Kelas Kemampuan lahan di sub das Wampu Hulu terdiri dari 3 kelas, yaitu: kelas III, Kelas V, dan Kelas VI. Kelas kemampuan lahan yang sesuai dengan tutupan lahannya terdapat pada kelas III dan Kelas VI. Pada kelas V tutupan lahan yang sesuai hanya pada pertanian lahan kering dan perkebunan. ISBN : 2459-9867