BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Kekerasan Terhadap Anak Jalanan (Studi Kasus Di Perempatan Jalan Kawasan Sekitar Pasar Aksara Kota Medan)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

  Anak adalah makhluk sosial, mereka membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan sosialnya. Dari interaksi sosialnya mereka dapat memenuhi kebutuhan akan perhatian, kasih sayang dan cinta. Anak tidak bisa lepas dari lingkungan sosialnya karena mereka belajar dan berkembang dari dan di dalamnya.

  Untuk itulah teman dan lingkungan sosial yang mendukung menjadi penentu kematangan anak ke depannya (Safaria, 2005: 35). Anak merupakan generasi penerus bangsa, masa depan bangsa ini ada pada mereka karena itu, sudah seharusnyalah kesejahteraan mereka diperhatikan. Anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan terhadap berbagai perubahan sosial, politik, ekonomi yang sedang berlangsung, Anak-anak sering menjadi korban pertama dan menderita, serta terhambat proses tumbuh kembang mereka secara wajar karena ketidakmampuan orangtua, masyarakat dan pemerintah untuk memberikan pelayanan sosial yang terbaik bagi anak-anak.

  Berbicara mengenai anak jalanan sudah merupakan hal yang biasa kita temukan dalam masyarakat, khususnya di perkotaan.Mereka digambarkan sebagai kelompok masyarakat dengan tingkat stratifikasi sosial rendah atau merupakan golongan bawah dengan status sosial serta posisi kekuasaan yang tidak jelas. Anak jalanan merupakan bagian dari fenomena nyata kehidupan yang menimbulkan permasalahan sosial yang kompleks.

  Sampai saat ini, populasi anak jalanan di kota-kota besar di Indonesia terus bertambah dan semakin beragam aktfitasnya dijalanan. Masalah pengangguran yang tidak terelakkan karena kondisi ekonomi tidak stabil. Timbul masalah-masalah sosial diantaranya kasus perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan sebagainya. Kondisi ini semakin terpuruk dengan terjadinya bencana alam dan konflik sosial. Semuanya berakibat buruk pada nasib anak, banyak anak menjadi yatim, yatim piatu, korban penelantaran, korban kekerasan, korban eksploitasi anak di bidang ekonomi dan bahkan menjadi korban pelecehan seksual terhadap anak perempuan, sodomi dan masih banyak perlakuan salah lainnya yang menimpa pada anak-anak. Anak jalanan di Indonesia terus bertambah dengan konsentrasi terbesar di Jakarta, Semarang, Surabaya dan Medan. Anak-anak jalanan ini berada di lokasi-lokasi keramaian di tengah kota termasuk terminal, pasar, tempat hiburan termasuk persimpangan lampu merah. kondisi ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia tidak hanya mengalami masalah krisis ekonomi saja akan tetapi lebih buruk lagi mengalami masalah krisis kepercayaan (Misran, 2011:2)

  Krisis multidimensi yang terjadi di indonesia sejak tahun 1997 sangat mempengaruhi kehidupan anak, sejak tahun 1999 jumlah anak jalanan di Indonesia meningkat 85% (Huraerah, 2007: 21). Sebagai dampak dari situasi krisis ekonomi dan urbanisasi yang berlebih (over urbanization) di kota besar muncul banyak anak jalanan, perkembangan jumlah anak jalanan yang belakangan ini makin mencemaskan merupakan salah satu masalah sosial yang membutuhkan pemecahan segera. Di berbagai kota besar, nyaris di setiap perempatan atau lampu merah sangat banyak kita temukan anak jalanan yang terus berkembang (Suyanto, 2003: 182). Dalam pandangan Soetarso (2004), dampak krisis moneter dan ekonomi dalam kaitannya dengan anak jalanan adalah:

  1. Orangtua mendorong anak untuk bekerja membantu ekonomi keluarga.

  2. Kasus kekerasan dan perlakuan salah terhadap anak oleh orangtua semakin meningkat sehingga anak lari ke jalanan.

  3. Anak terancam putus sekolah karena orangtua tidak mampu membayar uang sekolah.

  4. Makin banyak anak yang hidup di jalanan karena biaya kontrak rumah/ kamar meningkat.

  5. Timbul persaingan dengan pekerja dewasa di jalanan sehingga anak terpuruk melakukan pekerjaan beresiko tinggi terhadap keselamatannya dan eksploitasi anak oleh orang dewasa dijalanan.

  6. Anak menjadi lebih lama di jalanan sehingga mengundang masalah lain.

  7. Anak jalanan menjadi korban pemerasan serta eksploitasi seksual terhadap anak jalanan perempuan.

  Menurut Soetarso (2004), masalah anak jalanan tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal seperti: pertama, berlangsungnya kemiskinan struktural dalam masyarakat. Kedua, semakin terbatasnya tempat bermain bagi anak karena pembangunan yang semakin tidak mempertimbangkan kepentingan dan perlindungan anak. Ketiga, semakin meningkatnya gejala ekonomi upah dan terbukanya peluang bagi anak untuk mencari uang dari jalanan. Keempat, keberadaan anak jalanan tersebut telah dirasakan sementara oleh masyarakat sebagai suatu bentuk gangguan. Permasalahan ini juga sangat memprihatinkan, karena pemandangannya adalah anak yang masih sangat membutuhkan perlindungan lingkungan sosial guna tumbuh kembangnya secara wajar (Huraerah, 2007: 88).

  Masalah sosial anak jalanan berkaitan dengan ketidakmampuan anak memperoleh haknya, sebagaimana diatur oleh konvensi hak anak. Juga disebabkan kurangnya aksesibilitas anak, akibat berbagai keterbatasan sarana dan prasarana yang ada. Baik di rumah dan di lingkungan sekitarnya, untuk dapat bermain dan berkembang sesuai dengan masa pertumbuhannya. Terkait dengan kondisi tersebut, permasalahan anak jalanan sudah merupakan permasalahan krusial yang harus ditangani sampai keakar-akarnya. Sebab jika permasalahan hanya ditangani di permukaan saja, maka setiap saat permasalahan tersebut akan muncul kembali, serta menyebabkan timbulnya permasalahan lain yang justru lebih kompleks. Seperti munculnya orang dewasa jalanan, kriminalitas, premanisasi, ekploitasi tenaga, ekploitasi seksual, perilaku menyimpang. Jika masalah ini tidak segera diatasi, maka akan menimbulkan ancaman bagi kelangsungan masa depan anak itu sendiri bahkan akan sangat membahayakan masa depan bangsa kita karena rendahnya kualitas pemuda Indonesia (Tjahjorini, 2004). Sementara menurut Ketua KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) Hadi Supeno, akar permasalahan anak terlantar dan anak jalanan sebenarnya adalah ketidakberdayaan orangtua dan kebijakan negara dan seluruh sektor yang membuat mereka menjadi kelompok tersingkir. Hal ini membutuhkan penanganan yang sistemik, karena mereka korban dari tindakan orang dewasa (Kompas, 22 Maret 2010) diakses: Kamis, 07 Februari 2013 pukul 14: 52).

  Anak jalanan adalah fenomena sosial yang hingga saat ini mencemaskan dunia. Meskipun mereka ditemukan di beberapa negara maju, mereka lebih banyak berada di dijalanan kota-kota negara berkembang. Secara global, diperkirakan ada sekitar 100 juta anak jalanan di seantero dunia. Sebagian besar anak jalanan adalah remaja berusia belasan tahun, tetapi tidak sedikit yang berusia di bawah 10 tahun.

  Sementara itu di Indonesia, Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008 menyebutkan terdapat 154.861 jiwa anak jalanan. Kemudian, pada tahun 2009 meningkat menjadi sebanyak 230.000 anak jalanan (Tommy, akses:12 Juni 2013. Pukul 09.21 WIB). Tahun 2010, jumlah anak jalanan di Indonesia diperkirakan mencapai 200.000 anak dan tahun 2012 meningkat lagi menjadi 230.000 anak. Itu artinya jumlah anak jalanan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Setiap saat anak jalanan akan berhadapan dengan situasi yang mengancam ketenangan, keselamatan dan harga diri sebagai manusia. Mereka praktis tidak mendapat kesempatan untuk bisa tumbuh dan berkembang secara sehat. Hidup anak jalanan terancam akibat eksploitasi, diskriminasi, kekerasan seksual dan kejahatan lain yang merugikan (Abu Laka, diakses: 6 juni 2013 pukul 13.00 WIB)

  Kota Medan merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia setelah DKI Jakarta dengan Kota Surabaya, juga memiliki permasalahan serius tentang anak jalanan. Data dari Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara tahun 2008 mengedentifikasi jumlahnya mencapai 2.867 anak, jumlah terbesar ada di lima kota yakni Medan (663 anak) Dairi (530 anak), Tapanuli Tengah (225 anak), Nias Selatan (224 anak) dan Tanah karo (157 anak). Berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh PKPA pada tahun 2010 terhadap situasi anak jalanan di Kota Medan, ditemukan data statistik popoluasi anak jalanan yang berbeda, PKPA melakukan identifikasi di 7 kecamatan populasi anak jalananan sebanyak 420 anak, mereka tersebar di 18 lokasi yakni pada umumnya di persimpangan lampu merah diantaranya simpang Glugur, Bundaran Majestik, Pasar Petisah, Simpang Pulobrayan, Simpang Sei Sikambing dan terminal.

  diakses: selasa 12 Februari 2013. Pukul 14.06 WIB)

  Kasus kekerasan terhadap anak semakin hari semakin banyak terjadi apabila kita memperhatikan di berbagai media. Kasus kekerasan terhadap anak banyak terjadi di dalam keluarga dan pada umumnya dilakukan oleh orang yang paling dekat dengan mereka yang seharusnya melindungi mereka. Hal itu sering dilakukan juga dengan alasan untuk mendisiplinkan anak supaya anak tidak menjadi pembangkang, namun kenyataannya tidak semua perlakuan keras terhadap anak menjadikan anak semakin lebih baik. Kasus kekerasan juga tidak hanya terjadi bagi anak-anak yang biasa menghabiskan waktu di rumah, anak jalanan merupakan salah satu objek yang paling rentan terhadap kekerasan. Kehidupan jalanan yang keras menjadikan anak jalanan terbiasa dengan keadaan yang demikian.

  Salah satu contoh kasus yang menimpa Ardiansyah, bocah laki-laki berusia 9 tahun ini yang menjadi korban mutilasi pada Januari 2010. Pelakunya adalah laki-laki bernama Bayquni atau Babeh yang lama dikenal sebagai figur ayah dan sering membagikan makanan serta menyediakan tempat tinggal bagi anak-anak jalanan.

  Yang menghenrankan, Babeh mengaku sudah melakukan sebanyak 14 kasus permerkosaan dan pembunuhan terhadap anak-anak tersebut. Dari peristiwa tersebut, betapa mudah Babeh melakukan tindak kejahatan terhadap anak jalanan tersebut karena kedekatan di antara mereka. Hal itu menggambarkan pula betapa mudahnya ancaman kejahatan yang bakal menimpa anak jalanan. Fakta ini pun sempat membuat semua orang miris terhadap nasib anak jalanan di negeri ini. Ada kesan persoalan anak jalanan belum bisa diatasi secara maksimal (Abu Laka: diakses : 6 juni 2013 pukul 13.00 WIB)

  Kasus kekerasan terhadap anak-anak pada tahun 2013 semakin meresahkan di Tanah Air. Berdasarkan data Komnas Perlindungan Anak (PA), ada 2046 kasus kekerasan pada anak pada 2010 dan jumlah ini meningkat pada tahun berikutnya menjadi 58 persen dari 2509 kasus kekerasan anak. Pada 2012 tercatat ada 62 persen kasus sejenis dari total 2637 kekerasan terhadap anak. (Wiwin Wirwidya Hendra: Pada umumnya kita telah pahami bahwa dunia jalanan adalah dunia yang penuh dengan kekerasan dan eksploitasi. Berbagai kasus kekerasan terhadap anak masih terus terjadi secara silih berganti. Kasus itu dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, maupun kekerasan seksual.

  Laporan Studi Tentang Kekerasan Terhadap Anak yang dirilis oleh PBB pada 29 Agustus 2006 menyatakan hampir 53.000 anak telah meninggal di seluruh dunia pada tahun 2002 sebagai akibat homisida. Dari anak-anak yang mengalami homisida tersebut 22.000 atau hampir 42 persennya berusia 15-17 tahun dan dari jumlah tersebut 75% adalah laki-laki. Disamping itu terdapat sebanyak 80-98 % mengalami hukuman fisik. Sekitar 150 juta anak laki-laki berusia 18 tahun menagalami pemaksaan hubungan seksual atau bentuk kekerasan lainnya selama tahun 2002.

  Pusat-pusat kajian bahkan mencatat adanya peningkatan angka tindak kekerasan terhadap anak yang cukup mencolok dari tahun ke tahun. Komisi Perlindungan Anak Nasional (KPAI) mencatat, selama Januari-April 2007 terjadi 417 kasus kekerasan terhadap anak. Ini mencakup kekerasan fisik (89 kasus), kekerasan seksual (118 kasus), dan kekerasan psikis (210 kasus). Di antaranya 226 kasus terjadi di sekolah. Sedangkan periode yang sama tahun sebelumnya menunjukkan terjadi 247 kasus kekerasan fisik (29 kasus terjadi di sekolah), kekerasan seksual 426 kasus (67 kasus di sekolah), kekerasan psikis 451 kasus (96 kasus di sekolah). Fakta yang ada di lapangan diperkirakan lebih memprihatinkan. Bahkan diperkirakan kekerasan terhadap anak sudah mencapai titik kritis karena terjadi setiap dua menit sekali. Hal lain yang lebih memprihatinkan adalah bahwa sebagian kekerasan terhadap anak itu justru dilakukan oleh para guru dan aparat negara, dua elemen masyarakat yang seharusnya paling bertanggung jawab dalam melindungi anakanak. (Tommy, diakses: 06 juni 2013. Pukul 13.00 WIB).

  Kota Medan menjadi daerah tertinggi dalam hal tindak kekerasan terhadap anak di wilayah Sumatera Utara, dengan jumlah korbannya mencapai 72 orang.

  Urutan kedua adalah Kabupaten Deli Serdang dengan 29 korban, disusul Kabupaten Serdang Bedagai. Ditinjau dari pelaku, ada 63 orang yang tidak dikenal menjadi pelaku kekerasan terhadap anak, kemudian pacar sebanyak 38 orang dan tetangga 30 orang. Staf Divisi Anak dan Perempuan di Yayasan Pusaka Indonesia, Mitra Lubis mengatakan, sepanjang tahun 2012 pihaknya mencatat ada 218 anak yang menjadi korban tindak kekerasan, pencabulan, eksploitasi dan perlakuan salah lainnya. (Glori K. Wadriant

  Masalah sosial anak jalanan sudah seharusnya mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakat khususnya masalah kekerasan terhadap anak, karena sesungguhnya anak masih sangat rentan terhadap kekerasan. Anak sangat membutuhkan perlindungandan jalanan bukanlah tempat yang layak bagi pertumbuhan seorang anak. Hal inilah yang menjadi ketertarikan bagi peneliti untuk mengetahui bagaimana kasus kekerasan yang pernah dialami oleh anak jalanan di perempatan jalan pasar Aksara Medan.

  1.2 Rumusan Masalah

  Permasalahan dalam penelitian akan memberikan isi dan pengarahan dalam proses pelaksanaan penelitian (Murdiyatmoko, 2008: 76). Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan, adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk kekerasan yang terjadi pada anak jalanan dan siapa yang menjadi pelaku kekerasan bagi anak jalanan di perempatan jalan Medan Aksara?

  1.3 Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian dibuat untuk mengetahui apa yang hendak dicapai dari sebuah penelitian (Usman, 2009: 30). Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui bagaimana bentuk kekerasan yang terjadi pada anak jalanan dan siapa yang menjadi pelaku kekerasan tersebut bagi anak jalanan di perempatan jalan Medan Aksara.

  1.4 Manfaat Penelitian

  Setiap penelitian diharapkan dapat memberi sumbangsih maupun manfaat bagi diri sendiri khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya terutama bagi perkembangan ilmu pengetahuan sosial. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:

  1. Manfaat teoritis Secara teoritis, hasil penelitan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman, sumbangan, serta informasi bagi mahasiswa khususnya mahasiswa sosiologi maupun masyarakat luas. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan sosiologi perkotaan, sosiologi keluarga, dan yang berhubungan dengan masalah di perkotaan.

  2. Manfaat praktis Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan maupun pengetahuan dalam membuat karya tulis ilmiah serta menambah pengetahuan tentang kekerasan terhadap anak jalanan. Hasil penelitian ini juga diharapkan memberikan manfaat bagi pemerintahan setempat.

1.5 Defenisi Konsep

  Definisi konsep merupakan defenisi yang menjelaskan konsep dengan menggunakan konsep-konsep yang lain. Maka dengan konsep tersebut diharapkan agar peneliti dapat menyederhanakan pemikiran dengan menggunakan suatu istilah untuk beberapa kejadian yang berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya.

  Defenisi konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Menurut Undang-Undang tentang Perlindungan Anak No 23 pasal 1 ayat 1 mendefinisikan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.

  2. Anak jalanan adalah orang yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan dengan yang mempunyai tujuan untuk mendapatkan uang atau pun tidak, baik anak yang masih mempunyai hubungan dengan keluarga atau pun yang sudah tidak mempunyai hubungan dengan keluarga.

  3. Kekerasan adalah perilaku tidak layak yang menbgakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis atau finansial, baik yang dialami individu maupun kelompok.

  4. Kekerasan terhadap anak merupakan peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak.