They (can also) Corrupt

  1 Edisi September 2005 Edi si Sept ember 20 0 5

  Newsletter interfidei

  In numerous locations, offi- cials accused of corruption appro- ach religious leaders to ease mem- bers of congregation dare to trou- ble their positions. Worse, with the foundation of “theology of com- passion”, these religious figures ask of forgiveness from their cong- regations for suspected officials and ask them to start a new chapter. As the congregation has no heart to do and is reluctant in taking any action, their good will to liberate

  In the last few weeks, we have seen and read news raising pessimism of the society of the above possibility. A department coping with the “sacred world order” is being shaken by the em- bezzlement case of public money. Apparently the talks did not just stop right there; there are nume- rous other religion institutions unable to release themselves from the virus of corruption. The ques- tion then raised spontaneously was “Is there any religious institution free from corruption?”

  focus of his government. This step embedded an expectation for the construction of a nation founded by honesty of each individual in- volved. Nevertheless, it also eleva- ted skeptical attitude and pessi- mism of the possibility for this mo- vement to be a collective one, mo- reover if we ask whether corrup- tion could be eradicated from this homeland.

  n his early period of governan- ce, SBY spoke out loud of anti- corruption movement as the

  E di t or i al

  Di beberapa tempat, para pejabat yang disangka terlibat da- lam korupsi mendekati para to- koh agama untuk menenangkan umat yang mengusik jabatan dan diri mereka. Dan parahnya lagi dengan landasan “teologi maaf” para pemuka agama meminta umatnya memaafkan para pejabat yang dicurigai dan mengajak un- tuk memulai babak baru. Perasa- an tidak tega, “pekewuh” umat pun akhirnya menghancurkan ke-

  ini? Beberapa minggu terakhir ini kita melihat dan membaca be- rita yang semakin meningkatkan pesimisitas masyarakat akan ke- mungkinan di atas. Sebuah depar- temen yang mengurusi “tata du- nia suci” sedang digoncang de- ngan penyelidikan kasus korupsi atas dana abadi umat. Ternyata tu- turan tidak berhenti di sana. Ada banyak lembaga agama lain yang tidak terl epas dari penyakit ko- rupsi. Pertanyaan spontan yang muncul, adakah lembaga agama yang tidak korupsi?

  

kian hal ini juga membangkitkan

kembali sikap skeptis dan pesimis

apakah mungkin gerakan ini men-

jadi gerakan bersama, apalagi ka-

lau bertanya apakah mungkin ko-

rupsi diber antas di bumi Nusantara

  tian pemerintahannya. Langkah ini menaburkan harapan terbangunnya sebuah bangsa yang berfondamen pada kejujuran setiap pribadi yang terlibat di dalamnya. Namun demi-

  S

  ejak awal, SBY sudah men- dengungkan gerakan anti- korupsi sebagai fokus perha-

  E di t or i al

  E-mail: dianinterfidei@yahoo.com Newsletter Interfidei No. 21/X Juni 2005 - Agustus 2005

  Jl. Banteng Utama 59, Perum. Banteng Baru Jogjakarta, 55581 - Indonesia, Ph./Fax. : 0274-880149,

  Susanto & Supriyanto Newsletter ini diterbitkan oleh Institut DIAN/Interfidei

  Suryanto Octavia Christiani Distributor

  Eko Putro Mardiyanto Kesekretariatan

  Tri Widiyanto, Listia Lian Gogali, Suhadi Desain/Layout Sarnuji SR. Keuangan

  Noegroho Agoeng Redaksi

  Elga Sarapung Pemimpin Redaksi

I

Editorial .................... 1 Fokus ......................... 2 Opini ......................... 3 Potret ..........................7 Kronik ......................10 Refleksi ................... 15 Agenda......................16 Penanggungjawab

  hendak baik mereka untuk membersihkan Nusantara dari “budaya” korupsi.

  Although the lot has identified for quite some mayhem in the management of the

  are the congregations escaping the rotting of religious bureaucracy in this country.

  Parmalin, Subud, Kajang, Confucianism, and Kahari- ngan

  People even believe that the corruption of the haj fund actually exceeds Rp 216 billions, similar to the auditing over implementation of haj management program in 2002-2005. Who could ensure that the provisioning of books, houses of worship, marriage, and religious tolerance projects are free from corrup- tion? Moreover, if up to date there has just been found a corruption over Moslems' fund, is it true then that the funds for Christians, Catholics, Hindus, and Buddhists are not corrupted by the representing democrats? If it is a reality, then the religious followers not ”represented” in ministry of Religious Affairs do not have to be pes- simistic, as in reality, the followers of Sapta Dharma,

  Meanwhile, those who gave quite a normal reaction did not consider the Ministry of Religious Affairs as a “sa- cred throne”, instead “merely” as a state bureaucracy which at times find difficulties eluding the culture of bu- reaucracy in general: the marking-up of project funds.

  time the Ministry of Religious Affairs' haj fund, the audit output made their thought no longer a speculation. Some were shocked; in the mean time, some others reacted normal- ly. Those who were quite shocked by the auditing output in average asked themselves if it is true that those people who very often yell of morality also commit corruption.

  T hey ( can al s o) Cor r u pt Suhadi he question of many was answered last June.

  Bila pemuka agama sudah menjadi payung para koruptor di mana lagi masyarakat mengadukan kejahilan dan kerakusan manusia ini? Apakah kepa- da para penegak hukum? Bukankah mereka juga rapuh dan mudah patah? Mungkinkah ditegakkan kembali penegakan hukum pada penegak hukum? Sejauh mana agama, sebagai fenomena budaya men- jamin perilaku manusia menuju pada kesejahteraan bersama bisa berperan? Sejauh mana agama mampu dan berusaha mendengungkan wacana dan gerakan antikorupsi pada masyarakat/ umatnya?[]

  If religious leaders have become the shields for corruptors, where else should people notify the ma- lice and greed of others? Are they to come to law enforcers? Are not these law enforcers also tenuous and breakable? Could we re-enforce the law to law enforcers? How far could religions, as a cultural phe- nomenon, play their role in assuring the decency of human behavior for a common welfare? How far are religions able to and moving in the efforts of ver- balizing anti-corruption discourses and movements to the society / their congregations?[]

  this land from the “culture” of corruption is then marred.

  Fokus interfidei newsletter

T

  Bahkan mereka yakin, jangan-jangan penyele- wengan dana ummat tidak hanya Rp 216 milliar, sebagaimana audit atas beaya penyelenggaraan haji 2002-2005. Siapa yang bisa menjamin kalau proyek pengadaan buku, proyek tempat ibadah, proyek per- nikahan dan proyek kerukunan bebas dari korupsi. Lebih dari itu, kalau sementara ini baru ditemukan korupsi atas dana ummat Islam, apakah benar dana yang menyangkut umat Kristen, Katholik, Hindu dan Buddha juga tidak dikorupsi oleh para birokrat yang mewakilinya. Kalau demikian keadaannya, ti- daklah perlu masghul, para penganut agama yang tidak ”terwakili” di Depag. Pada kenyataannya para penganut Sapta Dharma, Parmalin, Subud, Kajang,

  pengelolaan dana haji Depag, tapi hasil audit men- jadikan anggapan itu bukan lagi tebakan. Ada yang terkejut, ada juga yang biasa saja. Mereka yang terkejut rata-rata bergumam apa benar orang- orang yang acapkali menyerukan moralitas itu ju- ga melakukan korupsi. Sementara mereka yang bersikap biasa saja menganggap Depag bukanlah “tahta suci”, tapi “hanya” sebuah birokrasi negara yang tidak jarang sulit menghindari budaya biro- krasi pada umumnya, mark-up dana proyek.

  M er ek a ( bi s a j u g a) K or u ps i Suhadi yahdan, teka-teki banyak orang terjawab bulan Juni yang lalu. Meski telah lama ba- nyak orang tahu ada ketidakberesan dalam

S

  Edisi September 2005 Opinion

  3 Edisi September 2005

  Khonghucu, Kaharingan adalah ummat yang terhin- dar dari bobroknya birokrasi agama di negeri ini.

  Ke mana dana korupsi itu mengalir? Mung- kin sebagian besar kita tidak kaget membaca berita bahwa dana itu dialirkan untuk biaya haji sejumlah menteri, tunjangan pejabat Depag, perjalanan dinas ke luar negeri, atau bagi-bagi THR untuk anggota Parlemen. Tapi pasti kita tidak terima membaca la- poran audit bahwa juga terjadi mark-up atas peng- adaan mushaf al-Quran sebesar Rp 700 juta. Subha-

  nallah …, kitab suci saja dikorupsi, apalagi… ???

  Seorang teman, aktivis corruption watch di se- buah kabupaten, mengeluh dalam sebuah acara. Me- ngapa dia tidak mendapatkan pembelaan dan duku- ngan dari kelompok agamawan. Lalu dia menyadari melalui acara itu, ternyata sudah terjadi pergeseran peran agamawan. Sebagian dari mereka tidak lagi ba- nyak peduli dengan urusan ummat atau publik. Kemu- dian dia urung berharap. Di sisi lain organisasi-organi- sasi besar keagamaan menjalankan program kampa- nye anti-korupsi dengan warna yang kering. Harapan- nya agama bisa menyelesaikan masalah yang sangat rumit dan pelik di negeri ini. Tapi, apakah mungkin organisasi-organsasi itu menyuarakan perang terha- dap korupsi, sementara banyak elitnya menjadi bagian dari masalah di dalamnya. Alih-alih (orang ber-)aga- ma menjadi jalan keluar masalah, namun menjadi bagian dari masalah itu. Beberapa pekan lalu, sebuah stasiu n televisi menayangkan drama orasi keagama- an. Dengan lantang perang terhadap korupsi diteriak- kan bersanding pekik asma keagungan Tuhan serta

  dzikir . Seperti biasa acara kolosal keagamaan seperti

  itu dihadiri, atau bahkan disupport, pejabat teras ne- gara. Nama-nama pejabat negara yang telah berjasa ikut disebut dengan lantang juga oleh sang tokoh. Berarti di situ ada tiga rangkaian ujaran atau semantik: pekik anti-korupsi, asthma keagungan Tuhan, dan na- ma-nama pejabat. Padahal semangat atau sikap mela- wan korupsi, misalnya yang dilakukan almarhum Ba- haruddin Lopa, tidak dari pekik apapun, t ermasuk atas nama Tuhan. Tapi dari kesadaran religi yang men- dalam.[]

  K or u ps i S ebag ai M u s u h B er s ama U mat B er i man Abidin W akano

  Where does this corrupted fund flow? Perhaps most of us were not shocked when we read the fund was channeled for the haj funds of numerous ministers, allowance for Ministry of Religious Affairs' employees, official travel abroad, or holiday bonus for Parliament members. Yet, for sure we do not read any audit report that there has been a mark-up on the provisioning of Koran mushaf amounting Rp 700 millions. Subhanal-

  lah …, even the holy book is corrupted, moreover … ???

  A friend, an activist at a corruption watch in a regency, complained in one occasion: why he did not gain any justification and support from religionists. Then, he realized during our program in which he participated that there had been a shift in the role of religionists. Some of them no longer care about cong- regational or public matters. Thus, he did not put his expectation on them anymore. On the other side, ma- jor religious institutions implement anti-corruption programs with dry paints. His hope is that religions are able to solve the intricate and complicated pro- blems this country is facing. However, are those insti- tutions able to wage a war to corruption while many of their elites are taking parts in the corruption? Instead of becoming the egress from the problem, religions and religious people are becoming parts of the pro- blem. Several weeks ago, a TV station broadcast a religious oration drama. Loudly, a war against corrup- tion was yelled along with the cry of the name of God's majesty, as well as dzikir. As usual, such a reli- gious colosal occasion was attended, even supported by the country's government officials. The names of the officials contributing to the success were menti- oned loud by the organizer. It means that there are three series of statements or semantics: the cry of anti- corruption, the name of God's majesty, and the name of the officials. Whereas the spirit or attitude against corruption, comparable to what the late Baharuddin Lopa did, was not from any exclamation, including God's name, but from deep religious consciousness.[]

  Cor r u pt i on as an E nemy of Rel i g i ou s P eopl e Abidin W akano

  niversal human tithe always incline to hanif (right and good) values, and religions are the

  U paths of righteousness and goodness (hanif).

  Thus, the obedience and subordination of people to itrah kemanusiaan universal senantiasa con- dong kepada nilai-nilai yang hanif (benar dan baik), dan agama-agama adalah jalan-jalan ke-

  F

  benaran dan kebaikan (hanif). Maka ketundukan dan kepa tuhan manusia terhadap hukum-hukum Tuhan di da-

  lam agama-agama adalah suatu keniscayaan. Sebaliknya pelanggaran dan ketidak-patuhan terhadap-Nya merupa- kan sikap yang tidak sejati karena sikap ini merupakan sikap yang mene ntang dan mengingkari eksistensi diri sendiri.

  Mission sacre semua agama adalah emansipasi dan transformasi kemanusiaan universal. Konsekwensi logis- nya, ketundukan dan kepatuhan secara total kepada hukum atau norma di dalam agama-agama secara konsisten akan mendatangkan kemaslahatan dan kebahagiaan kepada kehi- dupan manusia itu sendiri, sebaliknya pengingkaran dan pe- langgaran terhadap hukum dan norma tersebut akan merusak kemanusiaan itu sendiri dan mendatangkan kemudharatan serta kesengsaraan di dalam kehidupannya.

  Sebagai Khalifatullah di muka bumi, manusia mem- punyai free will (kebebasan) untuk menentukan pilihan, baik atau buruk. Perbuatan baik mempunyai efek baik dan per- buatan tidak baik juga punya efek tidak baik. Untuk itu sudah menjadi sunnatullah bahwa apapun yang menimpa kehidup- an manusia dan lingkungannya adalah karena ulah manusia itu sendiri. Kerusakan-kerusakan yang terjadi di darat dan laut, baik yang dilakukan secara pribadi atau secara kolektif, efeknya bukan hanya menimpa pelakunya sendiri tetapi juga menimpa orang lain. Karena kerusakan-kerusakan terhadap alam akan mengganggu keseimbangan kosmis, yang meru- pakan sumber hidup bagi sesama, atau menyangkut hajat hidup orang banyak. Pada konteks yang sama pengrusakan terhadap sistem sosial, seperti politik, budaya, dan ekonomi oleh seseorang atau kelompok tertentu pa sti akan merusak pula tatanan kehidupan orang lain.

  Korupsi sebagai sebuah penyakit sosial yang sedang melanda hampir seluruh segmen masyarakat kita. Korupsi telah merusak sistem sosial serta menimbulkan sejumlah permasalahan yang sangat pelik dan kompleks. Misalnya meningkatnya angka kemiskinan, terputusnya pendidikan anak usia sekolah, serta meluasnya tingkat kriminalitas dan kekerasan, telah membentuk lingkaran kekerasan (spiral of violence) di tengah-tengah kehidupan kita. Bukan hanya itu, korupsi pun telah merusak tatanan hukum dan budaya kita.

  Misalnya seorang koruptor dengan kemampuan uang dan kekuasaannya untuk menyuap aparat penegak hukum, telah memaksa para penegak hukum agar berbohong, efeknya hu- kum pun dimanipulasi. Sedangkan orang kecil/ rakyat kecil yang tidak punya kemampuan membayar aparat penegak hukum susah mendapatkan keadilan hukum. Untuk itu, bu- kan hal yang unik lagi di negara ini ketika rakyat kecil yang tak berdaya sering sekali memperoleh perlakuan hukum secara tidak adil, baik sebagai pelaku maupun korban.

  Kebohongan publik untuk melindungi para ko- ruptor bukan merupakan pemandangan yang asing lagi dalam keseharian kita. Lebih tragis lagi korupsi telah menjadi lahan bisnis bagi kelompok-kelompok terten- tu. Bahkan upaya-upaya perlindungan para koruptor ini

  God's laws in their religions are a certainty. On the contrary, violation and disobedience to God's laws are impure attitudes for these attitudes are against and denying self-existence.

  Sacred missions of all religions are the eman- cipation and transformation of universal humanity. As the consequence, total subordination and obedi- ence to laws or norms in religions are consistently going to bring happiness and benefit to the lives of the humans themselves, meanwhile denial and violation to those laws and norms are going to ruin humanity and bring apostasy as well as misery to their lives.

  As caliph on the earth, humans have free will (freedom) to choose goodness or badness. Good deeds have good effects and bad deeds have bad effects as well. For that, it is a common thing that whatever happens to humans' lives and their surro- undings is the consequence to what they have done. The devastations of land and sea, done solitarily or collectively, affect not only the perpetrators them- selves but also other people. This is due to the fact that devastations are going to disturb cosmic balance, which is the source of life for others, regarding the life of many people. Within the same context, the ruining of social systems, such as that of politic, culture, and economy by someone or a particular group is going to ruin other's life order.

  Corruption as a social illness attacking almost all the segments in our society has ruined social order as well as incurred some intricate and complex pro- blems. For example, the increasing in poverty, the dropping out of schools, as well as the increasing in crime and violence rate. It has formed a spin of vio- lence in our lives. Moreover, corruption has also ruined our law and culture order. For example, a corruptor with his ability to bribe law enforcers with his power and money has forced them to lie; the mes- sage is that law can be manipulated as well. Mean- while, ordinary civilians who do not have the ability to pay the law enforcers cannot gain any justice. Thus, it is no longer peculiar to see powerless people being treated unfairly in this country, as perpetrators or victims.

  Public lying to protect corruptors is no longer outlandish in our daily routine. More tragically, cor- ruption has become business field to particular groups. Even the protection efforts for these corrup- tors do not only bring business to mafia at the judicial system, but also become business for privates as well as give birth to private communalism in our society. In such a condition, a question of what essentially the

  Opini interfidei newsletter

  Edisi September 2005

  5 Edisi September 2005 Opinion

  Peran strategis agama-agama dalam hal ini yaitu membangun dialog secara intensif dalam aliansi bersama antarumat beriman untuk melawan korupsi. Karena ko- rupsi adalah musuh bersama semua agama, dan menjadi sumber dari pelbagai bentuk keresahan dan kekerasan di dalam masyarakat. Maka upaya-upaya perlawanan terha- dap korupsi di negara ini menjadi suatu kewajiban secara kolektif dari seluruh komponen bangsa. Dengan kesadar- an dan tanggung jawab yang tinggi korupsi harus dilawan dan diberantas dari kehidupan kita sehari-hari.

  The strategic role of religions in this context is to build a dialogue intensively in alliance with religi- ous people to fight corruption. As corruption is an enemy to all religions and is a source of various kinds of violence and restlessness in the society, efforts to fight corruption serve as a collective obligation of all components in the nation. With high consciousness and responsibility, we have to fight corruption and do away with it from our daily lives.

  However, a pure repentance process from a corruptor does not only concern his relation with God, but also has to be followed by an action to return what he has taken illegally to the country or to the owner (society), sincerely with all his heart and soul. He also has to be responsible for what he has done, recognizing his punishment in proportion to the law. This is due to the fact that corruption, as mentioned above, is a social sin, whereas the forgiveness from God is very much related to the forgiveness from the victims by means of reconciliation with others and recovery/ rehabilitation of the negative impacts of corruption to the victims or society.

  Ethic-spiritual authority owned by religions basically has a strategic role in bringing about re- ligious people to subordinate themselves gracefully and purely to God's forgiveness, with consciousness that the corruption committed as a social violence has ruined the happiness of people.

  All those negative impacts have ruined the hap- piness, benefit, and lives of the people. Thus, we can say that corruption is an enormous sin. In regard to the negative impacts of corruption as actions of betrayal, abuse, and destruction to humanity, we can categorize corruption as the biggest violation to humanity in this country. As a social sin destructing diverse social life orders, corruption is going to degrade and segregate the perpetrators from God and others.

  If we observe and muse deeply about the im- pacts from the aforementioned corruption action, it is actually one of the main factors making this country bankrupt and ruined.

  Karena korupsi di negara ini sudah mewabah role of religions is occurs. The ones bribing and being bribed in this context are people saying that they are religious people, that they embrace a religion, even in some particular cases the perpetrators look so religi- ous, having high individual piety.

  ampunan dari Tuhan sangat terkait dengan pengampunan dari manusia (korban) dengan cara melakukan rekonsili- asi sesama dan recovery/ rehabilitasi terhadap dampak- dampak negatif korupsi terhadap korban atau masyara- kat.

  Edisi September 2005

  gala yang diambil secara tidak halal dan legal kepada negara atau pemiliknya (masyarakat), serta sikap ber- tanggung jawab atas perbuatannya dengan mematuhi hukum yang berlaku. Karena korupsi seperti yang telah dikemukakan di atas adalah dosa sos ial, di mana peng-

  Namun proses pertobatan sejati sebagai seorang koruptor tidaklah cukup dengan memohon ampun kepa- da Tuhan, melainkan harus disertai dengan kesediaan moral secara tulus dan ikhlas untuk mengembalikan se-

  Kekuatan etik-spiritual yang dimiliki oleh agama- agama pada dasarnya mempunyai peran yang sangat stra- tegis untuk mengajak umat beriman berserah diri secara elegan dan sejati menuju ampunan Tuhan, dengan menya- dari bahwa tindak korupsi yang dilakukan sebagai keke- rasan sosial telah merusak kebahagiaan bersama.

  Semua efek negatif di atas telah menghancurkan ke- maslahatan, kebahagiaan dan masa depan bersama. Maka dapat dikatakan tindak korupsi adalah dosa sosial yang sa- ngat berat. Terkait dengan efek negatif korupsi sebagai tin- dakan pengkhianatan, penghinaan dan penghancuran kepa- da kemanusiaan, maka tindak korupsi dapat dikategorikan sebagai kekerasan kemanusiaan terbesar di negara ini. Se- bagai dosa sosial yang menghancurkan pelbagai tatanan ke- hidupan masyarakat, tindak korupsi juga juga akan mem- buat pelakunya terasing dan terhina dalam pandangan Tu- han dan manusia.

  Jika kita mengamati dan merenungkan secara men- dalam pelbagai efek dari tindakan korupsi di atas, sesung- guhnya merupakan salah satu faktor utama di negara ini yang mengakibatkan bangkrut dan hancurnya bangsa ini.

  agama? Di mana penyuap dan disuap dalam konteks ini ada- lah orang-orang yang mengaku beragama dan beriman, bah- kan dalam kasus-kasus tertentu secara formal pelaku-pelaku korupsi ini kelihatan sangat religius atau memiliki kesalehan individual yang cukup tinggi.

  bukan saja melahirkan bisnis bagi mafia-mafia persi- dangan, tetapi juga menjadi bisnis bagi para preman se- kaligus melahirkan komunalisme-komunalisme pre- man di dalam masyarakat kita. Dalam kondisi seperti i ni, maka muncul pertanyaan, di manakah peranan agama-

  Since corruption has expanded in such a scale and developed into humanitarian disaster in this country which implications are extremely compli- cated, i.e. covering all dimensions of societal life, struggling efforts against corruption have to be of

  Opini interfidei new sletter

  dan menjadi bencana kemanusiaan yang implikasi- nya sangat kompleks yaitu meliputi semua dimensi kehidupan masyarakat, maka upaya-upaya perlawa- nan terhadap korupsi harus lebih operasional dan mendukung korporasi dalam kebajikan, dan meno- lak pelbagai bentuk korporasi untuk kejahatan. Da- lam konteks ini gerakan bersama antar umat beri- man hendaklah didasarkan pada iman dan panggilan hati nurani secara sejati. Komitmen seperti inilah yang mampu membuat korporasi anti korupsi antar umat beriman ini mampu memproteksi diri dari ke- pentingan kelompok dan kepentingan politik lain- nya.

  Sikap moral untuk secara kooperatif dalam kebajik- an akan mendatangkan kemakmuran, kebahagiaan dan ke- damaian, sedangkan korporasi di dalam kejahatan akan mendatangkan kekerasan dan kehancuran bagi kemanusia- an.

  Apabila tidak ada sikap moral yang tinggi untuk me- merangi korupsi ini, maka realitas korupsi ini akan sema- kin mewabah dan memakan korban yang lebih banyak lagi. Efek yang ditimbulkannya pun sangat kompleks. Hal ini mengindikasikan bahwa kemiskinan dan kekufuran memi- liki hubungan sebab akibat. Secara sosiologis, orang/ ke- lompok yang korup adalah subyek kejahatan kemanusiaan. Mereka adalah penyebab timbulnya korban-korban di da- lam masyarakat.

  “Kelaparan seorang anak manusia di bawah kolom jembatan, bukanlah karena bumi ibu pertiwi ini miskin, kematian anak/bayi dan ibu yang semakin meningkat bu- kanlah semata karena Sang ayah yang malas, penderitaan banyak warga kecil di gubuk-gubuk reot bukanlah karena mereka tidak berusaha dan bekerja, terputusnya pendidikan anak usia sekolah dari kalangan masyarakat yang tak mam- pu, bukanlah karena mereka lebih bodoh dari anak-anak orang kaya, melainkan semua itu karena korupsi yang me- renggut harapan, kebahagiaan dan masa depan mereka”.

  Pelbagai problem sosial lainnya, tak dapat dipan- dang secara hitam putih dengan menyalahkan sang kor- ban. Melainkan dalam konteks ini, semua problem ke- manusiaan tersebut adalah harus dilihat sebagai akibat penindasan terhadap kemanusiaan oleh orang yang kuat atau orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan ter- hadap orang-orang yang lemah atau dilemahkan.

  Dengan demikian, sebagai khalifah di muka bumi (Wakil Tuhan di bumi), kita memiliki fungsi dan peran untuk memakmurkan bumi ini secara bersama-sama ka- rena dengan demikian akan membuat rumah ke-Indo- nesia-an kita diliputi suasana masyarakat saling menya- yangi, mengasihi dan hidup damai, dimana keadilan dan kesejahteraan terbagi secar a merata. Gerakan bersama antar umat beriman secara jujur dan adil di dalam mela- wan tindak korupsi merupakan prasyarat untuk mewu- judkan kemakmuran bersa ma. Karena di dalam ke-

  operational and functional nature in the form of a collective commitment to support cooperation in righteousness, and resisting diverse forms of coope- ration for wickedness. Within this context, move- faith and pure call of consciousness. Such a commit- ment is what is able to make anti-corruption corpora- tion among religious congregation capable of protec- ting itself from group interests and other vested poli- tical interests.

  Moral attitude for cooperative work in righte- ousness will bring prosperity, happiness, and peace, while corporation in wickedness is going to bring violence and destruction to humanity.

  Should there be no high morality in the striving against corruption, this fraud is going to expand even more and victimize many more; the impacts it will cause will be extremely complex as well. This indica- tes that poverty and atheism has a causal link. Socio- logically, a corrupted person or group is a subject to humanitarian crime. They are the factors of victimi- zation in the society.

  “The hunger of a child under the bridge is not due to poverty in our homeland; the increasing ma- ternal and infant mortality rate is not caused by lazi- ness of the fathers; misery of a lot of people in dilapi- dated shack is not because they do not try and work; dropping outs of kids from poor families are not be- cause they are more stupid compared to rich people's children; those are all because of corruption which takes away their hopes, happiness, and futures”.

  Other social problems cannot be perceived me- rely in black and white by putting the holding the victims responsible. On the contrary, within this con- text all those humanitarian problems have to be seen as a consequence of oppression to humanity by influ- ential people or people having power and authority to commoners or emasculated people.

  Thus, as caliphs (representation of God on earth) on earth, we all have the function and role to make this earth prosper, and thus, our Indonesian ho- meland will be surrounded by the atmosphere of loving, caring, and peace, where justice and prosperi- ty are shared equally. A movement of religious cong- regation in an honest and just way in the efforts of fighting corruption is a prerequisite to realize equal prosperity, as in our Indonesian prosperity, human dignity is going to be lifted high, people are going to be aware of their own and others' rights. That is a realization of hanif (right and good) consciousness, which will exist everlastingly, obeying and submit- ting only to the true goodness and righteousness, from and to whomever.[]

  I N T E R F A I T H

  I N S T I T U T I ON F OR H U M A N I T A R I A N I N I M A L U K U B ack g r ou nd

  Edisi September 2005

  Snapshot Edisi September 2005

  A pa i t u E l . A i . E m? Sesudah pertemuan “Malino” (= Malino, nama daerah di Sulawesi Selatan di sana pernah diadakan per- temuan yang diupayakan oleh pemerintah untuk memperte- mukan kelompok-kelompok yang bertikai bersama dengan tokoh masyarakat, pimpinan agama-agama dari Maluku), Gereja Protestan Maluku, Majelis Ulama Indonesia di Ma- luku dan Diosis Ambon mendirikan Lembaga Antariman

  Berangkat dari realitas tersebut, maka segala usaha untuk mendukung pengembangan sebuah proses interaksi antariman yang baik dan teratur di Maluku menjadi sebuah keharusan. Karena itu, se- jak tahun 2004, Gereja Protestan Maluku (GPM), Majelis Ulama Indonesia, cabang Maluku, Diosis Ambon mengambil inisiatif untuk membangun se- buah hubungan kerjasama yang berorientasi pada usaha-usaha bersama untuk mengatasi dan meng- hadapi situasi yang diakibatkan oleh konflik di Maluku.

  Konflik tersebut tidak saja merusak bangunan-bangunan fisik, fasilitas publik dan pemukiman, tetapi juga struktur sosial, nilai-nilai moral serta hubungan-hubungan sosial. Akibatnya, komunitas-komunitas di masyarakat meng- alami trauma berkepanjangan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mereka hidup dalam lingkungan yang terse- gregasi. Ironisnya,mereka tersegregasi menurut agama, khususnya Islam dan Kristen. Keadaan ini terjadi karena konflik tersebut dipicu dan diperpanjang oleh isu-isu agama, hal mana merupakan salah satu aspek yang sangat sensitif di Maluku.

  L at ar bel ak ang onflik sosial yang terjadi selama kurang lebih empat tahun di Maluku mengakibatkan kehan- curan yang tragis secara massif di masyarakat.

  M )

  I . E

  L . A

  L E M BA GA A N T A R I M A N U N T U K K E M A N U S I A A N M A L U K U ( E

  The implementing agency, which in this the Maluku Interfaith Agency for Humanity, was initi- ated and established by the three major religious agencies in post-Malino Maluku. They are GPM, the Maluku chapter of MUI, and the Diocese of Amboi- na. The three then formed a forum/ coordinating body to implement cross-religion coordination functions, and took the established agency under their wings and their joint authority. Directed by the forum/ cross- makmuran ke-Indonesia-an kita, martabat kemanu- siaan akan dijunjung tinggi, yaitu setiap orang tahu akan hak-haknya dan hak orang lain. Itulah pengeja- wantahan dari nurani yang hanif (benar dan baik), yang senantiasa eksis serta hanya tunduk dan patuh kepada kebenaran dan kebajikan sejati, dari mana dan kepada siapapun.[]

  Based on this reality, all efforts to support the development of a permanent and measured interfaith interaction process in Maluku becomes imperative. Starting out from this fact, since a year ago the Malu- ku Protestant Church (GPM, Gereja Protestan Malu- ku), the Maluku chapter of the Indonesian Ulama Council (MUI, Majelis Ulama Indonesia), and the Diocese of Amboina have taken the initiative in buil- ding a permanent and measured relationship, oriented towards a joint effort to cope with the impacts of the Maluku conflict.

  truction of the society on a massive scale. The conflict did not only destroy physical buildings, in- cluding public facilities and sttlements, but also social structures, moral values, and social relationship. As a result, communities are conditioned to experience prolonged trauma, and proceed in their daily lives in a segregated environment. Ironically, communities are segregated by religion, i.e. Islam and Christianity, as the conflict was triggered and sustained by religious issues, which are perceived as a sensitive aspect in Maluku.

  he social conflict that raged for about four years in Maluku has brought about tragic des-

T

K

W hat i s E L . A i . E m?

M i s s i on

  2. To fight and to develop the establishment of the Indonesian quality as whole in the perspective of humanitarian value.

  Potret Edisi September 2005

  religion joint agency, an interfaith agency was esta- blished with the following structure: 9 board mem- bers (three members from each founding agency); 1 director that doubles as board member; 4 managers, infodoc). Considering that the agency is in its infancy, staffing for the four managers will be done in future processes. Meanwhile, according to plans, the forum/ coordinating body will be extended to include Hindu- ism, Buddhism, Konghucu and other denominations.

  V i s i on

  Increasement in the quality of community social, culture and economy life as the manifestation of Maluku religious community resistance.

  1. Organize, Assist, empower and develop faith, eco- nomy, social and culture resistance of religious community, thus religious community may parti- cipate independently in building Maluku in accord with national ideal.

S t r at eg y

  1. Reducing conflict potentials in Maluku through management and conflict resolution efforts in Ma- luku religious community level.

  3. Dynamicize the establishment of functional, posi- tive, creative and constructive interactive between various religious comunities.

  nilai yang adaptif serta dinamis dalam komunitas agama di Maluku.

  2. Build social, economy and culture interaction pro- cess between religious communities in Maluku.

  3. Buld Community empowerment process in Malu- ku through productive, innovative community economy and with Human rights, gender and neighborhood perspective.

  4. Physic and mental rehabilitation in a conflict trau- matized society in Maluku.

  5. Re-orientation and revitalization of adaptive and dynamic value system in religious community in Maluku.

  A ct i v i t i es I . I N S T I T U T I ON A L CA P A CI T Y B U I L DI N G

  A k t i v i t as interfidei new sletter

  5. Melakukan reorientasi dan revitalisasi dari system

  untuk Kemanusiaan Maluku. Lembaga ini adalah forum atau badan koordinasi yang berfungsi mengimplementasi kegiatan-kegiatan yang dirancang bersama. Mereka me- nempatkan forum ini di bawah “sayap” lembaga keagamaan masing-masing dalam kerjasama dengan kepengurusan yang tergabung antarlembaga tersebut. Lembaga ini memi- liki struktur sebagai berikut : a) Anggota Yayasan, 9 orang (masing-masing lemb aga agama 3 orang); 1 direktur de- ngan fungsi rangkap sebagai anggota Yayasan; 4 orang ma- nager dan 4 orang staf (program, perkantoran, keuangan dan bidang informasi/dokumentasi). Menyadari bahwa lembaga ini masih baru, staf untuk ke-4 manager tersebut akan dileng- kapi kemudian. Saat ini ada rencana untuk memperluas lem- baga ini dengan melibatkan agama Hindu, Buddha, Konghu- cu dan denominasi-denominasi yang lain.

  3. Mendinamiskan fungsi positif, kreatif, konstruktif interaksi antara berbagai komunitas agama.

  V i s i

  Meningkatan kualitas kehidupan sosial, buda- ya dan ekonomi masyarakat sebagai manifestasi ketahanan komunitas agama-agama di Maluku.

  M i s i 1.

  Mengorganize, membantu, memberdayakan dan membangun ketahanan iman, ekonomi, sosial, budaya komunitas agama-agama untuk mengam- bil bagian secara indipenden dalam membangun Maluku dalam kaitan dengan konteks nasional.

  2. Memperjuangkan dan membangun pembentukan

  manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas dalam perspektif nilai-nilai kemanusiaan.

  S t r at eg i

  4. Rehabilitasi psikhis, mental masyarakat akibat trauma konflik yang terjadi di Maluku.

  1. Meminimalisir potensi konflik di Maluku melalui

  usaha-usaha m

  anajemen dan resolusi konflik pada tingkat komunitas agama-agama yang ada di Maluku.

  2. Membangun proses interaksi sosial, ekonomi dan budaya antara komunitas agama-agama yang ada di Maluku.

  3. Membangun proses pemberdayaan komunitas

  yang produktif dan inovatif di Maluku dalam perspektif ekonomi, Hak Asasi Manusia, Gender dan persaudaraan.

  • Clearing House
  • Data Base pluralisme in Maluku - Library - Study development with multimedia production

  • Clearing house
  • Data base pluralism di Maluku - Perpustakaan -

  • Peningkatan staff (melakukan pelatihan, semina
  • Series of public discussion (weekly)
  • Limited studies in pluralism issues
  • Distribution of information in mass media-prin- ted and electronic (essay and article publicati- on, newsletter etc.)
  • Establish pluralism community college
  • melakukan diskusi publik setiap minggu
  • diskusi terbatas tentang issu-issu pluralisme
  • mensosialisasikan informasi-informasi tentang issu-issue pluralisme melalui media (cetak dan elektronik)
  • mengembangkan pendidikan komunitas pluralism
  • Capacity building of Local institutions for a bet- ter public service
  • Enlarging support from national and internati- onal level.

  • Membangun kapasitas lembaga local untuk pe- layanan masyarakat yang lebih baik.
  • Memperluas dukungan nasional dan internasi- onal.

  Director : Jacky Manuputty Office Manager : Oliva Lasol Finance Manager : Oliva Lasol InfoDoc : Sven Loupatty Helena Rijoly Program Manager : Abidin Wakano External Prog Officer : Zakiyah Zamal Internal Prog. Officer : Daniel Watti Manela

  DR. I.W.J. Hendriks (Moderator of GPM Synod), Mgr.P.C. Mandagi MSC (Amboina Bishop), Idrus EffendiToekan (Head of MUI Maluku)

  Or g ani z at i on S t r u ct u r e F ou nder :

  Eastern Indonesia Peace And Pluralism Center

  P l ans F or T he F u t u r e

  Trauma healing, post trauma stress, peace sermon

  I I I . P S Y CH OS OCI A L

  B . B U I L D I N G P L U R A L I S M CA R E N E T WOR K F OR P E A CE A DVOCA CY

  I I . A . COM M ON P E R CE P T I ON B U I L D I N G O N P O S T - CON F L I CT P U B L I C I S S U E S

  (Pluralism and peace campaign packages) tice, seminar, training).

  : Helena Rijoly Manager Program : Abidin Wakano

  Dr. I. W.J. Hendriks (Ketua Sinode GPM) Mgr. P.C. Mandagi, Msc (Uskup Ambon) Idrus Effendi Toekan (Ketua MUI-Maluku)

  Direktur : Jacky Manuputty Manajer Perkantoran : Oliva Lasol Manajer Keuangan : Oliva Lasol Informasi/dokumentasi : Sven Loupatty

  S t r u k t u r or g ani s as i P endi r i :

  Membangun Pusat Perdamaian dan Pluralism Indone- sia Timur

  R encana k e depan

  I I I . P s i k ho-s os i al Melakukan upaya penyembuhan trauma, stress yang di- akibatkan sesudah trauma serta menyampaikan kotbah- kotbah perdamaian.

  B . M e m b a n g u n J a r i n g a n P l u r al i s me u nt u k A dv ok as i P er damai an

  I I . A . M e mb a n g u n P e r s e p s i B er s ama t ent ang i s s u -i s s u pu bl i k pas ca k onf l i k

  dan magang)

  r

  Pengembangan studi melalui produksi multimedia, khusus dalam soal kampanye perdamaian dan pluralism

Or g ani z at i onal S t af f i ng

P eng u r u s H ar i an

  Edisi September 2005 I . M eng embang k an k apas i t as I ns t i t u s i

  9 Snapshot Edisi September 2005 B ank A ccou nt

  Yayasan Lembaga Antar Iman untuk Kemanusiaan Maluku Bank Danamon ambon Diponegoro. Ac- count Number. 0040448011

  Rek eni ng B ank

  Foto: Peserta SAA di Padang pada tgl 15-17 Juli 2005

  Institut Dian/ Interfidei Yogyakarta bekerjasa- ma dengan PUSAKA Padang, mengadakan Studi Agama-Agama dengan tema “MENANGGALKAN PRASANGKA MENUAI KEADABAN“ yang te- lah dilaksanakan pada tanggal 15-17 Juli 2005 di Ho- tel Pangeran City Padang. Didahului dengan acara Studium Generale, yang dihadiri kurang lebih 100

  masyarakat. Selain itu muncul klaim-klaim kebenaran an- tara satu agama terhadap agama lain. Keadaan ini sema- kin memperburuk konteks Pluralitas di masyarakat. Ke- nyataan tersebut mendorong para agamawan khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk melihat kembali dan mengkaji lebih jauh tentang ajaran agamanya. Di samping itu mereka pun ingin mengenal dan memahami agama-agama yang lain. Dalam kerangka berpikir s e p e r t i i t u l a h , I n t e r f i d e i merancang program Studi Agama-aga-ma. Program yang memberi kesempatan serta fasilitas ke-pada masyarakat untuk memahami 'diri sendiri' dan 'orang lain' secara lebih baik.

  kehadiran agama-agama dalam konteks Indo- nesia. Agama cenderung menjadi 'pokok persoalan' sekaligus tumpuan dan harapan bagi penyelesaian per- soalan tersebut. Misalnya soal kesalahpahaman, keter- tutupan, sangat mementingkan hal-hal yang sifatnya dogmatis doktriner, mementingkan institusi agama bu- kan subtansi nilai dan maknanya dalam kehid upan ber-

  D

  bagai pertanyaan tentang makna dan fungsi

  1. P A DA N G : M E N A N G GA L K A N P R A S A N G K A M E N U A I K E - A DA BA N a lam beberapa tahun terakhir ini, muncul ber-

  Jl. Ch. M. Tiahahu, no. 17/RT 003, RW 01 Kelurahan Amantelu Kecamatan Sirimau, Ambon Phone/fax. 62-911-342 643 Email : <el_ai_em@yahoo.com>

  A l amat

  Yayasan Lembaga Antariman untuk Kemanusiaan Maluku Bank Danamon Ambon Diponegoro Nomor Account, 0040448011

  Manella

  A ddr es s

  Ketua Eksternal Program : Zakiyah Zamal Ketua Internal Program : Daniel Watti

  Kronik Edisi September 2005

  10 interfidei new sletter

  Pangeran City Hotel, Padang. The study was preceded by a Studium Gene-rale, attended by some 100 participants from diverse backgrounds, and was carried out in one session. Ac-ting as sources are: Mr. Budhy Munawar-Rachman (Lecturer of Driyarkara and Paramadina Philosophy College, Jakarta), Mr. Qasim Mathar (Lecturer of Ushuluddin Faculty of

  Dian/ Interfidei institute Yogyakarta in coope-ration with PUSAKA Padang, held a Study of Reli-gions under the t h e m e “ P U T T I N G O F F PREJUDI-CE, HARVESTING REFINEMENT” which has been held on 15-17 July 2005 at

  This program provides an opportunity and accommo- dation for the society to understand themselves and others better.

  to be 'a factor for conflict', also support and hope for the solving of the problem, e.g. the problems of mis- understanding, reticence, placing religion institution as a primary concern instead of its value, substance and meaning in societal life. In addition, righteous- ness claims are arising between one religion and others. This worsens plurality context within society. Such a reality impels religionists in particular and society in general to reconsider and examine what their religions teach them. Besides that, they would also like to be on familiar terms with and to compre- hend other religions. Within that frame of thoughts, Interfidei designed a Study of Religions program.

  n the last few years, various questions on the meaning and function of religions in context of

  1. P A DA N G : P U T T I N G O F F P R E J U D I C E , H A R V E S T I N G R E F I N E -M E N T

  Jl. Ch. M. Tiahahu No. 17, Rt 003 - Rw 01 Kelurahan Amantelu Kecamatan Sirimau, Ambon Phone/fax: (0911) 342 643 Email:el-ai-em@yahoo.com