REKONSTRUKSI FIQH: TAWARAN METODOLOGIS MUH{AMMAD SYAH{RÛR Noer Chalida Abstract - REKONSTRUKSI FIQH: TAWARAN METODOLOGIS MUH{AMMAD SYAH{RÛR

  

REKONSTRUKSI FIQH:

TAWARAN METODOLOGIS MUH{AMMAD SYAH{RÛR

Noer Chalida

Abstract

  Of the overall effort to reformulate legal theory, the views Muhammad Shahrour up to now is the most convincing. The successful culmination of a legal methodology relies not only on the intellectual integrity and the level of sophistication in theorizing but depends also on the possibility that law enforcement methodology in the social context. It is unfortunate, legal concepts and methodological new law offered by Shahrour is still foreign to the majority of Muslims. In fact, not only the methodology has been prepared in a coherent and well, but also the methodology more in line with the thinking of Islamic system. Shahrour’s methodology not subject to the textual concept is understood, but it combines textual and contextual analysis to put a humane law which provides general guidelines. Strictly speaking, Shahrour’s methodology not want to be dictated literal and textually by the 'will' revelation. Based on the Shahrour’s premise, then this article focuses on the perspective of the Shahrour associated with the construction of Islamic law (fiqh) and an offer that he gave.

  Keywords: Shahrour, fiqh, textual, contextual, limit Pendahuluan

  Dalam beberapa karyanya, Muh{ammad Syah{rûr telah banyak mencetuskan teori hukum yang tentu saja bisa dijadikan sebagai “pisau bedah” (kerangka teoritik) dalam menjawab persoalan hukum. Sesuai dengan pandangan filsafat hukum ilmu kontemporer bahwa sebuah teori adalah system praanggapan-praanggapan yang memandu jalannya penelitian keilmuan.

  Pranggapan-praanggapan dalam dunia ilmu tidak bisa dikatakan kebal dari perubahan.

  harus selalu diklarifikasi melaui research yang tidak pernah berhenti. Hal demikian penting karena darah suatu ilmu dewasa ini adalah research yang terus-menerus 1 A.B. Shah, metodologi Ilmu Pengetahuan.,

  (continuing research) bukannya hasil akhir yang baku.

  2 Dari keseluruhan usaha untuk

  merumuskan kembali teori hukum, pandangan-pandangan Muh{ammad Syah{rûr hingga kini adalah yang paling meyakinkan. Puncak keberhasilan dari suatu metodologi hukum bergantung tidak hanya pada integritas intelektual dan tingkat kecanggihan dalam berteori akan tetapi bergantung juga pada kemungkinan pemberlakuan metodologi hukum itu dalam konteks sosial. Sangat disayangkan, konsep hukum dan metodologis hukum baru yang ditawarkan Syah{rûr ini hingga kini masih asing bagi mayoritas umat islam. Padahal, bukan saja metodologi tersebut telah disusun secara padu dan baik, tetapi juga metodologi tersebut lebih sesuai 2

1 Oleh karena itu, praanggapan-praanggapan

  dengan system pemikiran yang islami. Metodologi Muh{ammad Syah{rûr tidak tunduk pada konsep yang diapahami secara tektual, namun ia memadukan analisis tekstual dan kontekstual untuk menempatkan sebuah hukum humanis yang memberikan panduan secara umum.

  Muh}kam)

  al- Mutasyâbih)

  2) As-Sab’ al-Matsâni (al-Kitâb al-

  Mutasyâbih)

  3) Tafshîl al-Kitâb (al-Kitâb lâ

  muh}kam wa lâ mutasyâbih)

  4) Umm al-Kitâb (al-Kitâb al-

  Pertama dan Kedua, yakni al-

  Tegasnya, metodologi Muh{ammad Syah{rûr tidak mau didikte secara literal dan tekstual oleh ‘kehendak’ wahyu.

  Qur'ân, dan a1-Sab’ al-Matsâni, tergolong

  ayat-ayat mutasyâbiha}t yang terdiri dari dan hanya memiliki relasi dengan konsep

  an-Nubuwwah (kenabian)~. Kategori ini

  berisi konsep umum tentang seluruh eksistensi (al-lawh al-mahfuzh), sejarah para nabi dan rasul (ahsân al-qashâs), dan perubahan peristiwa alam (tashrîf ahdats

  al-thabî 'ah).

  6 Ketiga, disebut juga Tafshîl al-Kitâb

  yakni termasuk ayat lâ muh}kam wa la 'UIûm al-Qur’ân, (ttp.: Dâr al-lh}ya, 1957), hlm.

  1) Al-Qur’ân (al-Kitâb

  5

  sebuah terobosan baru yang berbeda dengan pemikiran-permikiran tentang konsep sejenis sebelumnya. Di antara pemikiran rekonstruktif Syah{rûr, bahwa dia membagi al-Qur'ân, atau dalam bahasa Syah{rûr, al-Kitâb ke-dalam empat macam kelompok ayat :

3 Al-Qur'an juga dipahami memiliki

  mulia dinamakan al-Furqân karena fungsinya sebagai pembeda.

  Berdasarkan pemikiran Syah{rûr yang meyakinkan tersebut, maka tulisan ini memfokuskan pada perspektif Syah{rûr terkait dengan konstruksi hukum Islam (fiqh) dan tawaran yang ia berikan.

  Konsepsi hukum dan Rekontruksi Fiqih Muh{ammad Syah{rûr

  1. Konsepsi hukum Al-Qur’an Konsepsi yang baru tentang al-

  Qur’an yang ditawarkan oleh Syah{rûr merupakan bagian terpenting yang harus dipahami terlebih dahulu, karena Syah{rûr memulai dan menciptakan dasar-dasar hukum Islamnya dari konsep barunya ini yang cukup berbeda dengan konsep pemahaman konvensioanal selama ini. Pada umumnya, Al-Qur'an dipahami sebagai "Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang tertulis dalam mushaf dan disampaikan secara mutawatir, dan bacaannya bernilai ibadah."

  beberapa nama yang sesuai dengan watak yang dibawanya. Misalnya, disebut al-

  Qur'an lantaran la adalah bacaan yang

  3 Lihat Shubhi al-Shalih, Mabâhits fî

  al-Dzikr, al-Sab' al-Mutsâni, al- Nubuwwuh a1-Risâlah, al-Inzâl, dan al- Tazîl, Syah{rûr kemudian membangun

  ‘Ulûm al-Qur'ân, (Beirut: Dâr al-‘Ilm al-Malayin, 1977), hlm. 21; Manna' al-Qathan.,hlm.20; Mah}ammad Bakar Isma'il, Dirâsat fî 'Ulûm al- Qur’ân, (Mesir: Dâr al-Manar, 1991), hlm.11. 4 Al-Zarkasyi telah mengumpulkan

  formulasi-formulasi semacam ini, Syah{rûr menawarkan suatu konsep yang sama sekali berbeda.

  Pemikiran Syah{rûr tentang al-

  Qur'ân, bisa dilacak dari karya

  monumentalnya, al-Kitâb wa al-Qur'ân :

  Qirâ’ah Mu’âs}irah, beberapa pikiran rekonstruktif terlahir dalam bukunya ini.

  Syah{rûr mengupas tentang beberapa pengertian, perbedaan, dan relasi istilah- istilah yang berhubungan dengan al- Qur'an, seperti al-Kitâb, Umm al-Kitâb,

4 Terhadap

  mutasyâbih. Ayat-ayat dalam kategori ini

7 Karakteristik ayat ini sama dengan ayat-

8 Keempat, adalah Umm al-Kitâb

9 Berpijak dari mu’jâm maqâyis, karya

  ma'rifah, al-Kitâb, berarti kumpulan

  14 11 Ibid., hlm. 54 12 Ibid., hlm. 62 13 Kesepuluh perintah Tuhan dimaksud, yaitu pada Q.S. al-An'âm : 151-153, yaitu: (1) larangan syirik; (2) berbakti pada orang tua; (3) larangan membunuh anak-anak karena takut miskin; (4) larangan mendekati perbuatan keji yang tampak atau yang tersembunyi; (5) larangan membunuh jiwa kecuali dengan haq; (6) larangan mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara bermanfaat hinga la dewasa; (7) memenuhi takaran dan timbangan dengan adil, (8) ber}aku adil meski kepada

  yang berarti membentuk, menentukan, atau melembagakan. Sunnah dalam pengertian ini menunjuk kepada suatu praktek atau perilaku yang ditentukan atau dilembagakan oleh orang maupun sekelompok orang tertentu. Jadi, Sunnah bukan hanya menunjuk kepada adat istiadat suatu suku atau kelompok tetapi juga berkaitan dengan individu yang melembagakannya.

  sann

  2. Konsepsi hukum As-Sunnah Istilah Sunnah bukan sesuatu yang baru bagi kaum muslimin. Secara etimologis, Sunnah berasal dari kata kerja

  13

  terjadinya al-Qur'ân ke dalam bahasa manusia yang diucapkan dalam bahasa Arab. Sedangkan al-Furqâ, yaitu sepuluh wasiat Tuhan yang diberikan kepada Mûsâ, ‘Îsâ, dan Muh}ammad saw, la termasuk bagian dari Umm al-Kitâb dan merupakan akhlak yang berlaku secara universal dalam tiga agama samawi.

  12 Adapun al-Dzikr adalah proses

  bagian dari mushaf yang merupakan kumpulan tata aturan obyektif bagi eksistensi dan realitas perilaku dan perstiwa-peristiwa kemanusiaan.

  11 Sedangkan al-Qur'ân, merupakan

  berbagai tema permasalahan yang diterima 7 Muh}ammad sebagai wahyu, yaitu seluruh ayat yang termuat dalam lembaran- lembaran mushaf dari surat al-Fatih}ah hingga surat al-Nâs.

  hal satu sama lain den``an tujua untuk memperoleh satu makna yang berfaedah atau untuk memperoleh topik tertentu guna mendapatkan pemahaman yang sempurna.

  memiliki dua macam bentuk, yakni: (1) ayat yang berfungsi sebagai penjelas, baik bagi Umm al-Kitab maupun al-Qur'ân, dan (2) ayat yang berfungsi sebagai pemisah, baik dari segi tempat maupun waktu.

  Kitâb. Istilah al-Kitâb berasal dari akar kataba, artinya mengumpulkan beberapa

  sebutan al-Qur'ân, oleh Syah{rûr disebut al-

  Utsmani yang populer dikenal dengan

  al-Fârisi yang tidak mengakui adanya sinonimitas dalam bahasa Arab, Syah{rûr kemudian merumuskan beberapa istilah dan kata kunci dalam al-Qur'ân (al-Kitâb) yang selama ini dianggap sebagai nama lain atau sinonim dari al-Qur'ân. Mushaf

  ajaran baik yang bersifat menyeluruh maupun spesifik, namun tidak termasuk kategori penetapan hukum (al-ta'lîmât wa al-khâshah wa laysat tasyrî’ât).

  marhalah wa al-zharfiyyah), akhlak (al- furqân al-'âm wa al-khâsh), dan ajaran-

  kondisional temporal (al-ah}kâm al-

  ‘ibâdah), hukum-hukum yang bersifat

  memiliki relasi dengan konsep al-Risâlah (kerasulan). Termasuk dalam kategori ini adalah ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum dan peribadatan (al-h}udûd wa al-

  tergolong ayat-ayat muh}kamât yang

  juga berfungsi sebagai representasi Nubuwwah Nabi Muh}ammad.

  khabariyyah, dan ta'lîmiyyah, sehingga

  ayat mutasyâbihat, yakni berbentuk

10 Bila muncul dalam bentuk

  Dalam bentuk kata benda, secara bahasa Sunnah berarti jalan setapak, perilaku, praktik, tindak tanduk, atau tingkah laku.

15 Istilah Sunnah dengan

  pengertian seperti ini juga menbangung arti praktek normatif atau model perilaku, baik yang terpuji maupun yang tercela, baik dari individu atau kelompok atau masyarakat tertentu.

  disebut dengan Sunnah atau tindakan Rasul SAW tidak lain merupakan ijtihadnya. Sebagai hasil ijtihad, maka kebijakan Nabi SAW tersebut dapat diubah atau diganti sejalan dengan tuntutan keadaan atau demi menjalankan kemaslahatan secara umum. Sebagai bahan rujukan untuk menggali informasi tentang kebijakan Umar tersebut, lihat, Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, (Karachi : Central Institute of Islamic Research, 1965), hlm. 123. 19 Muh{ammad Syah{rûr, al-Kitâb., hlm. 549. 20 Muh{ammad Syah{rûr mendefinisikan sebagai : Ijtihad Nabi dalam menerapkan hukum- hukum yang terdapat di dalam Umm al-Kitâb, baik berupa h}udûd, ibadah, dan akhlak, dengan memperhatikan realitas obyektif di mana beliau hidup, berkisar di antara h}udûd atau langsung mengambil h}udûd yang telah ada, atau membuat

  Dari definisi diatas maka dapat ditarik beberapa batasan yang menjadi karakter Sunnah Nabi menurut Syah{rûr, yaitu:

  ٢٢

  ﻞﺜﲤ ﺔﻨﺴﻟاو مﻼﺳﻻا ﻦﻣ ﻰﳍ ﻻا ﻖﻠﻄﳌا ﺐﻧﺎﳉا ﻞﺜﳝ بﺎﺘﻜﻟا مﻼﺳﻻا ﻦﻣ ﱏﺎﺴﻧﻻا ﺐﻧﺎﳉا ) دﺎﻬﺘﺟﻻا (

  فﻮﻗﻮﻟا وا دوﺪﳊا ﲔﺑ ﺔﻛﺮﳊا ﰱ بﺎﺘﻜﻟا ﻖﻴﺒﻄﺗ ﰱ ﺞﻬﻨﻣ نا ﺚﻴﺣ ﺔﻴﻠﺣ ﺮﻣ دوﺪﳊا ﺔﻠﺑﺎﻘﳌا دوﺪﳊا ﻊﺿو وا ﺎﻬﻴﻠﻋ

  Sementara pada halamn 571 dari kitab yang sama, Syah{rûr mendefinisikan Sunnah sebagai berikut :

  ٢١

  بﺎﺘﻜﻟا ﰱ دﺮﺗ ﱂ ﱴﻟا رﻮﻣﻼﻟ ﺔﻴﻠﺣ

  antara lain : ةدﺎﺒﻋو دوﺪﺣ ﻦﻣ بﺎﺘﻜﻟا ما مﺎﻜﺣا ﻖﻴﺒﻄﺗ ﰱ ﱮﻨﻟا دﺎﻬﺘﺟا ﻪﻴﻓ ﺶﻴﻌﻳ ىﺬﻟا ﻰﻋﻮﺿﻮﳌا ﱂﺎﻌﻟا رﺎﺒﺘﻋﻻا ﲔﻌﺑ اﺬﺧا قﻼﺧاو ﺮﻣ دوﺪﺣ ﻊﺿوو ﺎﻧﺎﻴﺣا ﺎﻬﻴﻠﻋﺎﻔﻗاو وا دوﺪﳊا ﲔﺑ ﺎﻛ ﺮﺤﺘﻣ

  20

  Di tempat lain, Syah{rûr mengemukakan redaksi berbeda tetapi subtansinya sama,

  ١٩

  ﺔﻘﻴﻘﳊا ﱂﺎﻋ رﺎﺒﺘﻋ ﻻا ﲔﻌﺑ ﺬﺧﻻا ﻊﻣ رﻮﻣﻻا ) نﺎﻜﳌاو نﺎﻣﺰﻟا طوﺮﺸﻟاو مﺎﻜﺣﻻا ﻩﺬﻫ ﺎﻬﻴﻓ ﻖﺒﻄﺗ ﱴﻟا ﺔﻴﻋﻮﺿﻮﳌا (

  جوﺮﳋا نود ﺮﺴﻳو ﺔﻟﻮﻬﺴﺑ بﺎﺘﻜﻟا ما مﺎﻜﺣا ﻖﻴﺒﻄﺗ ﰱ ﺞﻬﻨﻣ ﺔﻴﻘﺑ ﰱ ﺔﻴﻠﺣ ﺮﻣ ﺔﻴﻓﺮﻋ ﻊﺿو وا دوﺪﳊا رﻮﻣا ﰱ ﷲ دوﺪﺣ ﻦﻋ

  Fikr, 1983), hlm. 237. Lihat juga; Mircea Eliade, The Encyclopaedia of Religion sebagaimana dikutip oleh Akh. Minhaji, "Hak-Hak Minoritas dalam Islam" dimuat dalam jurnal 'Ulum al-Qur’ân, edisi No. tahun 1993 hlm. 17. 17 Ibid. 18 Banyak tindakan `Umar yang oleh sebagian ulama dianggap telah menyimpang dari kebijakan-kebijakan, (atau Sunnah) yang pernah diambil oleh Nabi. Secara lahiriah dan formal tampak bertentangan dengan Sunnah keputusan Nabi SAW sebelumnya, misalnya tidak memotong tangan pencuri yang terbukti mencuri onta, tidak

  Muh}ammad Jarîr al-T}abarî, Tarîkh al-Umam wa al- Mulûk, juz II, hlm. 885. 15 Ahmad H}asan, The Early Development of Islamic Jurisprudence (Islamabad: Islamic Research Institute, 1970), hlm, 8. 16 Majîd al-Dîn Muh}ammad ibn Ya'qûb al- Fairuzzabadi, at-Qâmûs al-Muhît} (Beirut: Dâr al-

  benar menurut Syah{rûr ialah :

  Nabi yang dikonsepsikan oleh mayoritas ulama selama ini adalah keliru. Menurutnya, adanya berbagai tindakan khalifah 'Umar ibn al-Khattab semakin menunjukkan kesalahan definisi klasik tersebut.

  seperti ini juga dapat mencakup berbagai perilaku dalam masyarakat atau individu tertentu yang telah umum dan berakar.

  Pengertian Sunnah secara umum di atas mengandung banyak hal, antara lain berupa kebiasaan praktis sehari-hari, prosedur atau transaksi tertentu yang mengikat seluruh anggota masyarakat.

16 Sunnah dalam pemaknaan yang general

17 Syah{rûr menilai definisi Sunnah

18 Definisi Sunnah Nabi yang

  a. Sunnah Nabi adalah metode Nabi Saw dalam melaksanakan hukum yang terdapat dalam al-Qur'an.

  c. Sunnah Nabi tersebut bersifat mudah dan ringan.

  dengan mengikuti Sunnah Nabi dan tidak akan pernah sampai kepada substansi atau tujuan hakiki yang diinginkan oleh Nabi sendiri. Bagi Muh{ammad Syah{rûr, Sunnah Nabi adalah ijtihad pertama dalam Islam dan sebagai pilihan awal dari kerangka aplikatif untuk merealisasikan wahyu. Sunnah Nabi merupakan tahap penyesuaian awal dengan kenyataan hidup. Lihat: Muh{ammad Syah{rûr, Nah}w ..., hlm. 106. 24 Karakter ini, menurut Muh{ammad

  Dengan ini, maka relevansi penerapan ajaran spesifik dari Sunnah Nabi pada masa selanjutnya menjadi bersifat relatif. Dalam penerapan ini, Syah{rûr sangat memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai faktor

  d. Mempertimbangkan realitas obyektif di masanya.

  kebahasaan seperti ini, Syah{rûr ingin menunjukkan bahwa aturan-aturan yang dibawa oleh Sunnah Nabi, harus memuat prinsip kemudahan dan keringanan, atau digolongkan sebagai "mas}lahat". Artinya, mengikuti Sunnah berarti mengikuti tradisi Nabi yang lebih suka membuat aturan yang memudahkan dan meringankan daripada membuat aturan yang menyulitkan dan memberatkan. Atas dasar karakter ini, maka muncul karakter ke-4 dari Sunnah Nabi berikut ini.

  25 Dengan pemaknaan secara

  sendiri berasal dari kata "Sanna" yang dalam bahasa Arab dimaksudkan sebagai kemudahan dan kelancaran air ketika mengalir. Misalnya ada ungkapan berbunyi "ma' masnûn" artinya air yang mengalir dengan mudah.

  24 Menurutnya, kata-kata "Sunnah"

  23 23 Berbagai tindakan kebijakan yang pernah ditempuh oleh khalifah kedua, Umar ibn al-- Khaththab, memperkuat konsep Sunnah Nabi

  Metode Sunnah Nabi tersebut tidak lain adalah metode deduktif. Maksudnya al-Qur'ân telah menggariskan prinsip- prinsip hukum Islam yang dinamakan

  Sunnahnya dan "uswah h}asanah”nya tidak lain adalah mengikuti metode (manh}aj) ijtiâdnya dan mewujudkan substansi dari tujuan Sunnah itu sendiri.

  harfiyah, formal dan verbal. Mengikuti

  Maka makna "mengikuti Sunnah Nabi" atau "mengikuti teladan Nabi" bukan dengan cara mengikuti segala ucapan atau perbuatannya sehari-hari yang bersifat

  b. Sunnah Nabi adalah metodenya dalam berijtihad.

  bersifat praktis dari pola pikir atau paradigma Sunnah Nabi tersebut, yang tidak lain adalah ijtihad beliau sendiri.

  form) ekspresi atau perwujudan yang

  kehidupan nyata. Sebagai metode, maka Sunnah Nabi merupakan suatu konsep, sebuah model, pola pikir, atau paradigma Nabi dalam menghadapi dan menyelesaikan berbagai persoalan keseharian yang dihadapinya. Oleh karena itu, apa yang dinamakan sebagai Sunnah Nabi bukan teks, tentang ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi Saw sehari-hari yang bersifat harfiyah, yang muncul dalam bentuk kasus-kasus tertentu, atau tentang peristiwa dan doktrin spesifik, sebagaimana yang diinformasikan dalam berbagai teks hadis serta diklaim oleh kebanyakan Muhaddisin dan Fuqahâ', sebab semua itu hanya merupakan bentuk-bentuk (syakl atau

  h}udûd lalu Nabi menerapkannya ke dalam

  Syah{rûr, didasarkan kepada firman Allah Swt Q.S. al- Baqarah (2) : 185 “Allah menghendaki dengan kalian kemudahan dan Dia tidak menghendaki dengan kalian kesulitan” dan Q.S. al-H}âjj (22) : 78 "Dan Allah tidak menghendaki atas kalian dalam agama suatu kesulitan"

  obyektif yang terdapat pada abad ke-7 M saat itu, dan bukan berbagai faktor yang terjadi pada abad ke-20 M atau era lainnya.

  qiyas yang batil dan sesat, karena seseorang akan mengqiyaskan sesuatu yang syâhid (nyata) kepada sesuatu yang

  28 Dengan kata lain, qiyas

  yang sebenarnya adalah qiyas syâhid kepada yang syâhid dalam cakupan h}udûd Allah. Syâhid yang pertama berupa bukti- bukti material objektif. Sedang syâhid yang kedua adalah manusia hidup yang akan dikenai hukum.

  27 Bagi Syah{rûr, qiyas

  ketidak setujuannya pada konsep qiyas klasik itu karena konsep qiyas klasik selalu menjadi dalil sebagai bukti-bukti untuk menerapkan kebenaran ijtihad pada teks dengan realitas objektif yang langsung (problem-problem).

  ilmiah. Syah{rûr berpendapat bahwa

  Untuk lebih memahami konsepsi qiya dari Syah{rûr, maka harus berangkat pada pola pemahaman dari konsepsi Syah{rûr itu sendiri yang sesuai dengan paradigmanya, yakni paradigma historis-

  adalah sangat tidak mungkin, jika seseorang mengqiyaskan masyarakat modern kepada masyarakat di mana nabi hidup.

  ghâ'ib (tidak nyata). Atau dengan kata lain

  26 Qiyas seperti ini menurutnya merupakan

  e. Ruang gerak sunnah berada di antara wilayah dinamis dan statis.

  3. Konsepsi hukum Qiyas Syah{rûr berargumen bahwa qiyas model klasik selalu berangkat dari asumsi bahwa masyarakat zaman nabi adalah masyarakat ideal sehingga qiyas pada dasarnya adalah mencari persamaan antara masyarakat awal itu dengan realitas baru.

  penutup para Nabi dan rasul. Apa yang telah beliau lakukan tidak lain adalah dengan tujuan untuk memelihara kelangsungan misi kerasulan dan kenabian sampai hari kiamat.

  akh}îr), walaupun beliau merupakan

  Dengan demikian karakter lain dari Sunnah Nabi adalah selalu terbuka untuk dikembangkan, dilengkapi bahkan dimodifikasi. Oleh karena Nabi Saw telah berijtihad dalam menerapkan h}udûd yang terdapat di dalam al-Qur'ân atau berijtih}âd membuat aturan scmentara bagi masalah yang tidak ada h}udûd-nya dalam al-Qur'ân, maka apa yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh beliau di Jazirah Arab abad ke 7 M hanya merupakan alternatif pilihan pertama (al-ih}timâl al-awwal) dalam menegakkan ajaran Islam untuk pada bukan satu-satunya (al-wah}îd) pilihan dan tidak pula sebagai putusan terakhir (al-

  g. Sunnah Nabi merupakan ijtih}âd yang mempertimbangkan realitas obyektif dan kemudahan.

  f. Sunnah Nabi adalah metode dalam berijtihad, maka Sunnah Nabi bukan wahyu dari Tuhan, sebab sesuatu yang diwahyukan tentu tidak menjadi obyek ijtihad. Jika tidak menjadi lapangan ijtih}âd maka sesuatu tersebut tidak dapat digolongkan sebabai Sunnah.

  h}udûd-nya, beliau dapat membuat aturan h}udûd baru yang bersifat temporer.

  Sebagai upaya ijtihad untuk menerapkan aturan-aturan yang ada di dalam h}udûd, Sunnah Nabi memiliki ruang gerak yang bebas tetapi tetap dalam batasan h}udûd tertentu. Dalam berbagai kasus yang dihadapi, Nabi dapat secara langsung menerapkan aturan yang ada di dalam al-Qur'ân, baik berupa aturan hukuman maksimal atau minimal. Beliau juga bebas membuat aturan baru sepanjang masih berada di antara batasan maksimal dan minimal tersebut, bahkan dalam kasus-kasus yang tidak ada aturan

  bagi Syah{rûr adalah pengajuan bukti-bukti 26

  35

  material objektif agar sesuatu hukum dapat dikenakan pada suatu problem hukum yang sedang dihadapi oleh manusia. Definisi yang lebih praktis adalah pengajuan dalil-dalil dan bukti-bukti ilmiah oleh para ilmuwan ilmu-ilmu kealaman, sosial, statistik, dan ekonomi (bukan ilmuwan agama dan lembaga fatwa)

  29

  bagi suatu ijtihad (pada nash) agar terdapat kesesuaian antara suatu ijtihad itu dengan suatu kasus hukum.

30 Menurut Syah{rûr, qiyas hanya terjadi

  pada persoalan mengijinkan atau melarang sesuatu, bukan masuk pada tingkat menghalalkan atau mengharamkan sesuatu.

31 Untuk memperkuat definisinya,

  Syah{rûr berargumentasi bahwa ayat-ayat hukum mayoritas turun di Madinah. Padahal nabi di Madinah hanya selama 10 tahun. Masa 10 tahun tidaklah cukup untuk memberikan contoh segala kemungkinan penerapan semua ayat- ayat hukum pada realitas masyarakat. Sementara ayat-ayat itu turun untuk manusia seluruh dunia hingga hari kiamat tiba. Oleh karena itu, menurut Syah{rûr, qiyas model lama jelas tidak masuk aka1.

  merupakan definisi yang sulit direalisasikan di dunia modern. Definisi yang terlahir dari asumsi bahwa kesepakatan yang dimaksud adalah kesepakatan mujtahid yang diterima fatwanya - dalam hal ini para ulama agama

  36

  4. Konsepsi hukum Ijma’ Konsep ijma’ Syah{rûr juga harus dipahami berdasarkan paradigma struktur kemasukakalannya. Dewasa ini tuntutan atas redefinisi ijma' sebenarnya sudah datang dari berbagai kalangan. Definisi ijma' yang telah ada selama ini dimana ijma' adalah kesepakatan seluruh mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya nabi tentang suatu masalah

  Perpaduan antara kedua syâhid itu akan menghasilkan sebuah hukum, misalnya berdasarkan penelitian, maka si A sangat dilarang merokok, sementara si B dianjurkan untuk tidak merokok. Dengan demikian, bisa jadi, dua peristiwa kemanusiaan adalah serupa akan tetapi hukumnya tidaklah sama.

  • bukan kesepakatan sembarang orang itu,

  Syâhid kedua adalah manusia yang akan 29 Muh{ammad Syah{rûr, Nah}w Ushûl., hlm.193. 30 lbid., hlm.64, 193 31 dikenai hukum larangan merokok.

  hukum larangan merokok. Syâhid yang pertama adalah pengetahuan medis dan data statistik seputar bahaya merokok.

  validitas qiyas sebagai metode pengggalian hukum dan menganggapnya sebagai metode yang sudah usang.

  37 telah melahirkan sejumlah problema.

  Pertanyaan yang menggelitik yang di ajukan oleh Syah{rûr tentang ijma’ adalah bagaimana mungkin dalam kondisi yang serba plural sekarang, seluruh mujtahid di seluruh dunia dapat bersepakat bulat? Selain itu karena hingga saat ini yang disebut mujtahid adalah mereka yang menekuni ilmu agama saja,

  38

  mana mungkin sekarang sesuatu persoalan akan cukup dijawab oleh ulama agama saja? Bagaimana seseorang menguji sebuah ijma', dan ijma' siapakah yang berlaku? Apakah ijma' sebuah generasi mengikat generasi berikutnya? Apakah ijma' itu bersikap lokal atau nasional? Inilah persoalan metodologis yang telah lama 35 Muh{ammad Syah{rûr, al-Kitâb wa al-

  "Konsep qiyas yang dicetuskan dalam fikih tidak lagi bermakna."

  32

33 Syah{rûr mempertanyakan

34 Contoh dari qiyas model baru ini adalah

  menggelayuti konsep ijma', seperti telihat dalam berbagai karya tentang ijma'.

39 Dalam pandangan Syah{rûr, ijma'

  41 Ijma' juga

  Syah{rûr, maka tidak ada salahnya penulis memberikan pandangan berdasarkan perspektif sosiologi ilmu pengetahuan, tentang terobosan Syah{rûr ketika

  5. Konsepsi hukum H}udûd Sebelum masuk pada teori h}udud

  43

  ijma' universal seperti tersurat dalam definisi yang populer selama ini hanyalah teori yang tak pernah terwujud dalam realitas.

  42 Oleh karena itu, pada masa awal Islam,

  merupakan proses yang terus berlanjut dan kegiatan yang kontinyu, serta berubah bersamaan dengan berubahnya keadaan.

  Tampaknya, Syah{rûr ingin mengembalikan ijma' sesuai dengan perkembangannya di masa awal Islam, tepatnya setelah rasulullah wafat. Saat itu, ijma' merupakan suatu proses alamiah yang bersifat kedaerahan bagi penyelesaian persoalan melalui pembentukan pendapat mayoritas dalam umat.

  hanya terjadi dalam persoalan perintah

  Dalam pandangan Syah{rûr, ijma' menduduki peran yang sentral dalam pemikiran hukum. Semua produk hukum akan tidak berarti apa-apa bila ijma' tidak memutuskan bahwa hukum-hukum tersebut disepakati untuk diberlakukan oleh sebuah lembaga ijma' yang ada dalam suatu negara, yang tak lain adalah lembaga perwakilan rakyat. Syah{rûr juga beranggapan bahwa ijma' merupakan konsep vital dalam pemikiran usul fikih Syah{rûr. ia dapat mengalahkan bahkan dapat membekukan teori h}udûd maupun produk-produk hukum yang dihasilkan oleh legislatif.

  mereka. Syah{rûr berpendapat bahwa kondisi sekarang bisa saja mengambil pendapat mazhab-mazhab fikih yang telah ada, asalkan saja pendapat itu cocok dengan persoalan yang di hadapi masa kini. Sementara bila tidak cocok harus ditinggalkan.

  editor: Zuhîr Syâfiq (Beirut: Dâr alWuntakhab al- Arabî, 1993), 137-223; Ahmad Hasan, The Doctrine of Ijma' in Islam (Islamabad : Islamic Research

  jumhur fuqaha merupakan kesepakatan yang berkenaan dengan masalah yang mereka hadapi pada saat itu, bukan masalah yang sedang di hadapi sekarang. Dengan demikian, kita tidak memiliki hubungan apapun dengan kesepakatan 39 Misalnya, Abu Bakar al-Jashâsh, al-Ijma',

  (obsolete). Kesepakatan ulama salaf atau

  konsep ijma' klasik yang berupa kesepakatan ulama salaf atau jumhur fuqaha adalah konsep yang meragukan. Selain itu, konsep itu telah usang

  tidak terjadi pada persoalan yang diharamkan. Lebih jauh menurut Syah{rûr, ijma' merupakan kesepakatan orang- orang yang hidup di masa sekarang dalam majlis perwakilan dan parlemen, bukan ijma' orang-orang yang sudah meninggal, seperti ijma' para sahabat. Alasannya orang yang hidup lebih paham terhadap persoalan yang mereka hadapi dan bagaimana cara menyelesaikannya, dari pada para sahabat, tabi'in, atau para ulama yang telah meninggal. Dengan demikian, Syah{rûr tidak membutuhkan ijma' sahabat. Ijma' sahabat hanya berlaku untuk sahabat. Seandainya ijma' mereka ada yang cocok dengan problem yang di hadapi sekarang, bisa saja itu diambil, tapi bila tidak, tidak perlu dipaksakan. Kita harus berijma' sendiri dengan mengindahkan batasan-batasan dari Allah.

  (amr), larangan (an-nahy), perkenan (samâh), dan pencegahan (man'). Ijma'

40 Syah{rûr berpendapat bahwa

  melakukan redefinisi al-Qur’an, sunah, qiyas, ijma'. Terobosan-terobosan Syah{rûr itu dapat dijelaskan melalui dua prinsip dasar sosiologi ilmu pengetahuan.

  Pertama, cara berpikir (mode of thought) seseorang tak akan dapat

44 Ini penting

  sendiri secara sosial dan akan dibatasi oleh lokasi pemikirnya -, tetapi menolak prinsip ini sebagai sebuah argumen yang merelatifkan semua kebenaran. Sedangkan relativisme adalah pendekatan yang juga mengakui dependensi sosial pengetahuan, tetapi menggunakan prinsip ini sebagai sebuah argumen untuk merelatifkan semua

  Berangkat dari pandangan terhadap dua aspek pemahaman

  sekarang adalah sesuatu yang tak terhindarkan.

  nâsikh-mansûkh, Asbâb an-Nuzûl dan sadd al-darâi yang berangkat dari lokasi sosial

  warisan masa lalu, cenderung ideologis, dan bukan merupakan definisi yang berasal dari Allah. Oleh karena itu, definisi klasik itu sudah pasti terikat dengan lokasi sosial pada zamannya. Sekarang lokasi sosial sudah sama sekali berbeda. Segalanya sudah berubah drastis. Munculnya definisi baru tentang al-Qur’an, sunah, qiyas, ijma',

  mansûkh, Asbâb an-Nuzûl dan sadd al- darâi yang telah ada selama ini merupakan

  dapat dibenarkan dalam perspektif sosiologi ilmu pengetahuan. Definisi al- Qur’an, sunah, qiyas, ijma', nâsikh-

  mansûkh, Asbâb an-Nuzûl dan sadd al- darâi. adalah sesuatu yang niscaya dan

  Syah{rûr untuk menciptakan definisi baru al-Qur’an, sunah, qiyas, ijma', nâsikh-

  50 Oleh karena itu, keberanian

  sebagaimana entitas sosial, maknanya berubah sebagaimana entitas-entitas sosial tersebut mengalami perubahan yang signifikan.

  49 Kedua, ide-ide dan cara berpikir,

  konsepsi ini akan menjadi konsepsi yang dinamis dan terbuka atas sudut pandang lain terutama bila situasi sosial telah berubah.

  koreksi, dan ekspansi. Dengan demikian

  Artinya konsepsi ini terikat oleh lokasi sosial tertentu, dan oleh karena itu konsepsi ini akan selalu menuntut apa yang oleh Mannheim disebut komplementasi,

  Sigit Djatmiko (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002), hlm.43. 46 Franz Magnis-Suseno, "Demokrasi Tantangan Universal," dalam M. Natsir Tamara dan Elza Peldi Taher, Agama dan Dialog antar Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm.122. 47 Ibid., 124. 48 Dalam sosiologi ilmu pengetahuan,

  48 44 Gregory Baum, Agama dalam Bayang- bayang Relativisme., hlm.8. 45 Ibidid., hlm.12; Andre Kukla, Kontruktivisme Sosial dan Filsafat Ilmu, terj. Hari Kusharyanto (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm.15; Ziauddin Sardar, Thomas Kuhn dan Perang Ilmu, terj.

  sadd al-darâi, sudah barang tentu merupakan konsepsi yang relasional.

  Syah{rûr tentang al-Qur’an, sunah, qiyas, ijma', nâsikh-mansûkh, Asbâb an-Nuzûl dan

  satu-satunya bentuk pemerintahan yang dianggap paling sesuai dengan martabat kemanusiaan.

  hidup dalam dunia modern akhir abad ke- 20 dan awal abad ke-21 di mana masyarakat dunia sangat mendewakan kreativitas akal, kemajuan ilmu dan teknologi, dan mengklaim bahwa demokrasi adalah satu-satunya tatanan sah yang diakui secara universal.

  standortgebunden), tanpa terkait dengan situasi dan kondisi sosialnya.

  karena dalam perspektif sosiologi ilmu pengetahuan tak ada pengetahuan yang berdiri sendiri (Jerman:

  dipahami bila tanpa mengklarifikasi terlebih dahulu asal-usul sosial-nya, lokasi sosial-nya, atau yang dalam bahasa Jerman disebut Sitz im Leben.

45 Syah{rûr

46 Bahkan demokrasi dipandang sebagai

47 Oleh karena itu, konsepsi baru

  keislam-an yang dilupakan selama beberapa masa, yaitu: al-hanîf dan al-

  Sejalan dengan fitrah alam tersebut, dalam aspek hukum juga terjadi. Realitas masyarakat senantiasa bergerak secara harmonis dalam wilayah tradisi sosial kebiasaan atau adat. Oleh karena itu, al-shirât al-mustaqîm, adalah sebuah keniscayaan untuk mengontrol dan mengarahkan perubahan tersebut. Itulah kenapa dalam al-Qur’an tidak akan pernah ditemui ihdinâ ila al-hanafiyyah melainkan ihdinâ al-shirâth a1-mustaqîm, karena memang al-hanafiyyah adalah merupakan fitrah. Dengan demikian, al-

  batasnya, yang telah memperkuat tesisnya bahwa Islam itu senantiasa relevan pada setiap perkembangan tempat dan waktu (s}alih}ûn li kulli

  zamânin wa makânin). Menurutnya, kata al-hanîf berasal dari kata hanafa yang

  dalam bahasa Arab berarti bengkok, melengkung (hanafa); atau bisa pula dikatakan untuk orang yang berjalan di atas dua kakinya (ahnafa) dan atau berarti orang yang bengkok kakinya (hanufa).

  Adapun kata istiqâmah, berasal dari kata qaum yang

  ,

  memiliki dua arti: (1) berdiri tegak (al-intishab) dan atau kuat (al-‘azm). Berasal dari kata al-

  mashâb ini muncul kata al-mustaqîm dan al-istiqâmah, lawan dari melengkung (al- inhirâf ) : sedangkan dari a1-‘azm, muncul

  kata al-dîn al-qayyîm (agama yang kuat dalam kekuasaannya).

  Berangkat dari dua kata kunci di atas, Syah{rûr kemudian merumuskan teorinya yang banyak memancing kontroversi, yaitu teori batas (nazhariyyah al-h}udûd). Syah{rûr dalam merumuskan teorinya ini menggunakan analisis matematis (al-tahlîly al-riyâdhiy). la menggambarkan hubungan antara al-

  ruang gerak dinamika manusia dalam menentukan hukum.

  istiqâmah. Syah{rûr melalui analisis linguistik, menjelaskan tentang teori

  shirât al-mustaqîm menjadi batasan

  hanîf merupakan pembawaan yang

  bersifat fitriah. Manusia, sebagai bagian dari alam materi, juga memiliki sifat pembawaan fitriah ini.

51 Analisa-analisa linguistik terhadap

  Setelah menganalisa Q.S. al-‘An’âm (6) : 79, Syah{rûr memperolel, pemahaman bahwa al-hunafa adalah sifat alami dari seluruh alam. Langit, bumi, dan bahkan elektron yang terkecil sekalipun sebagai bagian dari kosmos, bergerak dalam garis lengkung. Tidak ada dan tata alam itu yang tidak bergerak melengkung. Sifat inilah yang menjadikan tata kosmos itu menjadi teratur dan dinamis. Al-dîn al- yang selaras dengan kondisi ini karena al-

  al-din al-qayyîm, al-mustaqîm, dan al- hanîf ; yang nampak sekilas bertentangan,

  term a1-hanafiyyah dan al-istiqâmah inilah yang akhirnya mengantarkan pada sebuah ayat dalam Q.S. al-‘An’âm (6) : 161, yang memaparkan tiga term pokok :

  hanafiyyah dan al-istiqâmah. bagaikan

  kurva dan gerak lurus yang bergerak pada sebuah matriks. Sumbu X menggambarkan zaman atau konteks waktu dan sejarah. Sumbu Y sebagai undang-undang yang ditetapkan Allah Swt. Kurva

  (al-hanafiyyah)

  menggambarkan dinamika, bergerak sejalan dengan sumbu X. Namun gerakan itu dibatasi dengan batasan hukum yang telah ditentukan Allah Swt (sumbu Y). Dengan demikian hubungan antara kurva dan garis lurus secara keseluruhan bersifat dialektik, yang tetap dan yang berubah senantiasa saling terkait.

  karena memadukan dua hal yang sifatnya kontradiktif. waktu. Syah{rûr kemudian mengenalkan

  1 Tentang perempuan- Q.S. an-Nisâ’ (4) : perempuan yang tidak 22-23

  apa yang disebutnya sebagai teori batas. Ia

  boleh dinikahi

  mengatakan bahwa Allah telah menetapkan

  2 Berbagai jenis makanan Q.S. al-Mâ’idah

  konsep-konsep hukum yang maksimum

  yang diharamkan (5) : 3 al-istiqâmah

  dan yang minimum,

  Q.S. al-An’âm (6) (straightness), dan manusia bergerak dari

  : 145-I56

  dua batasan tersebut, al-hanafiyyah

  3 Hutang piutang Q.S. al-Baqarah

  52 (curvature).

  (2) : 283-284

  Ada enam model yang dikemukan

  4 Tentang pakaian wanita Q.S. an-Nisâ’ (4) :

  Syah{rûr dalam menjelaskan persoalan teori

  31

  batasnya ini, perhatikan pada tabel dan

  53

  skema berikut ini :

  a. Posisi Batas Maksimal (h}âlatu al-h}âd

  al-a'lâ), ketentuan hukum yang hanya

  memiliki batas atas. Lihat Tabel dan Skema berikut ini:

  No Kasus hukum Surat

  1 Tindak pidana Q.S. al-Mâ’idah (5): pencurian

  38

2 Pembunuhan Q.S. al-‘Isrâ’ (17): 33

  c. Posisi Batas Maksimal dan Minimal

  Q.S. al-Baqarah (2) : 178 Bersamaan (h}âlah al-h}ad al-a’lâ wa al- Q.S. an-Nisâ’ (4): 92 adnâ ma’ân), ketentuan hukum yang

  memiliki batas atas dan batas bawah sekaligus. Lihat Tabel dann Skema berikut ini:

  No Kasus hukum Surat

  1 Persoalan hukum Q.S. an-Nisâ’ waris (4) : 11-14, 176

  b. Posisi Batas Minimal (h}âlah al-h}ad al-

  2 Persoalan Q.S. an-Nisâ’

  adnâ), ketentuan hukum yang hanya poligami (4) : 3

  memiliki batas bawah. Lihat Skema dan table berikut ini :

  No Kasus hukum Surat 52 Lihat Waell B, hallaq, A History of Islamic Legal Theories, (Inggris : Cambridge University Press, 1997). 53 M.Syahrur, “al-Kitâb wa al-Qur’ân :

  Qirâ’ah Mu’âs}irah” (Damaskus : Dâr al-Ahâlî. 1990, hlm. 465-467; Lihat . terj. Shahiron Syamsuddin, “Prinsip-prinsip Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer”. cet. ke-2,(Yogyakarta : eLSAQ, 2007). hlm. 312; lihat. Muhyar Fanani, “Pemikiran

  d. Posisi Batas Lurus (hâlah al-

  Muh{ammad Syah{rûr dalam Pengembangan Ilmu Us{ul koordinat, ini berarti tidak ada alternatif hukum lain tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih dari yang ditentukan. Lihat Skema dan table berikut ini :

  No Kasus hukum Surat 1 hukuman zina (seratus kali jilid)

  1 Riba Zakat Sadaqah Q.S. al-

  “yamh}aqu allâhu al- ribâ wa yurbi

  2 Kajian Ayat Surat Allah mengaitkan konsep riba

  Baqarah (2) : 280 Q.S. al-Rûm (30) : 39

  Baqarah (2) : 279 Q.S. an- Nisâ’ (4) : 161 Q.S. al-

  Baqarah (2) : 278 Q.S. Âli ‘Imrân (3) : 132 Q.S. al-

  Baqarah (2) : 276 Q.S. Âli ‘Imrân (3) : 131 Q.S. al-

  Baqarah (2) : 275 Q.S. Âli ‘Imrân (3) : 130 Q.S. al-

  No Kasus hukum Surat

  Q.S.an-Nûr (24) : 2 Q.S.an-Nûr (24) : 3-10

  memiliki batas atas positif dan tidak boleh dilampaui dan batas bawah negatif yang boleh dilampaui, ini berlaku pada hubungan kebendaan sesama manusia. Batas atas yang bernilai positif berupa riba sementara zakat dan sedekah sebagai batas bawahnya bernilai negatif boleh dilampaui seperti pada ayat. Lihat Skema dan table berikut ini :

  al-a’lâ mûjaban wa al-h}ad al-adnâ sâliban), ketentuan hukum yang

  f. Posisi Batas Maksimal Positif dan Batas Minimal Negatif (h}âlah al-h}ad

  1 Mendekati zina Q.S. al-Isrâ’ (17) : 32

  No Kasus hukum Surat

  ketentuan hukum yang memiliki batas atas dengan satu titik yang cenderung mendekati garis garis tapi tidak ada persentuhan ni berlaku pada hubangan pergaulan laki-laki dan perempuan yang dimulai dari saling tidak menyentuh sama sekali antara keduanya hingga hubungan yang hampir (mendekati zina). Lihat Skema dan table berikut ini :

  al-h}ad al-a'lâ likhat} al-maqârib dûnal mamas bi al-h}ad al-andâ Abadan),

  e. Posisi Batas Maksimal Cenderung Mendekat tanpa Persentuhan (h}âlah

  Q.S. al- Baqarah (2) : 276 mengaitkan konsep riba dengan zakat min ribâ…wa mâ ataytum min zakâtin”

  (30) : 39 Allah menetapkan batas maksimal bunga riba

  Andre Kukla, Kontruktivisme Sosial dan

  Agama dan Dialog antar Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1996).

Dokumen yang terkait

A. PENDAHULUAN - IMPLEMENTASI NIAT (INTENTION) DALAM KEHIDUPAN KERJA

0 0 8

A. PENDAHULUAN - MODEL HOWARD & SHETH SEBAGAI ALTERNATIF MEMAHAMI PERILAKU KONSUMEN DALAM MANAJEMEN PEMASARAN

0 0 13

PEMULIHAN JASA DALAM UPAYA MEWUJUDKAN KEPUASAN DAN LOYALITAS PELANGGAN Oleh : Darsono darsono93rocketmail.com Abstrak - PEMULIHAN JASA DALAM UPAYA MEWUJUDKAN KEPUASAN DAN LOYALITAS PELANGGAN

0 10 12

PEMBIAYAAN MUSYARAKAH DARI SISI PENAWARAN PADA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA Nunung Ghoniyah Nurul Wakhidah Nunungghoniyahyahoo.com Fakultas Ekonomi Universitas Islam Sultan Agung Semarang Abstrak - PEMBIAYAAN MUSYARAKAH DARI SISI PENAWARAN PADA PERBANKA

0 0 20

A. PENDAHULUAN - IMPLEMENTASI NIAT (INTENTION) DALAM KEHIDUPAN KERJA

0 0 8

A. Pendahuluan. - Evaluasi Program perubahan bentuk Kelembagaan Unit Pelaksana Tehnis Daerah (UPTD) menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) ditinjau dari Kinerja Balance Scorecard pada Tempat Pelelangan Ikan Dinas Peternakan Perikanan & Kelautan kota Pek

0 1 12

PENGARUH KUALITAS KEHIDUPAN KERJA DAN KOMITMEN ORGANISASIONAL TERHADAP KINERJA TENAGA PENDIDIK DENGAN KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL SEBAGAI VARIABEL MODERASI Oleh Yudiar Alwan Munandar Wachid Fuady R ABSTRAK - PERAN AUDITOR INTERNAL TERHADAP KEBERHASILAN

0 1 15

STUDI TURNOVER AUDITOR KANTOR AKUNTAN PUBLIK DI INDONESIA BERDASARKAN JENIS KELAMIN, TINGKAT PENDIDIKAN, JABATAN DAN KOTA Heru Sulistiyo Abstrak - PENGARUH CASH TURN OVER, RECEIVABLE TURN OVER DAN INVENTORY TURN OVER TERHADAP RETURN ON ASSET (ROA) PADA PE

0 0 10

A. Pendahuluan - PENGARUH DISIPLIN KERJA DAN KOMITMEN ORGANISASI TERHADAP KINERJA PENGASUH DENGAN KARAKTERISTIK PEKERJAAN SEBAGAI VARIABEL MODERASI PADA AKADEMI KEPOLISIAN SEMARANG

0 0 12

KEMAMPUAN Aspergillus wentii DALAM MENGHASILKAN ASAM SITRAT Ririn Puspadewi, Rina Anugrah, Della Sabila Fakultas Farmasi Universitas Jenderal Achmad Yani Cimahi Corresponding author e-mail: ririn.puspadewilecture.unjani.ac.id ABSTRAK - KEMAMPUAN Aspergill

0 0 6