POLA MAKAN, STATUS KESEIMBANGAN ASAM BASA DAN SINDROM METABOLIK
POLA MAKAN, STATUS KESEIMBANGAN ASAM BASA
DAN SINDROM METABOLIK
Erina Masri, Friesti Utami
STIKes Perintis Padang
Email :
ABSTRAK
Sindrom Metabolik merupakan kumpulan fakor resiko penyakit kardiovaskular.Prevalensi sindrom terus meningkat hingga 20%-25% setiap tahun. Sindrom ini merupakan salah satu penyakit degeneratif yang prevalensinya terus meningkat secara global. Studi terdahulu menunjukkan bahwa sindrom metabolik dan keseimbangan asam basa tubuh berhubungan dengan asupan makanan yang bersifat asam-basa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh asupan makanan asam-basa dengan status keseimbangan asam basa tubuh dan sindrom metabolik. Penelitian dilakukan pada 52 orang yang berprofesi sebagai guru yang dipilih secara acak dan menggunakan uji statistik Mann-Whitney Test. Hasil penelitian menunjukkan semua responden yang mengkonsumsi makanan asam memiliki status asam. 25% responden yang menderita sindrom metabolik memiliki status asam. Tidak ada pengaruh konsumsi jenis makanan pembentuk asam dan basa terhadap sindrom metabolik (p=0,58).
Kata Kunci : Asupan makanan asam-basa, status keseimbangan asam-basa, Sindrom Metabolik
ABSTRACT
Metabolic syndrome is collection of risk factors for cardiovascular disease. The
prevalence of the metabolic syndrome is increasing every year. Epidemiological data showed
the prevalence of metabolic syndrome in the world was 20–25%.Recent studies suggest that
acid-base status is associated with dietary intake. Aim of research was to explain the influence
of acid-alcaline food intake to acid base status and metabolic syndrome. Subjects of this cross-
sectional study consist of 52 tecahers that were collected randomly and used Mann-Whitney
test. The research showed acid food intake causing acid status. 25% syndrom metabolic
respondents had acid status. There is no effect of acid and alcaline food intake to the metabolic
syndrome (p=0,58).Keywords : acid-alcaline food intake, acid-alcaline balance status, syndrome metabolic PENDAHULUAN
Meningkatnya angka kejadian sindrom metabolik terjadi akibat peningkatan kasus Sindrom metabolik adalah suatu obesitas (Sargowo dan Andarini, 2011). penyakit jantung dan diabetes mellitus tipe prevalensi sindroma metabolik dunia adalah
2. Ada 2 penyebab utama sindrom 20-25%. Menurut Cammeron, hasil metabolik yang saling berinteraksi, yaitu penelitian di Perancis menemukan obesitas dan kerentanan metabolisme prevalensi sindroma metabolik sebesar 23% endogenus. Sindrom metabolik diprediksi pada pria dan 21% pada wanita (Jafar, menyebabkan kenaikan 2 kali lipat resiko 2011). Berdasarkan data Riskesdas 2013, terjadinya penyakit jantung dan 5 kali lipat prevalensi dari komponen sindrom pada penyakit diabetes mellitus tipe 2. metabolik terdiri dari diabetes mellitus
2,1%, obesitas sentral 26,6%, hipertensi 9,5%, stroke 12,1% dan penyakit jantung 1,5%. Prevalensi komponen sindrom metabolik di Provinsi Sumatera Barat dari tahun 2007 sampai tahun 2013 diantaranya prevalensi diebetes melitus dari 1,2% menjadi 1,8%, penyakit jantung dari 11,3% menjadi 1,2%, hipertensi dari 8,4% menjadi 7,9%, dan stroke 10,6% menjadi 12,2% obesitas sentral dari 18,2% menjadi 20 % (Riskesdas, 2007 dan Riskesdas, 2013).
METODE PENELITIAN
Faktor gaya hidup, aktivitas fisik dan asupan terutama makanan, dianggap faktor utama yang berkontribusi terhadap kejadian sindrom metabolik (Zhu, et al. 2004, Esmaillzadeh, et al. 2007 dalam Bahadoran, et al. 2015 ). Asidosis metabolik ringan, disebabkan oleh pola makan yang buruk dan gangguan keseimbangan kalsium dan sitrat, dan kortisol yang disebabkan asidosis telah diidentifikasi sebagai faktor risiko untuk pengembangan obesitas, gangguan lipid (Reddy, et al. 2002 dalam Bahadoran, 2015 ), diabetes dan hipertensi (Adeva dan Souto, 2011).
Penelitian sebelumnya menunjukkan hampir satu abad yang lalu bahwa daging, susu, telur dan biji-bijian dapat meningkatkan keasaman urin pada manusia, sementara buah-buahan dan sayuran makanan dapat memiliki pengaruh basa pada urin (Sherman and Gettler, 1912).
Pravelensi dari komponen sindrom metabolik di Kabupaten Agam tahun 2015 menunjukkan bahwa data diabetes mellitus 2,6%, hipertensi 15%, dan penyakit jantung 0,9% (Dinas Kesehatan Kabupaten Agam, 2015). Hasil observasi dari beberapa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Kecamatan Tanjung Mutiara didapat dua sekolah yang gurunya terbanyak mengalami obesitas, diantaranya MTsN Mutiara sebesar 34%. Selain tingginya kejadian obesitas, pekerjaan sebagai pegawai juga memiliki resiko stres kerja. Stres kerja merupakan faktor resiko sindrom metabolik (Chandola, et al. 2006
dalam Sutadarma, dkk. 2011 ).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh asupan makanan asam-basa terhadap status keseimbangan asam basa tubuh dan sindrom metabolik.
Penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat analitik (analytical) dengan desain Cross Sectional Study. Penelitian ini dilakukan pada 52 orang guru di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Kecamatan Tanjung Mutiara Kabupaten Agam yang terindikasi beresiko menderita sindrom metabolik. Teknik sampling secara Proportional Random Sampling. Kriteria sindrom metabolik ditetapkan berdasarkan obesitas sentral, hipertensi dan kadar glukosa darah. Kategori obesitas sentral ditentukan dengan mengukur lingkar perut, pengukuran tekanan darah menggunakan sphymomanometer, kadar glukosa darah diukur dengan Gluko Test. Kadar keseimbangan asam basa tubuh diukur dengan menggunakan urin dan kertas lakmus. Asupan makanan asam-basa diukur dengan wawancara food recall. Analisa univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi sehingga menghasilkan distribusi dan presentase setiap variabel penelitian dan analisa bivariat menggunakan uji Mann-
Whitney Test.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kejadian Sindrom Metabolik
Pada penelitian ini didapatkan responden yang menderita sindrom metabolik sebanyak 25%. Hasil penelitian ini setara dengan data epidemiologi yang menyebutkan prevalensi sindroma metabolik dunia adalah 20-25%. metabolik pada orang dewasa diperkirakan sekitar 20% sampai 25% (Vidigal, et al. 2013 dalam Bahadoran, et al. 2015).
Pada penelitian didapat bahwa distribusi frekuensi kejadian sindrom metabolik pada laki–laki 50% (lebih tinggi) dari pada perempuan hanya 21%. Prevalensi sindrom metabolik pada penelitian ini didukung oleh penelitian lain di negara Asia. Daerah urban Korea, prevalensi sindrom metabolik pada penduduk dewasa berusia 30-80 tahun yaitu laki-laki 16,0% (lebih tinggi) daripada wanita hanya 10,7%.
Pada penelitian ini, untuk mengetahui kejadian sindrom metabolik pada responden maka peneniti melihat dari hasil pengukuran lingkar pinggang/obesitas sentral, tekanan darah dan gula darah puasa dimana ketiga kriteria tersebut ada pada waktu yang bersamaan. Seperti pernyataan WHO menyebutnya dengan nama sindrom metabolik jika ditandai paling sedikit tiga diantara lima kriteria dalam NCEP-ATP III (the
National Cholesterol Education Program - Adult Tretment Panel III
) (Kurnia, 2008 dalam Bodhy, 2011). Pada penelitian ini didapatkan lebih dari separuh responden mengalami lingkar perut yang tidak normal/ obesitas sentral sebanyak 52%. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Widiantini (2013) yang menyatakan bahwa kejadian obesitas sentral pada perempuan 51,4% (lebih tinggi) dibandingkan laki – laki hanya 45,5%.
Pada penelitian ini didapatkan responden dengan tekanan darah tinggi/ hipertensi sebanyak 28%. Berdasarkan data riskesdas (2013) bahwa prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 9,5% berarti angka kejadian hipertensi pada penelitian ini lebih besar daripada data riskesdas 2013. Pada penelitian ini juga didapat bahwa distribusi hipertensi pada laki-laki sebesar 50% (lebih tinggi) dibandingkan perempuan hanya 26%.
Pada penelitian ini didapatkan responden dengan gula darah puasa tinggi sebanyak 27%. Berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat bahwa distribusi frekuensi gula darah puasa responden laki - laki distribusi frekuensi gula darah puasa perempuan hanya 23%. Separuh responden laki-laki mengalami gula darah puasa tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian Kamso, dkk (2011) diketahui variabel lingkar perut berhubungan bermakna secara statistik dengan tekanan darah, serta kadar kolesterol HDL. Hasil ini memperkuat teori bahwa dengan bertambahnya lingkar perut, otomatis terjadi peningkatan jaringan lemak tubuh. Adiposit jaringan lemak ini adalah adiposit berukuran besar, kurang peka terhadap kerja antilipolisis sehingga lebih mudah dilipolisis yang menyebabkan peningkatan kadar asam lemak bebas.
Produk-produk dari sel lemak dan peningkatan asam lemak bebas dalam plasma bertanggung jawab terhadap berbagai penyakit metabolik, seperti diabetes, penyakit jantung, hiperlipidemia, dislipidemia (salah satunya ditandai dengan penurunan kolesterol HDL), gout, dan hipertensi (Kamso, dkk. 2011).
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa hanya sebagian kecil responden yang mengalami sindrom metabolik. Ini dilihat dari hasil kriteria sindrom metabolik.
2. Keseimbangan Asam Basa Tubuh
Penelitian ini menunjukkan bahwa keseluruhan (100%) responden mengalami keadaan tubuh asam. Ketidakseimbangan asam basa terjadi jika gangguan primernya adalah kadar bikarbonat, sehingga peningkatan kadar bikarbonat akan meningkatkan pH, yang disebut sebagai
alkalosis metabolik
. Penurunan kadar bikarbonat menyebabkan penurunan pH, disebut sebagai asidosis metabolik (Price, 2005).
Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Sherman and Gettler, (1912) menunjukkan hampir satu abad yang lalu bahwa daging, susu, telur dan biji- bijian dapat meningkatkan keasaman urin pada manusia, sementara buah-buahan dan sayuran makanan dapat memiliki pengaruh basa pada urin.
Keseimbangan asam basa tubuh kertas lakmus melalui urin. pH urin merupakan indikator prediksi cadangan mineral tubuh, serta status asam / basa (Whiting and Bell, 2002 dalam Jaffe, 2013). Kertas lamus merupakan senyawa kimia yang dikeringkan pada kertas. Ada 2 warna kertas pada kertas lakmus yaitu warna merah dan biru. Larutan yang bersifat asam dapat memerahkan kertas lakmus biru dan basa dapat membirukan kertas lakmus merah (Arisworo, dkk. 2006).
Penelitian yang dilakukan pada guru Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Kecamatan Tanjung Mutiara Kabupaten Agam didapatkan bahwa semua urin responden asam. Hal ini dapat dilihat dari perubahan yang dapat memerahkan kertas lakmus biru.
dalam
. Makanan pembentuk basa terdiri dari semua buah kecuali durian, semua sayuran (kecuali tomat, wortel dan bayam), yogurt,
magnesium (Mg), zat besi (Fe) dan kalsium (Ca)
Semua jenis buah (kecuali durian) dan sayur mayur (termasuk selada, umbi – umbian dan sayur rambat adalah makanan pembentuk basa kecuali tomat yang keasaman tubuh atau membentuk efek basa mengandung lebih banyak mineral logam, seperti : kalium (K), natrium (Na),
2 x 24 jam responden yang telah dimodifikasi oleh peneliti, dimana jumlah jenis makananan pembentuk basa yang dikonsumsi oleh responden dibagi dengan keseluruhan dari jumlah jenis makanan pembentuk basa. Komposisi pola makan baik basa dan <30% makanan pembentuk asam.
Food Recall
Penelitian yang dilakukan pada guru Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Kecamatan Tanjung Mutiara Kabupaten Agam didapat presentase jenis makanan pembentuk basa. Hal ini didapat dari hasil
Pada penelitian ini didapatkan bahwa jenis makanan pembentuk basa yang sering dikonsumsi oleh responden yaitu bawang merah (100%), garam (100%), bawang putih (73%), jahe (71%), dan jeruk nipis (67%). Semua responden mengkonsumsi bawang merah dan garam. Lebih separuh responden mengkonsumsi bawang putih, jahe dan jeruk nipis. Jenis makanan pembentuk basa yang sedikit dikonsumsi responden yaitu seledri (40%), terong (36%), daun singkong (32%), jeruk (34%), papaya (30%) dan pisang (44%).
Bahadoran (2015) bahwa makanan pembentuk asam adalah faktor diet yang baru-baru ini dianggap sebagai faktor risiko untuk gangguan metabolisme untuk pengembangan obesitas, gangguan lipid, diabetes dan hipertensi.
Menurut Murakami, et al. (2008)
3. Pola Makan
Pada penelitian ini didapatkan seluruh responden (100%) memiliki pola makan yang tidak baik karena responden mengkonsumsi makanan pembentuk asam >30% dan basa makanan yang dikonsumsi. susu mentah millet, dan kecambah (Gunawan, 2001).
Pada penelitian ini didapatkan bahwa jenis makanan pembentuk asam yang sering dikonsumsi responden yaitu beras (100%), MSG (92%), ikan (86%), kecap (78%) dan tahu (53%). Semua responden mengkonsumsi beras dan lebih separuh responden mengkonsumsi MSG, ikan kecap dan tahu. Jenis makanan pembentuk asam yang sedikit dikonsumsi responden yaitu ayam (44%) dan gula (40%).
2 x 24 jam responden yang jumlah jenis makananan pembentuk asam yang dikonsumsi oleh responden dibagi dengan keseluruhan dari jumlah jenis makanan pembentuk asam.
Food Recall
Penelitian yang dilakukan pada guru Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Kecamatan Tanjung Mutiara Kabupaten Agam didapat presentase jenis makanan pembentuk asam. Hal ini didapat dari hasil
Makanan pembentuk asam umumnya mengandung sejumlah besar protein dan sedikit air, hampir semua makanan protein (kecuali telur puyuh) dan biji – bijian (beras, jagung, gandum dan sebagainya) termasuk produk olahannya, memberi reaksi kimiawi asam pada tubuh kecuali susu mentah, yogurt, dan kacang almond (Gunawan, 2001 dan Jaffe, 2013).
konsumsi makanan/jenis makanan pembentuk asam >30% dan makanan pembentuk basa makanan.
Recall 2 x 24 jam responden dimana
Penelitian yang dilakukan pada guru Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Kecamatan Tanjung Mutiara Kabupaten Agam didapatkan pola makan yang tidak baik. Hal ini didapatkan dari hasil Food
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan didapat pola makan yang tidak baik pada responden, karena responden banyak mengkonsumsi makanan pembentuk asam daripada makanan pembentuk basa.
3
2. Pengaruh Konsumsi Jenis Makanan Asam Basa Terhadap Kejadian Sindrom Metabolik
Makanan Pembentuk Asam Basa
Jenis Maka nan Kejadian SM Total P-Value SM Tidak SM n x n x n x 0,58 Asam
1
3 24,
5
9 27, 1 52 51,
Keasaman urin (pH) dapat diketahui dengan kertas lakmus. Ada 2 warna kertas pada kertas lakmus yaitu warna merah dan biru. Larutan yang bersifat asam dapat memerahkan kertas lakmus biru dan basa dapat membirukan kertas lakmus merah (Arisworo, dkk. 2006).
6 Basa
1
3 25,
9
3
9 26, 6 52 52,
5
Menurut hasil yang didapat oleh peneliti bahwa responden dengan pola makan yang tidak baik akan memiliki keasaman pada tubuh yang dilihat dari perubahan warna pada kertas lakmus responden. Jenis makanan pembentuk asam yang sering dikonsumsi responden yaitu beras, MSG, ikan, kecap, tahu, ayam dan gula.
(Price, 2005). Hal ini didukung oleh pernyataan dalam penelitian Whiting and Bell (2002) dalam Jaffe (2013) bahwa pH urin bisa memprediksi resiko metabolik asidosis. pH urin juga merupakan indikator prediksi cadangan mineral tubuh, serta status asam / basa tubuh.
Analisa bivariat dalam penelitian ini tidak memenuhi untuk uji Chi-Square, dimana hasil data yang didapat data berdistribusi normal, dan terdapat sel yang kosong/tabel yang didapat kurang dari 2x2, serta tidak cocok dengan uji yang lain seperti dengan uji korelasi dan regresi yang hanya bisa digunakan untuk variabel numerik dengan numerik. Begitupun uji Anova yang merupakan uji yang dapat digunakan untuk variabel kategorik dan numerik, Kecuali untuk mencari pengaruh konsumsi jenis makanan pembentuk asam basa terhadap sindrom metabolik bisa dilakukan dengan uji Mann-Whitney Test.
metabolik
Ketidakseimbangan asam basa terjadi jika gangguan primernya adalah kadar bikarbonat, sehingga peningkatan kadar bikarbonat akan meningkatkan pH, yang disebut sebagai alkalosis metabolik. Penurunan kadar bikarbonat menyebabkan penurunan pH, disebut sebagai asidosis
kalium, magnesium, dan kalsium.
Faktor makanan yang berkontribusi terhadap beban asam adalah sulfat (dari metabolisme protein) dan fosfor, sedangkan faktor makanan yang berkontribusi terhadap beban basa adalah asupan bikarbonat, berkaitan dengan kation mineral
1. Hubungan Pola Makan dengan Keseimbangan Asam Basa Tubuh
2 100
5
2
Berdasarkan hasil penelitian keseluruhan responden (100%) dengan pola makan yang tidak baik memiliki suasana asam pada tubuh responden. Menurut penelitian Remer (1995) dalam Engberink et al. (2012) bahwa pola makan dapat mempengaruhi keseimbangan asam– basa tubuh yaitu melalui penyediaan prekursor asam (asam non karbonat seperti asam sulfat) atau prekursor basa (garam alkali dari asam organik, seperti sitrat dan bikarbonat) (Remer, 1995 dalam Engberink et al. 2012). Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian Remer (1994) menyatakan bahwa faktor makanan juga berkontribusi terhadap beban asam dan basa dalam tubuh.
2 100 Baik Total
5
2 100
5
Pola Maka n Keseimbangan Asam-Basa Total Asam Basa n % n % n % Tidak Baik
Keseimbangan Asam Basa Tubuh
Tabel I. Hubungan Pola Makan dengan
5 Pada penelitian ini didapat bahwa responden yang memiliki perbedaan rata– rata konsumsi jenis makanan basa yang sindrom metabolik adalah 25,9 (lebih besar) daripada rata-rata konsumsi jenis makanan asam yang sindrom metabolik yaitu 24,5. Hasil uji bivariat (uji Mann-Whitney Test) diperoleh nilai p=0,58 (p>0,05) berarti tidak ada pengaruh konsumsi makanan pembentuk asam basa terhadap sindrom metabolik.
Menurut Effendi YH, (2013) Suatu penyakit pada dasarnya terjadi karena adanya gangguan pada fungsi-fungsi normal tubuh dengan atau tanpa perubahan struktur yang dapat dideteksi, seperti halnya obesitas yang merupakan komponen utama dari sindrom metabolik. Obesitas mempunyai peran yang berhubungan dengan gangguan pengaturan pada metabolisme sel yang menyebabkan resistensi insulin pada diabetes mellitus tipe
75 52 100 Basa Total
Bahadoran, et al. (2015) dan penelitian Adeva (2011) bahwa Asidosis metabolik ringan, disebabkan oleh pola makan yang buruk dan gangguan keseimbangan kalsium dan sitrat, dan kortisol yang disebabkan asidosis telah diidentifikasi sebagai faktor risiko untuk pengembangan obesitas, gangguan lipid, diabetes, hipertensi sistemik dan sindrom metabolik.
dalam
Menurut penelitian Reddy, et al.
Pada penelitian ini didapatkan responden yang memiliki keasaman tubuh sebagian besar (75%) tidak menderita sindrom metabolik. Artinya tidak semua yang memiliki keasaman tubuh menderita sindrom metabolik.
75 52 100
39
25
13
39
2. Kelebihan produksi sitokin dari jaringan adipose berkontribusi pada gangguan fungsi pembuluh darah pada hipertensi dan dislipidemia.
25
13
Keseimbang an Asam- Basa Kejadian SM Total SM Tidak SM n % n % N % Asam
Basa Tubuh dengan Kejadian Sindrom Metabolik
3. Hubungan Keseimbangan Asam Basa dengan Sindrom Metabolik Tabel III. Hubungan Keseimbangan Asam
Menurut hasil yang didapat oleh peneliti terdapat tidak ada pengaruh konsumsi jenis makanan pembentuk asam basa terhadap sindrom metabolik.
Fungsi tubuh diatur dalam dua system pengaturan utama, yaitu system saraf dan system hormonal atau system endokrin. Pada umumnya system hormonal mengatur kecepatan reaksi kimia didalam sel atau transport zat-zat melalui membran- membran sel atau aspek-aspek metabolism lainnya, terutama berhubungan dengan pengaturan fungsi metabolisme tubuh (Effendi YH, 2013). Pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa suatu penyakit termasuk sindrom metabolik tidak ada hubungannya dengan mengkonsumsi jenis makanan pembentuk asam basa.
Asupan zat gizi berlebih yang terjadi terus menerus akan menyebabkan Asam lemak dalam bentuk bebas dapat bersikulasi bebas dalam pembuluh darah dan menimbulkan stres oksidatif diseluruh tubuh. Faktor yang berhubungan dengan peningkatan resiko penyakit adalah kelebihan lemak viseral. Akumulasi lemak ditentukan oleh keseimbangan antara sintesis lemak dan pemecahan lemak bisa juga dari faktor gender (Effendi YH, 2013).
Bahan makanan (karbohidrat, lemak, protein) akan diuraikan melalui asetil-koA untuk menghasilkan molekul berenergi tinggi nikotinamid adenosin dinukleotida-H (NADH) dan suksinat. Keduanya akan mengalami serangkaian reaksi oksidasi dan melepaskan energy yang akan dimanfaatkan oleh ATP sintase untuk membentuk 1 molekul adenosine trifosfat (ATP) dari 1 molekul adenosine difosfat (ADP), dan fosfat inorganik. oksidasi tiap molekul NADH akan menghasilkan 3 molekul ATP, sedangkan oksidasi tiap molekul suksinat hanya menghasilkan 2 molekul ATP (Effendi YH, 2013).
Pada penelitian lain juga disebutkan bahwa Mekanisme lain yang mungkin terjadi meliputi peningkatan produksi kortisol (Maurer, et al. 2003), peningkatan ekskresi kalsium (Cappuccio, et al. 2000 dalam Engberink, et al. 2012), dan mengurangi ekskresi sitrat (Taylor, et al. 2006 dalam Engberink, et al. 2012) yang dikaitkan dengan tekanan darah tinggi, dan arah asosiasi mungkin tergantung pada jumlah dan jenis protein yang dikonsumsi (Altorf, et al. 2010 dalam Engberink, et al. 2012).
DAFTAR PUSTAKA
Balitbangkes RI. 2013, Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013, http/ poranNasional. pdf diakses tanggal 5 september 2015
. Am J Clin Nutr. 95:1438-44
and risk of hypertension: the Rotterdam Study
Engberink, et al. 2012. Dietary acid load
. Bogor : PT. Penerbit IPB Press
Gizi
Penerbit IPB Press Effendi, H.Y. dkk . 2013. Patofisiologi
Resistensi Insulin Sindrom Metabolik Prediabetes
Effendi, H.Y. dkk . 2013. Nutrigenmik
Dinas Kesehatan Kab. Agam. 2015. Profil Kesehatan Kabupaten Agam
. Laporan Penelitian. Universitas SAM Ratulanggi
Pada Sindrom Metabolik Pada Remaja di Kota Tomohon
Bodhy, W. dkk. 2011. Prevalensi Remaja
Hal ini juga didukung oleh penelitian lain mengenai hubungan antara beban asam makanan dan insiden hipertensi dalam penelitian Engberink, et al. (2012) bagaimanapun faktor makanan berkaitan dengan beban asam makanan (misalnya, magnesium, kalsium, protein, dan kalium), yang menunjukkan sebuah asosiasi independen diet beban asam dengan risiko hipertensi. Dimana tekanan darah tinggi juga merupakan salah satu komponen dari sindrom metabolik.
Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak semua keadaan tubuh asam mengalami sindrom metabolik, keadaan tubuh yang asam juga tidak mengalami sindrom metabolik karena sindrom metabolik tidak hanya disebabkan oleh makanan. Hal ini didukung oleh penelitian Zhu, et al. (2004) dalam Bahadoran, et al. (2015) bahwa faktor yang berkontribusi terhadap sindrom metabolik terdiri dari faktor gaya hidup, aktifitas fisik dan juga termasuk asupan makanan.
. Article Endocrinologi and Metabolism. 30:201-207
between Dietary Acid-Base Load and Cardiometabolic Risk Factors in Adults: The Tehran Lipid and Glucose Study
Jakarta: Grafindo (Media Pratama) Bahadoran, et al. 2015. Associations
Arisworo, dkk. 2006. Ilmu Pengetahuan Alam (Fisika Biologi Kimia).
Article Clinical Nutrition. xxx:1-6
Adeva and Souto, 2011. Review Diet- induced metabolic acidosis.
6. Diketahui bahwa responden yang memiliki keasaman tubuh sebagian besar (75%) tidak menderita sindrom metabolik. Tidak semua yang memiliki keasaman tubuh menderita sindrom metabolik.
5. Diketahui tidak ada pengaruh konsumsi jenis makanan pembentuk asam basa terhadap kejadian sindrom metabolik.
4. Diketahui bahwa semua responden dengan pola makan yang tidak baik memiliki suasana asam pada tubuh.
3. Seluruh responden (100%) memiliki pola makan yang tidak baik
1. Kejadian sindrom metabolik pada responden sebanyak 25%. Berdasarkan jenis kelamin kejadian sindrom metabolik pada laki – laki 50% (lebih tinggi) dari pada perempuan hanya 21%. keasaman tubuh
KESIMPULAN
Balitbangkes RI. 2008, Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007, http/ poranNasional. pdf diakses tanggal 5 september 2015
Metabolik Pada Laki – Laki Gunawan A. 2011. Food Combining. Dewasa.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Jurnal Gizi Indonesia. Utama 34:7-13
Jafar N. 2011. Sindroma Metabolik di Widiantini, 2013. Aktifitas Fisik, Stres, dan
Indonesia: Potret Gaya Hidup
Obesitas pada Pegawai Negeri Masyarakat Perkotaan. Sipil. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Yogyakarta: Penerbit Ombak Nasional. 8 : 330-336 Jaffe R. 2013. The Alkaline Way in
Digestive Health. In : Watson RR and Preedy VR (eds.) Bioactive Food as Dietary Interventions for Liver and Gastrointestinal Disease, pp.
1-21. San Diego:Academic Press
Maurer, et al. 2003. Neutralization of
Western diet inhibits bone resorption independently of K intake and reduces cortisol secretion in humans
. Am J Physiol Renal Physiol. 284:F32-F40
Patofisiologi Price, Anderson. 2005. Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit
. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta
Remer T, Manz F. 1994. Estimation of the
renal net acid excretion by adults consuming diets containing variable amounts of protein
. Am J Clin Nutr. 59:1356-61
Sargowo dan Andarini, 2011. Pengaruh
Komposisi Asupan Makanan terhadap Sindrom Metabolik pada Remaja.
Jurnal Kardiologi Indonesia. 32:14-23
Sherman and Gettler, 1912. The Balance of
Acid Forming and Base-Forming Elements in Food, and its Relation to Ammonia Metabolism
. J Biol Chem. 11:323-338
Sutadarma, dkk. 2011. Hubungan Stres
Kerja Status Gizi dan Sindrom