SEJARAH KAMPAR DITINJAU DARI ASPEK ADMINISTRASI

-t

DAFTAR ISI
Halaman

PERANAN MEDIA MASSA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER DAN
PEKERTI BANGSA
Ibnu Hamad

I

PENANGGANAN BENCANA BERBASIS KOMUNITAS (Studi Kasus Bencana
Gempa Bumi di Kampung Basen Kelurahan Pubayan
Kecamatan Kotagede-D.I. Yogyakarta)
R. A. Anggraieni ..............

20

PENGARUH BAURAN PEMASARAN JASA TERHADAP LOYALITAS
PENUMPANG KOPSI PEKANBARU
M.


Nur

4j

KASUS PERKAWINAN SEMARGA PADA ETNIS SIPIROK DI
KABUPATEN TAPANULI SELATAN
Syarifuddin

Ritonga

65

GERAKAN KIRI DI INDONESIA ERA KOLONIAL
Ahmad

Suhelni

76


PENYALAHGUNAAN PENGAMBILAN CUTI SAKIT DI KALANGAN
PEKERJA
Muhamad Ali

Embi

96

PERANAN PERBAIKAN LAYANAN (Service Recovery) DALAM
MENINGKATKAN LOYALITAS PELANGGAN
Febrina Rosinta

107

PENULARAN MODAL SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN DIVERSIFIKASI
USAHA SULAMAN BORDIR UNIQUE MOTIF DESIGN PADA KOMUNITAS
PETANI DI PEDESAAN TEPIAN HUTAN
Imam Santoso, Jarot Santoso dan Rin Rostikawati

l2l


SEJARAH KAMPAR DITINJAU DARI ASPEK ADMINISTRASI
PEMERINTAHAN/KETATANEGARAAN
Saifuddin

Syukur

Bj

PEMBERDAYAAN NELAYAN MELALUI PENDEKATAN SOSIAL BUDAYA

Agusnimar

148

SIKAP DAN PANDANGAN ORANG TALANG MAMAK INDRAGIRI HULU,
PROVINSI RIAU
Seno H. Putra .....-..-..

156


PARADIGMA PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA

Nurman

161

PERANAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE DALAM TRANSPARASI
LAPORAN KEUANGAN BADAN USAHA
Azwir

Nasir

179

PARADIGMA PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA

'

Oleh:


NURMAN, M. Si. S. Sosla)

Abstract

Related on the society progress and development, the good
principles of the governance have become demands in the village
development. vllage is the success key of regional development, it,s
changging is still stagnant because the village's potential in advantage
and quarrying is rtot optintumyet, and another sicle is human resource.
(young worker class) ntover to the city.
To overcome this condition above, it needs to grow the paradigm
of village dev'elopment plan toward the strengthening of economics
institutional (entrepreneur grup, the increasing of family earnings and

cooperation), the strengthening of financing. structure and
infrastructure, and human resources towartl training and education.
Key Words : The Paradigm of Village Development plan

'o)Dosen Tetap FISIPOL uIR, Pekanbaru. Magister dalam Bidang perencanaan

Pembangunan Pedesaan

r61

Pendahuluan

Salah satu unsur yang menentukan baik tidaknya suatu tata
pemerintahan desa adalah begaimana pernerintahan tlesa dapat menggali
potensi dan membuat perencanaan pembangunan desa. perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan yang baik ditentukan oleh menerapkan prinsip
tata pemerintahan yang baik (good governance), yaitu :
1. Keterbukaan (transparansi) dalam hal penyelenggaraan pemerintahan
Desa
2. Tanggungjawab (akuntabilitas) penyelenggaraan Pemerintahan Desa
yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
3. Keterlibatan (partisipasi) masyarakat dalam pemabagunan
4. Penyelengaraan pemerintahan yang efektif, dinama pemerintah desa
mempunyai rencana tahunan yang disusun berdasarkan partsipasi
mabyarakat dalam bentuk APBDes
5. Pemerintah tanggap (responsif) teradap aspirasi yang berkembang di

masyarakat.

Prinsip-prinsip good governance tersebut hatus diaplikasikan dalam
pelaksanaan perencanaan pembangunan desa. Oleh karena itu apa yang
menjadi prinsip good governance (aspiratif, partisipatif dan akuntable) dapat
dipahami dan diimplimentasikan oleh pemerintah desa, BPD dan elemen
masyarakat lainnya ikut berpartisipasi baik dalam perencanaan, peleksanaan
maupun dalam pengawasan.
Conchelos ( 1985) dalam Dwipayana , 2004 : 83 membagi partisipasi
menjadi 2 (dua) yaitu :
1. Pertisipasi dalam pengertian teknis; Mengikutsertakan masyarakat dalam
aktivitas : mendefinisikan masalah, mengumpulkan data, menganalisis
data dan mengimplementasikan hasinya.
2. Partisipasi dalam pengertian politis; pemberian kekuasaan dan kontrol

kepada masyarakat melalui pilihan-pilihan untuk beraksi, berotonimo,
dan berfleksi terutama melalui pengembangan dan penguatan
kelembagaan.

Selanjutnya, Deshler dan Snock (1985) dalam Dwipayana,2004 :

kontrol masyarakat dalam kegiatan
yang dilaksanakan. Tingkatan partisipasi masyarakat yang paling rendah
adalah (1) Manipulasi, (2) Terapi dan (3) Informasi.
84 mengelornpokan partisipasi atas tingkat

Partisipasi dikatakan manipulatif apabila kegiatan partisipasi hanyalah
dijadikan alat untuk memaksa kehendak (indokrinasi) pihak luar kepada

168

mas\ arakat. Partisipasi terapi adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan pihak
luar untuk "mengobati" permasalahan yang dihadapi oleh suatu masyarakat
tanpa mendudukkan masyarakat tersebut sebagai subjek (pelaku) yang aktif.

sedangkan partisipasi yang bersifat informative terjadi apabila pihak luar
hanl'a bertindak untuk menginformasikan tentang kegiatan sepihak dan
masvarakat hanya diikutsertakan di dalam memanfaatkan hasil atau
masyarakat tidak punya tempat untuk memberikan ,,feedtrack" apapun
terhadap kegiatan tersebut.


Jika kita menoleh kebelang, maka mulai dari tahun 1969,
pembangunan pedesaan diprogramkan untuk membangun ekonomi
Indonesia, yang disusun malalui serangkaian Rencana pembangunan Lima
Tahun atau REPELITA. Pemerintah menganggap pembangunan desa sebagai
elemen yang kritis dalam proses pembangunan nasional.

Tujuan pembangunan desa adalah meningkatkan produktivitas dan
produksi pertanian dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat desa. Ketika
Repelita I pada tahun 1969 diluncurkan, prioritas utamanya adalah melakukan
definisi ulang dari kebrlakan penanian. Penekanan pertamapada usaha meraih
pemenuhan sendiri (self-sufficiency) dalam produksi beras. usaha ini
diharapkan akan dapat menaikan pendapatan masyarakat desa, dan dengan
demikian, memperbaiki standar kehidupan masyarakat pedesaan.

Data BPS tahun 2001 menunukkan bahwa mayoritas penduduk
Indonesia 75 % berada di desa dan 60 vo diantarunya miskin. Kondisi ini
terjadi karena tidak adanya keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat
miskin dalam pembangunan di Indonesia. Akibatnya, pembangunan yang
seharusnya mampu mengangkat kehidupan masyarakat miskin, karena
kebijakan pembangunan yang diambil lebih menguntungkan masyarakat kaya

dan ekit-elit pedesaan, justru menghasilkan kemiskinan, ketimpangan
pendapatan dan pengangguran. (Arif Satria dalam Winarno, 2003: 14)

Lebih lanjut, Arif Satria mengungapkan bahwa proses industrialisasi
yang cukup gencar, cepat dan berhasil selama kurun waktu yang dilaksanakan
oleh orde baru ternyata belum mengkait ke belakang (backward linkage),
yakni ke sector pertanian. Inilah yang mengakibatkan tertinggalnya
masyarakat pertanian yang tidak kunjung sejahtera. Nilai tukar petani yang
belum membaik, produkivitas dan efisiensi yang rendah, serta sikap mental
dan budaya yang masih tradisional membawa mereka pada ketertingalan.

winarno, 2003:9 menjelaskan bahwa program untuk meraih pemenuhan
kebutuhan sendiri dalam produksi beras mengambil tiga metode yaitu : (l)
membentuk Idiologi modem mengenai cara bercocok tanam, (2) memberikan

r69

kredit yang murah untuk membeli input-input modern dan (3) memberikan
bimbingan intensif.
Pada awal tahun 1971, pemerintah dengan cepat menciptakan lembaga

baru di pedesaan seperti : Badan Usaha Unit Desa (BUUD) dan Koperasi
Unit Desa (KUD) sebagai bagian usaha untuk meraih tujuan pembangunan
pedesaan. Namun, kondisi objektif menunjukan bahwa BUUD/KUD semala
ini belum dapat mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran dan

ketidakadilan, karena BUUD/KUD pada dasarnya hanya melayani
kepentingan penduduk desa yang kaya. Dan disisi Iain nilai tukar petani yang
belum juga membaik, produktivitas dan efisiensi yang rendah serta sikap
mental dan budaya yang masih tradisional mambawa masyarakat desa pada
ketinggalan. Tulisan ini bermaksud untuk memberikan reformasi kebijakan
pembangunan yang lebih berpihak kepada masyarakat miskin pedesaan.

Pembahasan

a. Otonomi Desa
Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat
dan hukumnya sendiri serta relatif mendiri. Sejalan dengan kehadiran negara
modern, kemandirian dan kemampuan masyarakat desa mulai berkembang.
Kemandirian dan kemampuan desa menjadi daerah otonom terlihat dari

lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah, UU Nomor 5 Tahun 1979 tentans Pemerintahan Desa dan Kelurahan,
UU Nomor 22Tahun 1999 tentang Pemerintahan Desa, Peraturan Pemerintah
Nomor 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa
dan UU Nomor 32 Tahun 2004tentang Pemerintahan Daerah yang mencabut
UU Nomor 22Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Perubahan yang mendasar dari Undang-Undang tersebut adalah
adanya pemberdayaan atau peningkatan peran pemerintahan desa dari
sentralistik menjadi desentralisasi dalam pelaksanaan otonomi daerah yang
luas, nyata dan bertanggung jawab.

Kewenangan desa diatur berdasarkan Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 64 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai
Desa. Penetapan bentuk dan susunan organisasi pembentukan desa,

pencalonan, pemilihan dan penetapan kepala desa, pencalonan,
pemilihan,pengangkatan dan penetapan perangkat desa, pembentukan dan
penetapan lembaga kemasyarakatan desa, penetapan dan pembentukan Badan
Perwakilan Desa (BPD), pencalonan pemilihan dan penetapan anggota Badan
Perwakilan Desa, penyusunan dan penetapan anggaran dan

t70

pendapatan dan belanja desa, pemberdayaan dan pelestarian lembag aadat,
penetapan peraturan desa, penetapan kerjasama antar desa, penetapan
pinjaman desa, penetapan dan pembentukan Badan usaha Milik Desa
(BUMDES), pengeluaran rzin skala desa, penetapan tanah kas desa,
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, pengelolaan tugas

pembantuan, pengelolaan dana atas bagi hasil perimbangan keuangan
antara pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten dan kota.

. Kewenangan desa mencakup kewenangan yang sudah ada
berdasarkan hak asal usul desa, kewengangan yang oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan
pemerintah dan kewengangan tugas pembantuan dari pemerintah,
pemerintah propinsi dan atau pemerintah kabupaten.
Paling tidak ada 22 kelompok/bidang keweangan yang dapat digali
dan dikembangkan oleh desa yaitu : (1) bidang perranian, (2) bidang
pertambangan dan energi, (3) bidang kehutanan dan perkebunan, (4) bidang

perindustrian dan perdagangan, (5) bidang perkoperasian, (6) bidang
ketenagakerjaan, (7) bidang kesehatan, (8) bidang pendidikan dan
kebudayaan, (9) bidang sosial, (10) bidang pekerjaan umum, (1l) bidang
perhubungan, (12) bidang lingkungan hidup, (13) bidang politik dalam
negeri dan administrasi publik, (14) bidang otonomi desa, (15) bidang
perimbangan keuangan, (16) bidang tugas pembantuan, (17) bidang
pariwisata, (18) bidang pertanahan, (19) bidang kependudukan, (20) bidang
kesatuan bangsa dan perlindungan masyarakat, (21) bidang perencanaan
dan (22) bidang penerangan/informasi dan komunikasi. (lihar wijdaja,
2003:62).

untuk merealisasikan kewenangan tersebut diperlukan komitmen
politik, keberanian politik, kemauan politik dan kemampuan politik loKal.
Apabila hal ini terwujud, maka pertanian rakyat, perikanan rakyat,
perkebunan rakyat, peternakan rakyat, industri rakyat, kerajinan rakyat,
pertukagnan rakyat, pasar rakyat, perumahan rakyat dan pelabuhan rakyat
dapat berkebang, sehingga kebijakan pembangunan selama ini terkesan
lebih berpihak kepada masyarakay kaya dan elit-elitpedesaan dapat diatasi.

b. Paradigma Perencanaan Pembangunan Desa
Salah satu penyebab kegagalan pembangunan pedesaan adalah
penyusunan perencanaan pembangunan desa dipandang bukan merupakan
aktivitas stratsgis dan politis di dalam tata pemerintahan desa. Kondisi ini

mau tidak mau harus dirubah. Pemerintah desa bersama-sama, BpD,
LKMD, LPM, PKK, RT, Alim Ulama, Tokoh Masyarakat, pemuda, Tokoh

t71

Adat, dan elemen masyarakat lainnya harus menempatkan proses
perenacaan pembangunan desa pada posisi yang strategis.

Langkah awal yang dapat ditempuh oleh pemerintah desa bersama
BPD adalah mendata potensi dan menyusun perencanaan pembangunan
desa secara partisipatif. Sukasmanto dalam Dwipayana,2004 : 19
menjelaskan penyusunan APBD sebagai berikut :

l.

Musyawarah Pembangunan (MusBang) desa sebagai forum pengajuan
program pembangunan dari masyarakat.
2. Unit Daerah Kerja Kecamatan (UDKK) untuk memilih jenis program
yang layak dibiayai dan diajukan pemerintah desa.
3. Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang) merupakan sosialisasi
program yang diajukan yang dihadiri oleh berbagai unsure masyarakat.
Hasil ini oleh BAPPEDA dan SEKDA digunakan sebagai bahan
penentuan program yang akan hibahas pada tahap berikutnya. Hasil
pembahasan ini disebut Dukumen Rencana Proyek :
a. Daftar Usulan proyek Daera (DUPDA)
b. Daftar Skala Prioritas (DSP)
4. Konsultasi Regional Pembangunan (KRP)
5. Konsultasi Nasional Pembangunan (KNP)
Dari penjelasan di atas pat dilihat bahwa program pembangunan yang

diajukan oleh pemerintah desa melalui Musbangdes sangat kecil
kemungkinannya untuk dimasukkan dalam APBD. Karena pada proses
selanjutnya penyusunan program pembangunan lebih banyak ditentukan
oleh kebijakan elit birokrasi kabupaten sehingga kebutuhan masyarakat
menjadi sulit terwujud. Oleh karena itu, masyarakat, BPD, LSM dan elemen
masyarakat lainnya ikut bertanggungjawap mengontrol dalam mengawal
kebutuhan pembangunan yang diusulkan oleh masyarakat.
Perencanaan strategis dibentuk melali proses dialog, konsultasi,
diskusi dan sosialisasi yang melibatkan berbagai unsure pemerintah desa,
BPD, LKMD, LPM, PKK, RT, Alim Ulama, Tokoh Masyarakat, Pemuda,
Tokoh Adat, Akedemisi dan lain-lain. Perencanaan stratagis ini sangat
penting untuk mengarahkan langkah-langkah dan agenda kepemimpinan
kepala desa, pemerintahan desa dan pembangunan masyarakat'desa.
Perencanaan strategis tersebut adalah rencana kerja yang digunakan sebagai
pedoman atau kerangka kerja supaya semua menjadi terarah, bias dikontrol
dan dinilai secara terbuka oleh siapa saja.
Rencana strategis adalah milik semuapihak, tetapi yang paling dekat
memiliki dan bertanggung jawab atas rencana strategis tersebut adalah

172

pemerintah desa. Pemerintah desa bertanggungjawab melaksanakan,
memfasilitasi dan mendorong semua pihak untuk mewujudkan rencana
strategis yang telah disusun dan dinilai ideal untuk dilaksanakan.

Inayatullah dan H.S. Wanasinghe dalam Winarno, 2003 : 2I,
menjelaskan bahwa strategi-strategi pembangunan desa di negara-negara
dunia ketiga menganut tiga model pembangunan, yaitu :

l. Model intervensi rendah atau disebut juga model produktivitas.
intervensi menengah atau dinamakan model solidaritas.
Model intervensi tinggi atau sering disebut sebagai model pemerataan
(equality)

2. M.odel
a

-1.

Model intervensi rendah atau model produktivitas. Upaya pemerintah
ditujukkan untuk meningkatkan produktivitas pertanian tanpa memandang
perlu melakukan perubahan-perubahan penting dan substansial terhadap
strutur sosial dan pemilikan tanah. Keterbelakangan pedesaan (rural
underdevelopment) disebabkan oleh langkahnya ternologi yang dapat
meningkatkan produktivitas, ketidak tahuan atau kebodohan, ketahyulan,
buta aksara dan jumlah beban tanggungan merupakan fenomena umum di
kalangan masyarakat desa.

Strategi pembangunan adalah membantu penduduk desa yang
mempunyai modal, sumber-sumber, keterampilan dan motivasi yang tinggi
untuk meningkatkan produktivitas mereka. Pemerintah dituntut untuk
memberikan kemudahan-kemudahan bagi mereka memperoleh input-input
(modal, teknologi, keterampilan teknis termasuk pemasaran prodak yang
dihasilkan).serta memberikan perhatian khusus bagi mereka yang berhasil

meningkatkan produktivitas (tidak untuk konsumsi sendiri). Model
intervensi rendah ini dapat dikembangkan apabila penduduk desa memiliki
tanah milik sendiri yang luasnya mencukupi. Tapi jika penduduk desa
bekerja mengharapkan bagi hasil/gurem atau petani kecil dan menyewa,
pembangunan desa secara perlahan-lahan akan menimbulkan kemerosokan
sosial dan ekonomi dalam masyarakat.

Model intervensi menengah atau solidaritas. Model ini diagnosa
utama yang menjadi penyebab keterbelakangan pedesaan adalah
langkahnya lembaga-lembaga desa yang dapat meningkatkan peran serta
aktif penduduk desa. Model ini dikembangkan melalui pengembangan
kerajinan tangan pedesaan, mendorong kegiatan-kegiatan koperasi dengan
membentuk dan memberikan kredit yang berasal dari masyarakat desa,
membentuk koperasi-koperasi konsumen dan pemasaran yang bertujuan
untuk mengurangi kegiatan-kegiatan ekonomi yang eksploitatif di daerah-

n3

daerah pedesaan dan memperkuat kedudukan ekonomi produsen dan
konsumen di desa.
Keberhasilan pengembangan model

ini lebih menekankan

adanya

usaha untuk melakukan perubahan lembaga-lembaga dipedesaan,
modernisasi elit desa dan meningkatkan keterampilan organisasi dan
hubungan manusia, sehinga model ini dianggap kurang efektif dalam
mencapai tujuan pembangunan desa, karena yang mendapatkan keuntungan
besar dari pengembangan model ini adalah kelas menengah pedesaan,

terutama organisasi-organisasi lapangan seperti koperasi yang akan
mendapatkan bantuan atau sumber-sumber yang diberikan oleh pemerintah.
Pelayanan-pelayanan yang diberikan tidak dapat mendorong semangat
komunitas di kalangan pemilik tanah sempit, penyewa dan buru tani, maka

para petani yang memiliki lahan sempit, penyewa dan buru tani yang
berpenghasilan rendah akan menjauhkan diri program-program pertanian.

Model intervensi tinggi atau model pemerataan. Model ini
menyatakan bahwa tidak meratanya pendapatan, kekayaan dan kekuasaan

di kalangan penduduk desa merupakan penyebab utama keterbelakangan
desa. Nilai-nilai, tingkah laku, lembaga-lembaga desa yang lemah dan tidak

adanya teknologi yang mempu meningkatkan dan memperbaiki
produktivitas pertanian, terbatasnya kesempatan-kesempatan dan sumbersumber yang dimiliki oleh lapisan penduduk miskin di desa merupakan
gejala-gejala kemiskinan di daerah pedesaan.
Untuk mengatasi kekurangan dan kelemahan di atas adalah melalui
pendistribusian tanah yang bersifat rasional (adil dan merata) dan
penggunaan sarana-sarana produksi (teknologi tepat guna) kepada lapisan
penduduk pedesaan. Tujuan utama yang ingin dicapai dalam pengembangan
model ini adalah bagaimana mempersempit atau kalau mungkin
menghapuskan ketidakmerataan sosial dan ekonomi penduduk daerah
pedesaan dari orang-orang atau kelompok orang-orang yang merugikan
kepentingan lapiran penduduk berpenghasilan rendah. Untuk mewujudkan
hal ini diperlukan komitmen politik, kemauan politik dan kesadaran politik.

c. Nilai, Filsafah, Misi dan T[juan Pembangunan Desa

Nilai yang ingin dicapai dalam

pembanguan desa adalah

kesejahteraan, kemandirian, kesetaraan, kebersamaan dan demokrasi. Dan
untuk mencapai nilai tersebut dikembangkan melalui falsaafah "kami selalu
berkerja keras dan hidup bersama saling berdampingan yang bersendikan
demokrasi untuk membangun kesejahteraan dan kemandirian.

174

ciri

khas dari suatu organisasi adalah adanya vISI bersama. Desa
merupakan unit organsasi pemerintahan yang terendah memiliki visi ,,
menjadi desa yang sejahtera dan mandiri dalam lingkungan kehidupan
masyarakat yang terbuka, demokrasi dan semarak melalui :
1. Meningkatkan kualitas hidup menuju kesejahteraan masyarakat desa
secara berkelanj utan dan berkeadilan.
2. Membangun tata pemerintahan yang baik dengan bersendikan pada
prinsip keterbukaan, tanggung jawab, saling percaya dan partisipasi
masyarakat.
3. Membangun semangat otonomi desa yang sejati dan bermakna bagi
masyarakat.
Sedangkan tujuan pembangunan desa adalah

:

1. Mengali sumber-sumber ekonomi rakyat untuk kemaslahatan warga
desa.

2. Mamfasilitasi upaya-upaya peningkatan pendapatan masyarakat dan
penanganan kemiskinan.

3. Muwujudkan penyelenggaraan pemerintahan dan dan pemberian
pelayanan kepada masyarakat secara berkualitas dan terpercaya.

4. Mewujudkan pola hubungan kemitraan dan kebersamaa antara
pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa (BpD) dan warga
masyarakat.

5. Menigkatkan peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan dan
pembangunan.

6. Mengembangkan jaringan dan kerjasama dengan berbagai pihak dari
luar untuk mendukung pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan
masyarakat desa.
7. Mengembangkan kebijakan desa dan program-program pembangunan
secara pertisipatif dan mendiri.

d. sasaran dan rndikator Keberhasilan perencanaan pembangunan
Desa

l.

Peningkatnya Kualitas Hidup Masyarakat Desa Secara
Berkelanjutan. Indikatornya adalah :
a. Tersedianya sarana irigasi yang memadai

b. Meningkatnya hasil panen para petani
c. Meningkatnya mata pencarian baru diluar pertanian
d. Tersedianya sarana pendidikan, kesehatan, transportasi, jalan,
penerangan, komunikasi secara memadai

ll5

e. Tersedianya pasar desa
f. Menurunnya jumlah penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan
g. Menurunnya angka pengangguran penduduk desa
h. Terwujudkan kepemilikan Badan usaha Milik Desa (BUM-DES)
i. Tersedianya koperasi desa
j. Meningkatnya peranserta wajib belajar 9 tahun
2. Terciptanya Tata Pemerintahan Desa Yang Baik
Indikatornya adalah

.

:

a. Meningkatnya kemampuan para pamong desa dalam mengelola
pemerintahan.

Administrasi perkantoran desa yang tertata dengan baik
2) Tersedianya perencanaan pembangunan desa
1)

b. Meningkatnya keterbukaan

penyelenggaraan pemerintahan desa.

1) Keterbukaan dalam mengambil keputusan

2) Keterbukaan dalam pengelolaan keuangan
3) Keterbukaan dalam penyalayan kepada masyarakat
4) Kesediaan pamong desa menerima kriti dan saran dari masyarakat

c. Terciptanya pola hubungan kemitraan yang baik

antara pemerintah
desa dengan Badan Permusyawaratan Desa (BpD)

1)Kepala desa tidak mematikan BpD
2) BPD mampu merumuskan peraturan-peraturan desa dan merakukan
kontrol dengan baik terhadap pemerintah desa
3) Antara BPD dan kepala desa saling percaya dan bekerjasama

d. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan
pembangunan

l)Forum-forum warga semakin semarak

2)Meningkatnya kemampuan dan keberanian masyarakat
menyampaikan aspirasinya kapada BPD maupun pemerintah desa
3) Meningkatnya keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan
pembangunan

4)Meningkatnya kemampuan masyarakat melakukan pengawasan
dan penilaian terhadap pemerintah desa dan BpD

5)Meningkatnya rasa memiliki masyarakat terhadap hasil
pembangunan desa

t76

6).Terbangunnya Kemandirian (otonomi) Desa Secara Kuat, Sejati dan
Bermakna Bagi Masyarakat.
Indikatornya :
a. Meningkatnya sumber-sumber pendapatan

Asli Desa
b. Meningkatnya kemampuan desa memuat keputusan desa secara
mandiri dan partisipatif. (lihat Dwipayana,2004: 65)
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa sebagai sasaran untuk
mencapai keberhasilan tersebut ialah pertama. menyentuh kehidupan
modern, Kedua. orientasi usaha dari subsistem ke komersial, Ketiga.
Kepemimpinan yang terorganisasi dengan baik, Keempat. pendidikan bukan
sekedar tuntutan tetapi sudah menjadi kebutuhan, Kelima. Kepercayaan yang
dicerminkan dari sifat kejujuran dan disiplin.
Penutup
Esensi otonomi daerah yang diharapkan uu tentang pemerintahan
Daerah adalah bagaimana mengimplikasikan prinsip desentralisasi dalam
hal peraturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka Negara
kesatuan Republik Indonesia. Itu artinya pola penyelenggaraan pemerintah
daerah haruslah mengacu pada prinsip manajemen public modern yang
akuntabilitas, transparan, keterbukaan, produktif, supermasih hukum, efisinsi
dan efektivitas.
Desa merupakan ujung tombak keberhasilan pembangunan regional,
perubahannya masih stagnan (belum berkembang) karena penggalian dan
pemanfaatan potensi pedesaan belum optimal, dan sisi lain sumber daya
manusia yang potensial (angkatan kerja muda) lari ke kota.

untuk menghadapi kondisi di atas, perlu dikembangkan paradigma
perencanaan pembangunan desa melalui program penguatan kelembagaan,
penguatan ekonomi (kelompok usaha, usaha peningkatan pendapatan
keluarga dan koperasi), penguatan pembiayaan, penguatan sarana dan
prasarana serta penguatan sumber daya manusia melalui pendidikan dan
pelatihan.

Salah satu penyebab kegagalan pembangunan desa adalah
penyusunan perenacanaan pembangunan desa dipandang bukan merupakan
aktivitas strategis dan politis di dalam tata pemerintahan desa. Kondisi ini

mau tidak mau harus dirubah. Langkah awal yang dapat ditempuh oleh
pemerintahan desa adalah mendata potensi dan menyusun perencanaan
pembangunan desa secara parlisipatif.

r77

Daftar Kepustakaan
AA.GN. Ari Dwipayana dkk, 2003. Pembaharuan Desa Secara parrisipatif.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta

AA. GN. Ari Dwipayana dkk, 2004. Promosi Otonomi Desa. IRE press,
Yagyakarta

Antlov Hans. 2003. Negara Dalam Desa Patronase Kepemimpinan Lokal.
Jogjakarta Lappera Pustaka Utama
B

udi winarn o, 2003 . Komparasi organi sasi Pedesaan Dal am Pembangunan.

Media Pressindo, Yogyakarta
chambers Robert.1996. Participatory Rural Appraisal (Memahami Desa
Partisipatif). Terjemahan Rapid. Yogyakarta: Kanisius.

. 1993. Rural Development Putting The Last Firsr.
England : Longman Scientific & Technical.
Dwipayana AAGN Ari & Sutoro Eko.2003.Membangun Good Governance
di Desa. Yogyakarta: IRE Press.
Fakrulloh Zudan Arif,dkk. 2004. Kebij akan Desentralisasi Di Persimpangan.
Jakarta : CV.Cipiruy.
HAW. Widjaja, 2004. Otonomi Desa. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Kerlinger Fred N. 2003. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Terj emahan Gadj ah
Mada University Press. Yogyakarta:Gadjah Mada University press.
Nurcholis Hanif.2005. Teori Dan Praktik Pemerintahan Dan otonomi Daerah.
Jakarta : PT.Grasendo.
Taliziduhu Ndraha, I 99 1 . Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa. Bumi Aksara,
Jakarta

Jurnal
Kusworo, 2004. Kajian tentang Perubahan Pemerintahan Desa Berdasarkan
uu No. 32 Tahun 2004. Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah.
Citra Media, Bandung
Sufian, 2005. Strategi Pengentasan Kemiskinan dan Kebodohan di provinsi
Riau Mencapai visi 2a20. Jurnal Siasat. Badan penerbit FISIPOL
UIR Pekanbaru

178