Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2013 Tent

Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2013 Tentang Penanganan Gangguan Keamanan
Dalam Negeri Dalam Kaitannya Dengan Keterlibatan TNI Dalam Bidang Keamanan
Dan Ketertiban
Sulaiman Sujono, S.H., M.Si (Han)1

Pendahuluan
Terhitung sejak 28 Januari 2013, Indonesia kembali memiliki sebuah peraturan
baru yang mengatur TNI. Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2013 Tentang Penanganan
Gangguan Keamanan Dalam Negeri sejak saat itu disahkan dan disaat yang sama
menambah rangkaian peraturan perundang-undangan yang mengatur TNI selaku aktor
keamanan di Indonesia.
Sebagian besar peraturan perundang-undangan yang mengatur TNI pada
masa ini dihasilkan pasca reformasi. Diawali dengan adanya Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional
Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. TAP MPR ini menandakan
pemisahan dengan tegas fungsi TNI dan Polri serta dihapuskannya ABRI.
Setelah TAP MPR tersebut muncul Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) dan Undang-Undang Nomor
34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Selain itu terdapat pula

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan yang terbaru,
Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial, yang mengatur keterlibatan TNI dalam
bidang keamanan dan ketertiban.
Implikasi dari aturan-aturan tersebut, selain dari pemisahan fungsi dari TNI dan
Polri, juga mengatur hubungan antara keduanya. Dalam kaitannya dengan Inpres di
1

Penulis adalah alumni program Master Universitas Pertahanan Indonesia, Prodi Manajemen
Pertahanan dan Peneliti Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia. Tulisan ini merupakan
opini pribadi dan tidak mewakili lembaga manapun.

atas adalah pertanyaan mengenai keterlibatan TNI dalam bidang keamanan dan
ketertiban.
Urgensi Pengaturan
Pemikiran dimana institusi militer harus terpisah dari institusi sipil dengan
pengaturan yang tegas bukanlah merupakan hal baru. Sejak masa akhir perang dingin
pemikiran seperti ini telah berkembang. Era perang dingin memiliki ciri dimana pelibatan
militer dalam fungsi-fungsi pemerintahan sulit untuk dibedakan, bahkan terdapat negara
dimana pemimpin militer adalah pemimpin negara. Pada berakhirnya masa tersebut
terjadi transisi yang signifikan pada negara-negara di dunia, banyak negara-negara

yang memiliki kepala negara atau pemerintahan yang dijalankan oleh militer mengalami
transisi kepada pemerintahan sipil yang cenderung mengadopsi demokrasi (Goodman,
1997, hal. 20).
Pada masa ini salah satu pemikiran yang berkembang pesat adalah bahwa
institusi militer harus terpisah secara fisik dan ideologis dengan institusi politik (Schiff,
1995, hal. 7). Perkembangan pemikiran seperti ini dapat dimaklumi mengingat pola
hubungan sipil-militer di dunia pada abad ke-20. Sipil yang dimaksudkan dalam wacana
ini adalah institusi sipil dalam konstruksi negara atau dengan kata lain pemerintahan.
Pada kondisi tertentu, seperti pada masa konflik atau pada masa ini dimana reformasi
melibatkan banyak aktor, termasuk juga di dalamnya masyarakat sipil.
Dalam kondisi ini pula lahir istilah reformasi sektor keamanan (security sector
reform). Reformasi sektor keamanan ini diawali dengan hipotesa yang menyatakan
bahwa penyelenggaraan fungsi pemerintahan di bidang keamanan yang tidak dikelola
dengan baik dan efektif akan menjadi salah satu penghalang bagi terciptanya
perdamaian, stabilitas, penegakan hukum dan penghargaan terhadap hak asasi
manusia (Wibisono, Wardoyo, & Kasim, 2009, hal. 3).
Reformasi sektor keamanan sendiri adalah sebuah isu yang konteksnya
menyesuaikan dengan kondisi negara dimana terjadi proses tersebut. Reformasi sektor
keamanan atau dalam bahasa Inggris disebut security sector reform (SSR) merupakan
sebuah konsep yang dikembangkan sebagai tanggapan atas tidak berfungsi dengan


baiknya aktor sektor keamanan dan efek negatifnya terhadap

pembangunan dan

perdamaian yang berkelanjutan (Bleiker & Krupanski, 2012, hal. 37).
Pada intinya, reformasi sektor keamanan didasarkan pada ide bahwa
rekonstruksi dan atau reformasi pada sektor keamanan dalam rangka meningkatkan
efektivitas, efisiensi, dan legitimasi terciptanya keamanan tidak hanya untuk negara
tetapi juga untuk rakyatnya, dan menciptakan keadaan yang aman untuk pembangunan
yang berkelanjutan (Bleiker & Krupanski, 2012, hal. 37). Pada konteks ini reformasi
sektor keamanan juga diarahkan pada terciptanya pengaturan sektor keamanan yang
tidak hanya efektif dan efisien, tetapi juga sejalan dengan prinsip – prinsip demokrasi.
Sebagaimana

disebutkan

sebelumnya,

kebutuhan


dalam

bidang-bidang

reformasi sektor keamanan berbeda antar negara di dunia terkait kondisinya masingmasing. Diantara kondisi-kondisi tersebut adalah pembangunan pasca konflik, transisi
kekuasaan dari pemerintahan militer ke partisipasi politik terbuka, kemerdekaan yang
baru tercapai, transparansi dan akuntabilitas lembaga urusan publik,

pengabaian

kekuasaan hukum, permasalahan pada mediasi konflik akibat dari tindakan aktor sektor
keamanan,

kesulitan

dalam

pengelolaan


sumberdaya

langka,

dan

juga

ketidakmampuan aktor sipil dalam pengaturan dan pengawasan kekuatan keamanan
negara (Wulf, 2004, hal. 2).
Dalam bahasan besar dari reformasi sektor keamanan tersebut dapat terlihat
adanya tujuan pembangunan hubungan antara sipil dan militer. Hubungan tersebut
merupakan fokus dari perbaikan kondisi-kondisi tersebut diatas. Johanna Mendelson
Forman menyatakan (Forman, 2000, hal. 3) bahwa secara umum, hubungan sipil-militer
terfokus pada distribusi relatif kekuasaan antara pemerintah dan angkatan bersenjata
sebuah negara. Lebih lanjut ia juga menyatakan bahwa mereka terlibat di dalam proses
dimana kontrol sipil diukur dan dievaluasi dengan menimbang ‘pengaruh relatif dari
perwira militer dan pejabat sipil dalam pengambilan keputusan terkait tentang
keamanan internal, pertahanan eksternal, dan kebijakan militer (yaitu bentuk, ukuran,
dan prosedur operasi dari organisasi militer)’.

Selain itu, salah satu teori yang berkembang adalah bahwa institusi militer harus
terpisah secara fisik dan ideologis dengan institusi politik, dengan teori alternatifnya
adalah pola kerjasama antara lembaga militer, politisi, dan masyarakat sipil dalam

bentuk kerjasama yang kooperatif yang dapat melibatkan pemisahan institusi ataupun
tidak (Schiff, 1995, hal. 7).
Dalam membahas mengenai hubungan antara sipil – militer terdapat beberapa
istilah yang dapat digunakan untuk mengkategorisasikan mengenai keterlibatan militer
pada urusan sipil. Michael Head dan Scott Mann (Head & Mann, 2009) menyimpulkan
beberapa definisi dalam bukunya yang dapat digunakan, antara lain: 2
1. Keamanan domestik: sebuah terminologi yang kabur dan masih
berkembang, umumnya tidak didefinisikan secara resmi, yang merujuk
kepada

anggapan

terkait

keamanan


publik,

infrastruktur

kritis,

permasalahan lingkungan hidup, kepentingan ekonomi yang vital, dan
stabilitas politik.
2. Perbantuan militer kepada komunitas sipil: pengerahan personel
militer, perlengkapan dan fasilitas untuk melaksanakan tugas-tugas yang
utamanya merupakan tugas otoritas sipil, tetapi lembaga tersebut
mengalami kekurangan sumber daya. Termasuk di dalamnya pengerahan
dalam bencana alam, kepentingan operasi pencarian dan penyelamatan,
penjinakan bahan peledak, operasi pembubaran mogok, perbantuan
penegakan hukum, dan kegiatan seremonial, dimana penggunaan
kekuatan tidak diperlukan.
3. Perbantuan militer kepada kekuasaan sipil: penggunaan kemampuan
sumber daya tempur militer untuk membantu atau menggantikan lembaga
penegakan hukum, dimana penggunaan kekuatan akan diperlukan.


2

1.Domestic security A vague and expanding term, not generally ofcially defned,that
refers to any perceived concern relating to public safety, critical infrastructure,
environmental problems, vital economic interests and political stability.
2.Military aid to the civil community The provision of military personnel, equipment and
facilities to perform tasks that are primarily the responsibility of civil authorities, but for
which the civilian agencies may lack resources. This includes deployment during natural
disasters, and for search and rescue operations, disarming explosives, strike-breaking
operations, other law enforcement assistance and ceremonial services, where the use of
force is not anticipated.
3.Military aid to the civil power The use of military combat resources to supplement or
supplant law enforcement agencies, where the use of force is anticipated.

Berdasarkan uraian di atas, Indonesia memiliki urgensi yang tersendiri atas
pengaturan ini dimana tugas perbantuan di Indonesia ini bukanlah merupakan hal yang
khas mengingat hal yang sama terjadi di negara-negara lain seperti Amerika Serikat
dengan civil support (Joint Task Force Civil Support). Sebagai gambaran, pengerahan
tugas perbantuan ini merupakan bagian dari dinamika hubungan sipil militer di
Indonesia. Sebuah isu yang berkembang dalam usaha reformasi sektor keamanan

pasca mundurnya mantan Presiden Soeharto di tahun 1998. Salah satu dasar
pemicunya adalah keterlibatan unsur militer yang terlalu besar pada tata kelola negara
pada era pra reformasi.
Salah satu contohnya di masa lalu adalah pencampuran peran KOPKAMTIB
dalam fungsi tertib hukum. Kasus ini merupakan sebuah tantangan terhadap
diterapkannya penghormatan terhadap demokrasi dan prinsip-prinsip hak asasi
manusia. Secara prinsip hukum, pencampuran peran dan intervensi ABRI (pada banyak
kasus TNI) merupakan sebuah tindakan yang merendahkan prinsip due process of law
(proses hukum yang adil). Lebih lanjut lagi, praktek terlibatnya TNI dalam ranah sipil
diatas menimbulkan akibat tidak dijunjungnya kehendak bahwa Indonesia adalah
negara berdasarkan hukum bukan berdasarkan kekuasaan. Albert Venn Dicey
mengemukakan prinsip rule of law bahwa dalam sebuah negara, setiap pejabat negara
dalam sebuah negara harus memiliki dasar hukum dalam pelaksanaan tugasnya.
Selain itu dan yang menjadi dasar yang penting adalah, semua orang tidak ada yang
diatas hukum dan dipandang sama dihadapan hukum (Palekar, 2009, hal. 65).
Pengalaman di masa lalu ini menegaskan pentingnya pengaturan yang jelas
ketika TNI sebagai aktor militer harus bersinggungan dengan ranah sipil. Pengaturan
yang jelas dan tegas ini merupakan praktek yang lazim di negara-negara maju dimana
pemisahan antara institusi sipil dan militer diatur dengan baik. Sebagaimana
diterangkan di atas, bentuk partisipasi TNI dalam peraturan perundang-undangan di

Indonesia berkaitan dengan ketiga bidang tersebut di atas.

Aturan Keterlibatan TNI Dalam Keamanan dan Ketertiban
Pengaturan tugas perbantuan di Indonesia terletak utamanya dalam Peraturan
Perundang-Undangan. Bagi TNI sendiri, aturan utama yang mengatur adanya
keterlibatan perannya dalam bidang keamanan dan ketertiban adalah berdasarkan
Undang-Undang TNI. Istilah keterlibatan ini kemudian dikenal dengan istilah tugas
perbantuan TNI. Akan tetapi, terdapat pula peraturan perundang-undangan lain yang
mengatur mengenai tugas perbantuan ini.
Pengaturan tersebut misalnya terletak pada Undang-Undang Polri dan UndangUndang Pertahanan Negara. Undang-Undang TNI, Undang-Undang Polri, dan UndangUndang Pertahanan Negara sendiri mengatur hal yang berbeda untuk masalah
perbantuan ini. Undang-Undang Pertahanan Negara hanya menyebutkan bahwa TNI
dapat membantu Polri, dan Undang-Undang Polri selain menyebutkan dapat
dilakukannya hal tersebut menyatakan bahwa pengaturan lebih lanjut dilaksanakan
melalui

Peraturan

Pemerintah.

Sedangkan


Undang-Undang

TNI

sendiri

mengamanahkan pengaturan perbantuan ini melalui Undang-Undang.
Ketiga undang-undang ini mengatur hal yang sama untuk institusi yang berbeda,
terutama Undang-Undang TNI dan Undang-Undang Polri (Anwar, Karakter TNI-Polri
Pada Masa Transisi, 2004: 37). Faktanya Undang-Undang TNI mengatur perilaku dan
norma-norma TNI dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana diatur dalam UndangUndang tersebut sementara Undang-Undang Polri mengatur perilaku dan norma Polri
dalam melaksanakan tugasnya. Agar keduanya dapat bersinergi seharusnya terdapat
sebuah ketentuan legal yang mengatur perilaku dan norma hubungan antar TNI dan
Polri dalam konstruksi tugas perbantuan di bidang keamanan dan ketertiban.
Ketentuan pelaksana yang berdasar kepada kedua aturan di atas hingga saat ini
tidak ada. Apabila mengacu pada Undang-Undang TNI maka tidak ada UndangUndang yang mengatur tugas perbantuan dan apabila mengacu pada Undang-Undang
Polri maka tidak ada Peraturan Pemerintah yang mengatur tugas perbantuan. Namun
demikian, terdapat peraturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yakni Peraturan Pemerintah

Nomor 16 Tahun 1960 tentang Permintaan Dan Pelaksanaan Bantuan Militer (PP
Permintaan dan Pelaksanaan Bantuan Militer).
Peraturan Pemerintah (PP) tersebut mengatur mengenai kondisi-kondisi dimana
sebuah bantuan militer dapat dilaksanakan mengenai dibolehkannya pemerintah
daerah untuk meminta bantuan kepada militer dalam kondisi tertentu. Akan tetapi PP ini
dapat dipertanyakan efektivitasnya mengingat banyak dari ketentuan yang terkait PP
tersebut sudah mengalami banyak perubahan, walaupun keberlakuan Undang-Undang
yang menjadi dasar pembentukannya masih berlaku. Salah satu contoh undangundang yang terbit kemudian dan bertentangan muatannya adalah Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang TNI,
khususnya pada pengaturan tentang pengerahan kekuatan TNI.
Secara keberlakuan, PP Permintaan dan Pelaksanaan Bantuan Militer tersebut
masih berlaku mengingat tidak adanya aturan yang secara tegas menyatakan bahwa
PP ini tidak berlaku. Akan tetapi, walaupun PP ini secara legal masih berlaku, normanorma di dalam PP ini tidak sepenuhnya sesuai dan secara kepatutan legal formal tidak
dapat diterapkan secara efektif. Hal ini merupakan fenomena hukum dimana aturanaturan Hindia Belanda yang secara legal masih berlaku tidak lagi dapat diterapkan.
Pada perkembangan berikutnya, disahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (Undang-Undang PKS). Undang-undang ini
menambah dasar hukum mengenai pengerahan kekuatan TNI dalam bidang keamanan
dan ketertiba, dalam hal ini penanganan konflik. Pengaturan tersebut dapat terlihat
pada Pasal 33 hingga Pasal 35 yang menyebutkan bahwa:
Pasal 33
(1) Dalam Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota, bupati/wali kota
dapat meminta bantuan penggunaan kekuatan TNI kepada Pemerintah.
(2) Dalam Status Keadaan Konflik skala provinsi, gubernur dapat meminta
bantuan penggunaan kekuatan TNI kepada Pemerintah.
(3) Dalam Status Keadaan Konflik skala nasional, Presiden berwenang
mengerahkan kekuatan TNI setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPR.

(4) Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 34
(1) Pelaksanaan bantuan penggunaan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 dikoordinasikan oleh Polri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bantuan penggunaan kekuatan TNI
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 berakhir apabila:
a. telah dilakukan pencabutan penetapan Status Keadaan Konflik; atau
b. berakhirnya jangka waktu Status Keadaan Konflik.

Ketentuan

tersebut

di

atas

menambah

perintah

undang-undang

yang

menghendaki adanya pola hubungan yang jelas dalam pengerahan kekuatan TNI.
Berbeda dengan Undang-Undang TNI dan Undang-Undang Polri, pada UndangUndang PKS ini ditegaskan bahwa dalam pelaksanaan perintah undang-undang TNI
dibawah koordinasi Polri. Akan tetapi, undang-undang ini seperti Undang-Undang TNI
dan Polri mensyaratkan adanya aturan tambahan untuk mengatur hubungan tersebut.
Dengan demikian pada dasarnya tidak ada aturan yang sesuai dengan kondisi saat ini
yang mengatur mekanisme pengerahan kekuatan

TNI dan bagaimana pola

hubungannya dengan institusi sipil.

Terbitnya Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2013 Tentang Penanganan Gangguan
Keamanan Dalam Negeri
Apabila melihat substansi dari Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2013 Tentang
Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri (Inpres No.2/2013), dapat dilihat

bahwa tujuan utama dari Inpres ini adalah untuk mencapai stabilitas kondisi dalam
negeri yang kondusif untuk pembangunan. Tujuan tersebut, selain tesurat dengan jelas,
dapat terlihat juga terkait kepada siapa Inpres ini ditujukan. Mulai dari Menteri
Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan hingga Bupati/Walikota.
Upaya yang dikehendaki untuk mencapai tujuan tersebut adalah kepaduan
usaha penanganan gangguan keamanan dalam negeri secara terpadu. Dalam
pelaksanaan penanganan gangguan yang terpadu tersebut ditegaskan harus sesuai
dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Karena salah satu yang disebutkan sebagai pelaksana Inpres ini
adalah Panglima TNI, maka secara logis dapat dikatakan bahwa TNI akan merujuk
kepada UU TNI sebagai dasar hukum dari beberapa dasar hukum lain yang dapat
digunakan (seperti UU PKS, UU Pertahanan Negara, dan lainnya).
Inpres ini kemudian menjelaskan bahwa perlu dibentuknya tim terpadu baik
pusat maupun daerah untuk menjamin adanya kesatuan komando. Selain itu
disebutkan pula mengenai upaya pemulihan pasca konflik dan penegasan bahwa TNI
dapat dikerahkan untuk membantu Polri dalam rangka penghentian tindak kekerasan.
Bahkan hingga sejauh mempersiapkan pos komando dengan menggunakan instansi
pemerintah yang ada dan mengikutsertakan unsur masyarakat selain pemerintahan.
Memperhaikan isi dari Inpres ini dari yang Pertama hingga Kedelapan beberapa
permasalahan dapat terlihat. Permasalahan tersebut antara lain:
1. Tidak ada pengaturan mengenai mekanisme pelaksanaan penanganan
tindak kekerasan. Terutama terkait dengan pelibatan TNI mengingat tidak
adanya aturan yang menegaskan tolak ukur dimana TNI dapat terlibat. Tidak
hanya terkait dengan potensi pelanggaran hak asasi manusia, akan tetapi
juga terkait dengan pemanfaatan sumber daya manusia TNI dan penggunaan
anggaran untuk pengerahan prajurit. Selain itu pada Inpres ini lebih lanjut
tidak dijelaskan mengenai alur komando dan alur pertanggungjawaban jika
dalam pelaksanaan penanganan tindak kekerasan terjadi pelanggaran hukum
maupun pelanggaran hak asasi manusia oleh Polri maupun oleh TNI.

Mekanisme ini harus tercantum jelas dalam peraturan perundang-undangan
dan menghindari bentuk tafsiran maupun diskresi lapangan.
2. Kewenangan pengerahan dan tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI
serta pelibatan pemerintah daerah. Berkaitan dengan poin pertama, pada
Inpres ini disebutkan bahwa Menkopolhukam ditugaskan selaku Ketua Tim
Terpadu Tingkat Pusat dimana salah satu tugasnya adalah menyusun
rencana aksi terpadu nasional dan mengkoordinasikan, mengarahkan,
mengendalikan,

dan

mengawasi

pelaksanaan

efektivitas penanganan

gangguan keamanan dalam negeri. Dalam peran ini kemudian dapat
dipertanyakan apakah Menkopolhukam memiliki kewenangan atau diberikan
kewenangan oleh Presiden untuk berkoordinasi dengan Panglima TNI agar
dapat mengerahkan kekuatan TNI untuk menangani gangguan keamanan
dalam negeri.
Pengerahan kekuatan TNI berdasarkan UU TNI ditetapkan pada Pasal 17 UU
TNI yang menyatakan:
Pengerahan
Pasal 17
(1) Kewenangan dan tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI
berada pada Presiden.
(2) Dalam hal pengerahan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Presiden harus mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat. Pasal 18 (1) Dalam keadaan memaksa untuk
menghadapi ancaman militer dan/atau ancaman bersenjata,
Presiden dapat langsung mengerahkan kekuatan TNI. (2) Dalam
hal pengerahan langsung kekuatan TNI sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dalam waktu 2 X 24 jam terhitung sejak
dikeluarkannya keputusan pengerahan kekuatan, Presiden harus
melaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
(3)

Dalam

hal

Dewan

Perwakilan

Rakyat

tidak

menyetujui

pengerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),

Presiden

harus

menghentikan

pengerahan

kekuatan

TNI

tersebut.
Panglima TNI bertanggung jawab kepada Presiden terkait penggunaan
kekuatan

TNI terkait

dengan

pengerahan

tersebut.

Kejelasan

atas

kewenangan ini penting mengingat dalam Inpres ini juga diatur mengenai
kewenangan Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagai Ketua Tim Terpadu
Tingkat

Daerah

dalam

mengkoordinasikan

penanganan

gangguan

keamanan di daerahnya. Maka kemudian pertanyaan mengenai komando
dan pertanggungjawaban baik anggaran maupun pelanggaran kembali
muncul.
3. Pelibatan institusi pemerintahan dan masyarakat sipil. Terkait pelibatan
masyarakat sipil, maka Inpres ini akan mengacu kepada UU Penanganan
Konflik Sosial dimana dalam proses penyelesaian konflik melibatkan
masyarakat. Pasal yang harus dirujuk terutama Pasal 41 dan Pasal 42
dimana harus diperhatikan bahwa pada kedua pasal tersebut posisi
pemerintah adalah fasilitator atas pranata adat atau sosial penyelesaian
konflik, dan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial yang dibentuk oleh
pemerintah pun dibentuk dalam rangka memfasilitasi penanganan konflik
dalam kondisi pranata adat/sosial tidak tersedia.
Ketentuan Ketiga pada Inpres ini menegaskan harus diikutsertakannya
masyarakat

sipil

(tokoh

agama,

organisasi

kemasyarakatan,

tokoh

masyarakat) dalam konteks penghentian tindak kekerasan. Walaupun dapat
dimengerti bahwa metode tersebut, patut juga dijelaskan mengenai
keikutsertaan ini dimana pada UU Penanganan Konflik Sosial menegaskan
pemerintah adalah fasilitator, akan tetapi pada Inpres ini menimbulkan kesan
kewajiban keikutsertaan.
Selain itu penggunaan fasilitas pemerintahan daerah dan APBD juga perlu
dipertanyakan. Pada kondisi seperti apakah APBN digunakan dan kapankah
APBD digunakan. Ketentuan ini penting untuk dipertimbangkan mengingat

APBD berkaitan langsung dengan kegiatan pembangunan daerah dan
perkembangan

ekonomi

daerah

tersebut

yang

berkaitan

dengan

pembangunan nasional secara umum.

Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Inpres ini sesungguhnya
tidak memiliki banyak pengaruh kepada upaya harmonisasi pengaturan tentang
keterlibatan TNI dalam bidang keamanan dan ketertiban. Sebagaimana diuraikan di
atas pula, permasalahan yang ada saat ini adalah dibolehkannya TNI untuk terlibat
dalam bidang keamanan dan ketertiban tidak disertai dengan aturan pelaksanaan yang
cukup jelas. UU Polri dan UU TNI sebagai contoh menghendaki adanya PP dan
kemudian UU yang hingga saat ini tidak ada satupun aturan yang terbentuk.
Aturan-aturan yang berlaku saat ini cenderung tumpang tindih dan tidak
sinkron. Aturan-aturan lama, seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
tentang Keadaan Bahaya (Perpu Nomor 23 Tahun 1959) dan aturan pelaksananya
Peraturan Pemerintah tentang Permintaan Dan Pelaksanaan Bantuan Militer (PP
Nomor 16 Tahun 1960) masih berlaku hingga saat ini dan dipergunakan walaupun
berbenturan dengan aturan terbaru.
Inpres ini justru membentuk sebuah ruang baru terkait pelibatan TNI dalam
bidang keamanan dan ketertiban. Walaupun lebih teknis, akan tetapi pertanyaan
penting seperti kondisi atau perameter dimana TNI dapat terlibat, anggaran, alur
komando, mekanisme pertanggung jawaban, dan mengenai kewenangan pengerahan
tidak terjawab. Kecenderungan yang terlihat adalah adanya pelimpahan wewenang
pengerahan Presiden kepada Menkopolhukam atau pejabat daerah, yang sejatinya
sudah diatur dalam UU Penanganan Konflik Sosial.
Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang lebih tegas diperlukan
untuk menjawab permasalahan yang sudah disebutkan di atas perlu untuk dibentuk.
Selain untuk mencegah adanya pelanggaran hak asasi manusia, diperlukan juga untuk

menjamin kepastian hukum dan efisiensi sumber daya negara di Indonesia. Adanya
aturan akan menjamin bahwa setiap pengerahan sumber daya negara, kekuatan TNI,
Polri, APBD, maupun APBN dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Anwar, D. F. (2004). Karakter TNI-Polri Pada Masa Transisi. Dalam I. N. Bhakti
(Ed.), Relasi TNI dan Polri dalam Penanganan Keamanan Dalam Negeri
(2000-2004) (pp. 36-37). Jakarta: Pusat Penelitian Politik - LIPI (P2P-LIPI).
Bleiker, C., & Krupanski, M. (2012). The Rule of Law and Security Sector
Reform Conceptualising a Complex Relationship. (A. Bryden, & H.
Hänggi, Eds.) Geneva, Switzerland: The Geneva Centre for the
Democratic Control of Armed Forces.
Head, M., & Mann, S. (2009). Domestic Deployment of the Armed Forces;
Military Powers, Law, and Human Rights. Farnham, Surrey, England:
Ashgate Publishing Limited.
Palekar, S. (2009). Comparative Politics And Government. New Delhi, India:
PHI Learning Pvt. Ltd.
Wibisono, A. A., Wardoyo, B., & Kasim, Y. K. (2009). Satu Dekade Reformasi
Militer Indonesia (Vol. 2). (A. R. Wulan, Ed.) Jakarta, Indonesia: PACIVIS,
Center for Global Civil Society Studies, University of Indonesia, FriedrichEbert-Stiftung (FES) Indonesia Ofce.
Wulf, H. (2004, Juli). Security Sector Reform in Developing and Transitional
Countries. Retrieved Juli 11, 2012, from The Berghof Handbook for
Conflict Transformation:

http://www.berghof-handbook.net/documents/publications/dialogue2_wu
lf.pdf

Jurnal dan Tulisan Ilmiah
Schiff, R. L. (199)). Civil-Military Relations Reconsidered: A Theory of
Concordance. Armed Forces and Society , 22 (1), 7 - 24.

Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Keadaan Bahaya,
Perpu Nomor 23 Tahun 19)9
Peraturan Pemerintah tentang Permintaan Dan Pelaksanaan Bantuan Militer,
PP Nomor 16 Tahun 1960
Undang-Undang Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No. 2
tahun 2002, LN No. 2 tahun 2002, TLN No. 4168
Undang-Undang Tentang Pertahanan Negara, UU No. 3 tahun 2002, LN No.
4169 tahun 2002, TLN No. 4169
Undang-Undang Tentang Tentara Nasional Indonesa, UU No. 34 tahun 2004,
LN No. 127 tahun 2004, TLN No. 4439

Sumber Elektronik
Forman, J. M. (2000, Maret 16 - 18). From Civil-Military Relations to Security
Sector Reform: New Directions, Old Vision. Retrieved Juli 11, 2012, from

The Latin American Studies Association:
http://lasa.international.pitt.edu/Lasa2000/MendelsonForman.PDF
Goodman, L. W. (1997). Civil - Military Relations In The Post - Cold War Era.
USIA Electronic Journals , 2 (3), 19 - 22. From http://www.hsdl.org/?
view&did3)70
Joint Task Force Civil Support. (n.d.). JTFCS Fact Sheet. Retrieved Oktober 22,
2012, from Joint Task Force Civil Support: http://www.jtfcs.northcom.mil/
JTFCS.aspx

Dokumen yang terkait

Analisis Pengaruh Pengangguran, Kemiskinan dan Fasilitas Kesehatan terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia di Kabupaten Jember Tahun 2004-2013

21 388 5

AN ANALYSIS ON GRAMMATICAL ERROR IN WRITING MADE BY THE TENTH GRADE OF MULTIMEDIA CLASS IN SMK MUHAMMADIYAH 2 MALANG

26 336 20

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

A DESCRIPTIVE STUDY ON THE TENTH YEAR STUDENTS’ RECOUNT TEXT WRITING ABILITY AT MAN 2 SITUBONDO IN THE 2012/2013 ACADEMIC YEAR

5 197 17

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Integrated Food Therapy Minuman Fungsional Nutrafosin Pada Penyandang Diabetes Mellitus (Dm) Tipe 2 Dan Dislipidemia

5 149 3