Contoh pembuatan makalah anemia id

Makalah Hukum Pidana ( Cara Merumuskan perbuatan Pidana, jenis Tindak
Pidana dan Subjek Tindak Pidana)
Diposkan oleh Habyb Vasco di 15.26 Label: Hukum Pidana, Pengetahuan Hukum Negara
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan segala rahmat, taufiq serta
inayahnya.

Sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang merupakan

menjadi komponen penilaian dalam perkuliahan Hukum Pidana. Adapun tema yang kami angkat
adalah berkaitan dengan Konsep Dasar Perbuatan Pidana, penulis menyadari sepenuhnya
penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna baik dalam isinya maupun dalam
penyajianya, berkat dorongan dan bimbingan dari semua pihak maka penulisan makalah ini
dapat terselesaikan.
Semoga karya sederhana ini layak untuk dijadikan sumber rujukan dalam mengkaji Ilmu
Hukum khususnya di bidang Hukum Pidana.

Dan memberikan kontribusi praktis maupun

akademik bagi internal civitas akademik UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, utamanya bagi

Fakultas Syari’ah, Jurusan Hukum Bisnis Syari’ah. Dan tak dipungkiri bagi semua golongan.
Semua kebenaran dalam makalah adalah semata dari Allah SWT dan miliknya, sedangkan segala
kesalahan kekurangan semata dari keterbatasan kami.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Malang, September 2014
Penyusun,
DAFTAR ISI
Contents
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang

B.
Rumusan Masalah
C.
Tujuan

BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Cara Merumuskan Perbuatan Pidana
B.
Jenis-Jenis Tindak Pidana
C.
Subjek Tindak Pidana
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Studi Kasus
B.
Analisis Kasus
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum adalah sebuah aturan mendasar dalam kehidupan masyarakat
yang dengan hukum itulah terciptanya kedamaian ketentraman dalam
kehidupan

bermasyarakat.

Terciptanya

keharmonisan

dalam

tatanan


masyarakat sosial juga tidak terlepas dengan adanya hukum yang mengatur.
Dalam hukum dikenal dengan istilah perbuatan pidana. Perbuatan pidana
merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam
ilmu hukum pidana, Perbuatan pidana (tindak pidana/delik) dapat terjadi
kapan saja dan dimana saja. Berbagai bentuk tindak kejahatan terus
berkembang baik modus maupun skalanya, seiring berkembangnya suatu
masyarakat dan daerah seiring juga perkembangan sektor perekonomian

demikian pula semakin padatnya populasi penduduk maka perbenturan
berbagai kepentingan dan urusan diantara komunitas tidak dapat dihindari.
Berbagai motif tindak pidana dilatarbelakangi berbagai kepentingan baik
individu maupun kelompok.
Tindak pidana (delik), Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diberi
batasan sebagai berikut ; “Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman
karena

merupakan

pelanggaran


terhadap

undang-undang;

tindak

pidana”. .Dalam teori yang diajarkan dalam ilmu hukum pidana latar
belakang orang melakukan tindak pidana/delik dapat dipengaruhi dari dalam
diri pelaku yang disebut indeterminisme maupun dari luar diri pelaku yang
disebut determinisme. Dalam makalah ini akan membahas mengenai cara
merumuskan perbuatan pidana, jenis-jenis dalam tindak pindana serta
subjek tindak pidana itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara merumuskan perbuatan pidana?
2. Sebutkan jenis-jenis tindak pidana ?
3. Siapa saja subjek tindak pidana ?

C. Tujuan
1. Untuk memahami cara merumuskan perbuatan pidana;

2. Untuk mengetahui jenis-jenis tindak pidana;
3. Untuk mengetahui subjek tindak pidana.

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Cara Merumuskan Perbuatan Pidana
Didalam KUHP, juga didalam Perundang-undangan pidana yang lain.
Tindak pidana dirumuskan didalam pasal-pasal. Perlu diperhatikan bahwa
di bidang hukum pidana

kepastian hukum atau lex certa merupakan

hal yang esensial, dan ini telah ditandai oleh asas legalitas pada pasal 1
ayat 1 KUHP. Untuk benar-benar yang apa yang diamaksudkan didalam
pasal-pasl itu masih diperlukan penafsiran.1[1]
Dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana di Negara-negara civil law lainnya,
tindak pidana umumnya di rumuskan dalam kodifikasi. Namun demikian, tidak terdapat
ketentuan dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya, yang merinci lebih
lanjut mengenai cara bagaimana merumuskan suatu tindak pidana.2[2]
Dalam buku II dan III KUHP Indonesia terdapat berbagai cara atau

teknik perumusan perbuatan pidana (delik), yang menguraikan perbuatan
melawan hukum yang dilarang atau yang diperintahkan untuk dilakukan,
dan kepada barangsiapa yang melanggarnya atau

tidak menaatinya

diancam dengan pidana maksimum. Selain unsur-unsur perbuatan yang
dilarang dan yang diperintahkan untuk dilakukan dicantumkan juga sikap
batin yang harus dipunyai oleh pembentuk delik agar ia dapat dipidana.
Teknik yang paling lazim digunakan untuk merumuskan delik
menurut jonkers (terjemahan Bina Aksara 1987 : 136-137) ialah dengan
menerangkan atau menguraikannya, misalnya rumusan delik menurt
pasal 279, 281, 286, 242 KUHP. Cara yang kedua ialah pasal undangundang

tertentu

menguraikan

unsur-unsur


perbuatan

pidana,

lalu

ditambahkan pula kualifkasi atau sifat dan gelar delik itu, misalnya
pemalsusan tulisan (pasal 263 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP),
penggelapan (pasal 372 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP). Cara yang
ketiga ialah pasal undang-undang tertentu hanay menyebut kualifasi
(sifat, gelar) tanpa uraian unsur-unsur perbuatan lebih lanjut. Uraian
unsur-unsur
1
2

delikd

diserahkan

kepada


yurisprudensi

dan

doktrin.

Misalnya, perdagangan perempuan dan perdagangan laki-laki yang belum
cukup umur (minderjarige), pengania (pasal 351 KUHP). Kedua pasal
tersebut tidak menjelaskan arti perbuatan tersebut, menurut teori dan
yurisprudensi, penganiayaan diartikan sebagai “ menimbulkan mestapa
atau derita atau rasa sakit pada orang lain pada orang lain.3[3]
Dalam KUHP terdapat 3 dasar pembedaan cara dalam merumuskan
tindak pidana :
1. Dari Sudut Cara Pencantuman Unsur-Unsur Dan Kualifkasi Tindak Pidana
Dari sudut ini, maka dapat dilihat bahwa setidak-tidaknya ada 3 cara
perumusan, ialah:
a.

Mencantumkan Unsur Pokok, Kualifkasi dan Ancaram Pidana

Cara pertama ini adalah merupakan cara yang paling sempurna.
Cara ini diguanakan terutama dalam hal merumuskan tindak pidana
dalam

bentuk

pokok/standard,

dengan

mencantumkan

unsur-unsur

objektif maupun unsur subyektif, misalnya pasal: 338 (pembunuhan), 362
(pencurian), 368 (pemerasan), 372 (penggelapan), 378 (penipuan), 406
(perusakan).
Dalam hal tindak pidana yang tidak masuk dalam kelompok bentuk
standard diatas, juga ada tindak pidana lainnya yang dirumuskan secara
sempurna


demikian

dengan

kualifkasi

tertentu,

misalnya

108

(pemberontakan).
Dimaksudkan unsur pokok atau unsur esensiel adalah berupa unsur
yang membentuk pengertian yuridis dari tindak pidana tertentu. Unsurunsur ini dapat dirinci secara jelas, dan untuk menyatakan seseorang
bersalah melakukan tindak pidana tersebut dan menjatuhkan pidana,
maka semua unsur itu harus dibuktikan dalam persidangan.
b. Mencantumkan Semua Unsur Pokok Tanpa Kualitatif Dan Mencantumkan
Ancaman Pidana
Cara inilah yang paling banyak digunakan dalam merumuskan
tindak pidana dalam KUHP. Tindak pidana yang menyebutkan unsur-unsur
pokok tanpa menyebut kualitatif, dalam praktek kadang-kadang terhadap
suatu rumusan diberi kualifkasi tertentu, misalnya terhadap tindak pidana
3

pada pasal 242 di beri kualifkasi sumpah palsu, stellionat (305),
penghasutan

(160),

laporan

palsu

(220),

membuang

anak

(305),

pembunuhan anak (341), penggelapan oleh pegawai negri (415). 4[4]
c.

Mencantumkan Kaulifkasi dan Ancaman Pidana
Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara ini adalah yang paling
sedikit. Hanya dijumpai pada pasal tertentu saja. Model perumusan ini
dapat dianggap sebagai perkecualian. Tindak pidana yang dirumuskan
dengan cara yang sangat singkat ini dilatarbelakangi oleh semua ratio
tertentu, misalnya pada kejahatan penganiayaan (351). Pasal 351 (1)
dirumuskan dengan sangat singkat yakni, penganiayaan (mishandeling)
diancam dengan pidala penjara paling lama dua

tahun delapan bulan

atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2. Dari Sudut Titik Beratnya Larangan
Dari sudut titik beratnya larangan maka dapat diberikan pula antara
merumuskan dengan cara formil (pada tindak pidana formil) dan dengan
cara materiil (pada tindak pidana materiil).
a.

Dengan Cara Formil
perbuatan pidana yang dirumuskan secara formil disebut dengan
tindak pidana formil (formeel delict). Disebut dengan cara formil karena
dalam rumusan dicantumkan secara tegas perihal larangan melakukan
perbuatan tertentu. Jadi yang menjadi pokok larangan dalam rumusan itu
adalah melakukan perbuatan yang melawan hukum tertentu. Apabila
dengan selesainya tindak pidana, maka jika perbuatan yang menjadi
larangan itu selesai dilakukan, maka tindak pidana itu selesai pula, tanpa
bergantung pada akibat yang timbul dari perbuatan yang melawan hukum
tersebut.5[5] Misalnya pasal 362 KUHP merumuskan kelakuan yang
dilarang yaitu mengambil barang yang seluruhnya atau sebagiannya
kepunyaan orang lain. Namun kelakuan mengambil saja tidak cukup
untuk memidana seseorang, diperlukan pula keadaan yang menyertai
pengambilan itu “ adanya maksud pengambilan untuk memilikunya
dengan melawan hukum”.
4
5

Unsur tindak pidana ini dinamakan unsur melawan hukum yang subyektif, yaitu
kesengajaan pengambilan barang itu diarahkan ke perbuatan melawan hukum, sehingga
menjadi unsur objektif bagi para sarjana hukum yang berpendapat monitis terhadap tindak
pidana, atau merupakan unsur actus reus, criminal act, perbuatan kriminal bagi yang
perpendapat dualisasi terhadap tindak pidana.6[6]
b. Dengan Cara Materiil
Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara materiil disebut
dengan tindakan pidan materiil (materieel delict). Perumusan perbuatan
pidana dengan cara materiil maksudnya ialah perbuatan pidana yang
perumusannya menitikberatkan pada akibat yang ditimbulkan dari
perbuatan pidana tersebut, sedangkan wujud dari perbuatan pidananya
tidak menjadi persoalan. Dan

diancam dengan pidana oleh undang-

undang. Misalnya pada pasal 338 (pembunuhan) yang menjadi larangan
ialah menimbulkan akibat hilangnya nyawa orang lain, sedangkan wujud
dari perbuatan menghilangkan nyawa (pembunuhan) itu idaklah menjadi
persoalan, apakah dengan menembak, meracuni dan sebagainya.
Dalam hubungannya dengan selesainya perbuatan pidana, maka
untuk selesinya perbuatan pidana bukan bergantung pada selesainya
wujud berbuatan, akan tetapi bergantung pada apakah dari wujud
perbuatan pidana itu akaibatnya telah timbul apa belum. Jika wujud
perbuatan telah selesai, namun akibatnya belum timbul, maka perbuatan
pidana itu belum selesai, yang terjadi adalah percobaannya.7[7]
3. Dari Sudut Pembedaan Tindak Pidana Antara Bentuk Pokok, Bentuk Yang
Lebih Berat Dan Yang Lebih Ringan
a.

Perumusan Dalam Bentuk Pokok
Jika dilihat dari sudut sistem pengelompokan atau pembedaan
perbuatan pidana antara bentuk standar (bentuk pokok) dengan bentuk
yang diperberat dan bentuk yang lebih ringan, juga cara merumuskannya
dapat dibedakan antara merumuskan perbuatan pidana dalam bentuk
pokok dan dalam bentuk yeng diperberat dan atau yeng lebih ringan.
6
7

Dalam hal bentuk pokok pembentukan UU selalu merumuskan
secara sempurna, yaitu dengan mencantumkan semua unsur-unsurnya
secara lengkap. Dengan demikian rumusan bentuk pokok ini adalah
merupakan pengertian yuridis dari tindak pidana itu. Misalnya pasal 338,
362, 378, 369, 406.
b. Perumusan Dalam Bentuk Yang Diperingan dan yang Diperberat
Rumusan dalm bentuk yang lebih berat dan atau lebih ringan dari
perbuatan pidana yang bersangkutan, unsur-unsur bentuk pokoknya tidak
diulang kembali atau dirumuskan kembali, melainkan menyebut saja
pasal bentuk pokok (misalnya: 364, 373, 379) atau kualifkasi bentuk
pokok (misalnya: 339, 363, 365). Kemudian menyebutkan unsur-unsur
yang menyebabkan diperingan atau diperberatnya perbuatan pidana itu.
Cara

yang

demikian

dapat

diterima,

mengingat

merumuskan

perbuatan pidana prinsip penghematan kata-kata (ekonomis) namun
tegas dan jelas tetap harus dipegang teguh.8[8]

B. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu:
1. Menurut sistem KUHP
Di dalam KUHP yang berlaku di Indonesia sebelum tahun 1918
dikenal kategorisasi tiga jenis peristiwa pidana yaitu,
a.

Kejahatan (crims)

b. Perbuatan buruk (delict)
c.

Pelanggaran (contravenrions)
Menurut KUHP yang berlaku sekarang, peristiwa pidana itu ada dalam dua
jenis saja yaitu “misdrijf” ( kejahatan) dan “overtreding” (pelanggaran).
KUHP tidak memberikan ketentuan syarat-syarat untuk membedakan
kejahatan dan pelanggaran. KUHP hanya menentukan semua yang
terdapat dalam buku II adalah kejahatan, sedangkan semua yang
terdapat dalam buku III adalah pelangaran.9[9]

8
9

2. Menurut cara merumuskannya: Tindak pidana dibedakan anatara tindak
pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel
delicten)
Tindak pidana formil itu adalah tindak pidana yang perumusannya
dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah
selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan
delik.

Misal

:

penghasutan

(pasal

160

KUHP),

di

muka

umum

menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan kepada
salah satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia (pasal 156 KUHP);
penyuapan (pasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu (pasal 242 KUHP);
pemalsuan surat (pasal 263 KUHP); pencurian (pasal 362 KUHP).
Tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang perumusannya
dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). tindak
pidana ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah
terjadi. Kalau belum maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal :
pembakaran (pasal 187 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan
(pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil dan materiil tidak tajam
misalnya pasal 362.
3.

Berdasarkan bentuk kesalahannya: Dibedakan antara tindak pidana
sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose
delicten)10[10]
Tindak pidana sengaja (doleus delicten) adalah tindak pidana yang dalam rumusannya
dilakukan dengan kesengajaan atau ada unsur kesengajaan. Sementara itu tindak pidana tidak
sengaja (culpose delicten) adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung unsur
kealpaan yang unsur kesalahannya berupa kelalaian, kurang hati-hati, dan tidak karena
kesengajaan.
Contohnya:
Delik kesengajaan: 362 (maksud), 338 (sengaja), 480 (yang diketahui) dll
Delik culpa: 334 (karena kealpaannya), 359 (karna kesalahannya).
Gabungan (ganda): 418, 480 dll

10

4.

Berdasarkan macam perbuatannya: Dapat dibedakan antara tindak
pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta
commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak pidana
omisi (delicta omissionis)
Tindak pidana aktif (delicta commisionis) adalah tindak pidana yang perbuatannya
berupa perbuatan aktif (positif). Perbuatan aktif (disebut perbuatan materiil) adalah
perbuatan yang untuk mewujudkan disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh
orang yang berbuat. Perbuatan aktif ini terdapat baik dalam tindak pidana yang dirumuskan
secara formil maupun materiil. Sebagian besar tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP
adalah tindak pidana aktif.
Berbeda dengan tindak pidana pasif, dalam tindak pidana pasif, ada suatu kondisi dan
atau keadaan tertentu yang mewajibkan seseorang dibebani kewajiban hukum untuk berbuat
tertentu, yang apabila tidak dilakukan (aktif) perbuatan itu, ia telah melanggara kewajiban
hukumnya. Di sini ia telah melakukan tindak pidana pasif. Tindak pidana ini dapat disebut
juga tindak pidana pengabaian suatau kewajiban hukum. Misalnya pada pembunuhan 338
(sebenarnya tindak pidana aktif), tetapi jika akibat matinya itu di sebabkan karna
seseorang tidak berbuat sesuai kewajiban hukumnya harus ia perbuat dan karenanya
menimbulkan kematian, seperti seorang ibu tidak mnyusui anaknya agar mati, peruatan
ini melanggar pasal 338 dengan seccara perbuatan pasif.
Contohnya:
Delik Aktif: 338, 351, 353, 362 dll.
Delik Pasif: 224, 304, 338 (pada ibu menyusui), 522.

5.

Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya: Maka dapat dibedakan
antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam
waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.11[11]
Tindak pidana yang terjadi dalam waktu yang seketika disebut juga dengan aflopende
delicten. Misalnya pencurian (362), jika perbuatan mengambilnya selesai, tindak pidana itu
menjadi selesai secara sempurna.
Sebaliknya, tindak pidana yang terjadinya berlangsung lama disebut juga dengan
voortderende delicten. Seperti pasal (333), perampasan kemerdekaan itu berlangsung lama,
bahkan sangat lama, dan akan terhenti setelah korban dibebaskan/terbebaskan.
Contohnya:
11

Delik terjadi seketika: 362,338 dll.
Delik berlangsung terus: 329, 330, 331, 333 dll.
6.

Berdasarkan sumbernya: Dapat dibedakan antara tindak pidana umum
dan tindak pidana khusus
Tindak pidana umum adalah tindak pidana yang dapat dilakukan
oleh setiap orang sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana khusus
adalah tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang
tertentu. Contoh tindak pidana khusus adalah dalam Titel XXVIII Buku II
KUHP : kejahatan dalam jabatan yang hanya dapat dilakukan oleh
pegawai negeri.
Contohnya:
Delik umum: KUHP.
Delik khusus: UU No. 31 th 1999 tentang tindak pidana korupsi, UU No. 5 th 1997 tentang
psikotropika, dll.

7.

Dilihat dari sudut subjek hukumnya: Dapat dibedakan antara tindak
pidana communia (delicta communia) yang dapat dilakukan siapa saja
dan tindak (pidana propia) dapat dilakukan hanya oleh orang yang
memiliki kualitas pribadi tertentu.12[12]
Jika dilihat dari sudut subjek hukumnya, tindak pidana itu dapat dibedakan antara
tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang (delictacommunia ) dan tindak pidana
yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu (delicta propria).
Pada umumnya, itu dibentuk untuk berlaku kepada semua orang. Akan tetapi, ada
perbuatan-perbuatan tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang berkualitas
tertentu saja.
Contohnya:
Delik communia: pembunuhan (338), penganiayaan (351, dll.
Delik propria: pegawai negri (pada kejahatan jabatan), nakhoda (pada kejahatan pelayaran)
dll.

12

8.

Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan: maka
dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak
pidana aduan ( klacht delicten).13[13]
Tindak pidana biasa adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana
tidak disyaratkan adanya aduan dari yang berhak. Sedangkan delik aduan adalah tindak
pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana disyaratkan adanya aduan dari yang
berhak.
Contohnya:
Delik biasa: pembunuhan (338) dll.
Delik aduan: pencemaran (310), fitnah (311), dll.

9. Berdasarkan berat dan ringannya pidana yang diancamkan: Maka dapat
dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten)
tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak
pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten)
Tindak pidana yang ada pemberatannya, misal : penganiayaan yang
menyebabkan luka berat atau matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3 KUHP),
pencurian pada waktu malam hari dsb. (pasal 363). Ada delik yang
ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu,
misal : pembunuhan kanak-kanak (pasal 341 KUHP). Delik ini disebut
“geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misal : penganiayaan (pasal 351
KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP).
10. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi: Maka tindak pidana
terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi
seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta
benda, tindak pidana pemalsusan, tindak pidana terhadap nama baik,
terhadap kesusilaan dan lain sebagainya
11. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan,
dibedakan antara tindak pidana tunggal (enklevoudige delicten) dan
tindak pidana berangkai (samengestelde delicten)
13

Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang terdiri atas satu perbuatan yang
hanya dilakukan sekali saja. Contoh pasal 480 KUHP (Penadahan). Sedangkan yang
dimaksud dengan tindak pidana bersusun adalah delik yang terdiri atas beberapa perbuatan.
Contohnya adalah dalam pasal 481 KUHP : kebiasaan menyimpan barang-barang curian,
contoh ini juga disebut gewoonte delicten (delik kebiasaan) yang mungkin atau biasa
dilakukan oleh tukang rombengan/loak.14[14]

C. Subjek Tindak Pidana
Terkait

dengan

pertanggungjawaban

subjek

pidana

tindak

bersifat

pidana

pribadi.

perlu

Artinya,

dijelaskan,
barangsiapa

melakukan tindak pidana, maka ia harus bertanggung jawab, sepanjang
pada diri orang tersebut tidak ditemukan dasar penghapus pidana. 15[15]
Selanjutnya, dalam pidana dikenal juga adanya konsep penyertaan
(deelneming). Konsep penyertaan ini berarti ada dua orang atau lebih
mengambil bagian untuk mewujudkan atau melakukan tindak pidana.
Menjadi persoalan, siapa dan bagaimana konsep pertanggung jawaban
pidana, dalam hukum pidana kualifkasi pelaku (subjek) tindak pidana
diatur dalam Pasal 55-56 KUHP.
Dalam KUHP terdapat lima bentuk yang merupakan subjek tindak pidana,
yaitu sebagai berikut.
1. Mereka yang melakukan (dader). Satu orang atau lebih yang melakukan
tindak pidana.
2.

Menyuruh

melakukan

(doen

plegen).

Dalam

bentuk

menyuruh-

melakukan, penyuruh tidak melakukan sendiri secara langsung suatu
tindak pidana, melainkan (menyuruh) orang lain.
3.

Mereka yang turut serta

(medeplegen). Adalah seseorang yang

mempunyai niat sama dengan niat orang lain, sehingga mereka samasama mempunyai kepentingan dan turut melakukan tindak pidana yang
diinginkan.
4.

Penggerakan (uitlokking). Penggerakan atau dikenal juga sebagai
Uitlokking unsur perbuatan melakukan orang lain melakukan perbuatan
14
15

dengan

cara

memberikan/

menjanjikan

sesuatu,

dengan

ancaman

kekerasan, penyesatan menyalahgunakan martababat dan kekuasaan
beserta pemberian kesempatan,sebagaimana diatur dalam KUHP Pasal 55
ayat 1 angka 2.
5.

Pembantuan

(medeplichtigheid).

Pada

pembantuan

pihak

yang

melakukan membantu mengetahui akan jenis kejahatan yang akan ia
bantu.16[16]
Sebagaimana diuraikan terdahulu, bahwa unsur pertama tindak
pidana itu adalah perbuatan orang, pada dasarnya yang dapat melakukan
tindak pidana itu manusia (naturlijke personen). Ini dapat disimpulkan
berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
1.

Rumusan delik dalam undang-undang lazim dimulai dengan kata-kata :
“barang siapa yang …….”. Kata “barang siapa” ini tidak dapat diartikan
lain selain dari pada “orang”.

2. Dalam pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis pidana yang dapat dikenakan
kepada tindak pidana, yaitu :
1) pidana pokok :
a) pidana mati
b) pidana penjara
c) pidana kurungan
d) pidana denda, yang dapat diganti dengan pidana kurungan
2) pidana tambahan :
a) pencabutan hak-hak tertentu
b) perampasan barang-barang tertentu
c) dimumkannya keputusan hakim
Sifat dari pidana tersebut adalah sedemikian rupa, sehingga pada
dasarnya hanya dapat dikenakan pada manusia.
3.

Dalam pemeriksaan perkara dan juga sifat dari hukum pidana yang
dilihat ada / tidaknya kesalahan pada terdakwa, memberi petunjuk bahwa
yang dapat dipertanggungjawabkan itu adalah manusia.

4.

Pengertian kesalahan yang dapat berupa kesengajaan dan kealpaan itu
merupakan sikap dalam batin manusia.
16

Menurut asas-asas hukum pidana Indonesia, badan hukum tidak
dapat mewujudkan tindak pidana. Hoofgerechtshof van N.I. dahulu di
dalam arrestnya tanggal 5 Agustus 1925 (jonkers. 1946: 11) menegaskan
dengan alasan bahwa hukum pidana Indonesia dibentuk berdasarkan
ajaran kesalahan Individual. Sistem hukum pidana Indonesia tidak
memungkinkan penjatuhan pidana denda kepada koorporasi, oleh karena
pihak yang dijatuhi pidana denda diberikan pilihan untuk menggantinya
dengan pidana kurungan atau pengganti dengan denda (pasal 30 (1), (2),
(3) dan (4) KUHP).17[17]

BAB III
PEMBAHASAN

A. Studi Kasus
LAMPUNG, Pada hari Kamis tanggal 19 Januari 2012 sekitar pukul 11.45 Wib di
jalan Ratu Dibalu gang melati tanjung seneng Bandar Lampung, telah terjadi pencurian
17

dengan kekerasan terhadap korban An. RITA JAHARA (36 tahun) yang dilakukan oleh enam
orang tidak dikenal.
Awalnya pelaku CS menggunakan sepeda motor mendatangi rumah korban kemudian
masuk dan mengikat korban sambil menodongkan senjata api selanjutnya pelaku CS
mengambil barang-barang milik korban, kerugian korban berupa :
1. 1 HP merk Blackbery
2. 2 HP merk Nokia
3. 1 HP Nexian
4. 1 HP merk Cross
5. 1 unit Ipad
6. 1 unit Laptop merk Asus,
7. 1 unit kamera digital merk linux
8. Emas 35 gram
9.

Uang tunai Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah)
Kerugian materil yang dialami korban ditaksir Rp.35.000.000,- (tiga puluh lima juta
rupiah) dan saat ini kasus tersebut sedang ditangani Polresta Bandar Lampung Polda
Lampung.

B. Analisis Kasus
Pada kasus di atas, pelaku berjumlah enam orang telah melakukan tindak pidana
pencurian dengan cara mengambil barang-barang milik Rita Jahara yang disertai dengan
tindak kekerasan di rumah korban jalan Ratu Dibalu gang melati tanjung seneng Bandar
Lampung.
Dalam kasus ini, pelaku dapat dijerat dengan pasal 362 KUHP yaitu mengenai
pencurian yang berbunyi “Barangsiapa mengambil barang, yang sama sekali atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum,
dipidana karena mencuri dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau denda
sebanyak-banyaknya Sembilan ribu rupiah”18[18]
Tindak pidana ini masuk dalam golongan “pencurian biasa(Pokok)” Unsur-unsurnya
sebagai berikut:
18

1. Tindakan yang dilakukan ialah “mengambil”;
2. Yang diambil ialah “barang”;
3. Status barang itu “sebagian atau seluruhnya menjadi milik orang lain”;
4.

Tujuan perbuatan itu ialah dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan
hukum (melawan hak).

Unsur-unsur tersebut dapat digolongkan menjadi unsur-unsur objektif dan unsur-unsur
subjektif
Unsur – Unsur Objektifnya berupa :
1. Unsur perbuatan mengambil. Dari adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil
ini menunjukkan bahwa pencurian adalah berupa tindak pidana formil.
2. Unsur benda. Semua benda yang berwujud seperti uang, baju, perhiasan dan
sebagainya termasuk pula binatag dan benda yang tak berwujud seperti aliran listrik
yang disalurkan melalui kawat serta gas yang disalurkan melalui pipa, dan semua
benda-benda yang memiliki nilai.
3. Unsur sebagian maupun seluruhnya milik orang lain. Benda tersebut tidak perlu
seluruhnya milik orang lain , cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian milik
pelaku itu sendiri.
Unsur – Unsur Subjektifnya berupa :
1. Maksud untuk memiliki. Maksud untuk memiliki berarti sebelum melakukan
perbuatan mengambil dalam diri pelaku sudah terkandung suatu kehendak (niat)
terhadap barang itu untuk dijadikan sebagai miliknya.
2. Melawan hukum. Maksud memiliki dengan melawan hukum atau maksud memiliki
itu ditujukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan
perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui, sudah sadar ingin memiliki benda
orang lain (dengan cara yang demikian) itu adalah bertentangan dengan hukum.
Tetapi karena pencurian tersebut disertai dengan ancaman kekerasan pada pemilik
rumah, maka pelaku dapat diancam dengan pasal 365 KUHP ayat (1) dan (2), yang berbunyi:
1) Dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun, dipidana pencurian yang didahului,
disertai, atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan pada orang, dengan maksud

untuk menyediakan atau memudahkan pencurian itu, atau jika tertangkap tangan, supaya ada
kesempatan bagi dirinya atau bagi yang turut serta melakukan kejahatan itu untuk melarikan
diri atau supaya barang yang dicurinya tetap tinggal ditangannya.
2) Pidana penjara selama-lamannya dua belas tahun dijatuhkan:
1. jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup
yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan;
2. jika perbuatan itu dilakukan bersama-sama oleh dua orang atau lebih;
3. jika yang bersalah masuk ke tempat melakukan kejahatan itu, dengan merusak atau memanjat
atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu, atau pakaian jabatan palsu;
4. jika perbuatan itu mengakibatkan ada orang luka berat.19[19]
Ancaman hukuman untuk pencurian dengan kekeransan ini diperberat, apabila disertai
salah satu hal seperti yang telah dijelaskan pada pasal 365 ayat (2) di atas.
Perumusan perbuatan pidana yang digunakan untuk kasus pencurian dengan
kekerasan ini adalah dengan cara mencantumkan Unsur Pokok, Kualifkasi dan
Ancaram Pidana, yang telah diterangkan di atas,sehingga dengan unsurunsur tersebut dapat dirinci secara jelas, dan untuk menyatakan pelaku
pencurian ini bersalah melakukan karena telah melakukan tindak pidana
tersebut dan menjatuhkan hukuman pidana terhadap pelaku tindak
pindana.
Jika diliah dari pasal yang telah diterangkan sebelumnya yaitu KUHP pasal 362 dan
365 ayat (1) dan (2), maka perbuatan pelaku tergolong kepada tindak pidana berkualifikasi,
karena perbuatan tersebut memiliki unsur-unsur yang sama dengan tindak pidana dasar atau
tindak pidana pokok, tetapi ditambah dengan unsur-unsur lain sehingga ancaman pidananya
lebih berat dari pada tindak pidana dasar. Sehingga perbuatan pencurian ini dapat diancam
dengan hukuman yang diperberatkan
Perbuatan Pelaku yang melakukan tindak pidana pencurian yang mengakibatkan
pelaku dihukum selama-lamannya lima tahun kurungan sesuai dengan KUHP Pasal 362.
Akan tetapi perbuatan pelaku yang melakukan kekerasan kepada pemilik rumah, dengan
mengikat korban dan menodongkan senjatanya, dapat diancam dengan hukuman yang
diperberatkan yang disebutkan dalam KUHP Pasal 365 ayat (1) dan (2) yaitu dengan
hukuman selama-lamanya dua belas tahun kurungan.

19

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
menurut kami, kasus pencurian dengan kekerasan ini tergolong pada Tindakn pidana
berkualifikasi dan formil, karena tindak pidana ini terjadi karena adanya pelanggaran pada
larangan yang dimuat dalam undang – undang (KUHP pasal 362 dan 365 ayat (1) dan (2) ).
Pada kasus pencurian dasar (Pokok), pelaku dapat dituntut maksimal hukuman penjara lima
tahun, akan tetapi pada kasus pencurian ini pelaku melakukan tindakan kekerasan kepada
pemilik rumah sehingga keenam pelaku dapat dijerat pasal 365 KUHP dengan hukuman
penjara maksimal dua belas tahun. Para pelaku pada kasus di atas dianggap cakap hukum,
sadar akan perbuatannya yang melawan hukum dan bertanggungjawab penuh terhadap
perbuatannya, sehingga tidak ada alasan penghapusan pidana. Hukuman yang tepat diberikan
pada mereka, selain merujuk kepada pasal – pasal dalam KUHP, akan disesuaikan juga
dengan keyakinan hakim dan yurisprudensi pada kasus ini.

B. Saran
Dalam Penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak
terdapat kekurangan, kekeliruan dan kesalahan. Untuk itu kepada
pembaca kami mohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. 2007, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika.
Chazawi, Adami. 2002, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
C.S.T. Kansil dan Christine. 2007, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Jakarta: PT. Pradnya
Paramita.
Huda Chairul. 2006, Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggung
jawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: PT. Kencana.

Prasetyo Teguh. 2011, Hukum Pidana, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
R. Soesilo. 1991, KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA(KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : Politea.

R. Sugandhi, 1980, KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional.