makalah agrariaPENGADAAN TANAH BAGI PELA

MAKALAH
PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN
UNTUK KEPENTINGAN UMUM
“Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Agraria”

DISUSUN OLEH:

Dibuat oleh :
Puspa Dwi Labarina
1111141053

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG-BANTEN
2017

1

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia pada saat ini sedang giat melaksanakan
pembangunan, dengan tujuan untuk menciptakan kemakmuran dan keadilan
bagi seluruh bangsa Indonesia.Dalam melaksanakan pembangunan tersebut,
kebutuhan terhadap tanah semakin meningkat.Kegiatan pembangunan mental
spiritual, banyak memerlukan tanah sebagai tempat menanpung semua
kegiatan tersebut.1
Dan karena kehidupan ekonomi masyarakatpun telah membuat tanah
menjadi komoditas dan faktor produksi yang dicari oleh manusia. Peningkatan
jumlah penduduk di setiap Negara yang sangat pesat telah meningkatkan
permintaan akan tanah guna keperluan tempat tinggal dan tempat usaha.
Namun peningkatan permintaan tanah ini tidak dikuti oleh penyediaan
tanah.Hal ini dapat dmengerti karena tanah bukan sumber daya yang dapat
diperbarui dengan mudah.Persediaan tanah sangat terbatas bahkan bisa habis
karena adanya erosi dan abrasi.Selain itu, dapat terjadi perubahan penggunaan
tanah non pertanian (perumahan dan industri).Hal ini membuat tanah sesuai
dengan hukum ekonomi semakin meningkat nilainya dari waktu ke waktu.2
Ketentuan yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu
terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), yang merupakan

pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945
1 Suparman Usman, Hukum Agraria Di Indonesia Bagian Hukum Tanah, Serang,
IAIN Suhada Press, 2009, hlm.1
2 Marihot P. Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, Bandar
Lampung, Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.1

2

yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Adapun pengejawantahan lebih lanjut mengenai hukum
tanah banyak tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya
seperti Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah; Peraturan Menteri
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang
Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian
Hak atas Tanah; dan lain-lain.3
Selain tanah, bangunan juga merupakan benda yang penting bagi
manusia. Bangunan yang berbentuk rumah tinggal memberikan manfaat bagi
pemiliknya dengan melindungi dari panas dan hujan, serta tempat

beraktivitas; bangunan kantor, pabrik, mal, dan sebagainya, sangat penting
bagi usaha dan aktivitas kerja; bangunan rumah sakit penting untuk merawat
pasien; bangunan sekolah penting untuk tempat belajar dan pengembangan
ilmu; dan sebagainya. Peranan tanah begitu penting untuk pembangunan
tersebut.4
Terkait dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar
1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.5Maka dari itu tanah pun harus digunakan
dengan bijak untuk kelangsungan hidup bersama.
Sehubungan dengan masalah yang telah diuraikan, maka penulis dalam
makalah ini akan membahas tema yang berjudul “Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum”.
B. Rumasan Masalah
3 Muchsin, Hukum Agraria Indonesia Dalam Persektif Sejarah, Bandung, PT. Refika
Aditama, 2014, hlm.50
4 Supriyadi,Aspek Hukum Tanah Aset Daerah Menekankan Keadilan Kemanfaatan
Dan Eksistensi Tanah, Jakarta, Prestasi Pustaka, 2010, hlm.287
5 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Bab 14, Pasal 1 Ayat (3)


3

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis bisa
menyimpulkan permasalahan terjadi, dan akan dibahas diantaranya yaitu:
1. Apa yang menjadi dasar hukum pengaaan tanah, yang mejadi pokok
dalam pengadaan tanah?
2. Bagaimanatahap yang dilakukan Pemerintah dalam penyelengaraan
pengadaan tanah untuk pelaksanaan pembagunan untuk kepentingan
umum?
3. Bagaimana perbandingan Perpres No. 36 Tahun 2005 jo. Perpres No.
65 Tahun 2006 dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 terkait
pengaturan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan umum?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulis dalam membuat makalah ini untuk memberikan
wawasan bagi penulis dan pembaca, diantaranya yaitu:
1. Untuk mengetahui dasar hukum pengaaan tanah, asas dan tujuan dari
pengadaan tanah;
2. Untuk mengetahui tahapan yang dilakukan Pemerintah dalam
penyelenggaraan tanah, untuk pelaksanaan pembagunan untuk

kepentingan umum;
3. Untuk mengetahui perbandingan Perpres No. 36 Tahun 2005 jo.
Perpres No. 65 Tahun 2006 dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012
terkait pengaturan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan
umum.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Dasar Hukum Pengadaan Tanah dan Pokok-Pokok Pengandaan Tanah
1.1.
Dasar Hukum Pengadaan Tanah

4

Sehubungan dengan kemungkinan penggunaan tanah yang sudah
ada pemegang haknya bagi keperluan pembangunan, maka diaturlah cara
untuk mendapatkan tanah tersebut dalam perundang-undangan yaitu :
1. Peraturan tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum sebagaimana diatur oleh perundangundangan terakhir dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No.
36 Tahun 2005 jo. No. 65 tahun 2006.

2. Perundang-undangan tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan
benda-benda yang diatasnya, sebagaimana diatur dalam undangundang No. 20 tahun 1961 dan peraturan-peraturan pelaksanaannya.
3. Undang-undang RI nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk kepentingan umum.
4. Peraturan presiden nomor 71 tahun 2012 tentang penyelenggaraan
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
5. Perpres No. 40 tahun 2014 tentang Perubahan atas Perpres No. 71
Tahun 2012.
6. Peraturan kepala BPN RI nomor 5 tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Pengadaan Tanah.6

Dengan lahirnya Undang-undang No. 2 tahun 2012, maka PeraturanPeraturan Presiden No. 36 jo. Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undangundang ini.
Pengadaan tanah bagi kepentingan pembangunan sebelum lahirnya
Peraturan Presiden No. 55 tahun 1993, pelaksaannya diatur dengan cara
pemegang hakatas tanah tersebut melepaskan atau menyerahkan haknya
dengan sukarela kepada Negara, dengan pembayaran ganti rugi. Setelah itu
berarti tanah telah bebas dari penguasaan seseorang.Selanjutnya Negara
6Suparman Usman, op.cit, hlm.276


5

mengatur pemberian ha katas tanah tersebut kepada pihak-pihak yang
memerlukannya.Pada waktu itu memunculah istilah pembebasan tanah dalam
perundang-undangan.
Pelaksaan Pembebasan Tanah merupakan kelanjutan dari ketentuan
hapusnya hak atas tanah melalui pelepasan atau penyerahan oleh haknya.7
Dalam pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15 tahun 1975, disebukan
bahwa: “Yang dimaksud pembebasan tanah ialah melepaskan hubungan
hukum yang semula terdapat diantara pemegang hak/penguasa atas tanahnya
dengan cara memberikan ganti rugi”.
Pada perkembangan kemudian, pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum melalui pembebasan tanah sebagaimana diatur oleh
Perundang-undangan diatas, dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan
tuntutan dan kebutuhan pembangunan.Oleh karena itulah kemudian
Pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang mengatur pengadaan tanah
tersebut.
Peraturan baru yang mengatur pengadaan tanah tersebut yaitu
Peraturan Presiden No.36 tahun 2005 yang diubah atau disempurnakan oleh
Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan untuk kepentingan umum, mulai berlaku tanggal
30 Mei 2005. Peraturan Presiden ini mencabut Keputusan Presiden No. 55
tahun 1993.
Landasan pengadaan tanah sebagaimana yang diatur oleh Peraturan
Presiden No. 36 tahun 2005 di atas pada pokoknya didasarkan kepada
pengaturan pelepasan atau penyerahan atau pencabutan hak, sebagaimana
yang diatur oleh undang-undang sebelumnya.

7 Ibid, hm.278

6

Selanjutnya keluar Peraturan Kepala Badan Pertahanan Nasional
(BPN) No.3 tahun 2007 tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden
No.36 tahun 2005 sebagimana yang telah diubah oleh Peraturan Presiden
No.65 tahun 2006 tersebut. Jadi sejak tahun 1975 telah keluar berbagai
perundang-undangan yang mengatur pembebasan tanah atau pengadaan tanah
bagi pelaksaan pembangunan bagi kepentingan umum sebagai berikut:
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 tahun 1975 tentang
Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.8

1. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1976 tentang
Penggunaan Acara Pembebasan Tanah untuk Kepentingan
Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Pemerintah
Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta.
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.2 tahun 1985 tentang Tata Cara
Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Proyek proyek pembangunan di
wilayah Kecamatan.
3. Keputusan Presiden No. 55 tahun 1993 tentang pengadaan tanah
bagi pelaksaan pembangunan untuk kepentingan umum yang
mencabut peraturan-peraturan No. 1,2,3 diatas.
4. Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006 tentang pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang mencabut
keputusan Presiden No. 55 tahun 1993.
5. Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006 tentang pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang
mengubah/menyempurnakan peraturan Presiden No. 36 tahun 2005.
6. Peraturan Kepala Badan Pertahanan Nasional No. 3 tahun 2007
tentang ketentuan pelaksaan Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005
sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Presiden No. 65 tahun
2006.

8 Ibid, hlm.278

7

7. Undang-undang RI No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk kepentingan umum.
8. Peraturan Presiden No.71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk kepentingan umum yang
mencabut Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006 jo. Peraturan
Presiden No.36 tahun 2005.
9. Perpres No.40 tahun 2014 tentang Perubahan atas Prepres No.71
tahun 2012
10. Peraturan Kepala BPN No. 5 tahun 2012 tentang RI. Petunjuk
Teknik Pelaksaan Pengadaan Tanah.9

Adapun asasyang mendasari Hukum Tanah Nasional dewasa ini yang
terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan UUPA yaitu :
a. Asas kemanusiaan, yang dimaksud dengan asas ini adalah Pengadaan
Tanah harus memberikan perlindungan serta penghormatan terhadap
hak asasi manusia, harkat, dan martabat setiap warga Negara dan

penduduk Indonesia secara proporsional.
b. Asas keadilan, yaitu memberikan jaminan penggantian yang layak
kepada pihak yang berhak dalam proses Pengadaan Tanah sehingga
mendapatkan kesempatan untuk dapat melangsungkan kehidupan
yang lebih baik.
c. Asas kemanfaatan, adalah hasil Pengadaan Tanah mampu
memberikan manfaat secara luar bagi kepentingan masyarakat,
bangsa, dan Negara.
d. Asas kepastian, yaitu memberikan kepastian hukum tersedianya
tanah dalam proses Pengadaan Tanah untuk pembangunan dan

9Ibid, hlm. 279

8

memberika jaminan kepada pihak yang berhak untuk mendapatkan
Ganti Kerugian yang layak.
e. Asas keterbukaan, ialah bahwa Pengadaan Tanah untuk pembangunan
dilaksanakan dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk
mendapatkan informasi yang berkaitan dengan Pengadaan Tanah.10
f. Asas kesepakatan adalah proses Pengadaan Tanah dilakukan dengan
musyawarah para pihak tanpa unsur paksaan untuk mendapatkan
kesepakatan bersama.
g. Asas keikut sertaan yaitu dukungan dalam penyelenggaraan
Pengadaan Tanah melalui partisipasi masyarakat, baik secara
langsung maupun tidak langsung, sejak perencanaan sampai dengan
kegiatan pembangunan.
h. Asas kesejahteraan adalah Pengadaan Tanah untuk pembangunan
dapat memberikan nilai tambah bagi kelangsungan kehidupan pihak
yang berhak dan masyarakat secara luas.
i. Asas keberlanjutan adalah kegiatan pembangunan yang dapat
berlangsung secara terus-menerus, berkesinambungan, untuk
mencapai tujuan yang diharapkan.
j. Asas keselarasan adalah kegiatan pembangunan dapat seimbang dan
sejalan dengan kepentingan masyarakat dan Negara.
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan menyediakan
tanah bagi pelaksaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran bangsa, Negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin
kepentingan hukum pihak yang berhak.

1.2.

Pokok-Pokok Pengadaan Tanah
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin tersedianya tanah

untuk kepentingan umum.Pihak yang berhak wajib melepaskan tanahnya pada
saatnya pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum setelah
10 Ibid, hlm.281

9

pemberian ganti kerugian atas berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, dan pengadaan tanah untuk kepentingan
umum diselenggarakn oleh pemerintah.
1. pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan sesuai
dengan :
a. Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah;11
b. Rencana Pembangunan Nasional/Daerah;
c. Rencana Strategis;dan
d. Rencana Kerja setiap Instansi yang memerlukan tanah
2. dalam hal pengadaan dilakukan untuk infrastruktur minyak, gas, dan
panas bumi, pengadaannya diselenggarakan berdasarkan Rencan
Strategis dan Rencana Kerja Instansi yang memerlukan tanah sebagai
sebagaimana dmaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d.
3. pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselelenggarakan melalui
perencanaan dengan melibatkan semua pengampu dan pemangku
kepentingan. (Pasal 7)
4. pihak yang berhak dan pihak menguasai objek pengadaan tanah untuk
kepentingan umum wajib mematuhi ketentuan dalam undang-undang
ini. (Pasal 8)
penyelenggaraan pengadaan tanah memerhatikan keseimbangan antara
kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Pengadaan tanah
untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian
yang layak dan adil.(Pasal 9)
2. Tahap-TahapPenyelenggaraan Pengadaan Tanah Yang Dilakukan Oleh
Pemerintah Untuk Pelaksanaan Pembagunan Untuk Kepentingan Umum
Yang dimaksud dalam kepentingan umum disini tedapat dalam Pasal 10. Dan
tanah untuk kepentinga umum sebagaimana dimaksud terdapat dalam pasal4
ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 yang menyebutkan tanah
untuk kepentingan umum yang digunakan untuk pembangunan meliputi :
11 Ibid, hlm.282

10

a. pertahanan dan keamanan nasional;
b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta
api, dan fasilitas operasi kereta api;
c. waduk, bendungan, irigasi, saluran air minum, saluran
pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
d. pelabuhan, bandar udara dan terminal;
e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.

listrik;
jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
rumah sakit Pemerintah/ Pemerintah Daerah;
fasilitas keselamatan umum;
tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
cagar alam dan cagar budaya;12
kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/ desa;
penataan permukiman kumuh perkotaan dan atau konsolidasi
tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah

dengan status sewa;
p. prarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;
q. prasarana olah raga Pemerintah/ Pemerintah Daerah; dan
r. pasar umum dan lapangan parkir umum.
Adapun penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum
sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 wajib diselenggarakan oleh
pemerintah dan tanahnya selanjutnya dimiliki pemerintah atau pemerintah
daerah.Dalam hal pembangunan pertanahan dan keamanan nasional
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 10 huruf a, pembangunannya
diselenggarakan sesuai dangan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui tahapan:
1. perencanaan;
2. persiapan;
3. pelaksanaan; dan
12Ibid, hlm.283

11

4. penyerahan hasil.
1. Perencanaan Pengadaan Tanah
a. Dasar Perencanaan Tanah
instansi yang memerlukan tanah membuat perencanaan pengadaan tanah
untuk kepentingan umum harus menurut ketentuan peraturan perundangundangan. Perencanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 didasarkan atas Rencana Tata Ruang
Wilayah dan prioroitas pembangunan yang tercantum dalam rencana
pembangunan jangka menengah,13 rencana strategis, rencana kerja
pemerintah instansi yang bersangkutan.
b. Adapun nanti disusun dalam bentuk dokumen perencanaa Pengadaan
Tanah, yang paling sedikit memuat:
1) Maksud dan tujuan rencana pembangunan;
2) Kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah dan rencana
pembangunan nasional dan daerah;
3) Letak tanah;
4) Luas tanah yang dibutuhkan;
5) Gambaran umum status tanah;
6) Perkiraan waktu pelaksanan pengadaan tanah;
7) Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan;
8) Perkiraan nilai tanah;
9) Rencana penganggaran;
c. dokumen perencanaan pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disususn berdasarkan studi kelayakan yang dilaksanakan sesuai dengan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
d. Dokumen perencanaan pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan oleh instansi yang memerlukan tanah
e. Dokumen perencanaan pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diserahkan kepada pemerintah provinsi. (Pasal 15)
2. Persiapan Pengadaan Tanah
instansi yang memerlukan tanah bersama pemerintah provinsi
berdasarkan dokumen perencanaan pengadaan tanah sebagaimana dimaksud
dalam pasal 15 melaksanakan:
13 Ibid, hlm.284

12

a. pemberitahuan rencana pembangunan;
b. pendataan awal lokasi rencana pembangunan;
c. konsultasi public rencana pembangunan. (Pasal 16)
Dalam pemberitahuan rencana pembangunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 huruf a disampaikan kepada masyarakat pada rencana lokasi
pembangunan untuk kepentingan umum, baik langsung maupun tidak
langsung.
Pendataan awal lokasi rencana pembangunan sebagaimana dimaksud
dalam pasal Pasal 16 huruf b meliputi kegiatan pengumpulan data awal pihak
yang berhak dan Objek Pengadaan Tanah.14Pendataan awal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam waktu paling lama 30(tigapuluh)
hari kerja sejak pemberitahuan rencana pembangunan.
Hasil pendataan awal lokasi rencana pembangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai data untuk pelaksanaan Konsultasi
Publik Rencana pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c.
(Pasal 18)
Konsultasi publik rencana pembangunan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 18 ayat (3) dilaksanakan untuk mendapatkan kesepakatan lokasi
rencana pembangunan dari pihak yang berhak.Konsultasi publik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan pihak yang berhak dan
masyarakat yang terkena dampak serta dilaksanakan di tempat rencana
pembangunan kepentingan umum atau di tempat yang disepakati.
Pelibatan pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan
melalui perwakilan dengan surat kuasa dari dan oleh pihak yang berhak atas
lokasi rencana pembangunan.

14 Ibid, hlm.285

13

Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam
bentuk berita acara kesepakatan.Atas dasar kesepakatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), instansi yang memerlukan tanah mengajukan
permohonan penetapan lokasi kepada gubernur.Gubernur menetapkan lokasi
sebagaimana dimaksud pada ayat 5 dalam waktu paling lama 14(empatbelas)
hari kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan permohonan penetapan oleh
Instansi yang memerlukan tanah. (Pasal 19)
Konsultasi public rencana pembangunan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 19 dilaksanakan dalam waktu paling lama 60 hari (enam puluh)
hari kerja.
Apabila sampai dengan jangka waktu enam puluh hari krja
pelaksanaan konsultasi public rencana pembangunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdapat pihak yang keberatan mengenai rencana lokasi
pembangunan, dilaksanakan Konsultasi Publik ulang dengan pihak yang
keberatan paling lama 30(tiga puluh) hari kerja. (Pasal 20)
Apabila dalam Konsultasi Publik ulang sebagaimana dimaksud dalam
pasal 20 ayat (2) masih terdapat pihak yang keberatan mengenai rencana
lokasi pembangunan, instansi yang memerlukan tanah melaporkan keberatan
dimaksud kepada gubernur setempat.15Gubernur membentuk tim untuk
melakukan kajian atas keberatan rencana lokasi pembangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Tim sebagaimana dmaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. sekretaris daerah provinsi atau pejabat yang ditunjuk sebagai ketua
merangkap anggota;
b. kepala kantor wilayah badan pertanahan nasional sebagai
sekretaris merangkap anggota;
15Ibid, hlm.286

14

c. instansi ynag menangani urusan di bidang perencanaan
pembangunan daerah sebagai anggota;
d. kepala kantor wilayah kementrian hukum dan hak asasi manusia
sebagai anggota;
e. bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota; dan
f. akademisi sebagai anggota.
Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertugas:
a. menginventarisasi masalah yang menjadi alasan keberatan;
b. melakukan pertemuan atau klarifikasi dengan pihak yang
keberatan;
c. membuat rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan.

Hasil kajian tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa
rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan rencana lokasi pembangunan
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak
diterimanya permohonan oleh gubernur.
Gubernur berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya keberatan atas rencana lokasi
pembangunan. (Pasal 21)
Dalam hal ditolaknya keberatan atas rencana lokasi pembangunan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (6), gubernur memberitahukan
kepada instansi yang memerlukan tanah untuk mengajukan rencana lokasi
pembangunan di tempat lain. (Pasal 22)
Setelah penetapan lokasi pembangunan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 19 ayat (6) dan pasal 22 ayat (1) masih terdapat keberatan, pihak yang
berhak terhadap penetapan lokasi dapat mengajukan gugatan ke pengadilan

15

tata usaha Negara setempat paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
dikeluarkannya penetapan lokasi.16
Pengadilan tata usaha Negara memutus diterima atau ditolaknya
gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak diterima gugatan. Pihak yang keberatan terhadap
putusan pengadilan tata usaha Negara sebagaimana dimaksud pada ayat 2
dalam waktu paling lama 14(empat belas) hari kerja dapat mengajukan kasasi
kepada mahkamah agung republik Indonesia.
Mahkamah agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima.Putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi dasar
diteruskan atau tidaknya pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum. (Pasal 23)
Penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum
sebagaimana dimaksud pasal 19 ayat (6) atau pasal 22 ayat (1) diberikan
dalam waktu 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) tahun.
(Pasal 24)
Dalam hal jangka waktu penetapan lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 tidak terpenuhi,
penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum dilaksanakan proses
ulang terhadap sisa tanah yang belum selesai pengadaannya. (Pasal 25)
Gubernur bersama instansi yang memerlukan tanah mengumumkan
penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum. Pengumuman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk pemberitahuan

16 Ibid, hlm.287

16

kepada masyarakat bahwa dilokasi tersebut akan dilaksanakan pembangunan
untuk Kepentingan Umum. (Pasal 26)
3. Pelaksanaan Pengadaan Tanah
berdasarkan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum
sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (1) instansi yang memerlukan
tanah mengajukan pelaksanaan pengadaan tanah kepada lembaga pertanahan.
Pelaksanaan pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
b.
c.
d.
e.

pemanfaatan tanah;
penilaian ganti kerugian;
musyawarah penetapan ganti kerugian;17
pemberian ganti kerugian; dan
pelepasan tanah instansi.
Setelah penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum

sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (1), pihak yang berhak hanya
dapat mengalihkan hak atas tanahnya kepada instansi yang memerlukan tanah
melalui lembaga pertanahan.
Beralihnya hak sebagaiman dimaksud pada ayat 3dilakukan dengan
memberikan ganti kerugian yang nilainya ditetapkan saat nilai pengumuman
penetapan lokasi. (Pasal 27)
Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan
tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat 2 huruf a meliputi kegiatan:
a. pengukuran dan pemetaan bidang per bidang tanah; dan
b. pengumpulan data pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah.
Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan dalam
waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari kerja. (Pasal 28)
17 Ibid, hlm.288

17

4. Penyerahan Hasil
Penyerahan hasil disini lanjutan dari tindakan pelaksanaan. Jadi dari
Hasil Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 wajib diumumkan
di kantor desa/kelurahan, kantor kecamatan, dan tempat pengadaan tanah
dilakukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja.
Hasil Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 28
wajib diumumkan secara bertahap, parsial, atau keseluruhan.Pengumuman
hasil inventarisasi dan identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi hak, luas, letak, dan peta bidang tanah objek pengadaan tanah.
Dalam hal tidak menerima hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada
lembaga pertanahan dalam waktu paling lama 14(empat belas) hari kerja
terhitung sejak diumumkan hasil inventarisasi.
Jika terdapat keberatan atas hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud
pada ayat 4, dilakukan verifikasi dan perbaikan dalam waktu18 paling lama
14(empat belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan keberatan
atas hasil inventarisasi.Inventarisasi dan identifikasi dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (Pasal 29)
Hasil pengumuman atau verifikasi dan perbaikan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 29 ditetapkan oleh lembaga pertanahan dan selanjutnya
menjadi dasar penentuan pihak yang berhak dalam pemberian ganti
kerugian.19 (Pasal 30)

18 Ibid, hlm.289
19 Ibid, hlm.290

18

3. Perbandingan Perpres No. 36 Tahun 2005 jo. Perpres No. 65 Tahun 2006
Dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Terkait Pengaturan
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Umum
Kalau kita lihat perbandingan pengaturan pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan umum yang diatur oleh Perpres No. 36 Tahun
2005 Jo. Perpres No. 65 Tahun 2006 dengan Undang-Undang No. 2 Tahun
2012 dan peraturan pelaksanaanya, ada perbedaan dalam hal apabila tidak
terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, dalam
hubungannya dengan pencabutan hak atas tanah.20
Sebelumnya Perpres No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pelaksaan Pembangunan Untuk kepentingan Umum, yang merupakan
penggantian Keputusan Presiden mengatur hal sama. Dengan meningkatnya
pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah, KEPPRES
tersebut dianggap tidak sesuai lagi sebagai sarana pengadaan tanah, yang
perlu dilakukan secara cepat dan tarnsparan.21
3.1.
Menurut Perpres No. 36 Tahun 2005 jo. Perpres No. 65 Tahun 2006.
Pemegang hak atas tanah yang tidak dapat menerima keputusan panitia
pengadaan tanah dapat mengajukan keberatan kepada Bupati/Walikota
atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan disertai
dengan penjelasan mengenai sebab-sebab dan alasan keberatan tersebut.
(Pasal 17 ayat 1)
Bupati/Walikota atau Gubernur atau Meteri Dalam Negeri sesuai
kewenangan mengupayakan penyelesaian mengenai bentuk dan besarnya
ganti rugi tesebut dengan mempertimbangkan pendapat dan keinginan dari
pemegang hak atas tanah atau kuasanya. (Pasal 17 ayat 2)
Setelah mendengar dan mempelajari pendapat dan keinginan pemegang ha
katas tanah serta pertimbangan panitia pangadaan tanah, Bupati/Walikota
atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan
20 Ibid, hlm.300
21Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan, 2008, Hml.5

19

mengeluarkan keputusan yang dapat mengukuhkan atau mengubah
keputusan panitia pengadaan tanah mengenai bentuk dan/atau besarnya
ganti rugi yang akan diberikan. (Pasal 17 ayat 3)
Apabila upaya penyelesaian yang ditempuhkan Bupati/Walikota atau
Gubernur atau Menteri Dalam Negeri tetap tidak diterima oleh pemegang
hak atas22 tanah dan lokasi pembangunan yang bersangkutan tidak dapat
dipindahkan, maka Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam
Negeri tetap tidak diterima oleh pemegang ha katas tanah dan lokasi
pembangunan yang bersangkutan tidak dapat dipindahkan, maka
Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai
kewenangan menunjukan usul penyelesaian dengan cara pencabutan hak
atas tanah berdasarkan Undang-undang Nomor 20 tahun 1961 tentang
pencabutan Hak-hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya
(Pasal 18 ayat (1). Usul penyelesaian sebagaimana dimaksud pada (1)
diajukan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri
sesuai kewenangan kepada Kepala Pertahanan Nasional dengan tembusan
kepada menteri dari intansi yang memerlukan tanah dan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia. (Pasal 18 ayat 2)
Setelah menerima usul penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2). Kepala Badan Pertahanan Nasional berkonsultasi dengan
menteri dari instansi yang memerlukan tanah dan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia (Pasal 18 ayat 4) .
Apabila yang berhak atas tanah atau benda-benda yang ada diatasnya yang
haknya dicabut tidak bersedia menerima ganti rugi sebagaimana
ditetapkan dalam Keputusan Presiden, karena dianggap jumlahnya kurang
layak, maka yang bersangkutan dapat meminta banding kepada
Pengadilan Tinggi agar menetapkan ganti rugi sesuai Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan
Benda-Benda yang Ada di Atasnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 39
22Suparman Usman loc.cit.

20

Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti kerugian oleh Pengadilan
Tinggi sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan BendaBenda yang ada di atasnya. (Pasal 18 ayat 4)
3.2.

Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 dan Peraturan
Pelaksanaanya.
Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian
Lembaga Pertanahan melakukan musyawarah dengan Pihak yang Berhak
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak hasil penilaian
dari Penilai disampaikan kepada Lembaga Pertanahan untuk menetapkan
bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian
Ganti Kerugian sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 34.
Hasil kesepakatan dalam musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menjadi dasar pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang Berhak
yang memuat dalam berita acara kesepakatan. (Pasal 37)23
Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya
ganti kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada
pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari kerja setelah musyawarah penetapan Ganti Kerugian sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1).
Pengadilan negeri memutus bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya
pengajuan keberatan.Pihak yang keberatan terhadap putusan pengadilan
negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lama 14
(empat belas) hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah
Agung Republik Indonesia.
Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama
30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima.
Putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran Ganti Kerugian kepada
pihak yang mengajukan keberatan. (Pasal 38)

23 Ibid, hlm.301

21

Dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti
kerugian, tetapi yang mengajukan keberatan dalam waktu sebagaimana
dimaksud dalam pasal 38 ayat (1), karena hukum Pihak yang Berhak dianggap
menerima bentuk dan besarnya Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (1). (Pasal 39)
Jadi kalau membandingkan Perpres No. 36 tahun 2005 jo. Perpres No.
65 tahun 2006 dengan Undang-Undang No.2 tahun 2012 dan peraturan
pelaksaannya berkaitan dengan penabutan hak, kita dapat memahami antara
lain:
a. Menurut Perpres No.36 tahun 2005 jo. Perpres No. 65 tahun 2006,
kalau tidak terjadi kesepakatan artinya pihak pemegang hak atas
tanah tetap tidak menerima bentuk dan/atau besar ganti kerugian
dan lokasi pembangunan yang bersangkutan tidak dapat
dipindahkan, maka tanah tersebut selanjutnya diproses melalui
usualan penabutan hak atas tanah.
b. Pengaturan sebagaimana diuraikan diatas, yaitu proses pencabutan
hak atas tanah, apabila mereka tidak menerima ganti kerugian, tidak
diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 dan peraturan
pelaksanaannya.24

BAB III
PENUTUP

24 Ibid, hlm.302

22

A. Kesimpulan
1. Dasar Hukum Pengadaan Tanah dan Pokok-Pokok Pengandaan Tanah
a. Peraturan tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum sebagaimana diatur oleh perundangundangan terakhir dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia
No. 36 Tahun 2005 jo. No. 65 tahun 2006.
b. Perundang-undangan tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan
benda-benda yang diatasnya, sebagaimana diatur dalam undangundang No. 20 tahun 1961 dan peraturan-peraturan
pelaksanaannya.
c. Undang-undang RI nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pembangunan untuk kepentingan umum.
d. Peraturan presiden nomor 71 tahun 2012 tentang penyelenggaraan
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
e. Perpres No. 40 tahun 2014 tentang Perubahan atas Perpres No. 71
Tahun 2012.
f. Peraturan kepala BPN RI nomor 5 tahun 2012 tentang Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah.
Pokok-Pokok Pengadaan Tanah
pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan sesuai
dengan :
a. Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah;
b. Rencana Pembangunan Nasional/Daerah;
c. Rencana Strategis;dan
d. Rencana Kerja setiap Instansi yang memerlukan tanah
2. penyelenggaraan tanah dan yang dilakukan oleh Pemerintah untuk
pelaksanaan pembagunan untuk kepentingan umum, yang dimaksud
dengan kepentingan umum disini terdapat dalam pasal 10. Adapun yang
dapat diketahui tanah untuk kepentingan umum sebagaimana yang
dimaksud terdapat dalam pasal 4 ayat (1). Pengadaan tanah untuk
kepentingan umum sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 10 wajib
23

diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Pengadaan
tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui beberapa tahap,
yaitu :
a.
b.
c.
d.

perencanaan;
persiapan;
pelaksanaan;
penyerahan hasil.

3. Perbandingan Perpres No. 36 tahun 2005 jo. Perpres No. 65 tahun 2006
dengan Undang-Undang No.2 tahun 2012 dan peraturan pelaksaannya
berkaitan dengan penabutan hak, antara lain:
a. Menurut Perpres No.36 tahun 2005 jo. Perpres No. 65 tahun 2006,
kalau tidak terjadi kesepakatan artinya pihak pemegang hak atas tanah
tetap tidak menerima bentuk dan/atau besar ganti kerugian dan lokasi
pembangunan yang bersangkutan tidak dapat dipindahkan, maka tanah
tersebut selanjutnya diproses melalui usualan penabutan hak atas
tanah.
b. Pengaturan sebagaimana diuraikan diatas, yaitu proses pencabutan hak
atas tanah, apabila mereka tidak menerima ganti kerugian, tidak diatur
dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 dan peraturan
pelaksanaannya.
B. Saran
Makalah ini diharapkan dapat memperluas dan meningkatkan wawasan
penulis dan pembaca tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

24

DAFTAR PUSTAKA
Harsono,Boedi. 2008. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan
Muchsin.2014. Hukum Agraria Indonesia Dalam Persektif Sejarah. Bandung:
PT. Refika Aditama
Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945
Siahaan. P, Marihot.2002. Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan.
Bandar Lampung: Raja Grafindo Persada
Supriyadi. 2010. Aspek Hukum Tanah Aset Daerah Menekankan Keadilan
Kemanfaatan Dan Eksistensi Tanah. Jakarta: Prestasi Pustaka
Usman,Suparman.2009. Hukum Agraria Di Indonesia Bagian Hukum Tanah.
Serang: IAIN Suhada Press

25