Kilas Memahami Check And Balance Lembaga

1

Nama
Jurusan
NIM
Judul

: Fiat Modjo
: SPPI
: 1520310059
: Check and Balances Lembaga Tinggi Negara

A. Pendahuluan
Check and Balances secara umum bagi para sarjana selalu mengacu pada

gagasan Montesquieu1 yang menjelaskan bahwa alat-alat kelengkapan negara
selalu terkait dengan tiga cabang kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Sehingga menjadi lumrah bila kita selalu mendengar ungkapan-ungkapan
dari kebanyakan para sarjana mengenai konsep lembaga negara yang selalu
merunut pada ketiga cabang kekuasaan itu. Padahal konsep lembaga negara
diberbagai negara lainnya termasuk di Indonesia akan berbeda berdasarkan pilihan

politiknya. Itu artinya tidak ada sistem ketatanegaraan yang murni kerena semuanya
adalah penafsiran sekaligus menuntut kreatifitas masing-masing negara dalam
melihat kebutuhannya masing-masing.2
Pun demikian, gagasan Montesquieu terkait trias politica merupakan spirit
dalam menerapkan sistem check and balances antar lembaga-lembaga negara.
Gagasan ini lahir sebagai hasil dari ajaran klasik tentang pemisahan kekuasaan
(separation of power ), dan pertama kali diadopsi kedalam konstitusi negara oleh
Amerika Serikat (US Constitution 1789). Berdasarkan ide ini, suatu negara
dikatakan memiliki sistem checks and balances yang efektif jika tidak ada satupun
cabang pemerintahan yang memiliki kekuasaan dominan, serta dapat dipengaruhi
oleh cabang lainnya. Dengan kata lain, Montesquieu menegaskan bahwa jika ketiga
fungsi kekuasaan itu terhimpun dalam satu badan saja, niscaya kebebasan akan
terancam.3 Ide inilah yang menurut hemat penulis sudah tidak relevan lagi yang
mana satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi dan tidak boleh saling
mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Sementara bila melihat

Nezar Patria dan Andi Arief, Antonio Gramsci, “Negara Dan Hegemoni”, (Cet; IV,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 93
2
Moh. Mahfud MD, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu , (Cet; III, Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 2012), h. 362
3
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi ,
(Cet; I, Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 31
1

2

kenyataannya pada saat ini, maka sudah tidak mungkin lagi hubungan antar cabang
kekuasaan itu tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bisa dikatakan
sederajat serta saling mengawasi sesuai dengan prinsip check and balances.
Secara etimologis, checks and balances memiliki dua suku kata,
yakni checks dan balances. Komponen pertama mengandung arti adanya hak untuk
ikut memeriksa / menilai / mengawasi / mencari informasi dan konfirmasi terhadap
suatu keadaan (the right to check); sedangkan komponen kedua merujuk pada alat
untuk mencari keseimbangan. Instrumen ini dinilai sangat penting mengingat
secara

alamiah


manusia

yang

mempunyai

kekuasaaan

cenderung

menyalahgunakan, dan manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan
menyalahgunakannya. Tegasnya, dalam perspektif Inu Kencana Syafiie, checks and
balances merupakan model kebijakan dalam kelembagaan yang jika hal itu terjadi

akan melahirkan demokrasi.4
Uraian di atas memberi pemahaman kepada kita semua betapa pentingnya
checks and balances dapat terjadi melalui lembaga-lembaga negara di Indonesia.

Tujuan utamanya guna mewujudkan Indonesia yang berdemokrasi dan
menghindarkan dari munculnya tirani. Oleh karena itu pembahasan ini akan

menyoroti checks and balances Lembaga-Lembaga Tinggi Negara di Indonesia
baik sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945.
Apapun yang penulis bahas dalam makalah ini masih

sangat

membutuhkan masukan-masukan yang konstruktif dari pembaca sebagai bahan
evaluasi kedepan. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya bagi pembaca yang mau menyumbangkan gagasanya dalam rangka
membenahi isi makalah ini.

B. Check and balances Lembaga-Lembaga Tinggi Negara di Indonesia pra
amandemen UUD’45
Pada bagian ini penulis akan mengungkap beberapa permasalahan pokok
mengenai checks and balances Lembaga-Lembaga Tinggi Negara pra amandemen

4

Inu Kencana Syafiie, Ilmu Pemerintahan , (Cet; I, Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 357

3


UUD’45. Tentu tidak secara mendalam penulis akan mengurainya, dan akan lebih
melihat ketimpangan-ketimpangan yang terjadi antar lembaga tinggi negara
tersebut disertai dengan alasan-alasannya. Karena itu sangat besar harapan penulis
agar pembaca dapat mendalaminya melalui referensi-referensi lainnya yang
berkaitan dengan permasalahan ini.
1. Orde lama (1945-1965)
Pada masa ini keadaan negara tidak stabil karena secara maksimal energi
para tokoh-tokoh bangsa dihabiskan untuk mempertahankan kemerdekaan
Indonesa. Sehingga checks and balances lembaga-lembaga negaranya pun
belum maksimal. Salah satu alasan penting misalnya dengan melihat
pengalaman Indonesia selama 350 tahun dijajah oleh Belanda memberikan
pengaruh secara psikologis pada tokoh-tokoh besar bangsa Indonesia khususnya
pada Soekarno sebagai presiden yang merasa telah diinjak-injak harga dirinya.
Sehingga kebutuhan untuk dapat dihargai (prestige)5 terimplementasi dalam
berbagai kebijakan-kebijakan yang terkesan dadakan bahkan cenderung
mengarah pada otoritarianisme seperti lahirnya demokrasi terpimpin.
Bila diamati prinsip checks and balances lembaga-lembaga negara di era
orde lama, maka ringkasnya dapat dibagi menjadi dua masa, pertama, masa
demokrasi konstitusional (1945-1959). Kembali melihat sejarah sehari setelah

Indonesia menyatakan kemerdekaannya, maka PPKI mengadakan sidang yang
secara aklamatif Soekarno dan Hatta terpilih sebagai presiden dan wakil
presiden, serta dihari yang sama pula Indonesia mengesahkan UUD. Bisa
dimaklumi dengan keadaan negara yang baru merdeka menyebabkan presiden
Soekarno disebut-sebut sebagai diktator konstitusional sebagaimana yang
tercantum dalam pasal IV “Sebelum MPR, DPR, dan DPA dibentuk berdasarkan
UUD ini, segala kekuasaan dijalankan oleh presiden dengan bantuan sebuah
Komite Nasional”.6 Jadi lembaga-lembaga yang ada termasuk Komite Nasional
pun hanya sebagai pembantu presiden.
5
Ganewati Wuryandari, dkk, Politik Luar Negeri Indonesia Di Tengah Pusaran Politik
Domestik, (Cet; 1, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008), h. 97
6
Afan Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, (Cet; VI, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), h. 53-54

4

Namun kekuasaan presiden yang begitu besar tidak berlansung lama
setelah keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X yang diusulkan oleh KNIP

(Komite Nasional Indonesia Pusat) pada 16 Oktober 1945 yang isinya
menyatakan “Bahwa KNIP, sebelum terbentuknya MPR dan DPR, diserahi
kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN.” Lebih lanjut KNIP
mengusulkan dengan argument-argumennya agar kabinet bertanggung jawab
kepada parlemen, dalam hal ini KNIP, tepat pada 11 November 1945. Yang
kemudian usulan-usulan itu langsung mendapatkan respon yang positif dari
Soekarno. Sehingga gaya presidensial berubah menjadi gaya perlementer tepat
pada 14 November 1945 ketika presiden membubarkan kabinetnya dan
sekaligus menjadi perdana menteri. Dengan demikian kedudukan presiden
hanya bersifat simbolik dan seremonial.7
Sulit untuk dideteksi alasan-alasan yang valid terkait perubahan sistem
presidensial ke parlementer yang begitu cepat. Ada yang menduga kalau Belanda
ketika itu selalu mendeskreditkan Indonesia sebagai negara yang baru lahir
dengan menyatakan Soekarno adalah sosok presiden yang diktator. Atau
mungkin saja pada waktu itu Soekarno dan Hatta bersama para “pembentuk
negara” merupakan sosok demokrat sejati.8 Bahkan secara lebih jelas bisa saja
karena Belanda saat itu begitu muak untuk berunding dengan Soekarno
mengenai kemerdekaan Indonesia. Sebagaimana dalam ungkapan Prof.
Logeman menteri asal Belanda mengatakan “Praten met Soekarno is even
onwaardig als onvruchthbar”, yang berarti “Berunding dengan Soekarno adalah

hina sekaligus tanpa guna”.9 Jadi bisa dipahami kalau perubahan sistem
presidensial ke parlementer sebagai bagian dari strategi agar Belanda mau
berunding dengan pemerintah Indonesia melalui Sutan Sjahrir sebagai Kepala
Pemerintahannya, serta sebagai upaya menggiring opini pada dunia
internasional bahwa Indonesia sangat mengedepankan semangat demokrasi
guna meraih dukungan sebagai negara yang berdaulat.

7

Ibid, h. 56-58
Ibid, h. 56
9
Ganewati Wuryandari, dkk, Politik Luar Negeri Indonesia…., h. 61
8

5

Selanjutnya masih banyak tugas yang harus ditempuh Indonesia, utamanya
melalui jalur diplomasi guna mendapatkan status negara merdeka dimata
Internasional. Mengingat upaya diplomasi berupa perundingan dengan Belanda

seperti perjanjian Linggardjati, Renville dan Van Roijen-Roem tidak
memberikan hasil yang maksimal. Nanti setelah Indonesia menggunakan
bantuan pihak ketiga, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa maka Belanda setuju
untuk menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, AgustusSeptember 1949. Pada saat itulah Indonesia mendapatkan kedaulatannya sebagai
negara yang merdeka pada 27 Desember 1949 yang kemudian Indonesia berubah
dari NKRI menjadi Republik Indonesia Serikat. Wilayah-wilayahnya mencakup
seluruh jajahan Belanda dengan pengecualian Irian Barat.10
Dengan begitu situasi ini yang semula UUD’45 sudah tidak diberlakukan
secara resmi melalui Maklumat No. X Tahun 1945 pada 1949 UUD’45 diganti
secara resmi dengan berubahnya bentuk negara dari kesatuan menjadi federal
(RIS) yang kemudian memberlakukan Konstitusi Republik Indonesia Serikat
(KRIS 1949). Setelah berlakunya KRIS, maka sejara de jure Belanda mengakui
kemerdekaan Indonesia dan berlaku sejak 29 Desember 1949. Dimana
Konstitusi RIS 1949 dapat dipandang secara resmi menganut sistem
parlementer.11
Lagi-lagi sangat disayangkan bila pengakuan Belanda atas kedaulatan
Indonesia dengan syarat harus berbentuk negara federal hanyalah strategi
memecah belah bangsa Indonesia. Untuk mengantisipasi perpecahan yang
semakin besar, maka mencuatlah seruan Natsir yang dinyatakan dalam usulan
yang disebut “Mosi Integral Natsir”. Tidak membutuhkan waktu lama maka

keputusan untuk kembali menjadi NKRI terlaksana dengan membubarkan
NRIS. Perubahan tersebut dibuat melalui UU Federal No. 7 Tahun 1950 yang
diberlakukan sejak 17 Agustus 1945 dan pada pokoknya berisi dua hal. Pertama,
bentuk Negara Indonesia diubah menjadi Negara kesatuan; kedua, Konstitusi
RIS 1949 diganti dengan UUDS Tahun 1950. Dengan demikian, walaupun tanpa
10
11

Ibid, h. 76-79
Moh. Mahfud MD, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu , h. 120-122

6

persetujuan Belanda, pada hakekatnya Indonesia telah kembali menggunakan
UUD’45. 12Ringkasnya dapat dipahami bahwa UUDS’50 adalah perantara untuk
kembali pada UUD’45.
Dalam UUDS’50 ditetapkan keharusan adanya pemilu untuk memilih
wakil rakyat berupa DPR maupun dengan membentuk konstituante (Pasal 134
UUD’50). Ketentuan inilah yang menjadi dasar penyelenggaraan pemilu tahun
1955 untuk memilih DPR dan anggota Konstituante menurut UU No. 7 Tahun

1953.13
Konstituante hasil pemilu pada tahun 1955 yang mulai bersidang di
Bandung sejak maret 1956 guna membahas UUD yang akan ditetapkan sebagai
UUD permanen justru menjadi kacau balau. Dalam konstituante muncul dua
kelompok besar yang mana salah satu kelompok menghendaki dasar negara
kebangsaan dan kelompok yang satunya lagi menghendaki dasar negara Islam.
Fenomena ini yang membuat Soekarno secara sigap mengeluarkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 dengan ketentuan: pertama, Membubarkan Konstituante;
Kedua, Mencabut berlakunya UUDS 1950 dan memberlakukan kembali UUD

1945; ketiga, (Janji) pembentukan MPRS dan DPAS.14

Akhirnya sistem

pemerintahan parlementer berhasil ditumbangkan oleh Soekarno berdasarkan
dekrit presiden.
Kedua, masa demokrasi terpimpin (1959-1965). Kilas mengulas sebabsebab munculnya dekrit presiden yang dikeluarkan oleh Soekarno pada 5 Juli
1959. Terdapat beberapa alasan mengapa Soekarno mengeluarkan dekrit
presiden tersebut diantaranya; Pertama, adanya perubahan cara pandang
Soekarno setelah mengunjungi Amerika Serikat dengan melihat keadaan
masyarakatnya yang dianggap tidak sejalan dengan pola pembangunan
masyarakat Indonesia. Sehingga Soekarno berpikir haruslah ia bisa sama seperti
pemimpin Cina Mao Tse-tsung. Dimana dalam hal ini Soekarno memikirkan
konsepsi politik yang menuntut perlunya penataan ulang lembaga-lembaga

12

Ibid, h. 122-123
Ibid, h. 125
14
Ibid, h. 125-126
13

7

politik, dan membentuk pemerintahan yang sesuai dengan kehidupan
masyarakat baik ekonomi, politik dan kebudayaan Indonesia melalui
pengendalian seorang tokoh.15
Kedua, Konsepsi pemikiran Soekarno sudah dimulai sejak 27 Februari

1957 yang merupakan masa transisi dari demokrasi parlementer ke era
demokrasi terpimpin. Saat-saat itu telah menunjukkan kekesalan Soekarno yang
amat mendalam terhadap Konstituante yang dianggapnya gagal menetapkan
konstitusi baru. Sehingga Soekarno menunjuk perdana menteri baru bernama
Djuanda Kartawidjaya sebagai perdana menteri baru pada April 1957. Ketiga,
tidak bisa juga dipungkiri bahwa dekrit presiden terlahir oleh karena mundurnya
Hatta sebagai wakil presiden pada 20 Juli 1956. Dalam pidato perpisahannya
Hatta mengecam perilaku partai yang didasarkan pada kepentingan pribadi. Pada
dasarnya Hatta maupun Soekarno memliki persamaan atas ketidaksukaannya
terhadap partai-partai politik. Hanya saja perbedaannya kalau Hatta masih
percaya asalkan partai membenahi keadaan internalnya, sementara Soekarno
memilih untuk memisahkan dari partai-partai.16 Dan sering Soekarno
membahasakan dengan adanya “Penyakit kepartaian”. Selain alasan-alasan ini
masih banyak alasan lain misalnya Soekarno memandang dirinya memiliki
popularitas yang lebih kuat dikalangan masayarakat dibandingkan dengan
kepala pemerintahan yakni Perdana Menteri. 17
Lebih lanjut bila diamati sistem checks and balances lembaga-lembaga
negara di era demokrasi terpimpin, maka hal itu tidak benar-benar tercermin
dalam konstitusinya. Secara umum ciri-ciri dari periode ini ialah kekuasaannya
didominasi oleh presiden, terbatasnya peranan partai, berkembangnya pengaruh
komunis, dan ABRI memiliki peran yang signifikan sebagai unsur sosialpolitik.18 Apalagi dengan adanya pembubaran DPR dan terbentuknya DPRS
sesuai keinginan presiden telah menghilangkan peran DPR dalam mengawasi

15

Ganewati Wuryandari, dkk, Politik Luar Negeri Indonesia, h. 90-91
Ibid, h. 91-92
17
Ibid, h. 84-85
18
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Cet; V, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2012), h. 129
16

8

presiden.19 Beberapa ketentuan dalam konstitusi yang mencerminkan tidak
dihendakinya sistem checks and balances misalnya Ketetapan MPRS No.
III/1963 yang menyatakan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, UU No.
19/1964 presiden diberi wewenang untuk campur tangan dibidang yudikatif,
Peraturan Presiden No. 14/1960 presiden juga bisa mencampuri urusan-urusan
legislatif dan masih banyak lagi aturan-aturan yang menyimpang utamanya
terkait dengan pembredelan media-media informasi.20
2. Orde baru
Orde baru dikenal dengan era demokrasi pancasila. Karena itu pada masa
ini landasan formalnya adalah pancasila, UUD’45, serta ketetapan-ketetapan
MPRS.21 Slogan orde baru yang sangat popular yakni melaksanakan UUD’45
secara murni dan konsekuen. Dengan mengsakralkan UUD’45 maka era orde
baru sudah melahirkan kesalahan sejarah ketatanegaraan yang fundamental.22
Beberapa permasalahan yang mengemuka dan tidak sesuai dengan prinsipprinsip checks and balances diantaranya: Pertama, adanya penafsiran dari
Soeharto beserta kaki tangannya terkait Pasal 27 UUD’45, bahwa tidak menjadi
masalah berapa kali masa jabatan presiden, dan tentunya presiden dapat dipilih
kembali setiap lima tahun.23Kedua, Pasal 14(1) dan Pasal 2(1) UU No. 1 Tahun
1985 tentang Partai Politik membuat Soeharto mampu mengontrol partai.
Aturan-aturan ini ringkasnya merupakan cara mengebiri partai dan membuat
partai berada dalam ceengkraman Soeharto.24Ketiga, Adanya UU No. 14 Tahun
1970 tentang Kekuasaan Kehakiman harusnya menjadi poros penerapan sistem
checks and balances antar lembaga-lembaga negara. Namun sayangnya aturan

itu menjadi tidak berfungsi karena Soehartolah yang mengendalikan rekrutmen

19

Carlton Clymer, dkk, Introduction to Political Science , terj. Zulkifly Hamid, Pengatar
Ilmu Politik, (Cet; X, Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 484
20
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 130
21
Ibid
22
Ni’matul Huda dkk, Teori Dan Hukum konstitusi, (Cet; 11, Jakarta: Rajawali Pers,
2013), h. 103
23
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kembali”. (Lihat Denny Indrayana, Amandemen UUD’45, “Antara Mitos
Dan Pembongkaran, (Cet; I, Bandung: Mizan Pustaka, 2007), h. 157)
24
Ibid, h.142-143

9

hakim. 25 Begitu halnya dengan MPR yang harusnya berdasarkan penjelasan
tentang Sistem Pemerintahan Negara Bagian IV UUD 1945 menyebutkan
“...Lembaga inilah yang memegang kekuasaan tertinggi, sedangkan Presiden
harus menjalankan haluan negara menurut Garis-Garis Besar yang telah
ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis tunduk dan
bertanggung jawab kepada Majelis....”, akan tetapi dalam prakteknya tidak
demikian, bahwa MPR justru berada dibawah kendali Soeharto melalui
rekrutmen anggota MPR. Alasannya jelas dari kaburnya aturan mengenai
rekrutmen anggota tersebut26.
Dapat disimpulkan bahwa pada masa ini, sekalipun konstitusinya
menyebutkan bahwa presiden memiliki kedudukan sejajar dengan lembaga
tinggi negara lainnya, seperti DPR, MA, BPK, dan DPA, tapi dalam prakteknya
justru presedenlah yang sepenuhnya berkuasa. Sehingga lembaga-lebaga tinggi
negara lainnya hanya sebagai stempel dan tidak menampakkan adanya sistem
checks and balances.

Perlu juga diketahui, bahwa Soeharto dalam melancarkan aksi-aksi
bejatnya (propaganda) selalu ditopang oleh media, utamanya melalui stasiun
TVRI yang memiliki jaringan terluas hampir diseluruh wilayah NKRI saat itu.27
Selain itu, alasan lainnya yang menghendaki era Orde lama maupun era
Orde Baru menjadi sangat otoriter karena konsep negara integralistik yang
diusung oleh Soepomo. Dan berangkat dari gagasan negara integralistik inilah
yang membuat checks and balances tidak muncul ke permukaan atau terjadi
pada lembaga-lembaga negara.

C. Perwujudan prinsip check and balances Lembaga-Lembaga Tinggi
Negara di Indonesia (pasca amandemen)
Amandemen UUD Tahun 1945 ternyata telah mengubah kekuasaan dan
kewenangan serta pola hubungan antara lembaga tinggi negara, antara pemegang
25

Ibid, h. 147-149
Denny Indrayana, Amandemen UUD’45, h. 154-155
27
Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia, “Mengupas Semiotika
Orde Baru”, (Cet; I, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008), h. 134
26

10

kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, sehingga sederajat dan saling
mengontrol satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances. Pola
hubungan tersebut melibatkan lembaga-lembaga tinggi negara yakni DPR, DPD,
Presiden, MA dan MK, serta KY. Dan pada kesempatan kali ini penulis tidak akan
mengulasnya secara rinci atau mendalam. Namun terdapat beberapa hal yang
penting mengenai checks and balances lembaga-lembaga tinggi negara pasca
amandemen UUD’45 yang penulis sajikan dan masih bersifat sebagai pengantar.
Oleh karena itu, penulis sangat berharap agar pembaca dapat mendalaminya melalui
referensi-referensi lainnya yang terkait.
Beberapa lembaga tinggi negara yang mengalami perubahan pasca
amandemen UUD 1945 diantaranya: Pertama, Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) tidak lagi sebagai satu-satunya lembaga tertinggi negara. Sebagaimana telah
dilakukan penyempurnaan isi dari Pasal 1 ayat (2) yang lama dan membuat
kewenangan MPR berkurang. Selanjutnya mengenai perekrutan anggota MPR juga
telah diubah dengan menghapus unsur utusan golongan dan mengubah utusan
daerah menjadi DPD (perubahan Pasal 2 ayat (1)), serta yang sebelumnya MPR
berjumlah 1000 orang dikurangi menjadi 700 orang.28 Tak lupa pula fungsi-fungsi
DPR juga ikut mengalami perubahan dan sekan-akan menjadi lebih kuat (legislative
heavy) dibanding presiden; Kedua, Lembaga eksekutif utamanya mengenai jabatan

Presiden dan Wakil Presiden dengan tegas dinyatakan melalui Tap MPR No. XIII
Tahun 1998 sehingga mengubah interpretasi Pasal 7 UUD 1945.29 Perubahan
tersebut menghendaki terjadinya checks and balances dan menghindarkan dari
adanya dominasi dari lembaga presiden (executive heavy) seperti pada masa
Soeharto; Ketiga, Lembaga yidukatif dalam hal ini Mahkamah Konstitusi (MK) dan
Mahkamah Agung (MA) mendapat porsi-porsi yang lebih baik dari sebelumnya
walaupun masih ada kekurangan-kekurangannya yang perlu untuk dibenahi lagi
kedepan. Lembaga konstitusi dilembagakan tersendiri di luar MA karena keduanya
memang berbeda. Jikalau MA lebih merupakan pengadilan keadilan, sedangkan

28
Ni’matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, (Cet; I,
Yogyakarta: UII Press, 2007), h. 95-96
29
Denny Indrayana, Amandemen UUD’45, h. 170

11

MK lebih berkenaan dengan lembaga pengadilan hukum yang pada dasarnya kedua
lembaga tersebut juga termasuk pelaku kekuasaan kehakiman menurut ketentuan
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.30
Sejauh yang penulis amati dengan adanya amandemen UUD’45 tersebut
belum bisa menjamin checks and balances antar lembaga-lembaga tinggi negara
dapat bekerja secara efektif. Melihat dari adanya beberapa ketentuan dalam
konstitusi yang saling melemahkan kekuasaan salah satu lembaga tinggi negara,
misalnya

dalam Pasal 14 menyebutkan “Presiden memberi amnesti dan abolisi

dengan memperhatikan pertimbangan DPR”. Pasal ini jelas-jelas membuat amnesti
dan abolisi bukanlah hak perogratif dari Presiden.31 Adapun rumusan dalam Pasal
20 ayat (5) membuat Presiden tumbang dengan sendirinya bila tidak mengesahkan
undang-undang yang telah disepakati DPR.32 Dan yang paling berbahayanya jika
terjadi Impeachment di tingkat MPR yang sekurang-kurangnya disetujui oleh 2/3
dari 3/4 anggota MPR yang hadir.33 Ketentuan-ketentuan semacam ini
memperlihatkan kalau lembaga presiden semakin dilemahkan.
Sebaliknya dipihak lain, lembaga legislative dapat dengan leluasa bergerak
nyaris tanpa control. Karena menurut UUD 1945 hasil amandemen tersebut
membuat DPR memiliki akses kekuasaan pengaturan perundangan yang besar.
Bahkan akan sangat tragis bila terjadi kolusi antara Presiden dan DPR yang
berpotensi memandulkan peran strategis dari MK. Cara mainnya dengan
mengintervensi MK melalui perubahan Undang-Undang MK yang dibuat oleh
presiden bersama DPR. Bahkan bisa sampai intervensi fungsi melalui pengusulan
calon hakim MK yang juga tidak lepas dari pengaruh DPR dan presiden.34
Sementara bila mengamati lembaga yudikatif, maka ada beberapa
ketentuan dalam konstitusi yang ikut membuat sistem checks and balances tidak

30

2005), h. 91

Siti Fatimah, Praktik Judicial Review DI Indonesia , (Cet; I, Yogyakarta: Pilar Media,

Ni’matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, h. 124
Ibid, h. 105
33
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi ,
(Cet; I, Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 73
34
Denny Indrayana, Negara antara Ada Dan Tiada , (Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara, 2008), h. 319-320
31

32

12

bekerja secara maksimal. Misalnya Kewenangan Komisi Yudisial berdasarkan UU
tentang KY (UU No. 22 Tahun 2004) dan UU tentang Kekuasaan Kehakiman (UU
No. 4 tahun 2004) hampir seluruhnya dipangkas oleh MK setelah digugat melalui
uji meteri. Sehingga KY hanya dapat mengawasi hakim agung dan tidak dapat
mengawasi hakim konstitusi.35
Dari seluruh pembahasan yang telah penulis paparkan mengenai checks
and balances Lembaga-Lembaga Tinggi Negara pasca amandemen UUD 1945,

tentu belum secara rigid dapat diulas dalam makalah ini. Mengingat masih banyak
aturan-aturan lainnya yang tidak terbahaskan secara detil dalam makalah ini.
Karena itu semula penulis menyampaikan kalau makalah ini hanya bersifat
pengantar dan berharap agar pembaca dapat mendalaminya lebih lanjut melalui
literatur lain yang berhubungan dengan masalah ini.

D. Kesimpulan
Checks and balances Lembaga-Lembaga Tinggi Negara di Indonesia baik

sebelum maupun sesudah amandemen UUD Tahun 1945 banyak memiliki
perbedaan. Di era orde lama checks and balances lembaga-lembaga negara belum
terlihat ideal karena memang keadaan negara yang labil, atau masih rentan terhadap
ancaman-ancaman baik secara internal maupun eksternal. Sementara pada masa
Orde Baru justru kekusaan presiden lebih ditonjolkan dibanding dengan lembagalembaga negara lainnya. Berbeda dengan era reformasi yang mana konstitusinya
telah tertata lebih baik lagi dari sebelumnya. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri
bahwa lembaga legislatif dinilai memiliki kekuasaan yang nyaris tanpa kontrol
dibanding dengan lemabaga-lembaga negara lainnya. Sehingga lembaga legislatif
berpotensi untuk melemahkan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya.
Adapun yang menjadi pemicu dari tidak munculnya checks and balances
pada masa Orde Lama dan Orde Baru karena konsep negara integralistik.
Sementara pada masa reformasi isu mengenai HAM menguat menyebabkan

35

Ibid, h. 58

13

penerapan checks and balances menjadi pertimbangan yang sangat vital untuk
diterapkan dengan melakukan amandemen UUD’45.

14

Daftar Pustaka
Asshiddiqie, Jimly, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, (Cet; I, Jakarta: Sinar Grafika, 2010)

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Cet; V, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2012)
Clymer, Carlton, dkk, Introduction to Political Science, terj. Zulkifly Hamid,
Pengatar Ilmu Politik, (Cet; X, Jakarta: Rajawali Pers, 2013)

Fatimah, Siti, Praktik Judicial Review DI Indonesia , (Cet; I, Yogyakarta: Pilar
Media, 2005)
Gaffar, Afan, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, (Cet; VI, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006)
Huda, Ni’matul, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, (Cet; I,
Yogyakarta: UII Press, 2007)
--------------, Teori Dan Hukum konstitusi, (Cet; 11, Jakarta: Rajawali Pers, 2013)
Indrayana, Denny, Amandemen UUD’45, “Antara Mitos Dan Pembongkaran, (Cet;
I, Bandung: Mizan Pustaka, 2007)
-------------, Negara antara Ada Dan Tiada , (Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara, 2008)
MD, Moh. Mahfud, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, (Cet; III,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012)
-------------, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi , (Cet;
I, Jakarta: Rajawali Pers, 2010)
Patria, Nezar dan Andi Arief, Antonio Gramsci, “Negara Dan Hegemoni”, (Cet;
IV, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015)
Syafiie, Inu Kencana, Ilmu Pemerintahan, (Cet; I, Jakarta: Bumi Aksara, 2013)
S, Arief Adityawan, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia, “Mengupas
Semiotika Orde Baru”, (Cet; I, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008)
Wuryandari, Ganewati, dkk, Politik Luar Negeri Indonesia Di Tengah Pusaran
Politik Domestik, (Cet; 1, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008)