Komunikasi Massa dan efek media terhadap individu

  KOMUNIKASI MASSA dan EFEK MEDIA Modul

TERHADAP INDIVIDU

9 Dra. Siti M. Armando, Msi

SISTEM KOMUNIKASI MASSA DAN KHALAYAK

  Komunikasi massa secara sederhana didefinisikan sebagai komunikasi yang dilakukan dengan menggunakan media massa pada sejumlah orang. Dengan demikian, peran media massa sebagai pesan sekaligus sumber Informasi bagi penerima pesan (khalayak) sangatlah penting.

  Bagi orang perorangan media mssa telah menjadi sesuatu yang hadir sangat erat dengan kehidupan sehari-hari karena berpengaruh pada perilaku sosialnya. Karena kepentingannya maka agar pesan dapat dipahami secara benar sesuai dengan maksud komunikator maka para ahli sepakat adanya proses yang harus dilalui sebelum media massa hadir dilingkungan khalayak. Berikut akan dijelaskan mengenai prinsip-prinsip dasar bagi beroperasinya mediamassa, yang diuraikan dalam 3 (tiga) sub pokok bahasan, yaitu (a) system komunikasi massa; (b) perbedaan system komunikasi massa dan komunikasi tatap muka (c) khalayak .

A. SISTEM KOMUNIKASI MASSA

  Sebagian dari kita megira bahwa tak perlu susah-susah untuk mendefinisikan komunikasi massa. Bukankah yang dimaksud adalah Koran, film, televisi, radiao ?itu benar,namun yang kita butuhkan adalah pemahaman lebih luas dari konsep-konsep tersebut. Misalnya, kita bisa bertanya “Apakah semua media beroperasi dengan mengikuti prinsip-prinsip mendasar yang sama atau saling berbeda satu sama lainnya ?”

  DeFleur danDennis melihat komunikasi massa sebagai proses. Menurut merek, terdapat lima tahap membentuk proses komunikasi massa, yaitu sebagai berikut .

  1. Pesan komunikasi diformulasikanole komunikator-komunikator profesional

  2. Pesan komunikasi dikirimkan melalui cara relative cepat dan berkelanjutan melalui penggunaan media

  3. Pesan tersebut mencapai khalayak yang besar dan beragam yang memilih media denan selektif

  4. Para anggota khalayak secara individual menafsirkan pesan tersebut dengan cara sedemikian rupa sehingga mereka memahami makna yang kurang lebih sejajar dengan dimaksudkan komunikator

  5. Sebagai hasil dari pengalaman member makna ini, para anggota khlayak dipengaruhi dalam cara tertentu atau dengan kata lain, komunikasi tersebut memberi pengaruh lain.

KOMUNIKATOR PROFESIONAL

  Pesan-pesan yang diperoleh oleh para spesialis bekerja disalah satu bagian dari industry komunikasi, wartawan, editor, produser,sutradara, pemusik dan sebagainya. Mereka tidak mengenali khalayak satu persatu. Sebagian merancang pesan sekedar untuk beberapa waktu lama, banyak orang menyangka bahwa AIDS. Namun, terutama dengan penyuluhan melalui media, kepercayaan yang salah itu bisa merubah sehingga orang lebih mematuhi perhatian dan membantu penderita AIDS.

  Gamble dan Gamble menyebutkan karakteristik komunikasi massa sebagai berikut.

  1. Mencapai khalayak yang banyak dan tidak di ketahui secara personal oleh pengirimya.

  2. Khalayak heterogen (beragam)

  3. Menggunakan medium/ alat tertentu

  4. Pesan yang dibawanya bersifat public

  5. Pengirmnya adalah organisasi formal ; pesan hukum dihasilkan oleh perorangan.

  6. Dokontrol oleh banyak gatekeepers. Para gatekeepers (seperti editor atau redaktur) menyeleksi isi medi yang akan disajikan kepada khalayak. Mereka yang mengolah isi pesan sedemikian rupa sebelum akhirnya muncul media untuk komunikasi khalayak.

  Menurut Gamble & Gamble komunikasi massa adalah “the process of transmiting

  message that may ne processed by gatekeepers before being transmitted to large

audiencevia a chanel of broad diffusion, such as print an audio, or a visual medium”.

  Joseph R. Dominick mendefinisikan komunikasi massa sebagai suatu proses dimana organisasi yang kompleks dengan bantuan satu atau lebih mesin memproduksi dan mengirimkan pesan kepada khalayak yang besar, heterogen, dan terbesar.

  Dari beragam pengertian tentang komunikasi massa, Jallaludin Rahmat merangkum : Komunikasi massa adalah jenis komunikasi yang ditunjukankepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonym melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapa diterima secara serentak dan sesaat.

  PERBEDAAN KOMUNIKASI MASSA DAN KOMUNIKASI TATAP MUKA

  Setelah melihat komunikasi massa sebagai sebuah proses, marilah kita melihat bagaimana komunikasi massa berbeda dari komunikasi tatap muka. Dua bentuk komunikasi ini memang sering kali dipertentangkan.Perbedaan ini dating dari DeFleur dan Dennis.Menurut mereka, perbedaan terjadi dalam hal komunikasi menggunakan media, konsekuensi mempunyai khalayak luas dan beragam serta pengaruh social cultural.Berikut uraiannya.

1. Konsekuensi Menggunakan Media

  Memasukan unsure media ke dalam komunikasi antar dua individu jelas menciptakan perbedaan. Apabila kita berbicara melalui telepon, misalnya kita tak akan memperoleh umpan balik yang sama dibandigkan dengan kita berbicara langsung berhadapan. Dalam perbincangan tatap muka, kita dengan mudah dapat melihat ekspresi keterkejutan, menaikn alis mata, senyuman dan cibiran. Semua isyarat ini membantu kita memahami bagaimana pihak lain menerima pihak kita. Namun, dalam perbincagan telepon, kita bisa emperoleh umpan balik apanila lawan bicara kita memutuskan untuk mencatatkan sesuatau yang menghasilkan suara tertentu. Keterbatasan umpan balik akan mengurangi keterlibatan kita dalam bermain peran. Ini bisa jadi mengakibatkan menurunkan kadar keefektifan atau keakuratan. Berbagai masalah teknis kabel yang kotor, alat penerima yang berdenging juga bisa menghasilkan incongruence.

  Namun, pembicaraan melalu telepon tetap dapat di katagorikan sebagai komunikasi antar pribadi.Prosesnya serupa dengan komunikasi tatap muka, hanya saja denga mediator disitu tetap ada umpan balik (feedback) langsung misalnya.

  Penggunaan media massa berperan dengan menggunakan telepon. Umpan balik langsung sama sekali dihilangkan. Memang dalam medua massa modern, seperti televisi dan radio, ada acara-acara yang membuka bagi pendengar untuk melakukan kontak dengan penyiar. Namun itu, tetap merupakan umpan balik tertunda sipenonton/ pendengar harus menelpon dulu, mungkin melewati proses seleksi terlebih dahulu , baru bisa, berbicara dengan si penyiar.

  Dalam kebanyakan isi media, kontak semacam itu sama sekali ditiadakan, Kita misalnya tak bisa memotong pembicaraan seorang penyiar yang kita tak setujui komentarnya. Kita mungkin bisa saja memindahkan saluran atau mematikan peswat TV kit, tetapipenyiar teta tak tahu apa yang hendak kita sampaikan, dan dia terus berbicara dengan khalayak lain. Begitu juga dengan surat kabar dan majalah. Kita tida bisa memberikan repon langsun kepada wartawann atas berita yang kita baca.

  Dengan demikian, komunikasi massa pada dasarnya adalah sebuak aktifitas satu arah. Sikomunikator tidak bIsa menggunakan umpan balik khalayak sabagia dasar pengambilanperannya saat pesan sedang dikirimkan.Apa yang disebut umpan balik tertunda (delayed feedback) memang mungkin akan membantu si komunikator merancang pesan untuk masa dating, namun itu tidak bisa digunakan untuk saat itu juga.

  Tambahan pula, komunikator yang menggunakan media massa juga harus menghadapi kemungkinan kesulitan mekanik seperti salah cetak, separasi warna yang buruk, dan siaran radio yang terganggu oleh buruknya cuaca. Dengan kata lain, akurasi dalam komunikasi massa juga sulit untuk diramalkan, Jadi, mengingat banyaknya sumber gangguan dan karena umpan balik sangat terbatas, komunikasi melalui media massa kemungkinan besar akan kurang akurat daripada komunikasi tatap muka.

2. Konsekuensi Memiliki Khalayak Luas dan Beragam

  Disatu sisi, sebenarnya tak ada perbedaan yang terlalu prinsipil dasar aktivitas dasar komunitas antara apabilaia berhadapan dengan satu orang atau banyak orang. Dalam hal itu, komunikasi massa bukanlah hal unik, itu hanya semacam bentuk khusus dari komunikasi antar pribadi.

  Namun disatu sisi lain, kenyataan bahwa media sikonsumsi oleh khalayak yang sangat luas dan beragam, memiliki dampak penting terhadap bentuk dan isi komunikasi. Mengingatk tak ada umpan balik yang bisa langsung diperoleh, sementara khalayak tersebut tak dikenal si komunikator maka si pengirim pesan ini harus melandaskan diri pada asumsi-asumsi tertentu agar ia bisa merasa yakin bahwa pesannya bisa diterima dan dipahami oleh mayoritas khalayaknya. Cara termudah adalah dengan mengasumsikan bahwa khalayak memiliki kapasitas intelektual terbatas, senang dihibur dan memiliki ketertarika rendah untuk terlalu terlibat dalam subjek yang dangkal. Dengan demikian, kehadiran khalayak yang luas dan beragam akan mendorong lahirnya pesan-pesan yang tidak menuntut kapasitas intelektual tinggi seraya memiliki isi hiburan yang tinggi.

3. Pengaruh Sosial dan Kultural

  Komunikasi dalam bentukdan tingkat apapun, terikat dan terbentuk oleh beragam daturan dalam masyarakat. Pada saat kita berbicara dengan sahabat akrab kita dikamarnya, masing-masing individu tetap harus memperhatikan mugkin ratusan norma budaya dan aturan social yang dipercaya oleh kedua pihak. Dalam hal komunikasi massa, aturan-aturan tersebut juga lebih beragam dan rumit. Disatu sisi, media tersebut lahir dalam konteks social dan budaya tertentu.Ada pemilik di belakangnya, ada para produsen barang yang memasang iklan disana, ada aturan-aturan yang ditetapkan pemeintah.Sementara khalayak sendiri hidup dalam linkungan social budayanya sendiri. Hubungan ini akan semakin kompleks , seandainya yang berlangsung adalah arus komunikasi antarnegara atau anatarbudaya : misalnya media massa Amerika yang siarannya bisa dijangkau sampai Indonesia.

  Dampak yang ditimbulkan seandainya ada ketidak patutan terhadap aturan social budaya tersebut bisa sangat berbeda. Dalam hubungan antarpribadi, seandainya salah satupihak menganggap , lawan bicara tidak menghomati budayanya ia dapat menghentikan komunikasi dan mungkin memutuskan tidak bicara lagi dengan orang tersebut. Dalam komunikasi massa, bisa terjadi ketidakserasian seperti itu misalnya, khalayak menganggap isi media melecehkan kepercayaan mereka si komunikator kemungkina besar tidak akan segera mengetahui ketersinggungan tersebut. Akibatnya, media melecehkan kepercayaan mereka si komunikator kemungkinan besar tidak akan segera mengetahui ketersinggungan tersebut. Akibatnya, media mungkin saja terus menyiarkan materi-materi seru.Dalam berbagai kasus, kekesalan terhadap penyiaran yang terus berlanjut membawa khalayak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan media, seperti pemboikotan, sampai demonstrasidan perusakann media bersangkutan.

  Secara tehnis, ada perbedaan apabila system komunikasi massa di perbandingkan dengan system komunikasi interpersonal. Menurut Elizabeth Noelle- Neuman, terdapat empat tanda pokok dari komunikasi massa yang tidak terdapat pada komunikasi interpersonal, yaitu komunikasi massa :

  A. Bersifat tidak langsung (harus melewati media tehnis)

  B. Bersifat searah (tidakada interaksi diantara peserta komunikasi/komunikan) C. Bersifat terbuka (ditunjukan pada public yang tidak terbatas dan anonym) D. Memiliki public yang tersebar secara geografs,

  Adanya teknis ini menyebabkan system komunikasi massa memiliki karakter psikologis yang khas jika dibandingkan dengan system komunikasi interpersonal. Hal ini nampakpada (a) pengendalian arus informasi ; (b) umpan balik; (c) stimulasi alat indra ; dan (d) proposi unsure isi dengan unsure hubungan.

a. Pengendalian arus informasi

  Mengendalikan arus informasi berarti mengatur jalannya pembicaraan yang disampaikan dan yang diterima.Ada penelitian yang menunjukan apabila arus komunikasi hanya dikendalikan komunikator, situasi dapat menunjang persuasi yang efektif. Sebaliknya apabila khalayak dapat mengatur arus informasi situasi komunikasi akan mendorong belajar yang efektif. Dalam system komunikasi massa, komunikator sukar menyesuaikan pesannya dengan reaksi komunikan.

b. Umpan Balik

  Dalam istilah komunikasi, reaksi khalayak yang dijadikan masukan untuk proses komunikasi disebut umpan balik atau feedback .Pada komunikasi personal, umpan balik sebagai respon terjadi secara tidak terbatas. Jika kita berbicara dengan seseorang, kita dapat mengetahui segala responya baik verbal maupun non verbal yang merupakan umpan balik bagi kita. Sebaliknya, dengan komunikasi massa; hamper tidak ada umpan balik

c. Stimulasi Alat Indra

  Dalam system komunikasi massa, stimuli alat indra bergantunng pada jenis media massa. Pada surat kabar, khalayak hanya melihat; pada radio, khlayak hanya mendengar KHALAYAK Khalayak merupakan prinsip dasar ketiga bagi beroperasinya media massa. McLuhanmenguraikan perkembangan sejarah berdasarkan penggunaan media massa .Ia membagi sejarah manusia ada tiga babak, yaitu sabagai berikut.

1. Situasi Konsumsi/ Penggunaan media

  Apa yang mendorong orang untuk membaca surat kabar, menonton TV, atau mendorong radio? Dalam hal ini individu diasumsikan rasional dan pengguna media yang memiliki tujuan.

  Jeffres membedakan antara media seeking dan content seeking.Media seeking adalah situasi dimana kita menggunakan media karena tindakan konsumsi itu (membaca, menonton, mendengarkan) lebih penting dari pada isi (yang dibaca, yang ditonton, yang didegarkan). Kita menyalakan TV saat kita kesepian atau bosan, acara TV disini tidak penting. Sebaliknya, pada content seeking kita memutuskan menggunakan media justru karena isinya.Misalnya, kita ingin mengetahui sambingan telenovela minggu lalu. Maka, pada minggu ini kita akan sengaja memilih saluran TV yang menayangkan telenovela tersebut untuk mengetahui kelanjutannya. Beberapa dari content seekingmendapat perhatian lebih besar dari yang lain, secara khusus kita benar-benar mencarinya; ini disebut information seeking. Seorang media- seeker akan membaca Koran mulai dari halamanterakhir secara teratur. Sementara itu seorang information seeker akan membaca secara khusus berita yang benar-benar dicarinya.

  Situasi ini akan membentuk pola pengguna media yang berbeda pada masing- masing orang. Ini adalah focus pembicaraan beikut.

2. Pola Penggunaan oleh Media

  Mengapa orang menggunakan media massa yang berbeda-beda? Mengapa orang senang membaca surat kabar X sementara orang lain menyukai surat kaba Y? Mengapa ada yang hanya senang menonton TV dan tidak mendengar radio ? Bagaimanapola konsumsi media acara individual terbentuk ?Jawabannya terletak pada individu itu sendiri.Ada kebutuhan dasar manusia, motif, dan pebedaan-perbedaan individual lainnya yang membuat konsumsi orang kepada mereka berbeda-beda.Situasi dapat membentuk pola pengguna media yang berbeda.

  Sekarang pertanyaan berikut muncul “mengapa timbul perbedaan yang sifatnya individual ini ?” menurut Jeffres, perbedaan ini dapat dilihat dari dua pendekatan, yaitu sebagi berikut.

  a. Pendekatan Kategori social Pendekatan ini melihat bahwa perbedaan kategori social individu dapat menjelaskan mengapa individu menggunakan media secara berbeda-beda. Kategiri- kategori social, antara lain pendidikan, pendapatan, pekerjaan, status perkawinan, ras, etnik dan agama. Semuanya itu berpengaruh, misalnya dalam hal total media yang digunakan, pilihan terhadap media, dan prefensi isi media.

  b. Pendekatan Uses dan Gratifcations Pendekatan ini datang dari Elihu Katz, Jay G, Blurniet, dan Michael

  Gurevitoh (1974). Asumsi-asumsi dasar dari pendekatan Uses and gratifications, meliputi berikut ini .

1. Khalayak dianggap aktif

  2. Dalam komunikasi massa, inisiatif untuk mengaitkan pemuasan kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak.

  3. Media harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan kebutuhan khalayak. Kebutuhan ini terpenuhi melalui konsumsi media dan sangat bergantung pada perilaku khalayak yang bersangkutan

  4. Banyak tujuan memilih media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota khalayak, artinya orang dianggap cukup mengerti untuk melaporkan kepentingan dan motif pada situasi tertentu.

5. Penilaian tentang anti cultural dari media massa harus ditangguhkan sebelum orientasi khalayak diteliti lebih dahulu .

  Model ini memandang individu sebagai mahkluk superrasional dan sangat selektif. Dalam model ini focus perhatiannya ialah proses penerimaan pesan. Penekanannya disini adalah pada kerangka psikologis yang mendasari motif serta pemuasan kebutuhan melalui komunikasi massa. Menurut pandangan ini, perbedaan motif dalam konsumsi media massa menyebabkan khlayak bereaksi kepada massa secara berbeda pula. Hal ini berarti bahwa efek media massa juga berlainan pada setiap anggota khalayak.

  Katz, Gurivitech dan Hass (1973) mengidentifikasikan lima kelompok kebutuhan dalam hal penggunaan media.

  1. Kebutuhan kognitif, seperti kebutuhan untuk mengerti

  2. Kebutuhan afektif, untuk memperkuat pengalaman emosional.

  3. Kebutuhan integrative, untuk memperkuat keperayaan diri, kredibilitas,dan stabilitas diri.

  4. Kebutuhan untuk memperkuat kontak dengan keluarga, teman dan dunia

  5. Kebutuhan untuk melepaskan ketegangan Wiliam, McGuire (1974) menyebutkan 16 motif yang mendorong orang menggunakan media. Secara umum, motif dikelompokan dalam motif kognitif (berhubungan dengan pengetahuan) dan motif afektif (berhubungan dengan pengetahuan) dan motif afektif (berhubungan dengan perasaan)

1. Motif Kognitif

  Motif kognitif menekankan manusia akan informasi dan kebutuhan untuk mencapai tingkat ideasional tertentu. Pada kelompok motif kognitif yang berorientasi pada pemeliharaan keseimbangan ada empat teori yaitu.

  a) Teori Konsistensi (menekankan kebutuhan individu untuk memelihara orientasi eksternal pada lingkungan) b) Teori Atribusi (melihat individu dalam melihat sebab- sebab yang terjadi pada peristiwa yang dihadapi) c) Teori kategorisasi (menjelaskan upaya manusia untuk memberikan makna tentang dunia beradasarkan kategori internal dalam diri kita)

  d) Teori Objektiftasi (menjelaskan upaya manusia untuk memberikan makna tentang dunia berdasarkan hal-hal eksternal)

  Keempat teori kognitif tersebut melukiskan individu sebagai mahluk yangmemelihara stabilitas psikologisnya. Empat teori kognitif tersebut melukiskan individu sebagai mahluk yang berusaha mengembangkan kondisi kognitif yang dimilikinya. Teori-teori itu ialah .

  e) Teori otonomi, (melihat manusia sebagai mahkluk yang mengaktulisasikan dirinya hingga mencari identitas kepribadian yang atonom)

  f) Teori stimuli, (melihat manusia sebagai mahkluk yang menginginkan stimuli sebanyak-banyaknya untuk memperkaya pikirannya)

  g) Teori teologis (melihat manusia sebagai makhluk yang berusaha mencocokan persipnya tentang situasi sekarang dengan reprentasi interaldari kondisi yang di kehendaki)

  h) Teori utilitarian (melihat individu sebagai orang yang memperlakukan situasi sebagai peluang untuk memperoleh informasi dalam menghadapi tantangan hidup).

2) Motif afektif

  Motif afektif menekankan aspek perasaan dan kebutuhan menapai tingkat emosional tertentu. Motif afektif yang ditunjukan untuk memelihara stabilitas psikolog di bahas dalam empat teori, yaitu :

  a) Teori reduksi tegangan (memandang manusia sebagai system tegangan yang memperoleh kepuasaan pada pengurungan tegangan) b) Teori ekspresif (menyatakan bahwa orang memperoleh kepuasan dalam mengungkapkan ekistensi dirinya dengang menampakan perasaan dan keyakinannya) c) Teori egodensif (menganggap manusia hidup dalam citra diri tertentu yang sesuai dengan diri dan dunia kita) d) Teori peneguhan (memandang orang dalam situasi tertentu akan bertingkah laku dengan suatu cara yang membawa ganjaran tertentu)

  Kelompok motif afektif kedua di tunjukan untuk mengembangkan kondisi psikologis, terbagi atas : e) Teori penonjolan (memandang manusia sebagai mahluk yang selalu mengembangkan potensinya untuk memperoleh dari dirinya dan dari orang lain) f) Teori afiliasi (memandang manusia sebagai mahluk yang mencari kasih saying dan penerimaan orang lain) g) Teori identifikasi (melihat manusia sebagai pemain peran yang memuaskan egonya dengan menambahkan oeranan yang berusaha konsep dirinya) h) Teori peniruan (memandang manusia sebagai mahluk yang selalu mengembangkan kemapuan afektifnya)

3) Reaksi khalayak terhadap media

  Melvin deFluer dan Sandra Ball-Rokeach menjelaskan bahwa reaksi khalayak terhadap media dapat di lihat dari tiga persefektif, yaitu : 1)Persektif perbedaan individual 2) Perspektif kategori social 3)Perspektif hubungan social

  Berikut penjelasan secara rinci :

  a) Perspektif perbedaan individual memendangbahwa sikap dab organisasi personal-psiklogis individual akan menentukan bagaimana ia memilih stimuli itu. Faktor- faktor yang mempengruhi itu meliputi potensi biologis, sikap, nilai, kepercayaan, serta pengalaman. Perbedaan ini menyebabkan engaruh media massa yang berbeda pula.

  b) Perspektif kategori social berasumsi bahwa dalam masyarakat terdapat kelompok=kelompok social yang reaksinya pada stimuli tertentu itu cenderung lama. Anggota-anggota kategori tertentu akan cenderung memilih isis komunikasi yang sama dan akan member respon kepadanya dengan cara yang hampir sama pula. c) Perspektif hubungan social menekankan pentingnya peranan hubungan social yang informal dalam mempengaruhi reaksi orang terhadap media massa. Dengan demikkian, hubungan-hubungan inerpersoanal dapat berpengaruh pada proses penerimaan, pengolaan, dan penyampaian informal dari media. Setelah anda mempelajari pokok bahasa Sistem Komnikasi dan Khalayak maka khususnya pada subpokok bahasa kelompok, sebagai pengguna media massa Anda dapat tergolong tipe yang mana ? Apa motivasi anda ?

EFEK MEDIA TERHADAP INDIVIDU

  Umumnya kita lebih tertarik bukan kepada apa yang kita lakukan pada media, tetapi kepada apa yang di lakukan media kepada kita. Hal inilah yang merupakan efek media massa. Menurut Steven Chaffe ada tiga pendekatan dalam melihat efek media massa, yaitu sebagai berikut :

  1. Pendekatan yang pertama ialah kita cenderung melihat efek media massa, baik yang berkaitan dengan pesan maupun media itu sendiri.

  2. Pendekatan yang kedua ialah melihat jenis perubahan yang terjadi pada diri khalayak komunikasi massa. Perubahan ini meliputi perubahan kognitif (penerima informasi), perubahan efektif (perubahan perasaan atau sikap), dan perubahan behavioral (perubahan prilaku).

  3. Pendekatan yang ketiga meninjau satuan observasi yang dikenai efek komunikasi massa, meliputi individu, kelompok, organisasi, masyarakat, atau bangsa. Di sini berarti ada satu kotomi (efek pesan dan media secara fisik) dan dua trikomi: (1) kognitif, afektif, behavioral (2) individual, interpersonal, system. Chaffe menggabungkan ketiganya dalam matriks 2x3x3= 18 ruang.

  Tabel 9.1 Efek Komunikasi Massa Menurut Steven M. Chaffe

  sistem

  3. Efek penjadwalan kembali kegiatan sehari-hari, misalnya surat kabar sore akan membuat orang menyisihkan waktunya untuk membaca surat kabar di sore hari, telenovela di televise swasta membuat banyak ibu rumah tangga menunda

  2. Efek sosial, berkenaan dengan perubahan struktur atau interaksi sosial akibat kehadiran media massa. Misalnya, radio dan televise dapat meningkatkan status sosial memeilikinya di pedesaan, televise di kelurahan membentuk jaringan interaksi yang baru bagi masyarakat desa.

  1. Efek ekonomis, di sini kehadiran media massa menggerakan usaha; meliputi produksi,distribusi dan konsumsi jasa media massa. Kehadiran surat kabar membuat pabrik kertas Koran menjadi hidup, member pekerjaan kepada para jurnalis, dan berpengaruh kepada bisnin periklanan. Kehadiran televise menyuburkan tumbuhnya rumah produksi, member lapangan kerja bagi juru kamera, sutradara, penulis naskah, dan artis. Begitu juga radio membuka peluang bisnis yang baik bagi para pengiklan, dubber, dan penyiar.

  Steven Chaffe menyebutkan ada lima efek media massa dari kehadirannya, yaitu sebagai berikut :

  meninjau efek kehadiran media massa secara fisik. Selanjutnya, efek pesan media massa akan di lihat pada efek kognitif, efek efektif, dan efek behavioral.

  18 Kita akan melihat efek komunikasi massa dari matriks tersebut. Pertama, kita akan

  17

  16

  15

  14

  13

  12

  sasaran Media fisik pesan kognitif afektif behavior kognitif afektif behavior

  11

  10

  9

  8

  7

  6 Interpersonal

  5

  4

  3

  2

  1

  Individual

A. EFEK KEHADIRAN MEDIA MASSA (SECARA FISIK)

  waktu memasak dan menggeser waktu arisan, serta film kartun di TV setiap hari membuat anak-anak menggeser waktu belajar.

  4. Efek pada penyaluran/penghilangan perasaan tertentu, seperti marah, kecewa, dan kesepian. Media dipergunakan tanpa mempersoalkan isi siaran yang di udarakan; dan seseorang yang sendirian di rumah menyalakan TV sekedar untuk mengusir sepi supaya terasa ada “teman” tanpa peduli acara yang di siarkan.

  5. Efek pada perasaan orang terhadap media. Media dapat menumbuhkan perasaan tertentu baik negative maupun positif. Kita percaya dan menyukai media yang satu, tetapi tidak percaya atau kurang senang

B. EFEK PESAN MEDIA MASSA

1. Efek Kognitif

  Komunikasi massa tidak secara langsung menimbulkan prilaku tertentu, tapi cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita tentang lingkungan. Citra inilah yang mempengaruhi cara kita berprilaku. Citra terbentuk berdasarkan informasi yang di terima oleh individu melalui media massa. Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah si seleksi (oleh Marshal MacLuhan disebut sebagai “realitas tangan kedua” (second hand

  

reality). Jadi, kita membentuk citra tentang lingkungan sosial kita berdasarkan

  realitas kedua yang di tampilkan oleh media massa. Misalnya, Anda memiliki gambaran bahwa Jakarta sudah tidak aman lagi karna tingginya angka kriminalitas disana, Anda beranggapan di daerah anda lebih aman. Mengapa anda mendapatkan gambaran itu? Karna setiap hari anda membaca di surat kabar dan melihat di TV berita-berita criminal banyak di muat. Sebaliknya, dari daerah, lebih sedikit berita criminal yang deberitakan. Padahal, kenyataannya mungkin di daerah juga banyak terjadi peristiwa criminal, namun tidak di siarkan oleh TV dan di beritakan di surat kabar. Oleh karena proses gate keeping, media massa melakukan seleksi terhadap berita yang dimuatnya, hasil dari seleksi inilah yang mempengaruhi citra kita tentang lingkungan sosial kita.

  Oleh karena proses selektif ini, mungkin saja terjadi penggambaran yang salah oleh media. Timbullah apa yang di sebut stereotype, yaitu gambaran umum tentang individu, kelompok atau masyarakat yamg tidak berubah-berubah sering kali timpang dan tidak benar. Misalnya, dalam telenovela di TV kita melihat orang kulit hitam umumnya di gambarkan miskin, jahat, jadi pembantu kulit putih, dan licik. Jika anda terus-menerus menonton telenovela, anda kemungkinan besar akan memiliki gambaran tentang kaum kulit hitam di Amerika Latin seperti apa yang Anda lihat di televise itu. Prinsip bahwa media massa melakukan proses seleksi merupakan teori agenda setting. Teoti ini di mulai dengan satu asumsi bahwa media massa menyaring berita, artikel, ataupun tulisan yang akan disiarkannya.

  Secara selektif, getekeepers menentukan hal apa yang pantas di beritakan atau yang tidak. Setiap isu diberi bobot tertentu (ruang penempatan dalam surat kabar atau waktu yang khusus pada radio) dan cara penonjolan tertentu (ukuran juduldan frekuensi pemutaran). Apa yang di sajikan media massa di sebut sebagai “agenda media”.

  Agenda media mempengaruhi agenda masyarakat (public agenda). Teori ini menunjukan adanya kesamaan andara agenda media dengan agenda public. Media massa memiliki kemampuan untuk mempengaruhi apa yang di anggap - penting oleh masyarakat. Misalnya, headline surat kabar hari ini tentang kecelakaan kerta api maka anda menganggap kecelakaan itulah yang penting. Anda mungkin akan memebicarakan topic ini dengan teman-teman dan keluarga.

  Media massa juga berperan dalam menyampaikan pengetahuan, keteramipilan, dan nilai-bilai yang baik. Dengan kata lain, media massa dapat memberikan manfaat yang di kehendaki masyarakat. Hal inilah yang disebut efek prososial. Misalnya, film seri sesame street terbukti di Amerika berpengaruh sangat baikpada anak-anak yang menontonnya. Penelitian menunjukan bahwa anak yang senang menonton acara ini saja memiliki tingkat pengetahuan lebih baik (di bawah kita akan lihat film ini juga berpengaruh baik pada sikap).

2. Efek Afektif

  Perubahan sikap yang berarti akibat pesan mesia massa masih menjadi perdebatan di kalangan ahli komunikasi. Benarkah media massa berpengaruhdalam perubahan sikap individu? Charles K. Atkin, misalnya menyimpulkan bahwa media massa dapat mempengaruhi orientasi afektif, tetapi dampaknya tidak sebesar orientasi kognitif. Beberapa penelitian dalam komunikasi politik membuktikan adanya pengaruh media massa terhadap perubahan sikap. Sementara Joseph Klapper mengatakan, dalam hubungannya dengan pembentukan dan perubahan sikap, pengaruh madia massa dapat di simpulkanpada lima prinsip umum:

  1. Pengaruh komunikasi siantarai oleh prediposisi personal, proses selektif, dan keanggotaan kelompok (factor personal).

  2. Factor-faktor tadi membuat komunikasi massa berfungsi untuk memperkoh sikap dan pendapat yang ada selain itu juga berfungsi sebagai media pengubah.

  3. Apabila komunikasi massa menimbulkan perubahan sikap, perubahan kecil pada intensitas sikap lebih umum terjadi pada “konversi” dari satu sisi ke sisi yang lain

  4. Komunikasi massa cukup efektif dalam mengubah sikap pada bidang-bidang di mana pendapat orang lemah, misalnya pada iklan komersial.

  5. Komunikasi massa cukup efektif dalam menciptakan pendapat tentang masalah-masalah baru apabila tidak ada dredisposisi yang harus diperteguh.

  Media massa dapat menimbulkan rangsangan emosional pada khalayak. Misalnya, menonton adegan sedih dalam film, sejumlah penonton mengeluarkan air mata. Begitu pula ketika mambeca kisah yang mengharukan di majalah wanita. Sebaliknya, kita bisa tertawa terbahak-bahak ketika menyaksiakan acara lawak di televise atau film komedi.

  Peneliti menemukan factor-faktor yang mempengaruhi intensitas rangsangan emosional pesan mesia massa. Factor-faktor itu adalah sebagai berikut.

  1. Suasan emosional (mood), yakni kondisi secara psikologis yang ada ketika ia mengonsumsi media massa.

  2. Suasana kognitif, yakni gambaran dalam pikiran kita sendiri yang menjelaskan suatu peristiwa yang terdapat di media massa.

  3. Suasana terpaan (setteing exposure), yakni bentuk emosi yang “ditularkan” oleh individu lain atau objek tertentu ketika kita mengonsumsi media massa.

  4. Predisposisi individual, yakni karakteristik khas individu.

  5. Tingkat idenfikasi khlayak dengan tokoh dalam media massa (menunjukan sejauh mana orang merasa terlibat dengan tokoh yang di tampilkan media massa). Sejenis rangsangan emosional yang banyak di bicarakan orang adalah rangsangan sexual akibat adegan-adegan merangsang dlam media massa (disebut pornografi atau sexually

  

explicit materials). Istilah pornografi berasal dari kata Yunani, porne (yang berarti pelacur)

  dan graphe (yang berarti tulisan atau gambar) jadi, artinya “potnografi” menunjuk pada segala karya, baik dalam bentuk tulisan atau gambar, yang melukiskan pelacur.Pengertian ini mengalami perkembangan.saat ini umumnya pornografi di definisikan sebagai “materi yang di sajikan di media tertentu yang dapat dan atau di tunjukan untuk membangkitkan hasrat sexual khlayak atau mengeksploitasi sexs”.

  Para ahli sepakat bahwa ada materi erotis yang dapat merangsang individu. Stimuli erotis pada media massa menimbulkan tingkat rangsangan yang berlainan bagi orang yang memiliki pengalaman berbeda. Sebuah penelitian menunjukan bahwa makin banyak pengalaman sexual individu, makin mudah ia terangsang oleh adegan-adegan sexual.

  Victor B. Kline, seorang psikiater yang menangani banyak pasien yang mengalami masalah akibat keterlibatan mereka dalam mengonsumsi pornografi, menyebutkan bahwa ada tahap-tahap efek pornografi yang dijalani mereka akan menjadi konsumen pornografi. Tahapan-tahapan ini menunjukan bahwa pornografimemiliki efek berjangka panjang bagi konsumennya.

  1. Tahap addiction (kecanduan). Sekali seorang menyukai materi pornografi, ia akan mengalami ketagiahan. Jika yang bersangkutan tidak mengonsumsi pernografi maka ia akan mengalami “kegelisahan”. Ini bahkan dapat terjadi pada pria berpendidikan atau pemeluk agama yang taat.

  2. Tahap eskalasi. Setelah sekian lama mengonsumsi media porno, selanjutnya ia akan mengalami efek eskalasi. Akibatnya, seseorang akan membutuhkan materi sexsual yang lebih eksplisit, lebih sensasional, lebih “menyimpang” dari yang sebelumnya sudah ia konsumsi.

  3. Tahap desensilitazion (desentisiasi/hilannya kepekaan perasaan). Pada tahap ini, materi yang tabu, immoral atau mengejutkan pelan-pelan akan menjadi suatu yang biasa . pengonsumsi pornografi bahkan menjadi cenderung tidak sensitive terhadap korban kekerasan seksual.

  4. Tahap act out. Pada tahap ini, seorang pecendu pornografi akan meniru atau menerapkan perilaku seks uang selama ini ia tonton di media. Tahapan-tahapan ini menunjukan bahwa tingkat sampai tingkat behavior (prilaku).

3. Efek Behavioral

  Efek behavioral mengacu pada prilaku khalayak, pada tindakan dan gerakan yang tampak pada kehidupan sehari-hari meliputi pola tindakan, kegiatan atau kebiasaan berprilaku. Disini kita melihat efek pecendu media massa pada prilaku agresif (antisocial) dan prilaku prososial. Agresi adalah setiap bentuk perilaku yang di arahkan untuk merusak atau melukai orang lain yang menghindari perlakuan seperti itu. Banyak studi menunjukan adanya efek kekerasan pada TV dan film terhadap prilaku agresif penontonnya. Film kekerasan mengajarkan agresi, mengurangi kendali oral penontonnya, dan menumpulkan perasaan mereka. Keompok besar studi ini di sebut Teori Stimulasi.

  Dalam sebuah penelitian yang sangat terkenal, Albert Bandura pada tahun 1960-an menunjukan bahwa film dan TV dapat mengajarkan prilaku agresif pada anak-anak. Dalam eksperimennya, sejumlah anak prasekolah diminta menonton sebuah film dimana seorang model memperlakukan secara kasar sebuahboneka karet besar bernama “Bobo”. Ketiaka anak-anak dibiarkanberada sendirian dengan si boneka dalam situasi yang serupa dengan yang di peragakan di film tersebut, mereka pun memperlakukan “bobp” dengan cara yang sama agresifnya.

  Perilaku serupa tidak di tunjukan oleh anak-anaka yang sebelumnya di minta tidak menonton film. Kesimpulannya, anak-anak belajar berprilaku agresif dari film tersebut.

  Sesudah eksperimen Bandura, sejumlah studi mengikuti jejak eksperimen tersebut berulang kali dilakukan, antara lain studi yang menggunakan badut sungguhan sebagai pengganti boneka karet. Ternyata hasilnya cenderung konsisten “mereka telah dirangsang adegan kekerasan melalui TV, cenderung bersikap lebih agresif”.

  Namun, sejumlah studi menunjukan bahwa media tidak menciptakan dorongan agresif, melainkan merangsang (stimulasi) potensi agresi individu. Dalam teori tersebut di katakana bahwa menonton adegan-adegan agresif justru dapat menyingkirkan perasaan-perasaan agresif individu. Ini terjadi Karen perasaan-perasaan agresif tersebut justru tersalurkan pada saat ia menonton dan puas bahwa dorongan-dorongan agredif tersebut telah tersalurkan. Teori ini disebut sebagai Teori Kataris (dari Fesbach, 1955), namun studi-studi yang ada lebih mendukung Teori Stimulasi.

  Ada yang mengatakan bahwa budaya kekerasan yang di tampilkan media menyebabkan timbulnya desensitiasi (hilangnya kepekaan perasaan) khalayak. Akibatnya, khlayak tidak peka lagi terhadapberbagai konsekuensi kekerasan. Budaya kekerasan yang gencar di tampilkan media di anggap telah menyebabkan jiwa kemanusiaan kita menjadi semakin kebalterhadap kesakitan yang dirasakan orang lain disebut oleh Sessilia Bok (1998) sebagai compassion fatigue (keletihan yang membuat kita tidak sangguplagi terharu ataupun berbelas kasian).

  Namun, sejumlah setudi menunjukan bahwa media massa juga dapat nerpengaruh positif, yakni menimbulkan efek prososial. Salah satu perilaku prososial ialah memiliki keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain. Media televise, radio atau film di berbagai Negara digunakan sebagai media pendidikan. Di satu sisi, terdapat manfaat yang nyata; sementara di sisi lain media itu menghasilkan kegagalan. Di sini ada perasaan efek yang di hasilkan oleh media massa . belajar dari mesdia massa memang tidak bergantung hanya pada unsure stimuli dalam media massa saja. Untuk menjelaskan proses belajar seperti ini kita memerlukan teori psikologi. Teori psikologi yang dapat menjelaskan efek prososisal media massa adalah teori belajar sosial dari Bandura. Menurut Bandura , kita belajar bukansaja dari prngalaman langsung, tapi dari peniruan dan peneladanan (modeling). Perilaku merupakan hasil dari factor-faktor kognitif dan lingkungan. Hal ini berarti kita mampu memiliki kemampuan tertentu juka terdapat jalinan positif antara stimuli yang kita amati dan karakteristik dari diri kita.

  Bandura menjelaskan proses belajar dalam empat tahap proses, yaitu proses perhatian, proses pengingatan, proses reproduksi motoris, dan proses motivasional.

  Perhatian saja tidak cukup menghasilkan efek prososial. Khalayak harus sanggup menyimpan hasil pengamatannya dalam benaknyadan memanggilnya kembali ketika mereka akan bertindaksesuai dengan teladanyang diberikan. Stimulidapat di jadikan teladan karena sifat-sifat stimuli itu dan karena karakteristik orang yang menangkap stimuli. Proses peneladananterjadi jika individu sanggup mengingat kembali peristiwa yang diamatinya. Proses reproduksi motoris artinya tindakan teladanakan kita lakuakan apabila diri kita sendiri mendorong tindakan itu. Doronagan diri ini timbul dari perasaan puas, senang ataupun di penuhinya citra diri yang ideal.

  Kebanyakan studi efek memusatkan perhatian terhadapapa yang disebutsebagai prilaku antisocial. Namun, meski dalam jumlah sedikit, sejak akhir tahun 1960-an berkembang pula studi-stusi yang melihat dampak media pada perilaku prososial. Dapat dikatakan, dari studi-studi tersebut, terdapat kesejajaran pertemuan antara studi-studi antisocial dan prososial. Artinya, apabila media memang bisa mendorong orang menjadi agresif, pada saat yang sama, media juga bisa membuat orang lebih suka membantu orang lain.

  Joseph R. Dominick dalam ulasannya terhadap studi-studi efek, menunjukan ada tiga wilayah prososial yang memperoleh banyak perhatianpenelitian, yaitu

  (a) efek terapi (b) pengembangan kendali diri (c) kerja sama, membagi, dan membantu.

  a. Efek terapik (Therapeutic Effect)

  anak-anak, antara lain stusi menentukan bagaimana media dapat membantu anak-anak mengatasi phobia-phobia psikologis, seperti rasa takut pada anjing atau ke dokter gigi. Seusai menonton filmyang mengajarkan “tak perlu takut datang ke dokter gigi”, terbukti dapat membuat anak menjadi lebih berani berhadapan dengan dokter gigi.

  b. Pengembangan kendali diri

  Studi-studi eksperimen juga menunjukan bagaimana pengajaran melalui televise dapat membentuk kendali-diri (self control) anak. Terbukti, melaui film-film pengajaran yang di buat dengan baik, anak-anak meniru aturan-aturan tentang mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah sehingga bisa mengendalikan diri untuk tidak berbuat hal-hal yang buruk. Dalam sebuah eksperimen, serombongananak berusia lima tahun dibawa masuk ke dalam ruangan berisi berbagai macam maina dan kamus. Kepada mereka dikatakan, mereka tak boleh bermain dengan mainan namun membuka-buka kamus. Setelah itu mereka di bagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertam tidak menonton film sama sekali, kelompok kedua menyaksikan film di mana seorang anak bermain dan bahkan di temani ibunya (ini di kategorikan sebagai kondisi “model berhadiah”). Kelompok ketiga, menyaksikan film di mana seorang anak bermain dengan mainan, namun kemusian dihukum ibunya karena melanggar peraturan (disebut sebagai kondisi “model berhukum”).

  Setiap anak kemudian ditinggal sendirian di ruang berisi mainan dan kamus, sementara peneliti mengamati dari luartanpa di ketahi si anak. Hasilnya seperti di duga, anak dengan model berhukuman paling lama berhasilmenahan dorongan untuk bermain dengan mainan. Sebaliknya, anak dengan model berhadiah paling ceoat bergetak untukbermain dengan mainan. Ini adalah satu di antara serangkaian studi yang menunjukan bahwa dengan mengonsumsi media, anak belajar mengendalikan diri.

  c. Kerja sama, membagi dan membantu

  Studi-studi lain menunjukan bagaimana media mengajarkan nilai- nilaikebaikan tentang perlunya bekerja sama, perlunya membagi dengan teman, serta membantu teman. Sebuah studi, misalnya mempertotntonkan sebuah episode film seri the waltson kepada anak-anak. Mereka yang menonton film tersebut ketika di teliti ternyata lebih bersedia saling membantu dalam situasi bermain peran yang di adakan kemudian. Dengan demikian, terlihat media massa dapat berpengaruh positif dan juga negative pada khalayak. Namun, hasil-hasil studi yang baru saja kita bicarakan memang mendasarkan diri dari pada studi eksperimen dalam situasi laboratorium, bukan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Pernyataan berikutnya, dengan demikian “ apakah pesan-pesan media tersebut berpengaruh pada kehidupan sehari-hari?”.

  Menurut Dominick, sejumlah studi menunjukan bahwa hubungan antara penonton dan prilaku prososial adalah lebih lemah di banding menonton dan prilaku agresif. Dominick memeberikan alas an mengapa ini terjadi. Menurutnya, prilaku agrasif di televise dan film sangat jelas, mudah terlihat dan bersifat fisik, sementara prilaku prososisal cenderung lebih tersamar, kadang rumit, dan lebih melibatkan tindakan verbal (misalnya terbatas pada kata-kata). Oleh karena anak- anak lebih mudah belajar dari penyajian yang sederhana, langsung, dan aktif, prilaku agresif lebih mudah dipelajari dari sisi media.

  Kembali harus diingat bahwa pengaruh-pengaruh media ini diteorikan tak bersifat langsung di kebanyakan individu. Seperti diutarakan di bagian sebelumnya, ada banyak factor personal dan sosisal yang turut berpengaruh. Namun, studi-studi yang baru saja di sebutkan memeang menggunakan anak- anak sebagai objek studi dan kalangan di asumsiakan lebih “murni” dan belum terpengaruh oleh kondisi-kondisi lingkungannya. Semakin ia beranjak dewasa, semakin banyak variable yang harus diperhatikan agar manusia dapat berdampak pada dirinya.

C. MEDIA SEBAGAI AGEN SOSIALISASI

  Dengan demikian, studi-studi efek media memang menunjukan bahwa media memeiliki pengaruh terhadap individu.Sekarang, gabungkan temuan itudengan kenyataan bahwa individu-individu dalam masyarakat makin banyak karena terpaan media. Bayangkan saja berapa jam Anda sudah menonton televisi, dan bandingkan dengan beberapa anak, keponakan atau adik Anda sekarang menonton televisi? Diperkirakan, di sebagian besar masyarakat Indonesia, jumlah jam menonton anak-anak sekarang akan berlipat.