Perpustakan Dijital di Indonesia

Salah Kaprah Perpustakan Dijital di Indonesia
Salah satu tema populer beberapa tahun belakangan ini di dunia dokumentasi adalah
tentang perpustakaan dijital (digital library). Tema ini populer seiring dengan makin
maraknya penerbitan elektronik dan mudahnya orang untuk membuat dokumen
elektronik. Di Indonesia, sistem perpustakaan dijital banyak diterapkan di perpustakaan
perguruan tinggi. Ini dapat dimaklumi karena perguruan tinggi mempunyai banyak
konten berharga seperti skripsi, tesis dan disertasi.
Untuk membangun sistem perpustakaan dijital, ada banyak aplikasi yang bisa digunakan,
baik yang komersial maupun yang OpenSource. Di Indonesia, yang paling populer adalah
Ganesha Digital Library (GDL) dengan lisensi GNU/GPL (www.gnu.org). GDL dibuat
oleh KMRG (Knowledge Management Research Group) ITB. Sosialisasi GDL dilakukan
dengan membuat inisiatif yang diberi nama Indonesia Digital Library Network
(IndonesiaDLN). Sayangnya gaung inisiatif ini tidak lagi sekencang dulu.
Setelah sekian lama implementasi perpustakaan dijital di Indonesia, ada beberapa
kesalahkaprahan terjadi yang menarik untuk didiskusikan.
Pertama, ternyata masih banyak orang (termasuk para pustakawan) yang belum bisa
membedakan dan masih mencampuradukkan antara konsep “Perpustakaan Dijital”
dengan “Automasi Perpustakaan” (library automation). Penulis pernah dimintai tolong
untuk memberikan demo aplikasi perpustakaan dijital, ternyata yang diinginkan adalah
aplikasi automasi perpustakaan. Seorang teman penulis --seorang web programmer-memberi nama aplikasi buatannya sebagai digital library, padahal yang dibuat hanyalah
katalog terpasang (online catalog).

Sebenarnya apa perbedaan mendasar sistem automasi perpustakaan dengan perpustakaan
dijital? Sistem automasi perpustakaan adalah implementasi teknologi informasi pada
pekerjaan-pekerjaan administratif di perpustakaan agar lebih efektif dan efisien. Apa saja
yang termasuk pekerjaan administratif di perpustakaan. Diantaranya: pengadaan,
pengolahan, sirkulasi (peminjaman, pengembalian), inventarisasi, dan penyiangan
koleksi, katalog terpasang, manajemen keanggotaan, reservasi koleksi, dan lain-lain.
Sedangkan sistem perpustakaan dijital adalah implementasi teknologi informasi agar
dokumen dijital bisa dikumpulkan, diklasifikasikan, dan bisa diakses secara elektronik.
Secara sederhana dapat dianalogikan sebagai tempat menyimpan koleksi perpustakaan
yang sudah dalam bentuk dijital.
Kedua adalah masalah aksesibilitas. Sistem perpustakaan dijital dirancang agar koleksi
perpustakaan lebih mudah diakses dan jangkauan aksesnya lebih luas. Yang terjadi di
Indonesia, koleksi dijital justru lebih sulit diakses daripada koleksi tercetak (printed).
Bukan karena keterbatasan infrastruktur, tetapi karena kebanyakan pengelola
perpustakaan dijital masih takut atau bahkan “tak rela” orang lain bisa membaca koleksi
dijitalnya.

Penulis sempat mengamati kegiatan pembangunan sistem perpustakaan dijital di sebuah
perpustakaan perguruan tinggi. Dukungan dari pengelola universitas sangat baik, tapi
sekarang proyek tersebut mandek karena belum ada surat keputusan tentang siapa saja

yang berhak membaca dan mendownload koleksi tersebut. Pihak pengelola perguruan
tinggi tersebut masih khawatir (cenderung paranoid) dengan masalah copyright dan
plagiarisme bila akses diberikan, meskipun hanya untuk lingkup universitas. Sebuah
alasan yang tidak argumentatif karena apapun bentuk media yang digunakan, plagiarisme
akan selalu ada. Justru perpustakaan dijital bisa membantu mengurangi plagiarisme
dengan cara memberikan akses informasi ke banyak orang, sehingga orang lain tahu
siapa sudah mengerjakan apa. Lagipula, sebagai sebuah perguruan tinggi yang didanai
oleh publik, seharusnya publik juga punya hak untuk mendapatkan akses hasil penelitian
yang dilakukan perguruan tinggi tersebut.
Ketiga, masalah manajemen pengembangan sistem. Implementasi sistem perpustakaan
dijital merupakan hal yang kompleks dan rumit. Karena itu perlu perencanaan yang
matang, mulai dari menyiapkan white papers, spesifikasi fungsional sistem, model bisnis,
manajemen teknologi, isu legal, manajemen sumberdaya manusia, prosedur, dan lainlain. Sayangnya banyak implementasi perpustakaan dijital di Indonesia kurang
memperhatikan hal-hal ini. Sehingga sering implementasi akhirnya mandek karena halhal yang belum bisa diselesaikan di fase awal sebelum implementasi. Implementasi
perpustakaan dijital bukan merupakan hal mudah, terlebih lagi ia melibatkan banyak
pihak. Supaya berhasil, harus mendapat dukungan penuh dari pihak-pihak yang terkait,
dan yang tidak kalah penting adalah model bisnisnya harus jelas serta terdokumentasi.
Terkait dengan beberapa kesalahkaprahan diatas, ada beberapa isu yang patut
diperhatikan terkait agar implementasi sistem perpustakan digital bisa berjalan dengan
baik.

Pertama, para pengelola sistem perpustakaan dijital hendaknya mengetahui esensi
perpustakaan dijital. Yaitu agar koleksi perpustakaan lebih mudah diakses, jangkauan
aksesnya lebih luas dan meningkatkan kualitas pembelajaran. Karena itu adalah salah
besar kalau perpustakaan dijital jadi lebih sulit diakses oleh pemakai perpustakaan,
dengan alasan apapun.
Kedua, isu legal. Para pengelola sistem perpustakaan dijital hendaknya memahami secara
jelas masalah legal terkait dengan konten dijital yang dimasukkan kedalam sistem
perpustakaan dijital. Selain kompleks, isu ini juga selalu merupakan isu utama dalam
implementasi perpustakaan dijital di Indonesia. Sulitnya, seringkali para pengelola
perpustakaan terlalu banyak berdiskusi berkutat hanya pada isu legal dan melupakan isu
penting lainnya. Hendaknya sistem perpustakaan dijital yang dibuat, sudah punya dasar
hukum yang jelas, sehingga nanti sistem tersebut tidak mandek lagi menunggu kepastian
hukum mengenai dokumen dijital yang disertakan.
Ketiga, terkait dengan isu pertama, tujuan utama perpustakaan digital bukan sebagai
sarana preservasi koleksi. Koleksi dijital justru lebih rentan kehilangan data dan

terjadinya inkompatibilitas. Untuk mengatasi masalah ini, isu-isu berikut ini harus
diperhatikan.
Keempat, isu teknologi. Terkait dengan isu ketiga, maka masalah teknologi perlu
mendapat perhatian serius. Media tempat menyimpan informasi digital selalu mengalami

degradasi dan bisa rusak tanpa pemberitahuan sama sekali. Perangkat keras dan lunak
seringkali ketinggalan zaman tanpa kita sadari. Karena itu perlu diperhatikan manajamen
daur hidup (lifecycle management) koleksi dijital yang disimpan.
Kelima, isu manajemen konten dijital. Semakin besar volume dan kompleksitas dokumen
dijital, maka akan mulai timbul masalah, diantaranya: pemeliharaan koleksi, temu
kembali informasi (information retrieval), dan klasifikasi. Solusi yang bisa dilakukan
antara lain: pembuatan prosedur standar untuk pemeliharaan koleksi, pemeliharaan sistem
temu kembali informasi (perbaikan algoritma), dan pembuatan tesaurus.
Hendro Wicaksono ([email protected])
Pustakawan di Perpustakaan Pendidikan Nasional Depdiknas