tatakelolapermukiman dodo juliman edited by lydia ok word2003

TATA KELOLA PERMUKIMAN BERBASIS KOMUNITAS SEBAGAI INSTITUSI
WARGA UNTUK PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN BANJIR
Oleh :
Dodo Juliman1
Latar Belakang
Saat ini, kita berada di pertengahan jalan transformasi besar menuju kehidupan
perkotaan. Dalam 50 tahun terakhir penduduk perkotaan dunia telah bertambah
sebanyak 6 kali lipat, sementara Indonesia mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi,
yaitu bertambah sekitar 7 kali lipat dalam 50 tahun terakhir. Menurut perkiraan UNHabitat dampak urbanisasi akan lebih dirasakan oleh negara-negara berkembang
terutama di kawasan Asia Selatan, Asia Tenggara dan Sub-Sahara Afrika 2.
Permukiman merupakan elemen utama pembentuk kawasan perkotaan. Jika kita
mengenal wisma (rumah/tempat tinggal), karya (sarana produksi/tempat kerja), marga
(prasarana penghubung), suka (sarana rekreasi), dan penyempurna (sarana kesehatan,
pendidikan dan peribadatan) sebagai unsur-unsur pembentuk permukiman, dapat
dikatakan bahwa perumahan merupakan unsur utama pembentuk permukiman. Jika kita
perhatikan, di kota-kota kecil sampai sedang elemen perumahan atau fungsi campuran
(rumah-toko, rumah-warung, rumah-bengkel, rumah-kebun) menjadi unsur yang
mendominasi wujud fisik kota-kota kita.
Belakangan, sejalan dengan makin terasanya dampak perubahan iklim global, ditambah
lagi dengan perubahan penggunaan lahan di kawasan hulu, kota-kota yang dilalui sungai
banyak yang mengalami bencana banjir. Banyak yang beranggapan bahwa banjir ini

terutama disebabkan oleh tidak terkendalinya pembangunan perumahan dan
permukiman di sepanjang daerah resapan air, bahkan di sepanjang bantaran sungai dan
badan-badan air lainnya.
Tata Kelola Kawasan Permukiman
Sampai tahun 1980-an, masih banyak tempat kerja seperti: perkebunan, industri,
kompleks pendidikan, perkantoran, dan lain-lain dilengkapi dengan fasilitas perumahan
untuk pegawainya, pada sektor informal pun, kita dapat melihat adanya pola hubungan
yang cukup dekat antara tempat tinggal dan tempat kerja, seperti diperlihatkan melalui
fungsi-fungsi campuran yang disebutkan terdahulu. Uraian ini mengarah pada suatu pola
tata kelola kawasan permukiman yang produktif yang dicirikan oleh eratnya hubungan
antara tempat tinggal dan mata pencaharian. Pola tata ruang seperti ini sebenarnya
menganut zonasi yang berbasis pada satuan-satuan permukiman yang memiliki sistem
produksi yang spesifik. Oleh karena itu, dulu kita sering mengenal adanya kampung yang
dikaitkan dengan produk tertentu, seperti: kampung batik, kampung tenun, kampung
peuyeum, kampung kulit, kampung kerajinan kayu, kampung kerajinan perak, dan lainlain.
Dengan zonasi berbasis kampung, sebenarnya kita bisa membangun tata ruang mikro
yang lebih mudah dikontrol oleh para pemangku kepentingan, yaitu warga kampung itu
sendiri. Sehingga apa pun yang akan diputuskan bersama akan berhubungan sangat erat
dengan kenyataan hidup mereka sehari-hari, lebih konkrit dibanding bila pengambil
keputusan adalah orang yang tidak menghadapi persoalan secara langsung. Tentu saja


1
2

 
 

Dodo Juliman, Manajer Program UN­HABITAT untuk Indonesia
UN­Habitat Human Settlements Report, “The Challenge of Slums, 2003

1

pengambilan keputusan oleh warga ini perlu mendapat dukungan oleh pemerintah
setempat, terutama dukungan informasi, panduan, dan pendampingan teknis.
Membangun Institusi Warga
Melalui institusi warga yang dibentuk untuk menyelenggarakan tata kelola kewilayahan
(area governance) di kampungnya, perencanaan kampung (village planning)-pun lebih
mudah difasilitasi untuk mengarah pada model pembangunan kampung yang lestari
(baca: berkelanjutan) dengan menerapkan kawasan budidaya dan kawasan penyangga
secara mikro. Melalui sistem tata kelola kewilayahan mikro yang baik, maka hal-hal yang

terkait dengan pencegahan dan pengendalian banjir aka lebih mudah dilakukan, karena di
dalamnya warga juga diajak untuk menciptakan kampung yang lestari melalui
pembangunan permukiman yang memperhatikan keseimbangan ekologis di dalamnya.
Karena aturan main dibuat sendiri oleh warga (dengan panduan dari pemerintah kota),
tentu saja warga akan berusaha mengontrol antar sesama mereka.
Model ini bisa diintegrasikan dengan tata ruang makro (skala kota) secara bertahap dan
berkesinambungan melalui sistem fasilitasi antar kampung yang kemudian membentuk
satuan wilayah perkotaan3. Pada tingkat satuan wilayah perkotaan keberadaan kampungkota sudah perlu diintegrasikan dengan berbagai fasilitas pendukung kota seperti pasar,
terminal, sarana pendidikan terpadu, puskesmas terpadu, layanan jasa terpadu (kantor
pos, telepon, internet, layanan informasi, bank/ lembaga keuangan mikro, layanan hukum
dan sebagainya).
Melalui pola-pola pengelolaan lingkungan permukiman yang terkoneksi dengan berbagai
fasilitas seperti disebutkan di atas, maka perubahan ke arah penggunaan tanah secara
lebih efisien dan pengembangan permukiman yang bernilai tambah tinggi menjadi lebih
mudah diselenggarakan.
Membangun Secara Vertikal
Sejalan dengan terus berkembangnya penduduk perkotaan, perlu ditumbuhkan kesadaran
kolektif untuk membatasi ekspansi kawasan terbangun sekaligus melestarikan dan
meningkatkan kinerja kawasan penyangga, agar daya dukung lingkungan dan
keseimbangan ekologis bisa lebih terjaga. Salah satu cara untuk membatasi ekspansi

kawasan terbangun adalah dengan membangun secara vertikal. Namun, hal ini perlu
dilakukan secara lebih bijak, melalui pengembangan secara bertahap, sesuai kemampuan
warga.
Di samping menghemat penggunaan tanah perkotaan, membangun secara vertikal dapat
pula mengurangi biaya pembangunan infrastruktur dan penggunaan transportasi kota.
Bila disertai dengan inovasi sistem manajemen perumahan kota 4, maka pembangunan
vertikal juga akan bisa menyediakan makin banyak tempat tinggal bagi penduduk yang
bekerja di pusat-pusat kegiatan kota. Untuk merangsang pembangunan secara vertikal,
pemerintah setempat bekerja sama dengan pemerintah nasional dapat memberi insentif
atau mengenakan disinsentif terhadap warga kotanya.

3

 

4

Sistem Manajemen Perumahan Kota yang dimaksud adalah sistem informasi perumahan
yang dikaitkan dengan upaya pendayagunaan stok perumahan secara optimal untuk mengatasi
backlog maupun kebutuhan tempat tinggal yang dekat dengan tempat kerja.


Satuan Wilayah Perkotaan, bisa berupa kecamatan atau kawasan yang mempunyai fungsi tertentu seperti
kawasan pusat bisnis/ perdagangan, kawasan industri terpadu dll. 

2

Perubahan Manajemen Tanah Perkotaan
Keberadaan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sangat diperlukan untuk
mendukung daya saing kota, karena merekalah yang mampu memberikan layanan
dengan harga yang terjangkau oleh kebanyakan penduduk perkotaan. Namun untuk bisa
memberi layanan seperti itu, kelompok MBR perlu bertempat tinggal relatif dekat dengan
tempat kerjanya, agar mereka tidak perlu mengeluarkan uang terlalu besar untuk
mencapai tempatnya bekerja. Untuk itu pemerintah setempat dan pemerintah nasional
perlu melindungi keberadaan kelompok MBR di pusat-pusat kegiatan kota dengan cara
melestarikan dan meningkatkan kapasitas permukiman MBR ( slum upgrading) serta
menyediakan tanah hak guna pakai kolektif atau fasilitas hunian sewa yang menjamin
adanya keamanan hak tinggal kepada kelompok MBR.
Regulasi tanah perkotaan ke depan hendaknya lebih memberi insentif bagi pemilik tanah
yang mendayagunakan tanahnya untuk menyediakan fasilitas hunian sewa bagi kelompok
MBR, dan memberi disinsentif bagi pemilik tanah yang tidak menggunakannya dengan

baik5, terutama di kawasan-kawasan pusat kegiatan kota. Mungkin untuk itu perlu ada
sistem audit pendayagunaan tanah perkotaan.
Kesimpulan
Tata kelola permukiman berbasis warga bisa menjadi alternatif dalam pengembangan
perkotaan mendatang, karena manajemen perkotaan yang desentralistik sampai ke
tingkat warga/komunitas akan lebih mampu bertahan ketimbang sistem tata kelola yang
bertumpu pada birokrasi kota semata. Namun ini semua hanya akan berjalan dengan baik
bila terjadi transformasi peran pemerintah setempat dari pelaku utama menjadi fasilitator
yang kreatif dalam menggali dan mendayagunakan berbagai potensi yang ada di
berbagai pihak.
Sistem informasi yang cerdas dan berbasis lebar (broad-based information system) bisa
sangat membantu menciptakan manajemen perkotaan yang fasilitatif dan kreatif di
samping sistem politik dan hukum yang memihak kepada rakyat banyak.
Komunitas yang siap dan terinformasikan dengan baik ( well-informed and preparedness
of community) merupakan dua hal yang mampu mengurangi resiko bencana, termasuk
melakukan rencana tindak untuk pencegahan dan pengendalian banjir.

5

Tidak efisien atau kurang dari daya-guna minimal sesuai aturan tata guna tanah perkotaan

yang kelak akan dikembangkan.

3