PERENCANAAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN NELAYAN KAMPUNG LERE KOTA PALU | Basri | MEKTEK 520 1831 1 PB

PERENCANAAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN NELAYAN
KAMPUNG LERE KOTA PALU
Iwan Setiawan Basri* *

Abstract
The growth fisherman settlement is a natural event and this phenomenon is also happened at Kampung Lere
so that it taudification as well as inconvenient arrangement. This will potentially decrease environmental
quality. The purpose of this research is to assess the possibility of developing a fisherman settlement in
kampong Lere without ignoring the environment quality by settlement environmental planning. The research
is conducted on August 2002 by survey. The acquired data were then compiled and analyzed by qualitative
analysis. The sample included all houses and building in the area. The study area is 31,64 Ha. The result
shows that the residence fisherman at Kampong Lere, is to be kept. Settlement environmental planning
concept; (1) the sustainability of fresh water, (2) Managing well drainage system, (3) the availability of
waste management systems, (4) Conducting Road and pedestrian access system (6) Protection from abrasion
by building dam and green program, (7) Proportionally managing border of river and beach, i.e. 30 - 100 m
of apex tide sea-water counted from river, and k, and (8 ) Improving physical quality.
Keyword: fisherman settlement, quantity and quality settlements

1. Pendahuluan
Pertumbuhan
permukiman

nelayan
umumnya natural, Hal ini hampir semua mewarnai
daerah pantai, fenomena ini menggejala di
kawasan permukiman nelayan di kampung Lere
Kota Palu yang juga adalah kawasan studi pada
penelitian ini. Saat penelitian ini dilakukan (tahun
2002), di permukiman nelayan Kampung Lere
nampak terjadi proses pengkumuhan (taudifikasi)
yang berimplikasi pada penurunan kualitas
lingkungan sehingga dalam penyelenggaranya
diperlukan perencanaan penataan bangunan dan
lingkungan. Yunus (2005) menyebutkan yang pada
intinya menyebabkan bahwa slum settlement dan
squatter settlement
dapat mengakibatkan
deteriorisasi
lingkungan,
dan
menurunnya
habitabilitas lingkungan. Setelah terbuka akses

langsung antara kawasan Besusu Barat dan
Kampung Lere dengan adanya pembangunan
jembatan Palu IV terdapat perbaikan dan
peningkatan kualitas fisik di kedua kawasan ini,
namun kondisi permukiman nelayan di Kampung
Lere masih perlu dilakukan penataan melalui
perencanaan atau penataan lingkungan.
Darmiwati (2001) pada intinya menyebut bahwa
permukiman nelayan umumnya tumbuh secara
*

natural tanpa adanya pengendalian secara spatial.
Oleh karena itu hunian tersebut tumbuh dan
berkembang tidak tertata. Dalam Supriyanto (2001)
menyebut
permasalahan
perumahan
dan
permukiman perumahan nelayan sebagian besar
belum memenuhi standar persyaratan kesehatan,

kenyamanan, keamanan, ketertiban, keindahan dan
berwawasan lingkungan.
Permukiman nelayan di Kampung Lere
diarahkan tetap dipertahankan, mengingat kawasan
ini satu-satunya permukiman nelayan yang terletak
di pusat Kota Palu, sehingga keberadaan memiliki
nilai tersendiri. Turner (dalam Darmiwati, 2001)
menyebutkan permukiman nelayan yang ada tetap
dipertahankan, hanya saja perlu penataan sehingga
menjadi komunitas layak huni, mengingat lokasi
yang dekat dengan tempat kerja dan prasarana
lingkungan lainnya, serta dapat menjadi obyek
wisata. Disamping itu, dalam perjalanannya
merupakan cikal bakal Kota Palu yang ada saat ini.
Sejalan dengan itu, Najib (2008) menyatakan
nelayan tradisional pada umumnya selalu mencari
ikan pada kawasan yang telah kenal lingkungan
perairainya selama bertahun-tahun, sulit bagi
mereka memasuki bagi daerah yang asing. Hal ini
di atas yang mendasari penelitian ini, hasilnya


Staf Pengajar Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tadulako, Palu

dapat menjadi additional science perencanaan
lingkungan permukiman nelayan di Kampung Lere
Kota Palu.
Konsep utama perencanaan lingkungan
permukiman nelayan di Kampung Lere adalah; (1)
kuantitas dan kualitas air berkesinambungan dan
terjaga, (2) sistem drainase terencana dengan baik,
(3) tersedia sistem pengelolaan sampah dan limbah
domestik, (4) tersedia aksesibilitas (jaringan jalan
dan pedestrian yang baik (6) terhindar dari bahaya
abrasi pantai dengan penerapan tanggul, dan
penanaman vegetasi, (7) pengaturan sempadan
sungai dan pantai 30-100 meter dari titik pasang
tertinggi dan dari tebing sungai, diterapkan secara
proporsional, serta (8) peningkatan kualitas fisik
binaan.
1.1 Rumusan masalah

Bagaimana
meningkatkan
kualitas
permukiman nelayan di Kampung Lere melalui
perencanaan lingkungan lingkungan
1.2 Tujuan penelitian
Mendorong
dan
mengarahkan
perkembangan lingkungan permukiman nelayan di
Kampung Lere melalui perencanaan lingkungan
permukiman.
2. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Agustus
2002, dan siap dipublikasikan pada tahun 2009

maka beberapa data, tinjauan kepustakaan
diperbaharui. Metode penelitian menggunakan
metode survey. Data yang diperoleh selanjutnya
disusun

berdasarkan
kebutuhan
penelitian,
kemudian diolah untuk dianalisis. Sampel
responden adalah seluruh populasi rumah dan
bangunan yang ada di kawasan permukiman
nelayan Kampung Lere. Luas kawasan studi adalah
± 31,64 Ha.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Kawasan amatan permukiman nelayan
Kampung Lere
Permukiman nelayan di Kampung Lere,
bangunan rumah tinggal dominan darurat dan
rumah panggung, dan sebagian permanen. Jarak
antar satu rumah yang berdekatan ± 1 meter bahkan
diantaranya tidak ada jarak, tidak memiliki saluran
pembuangan sehingga terlihat kumuh. Rumah
tinggal
tersebut
tidak

memiliki
tempat
pembuangan/jamban
sendiri.
Jamban
yang
disediakan digunakan bersama-sama ± 5 KK untuk
1 jamban yang salurannya langsung ke laut,
tipologi rumah terdiri dari empat bagian yaitu ruang
tamu sekaligus tempat berkumpul / ruang keluarga,
tempat tidur dan dapur, bahkan ada yang hanya
terdiri dari 2 bagian ruang tamu sekaligus sebagai
tempat istirahat dan dapur.

Gambar 1. Eksisting Permukiman Nelayan di Kampung Lere Tahun 2002

110

Perencanaan Lingkungan Permukiman Nelayan Kampung Lere Kota Palu


Tata letak rumah beragam, ada yang
berdekatan antar satu rumah dengan rumah yang
lain dengan jarak ± 1 meter, ada juga yang
berpisah (memiliki pekarangan/ halaman kecil),
pada beberapa rumah sebagian lahannya
dimanfaatkan untuk berdagang warung ataupun
usaha lainnya. Bangunan permanen hanya lima
unit, yakni berdinding tembok, memiliki tempat
pembuangan air, keadaan bangunan terawat, atap
genteng atau seng. Untuk bangunan semi
permanen, bangunan berdinding sebagian tembok
dan sebagian masih papan, sudah memiliki tempat
pembuangan / jamban, atap rumah rumbia)
sebanyak 49 unit. Penduduk yang mayoritas
bermata pencaharian sebagai nelayan dengan
moda perahu hanya disandarkan pada pesisir
pantai dekat dengan permukiman terlihat
semrawut.
Sementara itu, infrastruktur permukiman
yang terdiri dari jaringan jalan menuju kawasan

permukiman kampong Lere telah diaspal, jalan
setapak dominan tidak memiliki lapis perkerasan
permukaan (jalan tanah), drainase jalan dan rumah
tidak ada atau tidak terawat, sistem pengelolaan
sampah dilakukan sendiri-sendiri (membakar, atau
membuangnya di sungai atau pantai, terjadi banjir
atau genangan air, khusus saat air sungai/laut
pasang dan hujan bersamaan. Sedangkan sarana
lingkungan memanfaatkan fasilitas di kawasan
tetangga yang jaraknya + 2-3 km, seperti
puskesmas di di Kampung Baru, pendidikan SD
dan SMP di Kelurahan Lere (sarana tidak terletak
dalam kawasan studi tetapi masuk dalam wilayah
administrasi Kelurahan Lere yang jarak tidak
lebih dari 2 km).
3.2 Penanganan fisik dasar
a. Kelerengan
Kelerengan
merupakan
cara

mengukur
kesesuaian lahan perencanaan suatu kawasan,
termasuk dalam perencanaan dan penataan
permukiman. Kelerengan permukiman nelayan
Kampung Lere adalah 0-3 % atau relatif datar.
Berdasarkan Mabarry, 1972 (dalam Usdi, 2008)
bahwa kesesuaian lahan < 15 % merupakan
lahan yang sangat cocok untuk dikembangkan
dengan berbagai kegiatan. Terkait dengan itu,
Frick (2003) menyebutkan penyesuaian rumah
(permukiman) pada topografi tapak merupakan
tuntutan penting. Maka permukiman nelayan di
Kampung Lere secara fisik lereng tatap
dipertahankan karena kestabilan lereng dan

“MEKTEK” TAHUN XI NO.2 MEI 2009

erosivitas tidak menjadi faktor penghambat,
hanya memerlukan pengelolaan yang kecil jika
akan dilakukan penataan kembali, tanpa

memasukkan unsur teknologi yang berarti.
b. Hidrologi
Air tanah pada kawasan perencanaan dapat
diperoleh pada kedalaman 1-3 m dengan
kondisi air payau, hal ini disebabkan adanya
intrusi air laut disamping juga letak kawasan
perencanaan berbatasan langsung dengan pantai.
Memperhatikan
kondisi
hidrologi,
kebutuhan
air
bersih
diarahkan
tidak
memanfaatkan air tanah dan diharapkan kedepan
dipenuhi oleh PDAM. Hal ini bertujuan untuk
membatasi pemanfaatan air tanah secara
berlebihan agar intrusi air dapat dicegah.
c. Abrasi
Abrasi pantai merupakan salah satu persoalan
fisik di kawasan studi, khususnya pada saat
penelitian dilakukan (tahun 2002) yang harus
segera ditangani. Pantai Teluk Palu cukup
potensi abrasi akibat ombak cukup keras pada
waktu-waktu yang tertentu khususnya di sore
hari, sedangkan pada saat musim hujan
berpotensi pula terjadi banjir, yakni saat musim
hujan yang bersamaan dengan air pasang.
Kondisi seperti di atas memerlukan pemecahan
dan penanganan yang tepat. Pada tahun 2008
sebagian kawasan studi telah terdapat tanggul
pengaman, namun tidak begitu efektif mengatasi
gelombang air laut karena tidak dilengkapi
pemecah ombak. Tanggul yang direncanakan
hendaknya berfungsi ganda, selain berfungsi
sebagai pencegah abrasi juga berfungsi sebagai
tempat beristirahat (tempat duduk) bagi
pengunjung. Pada tempat yang tidak bertanggul
ditanami vegetasi sebagai absorbsi pengikisan
pantai (abrasi) yang bersifat alami.
d. Penanaman vegetasi
Guna lebih meningkatkan kualitas permukiman
nelayan Kampung Lere, penanaman vegetasi
sesuai dengan karakteristik pantai yang diatur
sedemikian rupa di sepanjang pinggir pantai dan
ruang terbuka
dapat menunjang estetika,
peneduh, dan fungsi ekologi. Setiawan (2006)
menyebutkan keberadaan vegetasi, berfungsi
sebagai penyeimbang lingkungan terbangun,
disamping fungsi estetika, peneduh, serta media
purifikasi polusi udara. Keberadaan ruang
terbuka hijau (vegetasi) dan area resapan air
111

sangat penting karena berfungsi penyeimbang
lingkungan terbangun.
Budihardjo (1983) menyebutkan salah satu
penyebab menurunnya kualitas permukiman
(lingkungan) karena lenyapnya taman-taman dan
ruang. Rung terbuka di Kampung Lere yang
dapat ditanami vegetasi yang juga akan berfungsi
juga sebagai pembatas dengan permukiman
adalah lapangan sepak bola yang ada di belakang
kantor kelurahan.
3.3 Penanganan fisik buatan
a. Jaringan jalan
Peningkatan dan penambahan jaringan jalan
akan
sangat
mendukung
percepatan
pengembangan kawasan ini. Penambahan atau
pembukaan jaringan jalan baru di arahkan
berorientasi pada jaringan yang ada sekarang
dengan mempertimbangkan hal berikut :
1) Penataan jalan tidak dapat dipisahkan dari
penataan pedestrian dan penghijauan.
2) Penataan ruang jalan yang dapat sekaligus
mencakup ruang- ruang antar bangunan, yang
tidak hanya sebatas Damija, termasuk untuk
penataan elemen lingkungan, penghijauan, dan
lain sebagainya.
Persyaratan tenis jalan sebagai berikut ;
1) Jaringan utama (jalan masuk) terdiri dari
badan jalan (perkerasan jalan dan bahu jalan),
trotoar, jalur hijau dan drainase.
2) Lebar perkerasan jalan untuk 1 (satu) jalur
sekurang-kurangnya 6 (enam) meter
3) Kemiringan melintang perkerasan 2%
4) Konstruksi jalan harus memperhatikan
beberapa hal antara lain :
a) Keadaan tanah tempat jalan akan dibangun
b) Kepadatan lalu lintas
c) Pemilihan material / bahan yang akan
digunakan
d) Kondisi setempat yang dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang.
b. Pedestrian
Guna merencanakan atau menata kawasan studi
lebih optimal, kelengkapan dari penataan
lingkungan disediakan ruang pejalan di kedua
sisi jalan yang direncanakan pada sisi dalam
tanggul yang dapat dimanfaatkan pejalan untuk
menikmati keindahan panorama alam (pantai).
Ruang pejalan kaki adalah ruang yang disediakan
untuk jalur pejalan kaki (pedestrian) yang
membentuk suatu jaringan. Penataan pedestrian
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

112

1) Sebagai bagian dari linkage sistem kawasan
yang membentuk karakter lingkungan
permukiman nelayan
2) Sistem
pedestrian
utama
secara
memperhatikan aksesibilitas terhadap sub-sub
sistem pedestrian di dalam lingkungan dan
aksesibilitas dengan lingkungan sekitarnya.
3) Jalur pedestrian harus berhasil menciptakan
pergerakan manusia yang tidak terganggu oleh
lalu lintas kendaraan.
4) Jalur pedestrian harus mampu merangsang
terciptanya ruang layak digunakan/manusiawi
serta memberikan pemandangan yang
menarik.
5) Pedestrian yang memenuhi persyaratan
kesinambungan, kejelasan, kenyamanan,
keamanan.
c. Jaringan listrik
Jaringan listrik di kawasan studi umumnya telah
menjangkau semua tempat,
sehingga dari
permintaan segi jangkauan layanan ( kuantitas )
telah mencukupi, tetapi dari segi kualitas
pelayanan masih perlu ditingkatkan karena dalam
waktu-waktu tertentu kadang terjadi pemadaman.
Adanya pemadaman listrik di studi bukanlah
masalah parsial, tetapi problem kelistrikan di
Kota Palu secara umum. Sumber aliran listrik di
kawasan perencanaan sepenuhnya dilayani oleh
PLN.
Pengembangan jaringan listrik di kawasan studi
berdasarkan peraturan dan syarat jaringan listrik
yang dikeluarkan yakni seperti berikut :
1) Peraturan umum instalasi Listrik
2) Petunjuk pengajuan sarana instalasi dan
perlengkapan bangunan TPIB DKI tahun
1977.
3) Peraturan instalasi listrik tahun 1978
4) Syarat-syarat penyambungan listrik tahun
1978
Sedangkan persyaratan teknis lainnya :
1) Jarak antar tiang listrik rata- rata 40 meter.
2) Untuk
penyesuaian
dengan
keadaan
permukaan tanah dan jaringan jalan maka
diambil jarak 30 – 40 meter.
3) Jarak kawat penghantar (konduktor) terhadap
unsur- unsur dalam lingkungan, antara lain
bangunan, pohon disesuaikan dengan peraturan
PLN.
4) Penarikan kawat penghantar (konduktor)
minimum 7 meter dengan posisi tiang berdiri
sempurna.

Perencanaan Lingkungan Permukiman Nelayan Kampung Lere Kota Palu

d. Jaringan air bersih
Penyediaan jaringan air bersih perlu untuk
ditingkatkan yang diarahkan sesuai dengan
peraturan atau syarat teknis PDAM, baik standar
air baku/air bersih atau pengembangan jaringan.
Sehingga secara kuantitas dan kualitas dapat
terpenuhi dan terjaga.
e. Jaringan drainase dan saluran pembuangan air
hujan
Keadaan jaringan drainase di kawasan studi
umumnya mengikuti pola jaringan yang ada dan
berakhir di Teluk Palu dan sebagian ke sungai
Palu, akan tetapi di tempat-tempat tertentu belum
ada drainase. Sementara itu partisipasi
masyarakat masih perlu juga masih perlu
ditingkatkan, karena masih dijumpai masyarakat
memanfaatkan
drainase
sebagai
tempat
pembuangan sampah drainase tersumbat atau
bahkan tertutup sama sekali.
Peningkatan jaringan drainase yang ada
sekarang merupakan satu solusi untuk
meningkatkan kualitas lingkungan, disamping
itu keterlibatan masyarakat untuk memelihara
dan menjaga kebersihan saluran harus
ditumbuhkan, begitu pada ruas – ruas yang
tertentu direncanakan pembuatan drainase yang
belum terdapat jaringan drainase. Dari segi
perencanaan drainase
aspek-aspek
yang
mempengaruhinya
harus
dipertimbangkan
sebagai berikut :
1) Keadaan kelerengan/topografi,
2) Jaringan jalan yang membentuk pola
permukiman
3) Debit air, baik air hujan ataupun air limbah
penduduk.
Untuk
saluran
pembuangan
hujan
mempertimbangkan hal-hal seperti berikut :
1) Saluran pembuangan air hujan dapat terbuka.
2) Dasar saluran terbuka ½ lingkaran dengan
minimum 20 cm, atau
3) Bentuk bulat telur ukuran minimum 20/30 cm.
4) Bahan saluran terbuat dari tanah liat, beton,
pasangan batu bata dan bahan lain.
5) Kemiringan saluran minimum 2 %.
6) Kedalaman saluran minimum 30 cm
7) Jika tertutup dapat terbuat dari pipa PVC,
beton, dan bahan lainnya.
3.4 Tata bangunan dan lingkungan
a. Rencana perpetakan
Perpetakan lingkungan perumahan di kampung

“MEKTEK” TAHUN XI NO.2 MEI 2009

Lere cukup padat dan tidak teratur, kondisi ini
dapatkan dari jarak antar rumah penduduk
sangat rapat, yakni rata-rata < dari 2 meter
sehingga dari segi kesehatan lingkungan atau
penataan tidak memenuhi syarat.
Upaya meningkatkan kualitas lingkungan di
kawasan studi diperlukan penataan ulang
perpetakan kapling dengan mempertimbangkan
konsep penataan yang memberikan efisiensi
lahan sebagai berikut :
1) perpetakan/kapling
disesuaikan
dengan
karakteristik
atau
bentuk
kawasan
perencanaan, serta akomodatif terhadap
aspirasi masyarakat.
2) mempertimbangkan batasan luas bangunan
yang dapat dibangun
3) Mempertimbangkan
faktorfaktor
keselamatan bangunan dan lingkungan pada
saat bila ada bencana, seperti kebakaran dan
banjir.
Perpetakan yang ada saat ini tetap dipertahankan
khususnya rumah permanen jika sesuai dengan
arahan rencana perpetakan, sedangkan kapling
perumahan yang tidak sesuai diarahkan untuk
ditata dengan menempatkan pada lokasi yang
tepat dalam lingkup permukiman Kampung Lere
dan atas persetujuan masyarakat setempat.
Priyanto (2003) pada intinya menyebutkan bahwa
penataan
kawasan
permukiman
nelayan
membutuhkan konsep penataan yang dapat
memberikan efisiensi lahan, teknik tata ruang dan
disain pada rancangan pemukiman yang tepat
menghasilkan kawasan tersebut dapat tertata rapi
dan berfungsi sebagai permukiman nelayan. Di
dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1992
tentang
Perumahan
dan
Permukiman,
dijelaskan bahwa kegiatan peningkatan kualitas
lingkungan permukiman meliputi hal-hal sebagai
berikut :
ƒ Perbaikan atau pemugaran
ƒ Peremajaan
ƒ Pengelolaan
dan
pemeliharaan
yang
berkelanjutan
b. Tempat pemancingan dan tempat pendaratan
perahu
Di kawasan ditemui kolam (empang) ikan air
tawar yang terletak di antara permukiman
dengan muara Sungai Palu. Kolam ini diarahkan
tetap
dipertahankan
dan
dikembangkan,
sehingga akan menjadi daya tarik tersendiri dan
memiliki nilai ekonomi. Sejak terhubungnya
113

Kampung Lere dengan Besusu Barat sejalan
dengan berfungsinya Jembatan IV Palu
berkembang aktifitas pasar kaget (pasar spontan)
di sisi jembatan Kampung Lere. Keberadaan
pasar memicu terjadi taudifikasi serta
menghalangi view ke arah laut/pantai. Di pasar
ini umumnya memperdagangkan hasil tangkapan
yang dilakukan oleh istri (ibu rumah tangga)
nelayan.
Untuk
menghindari
taudifikasi
berlanjut, mempertahankan mata pencaharian,
serta
dan membuka akses view ke arah
laut/pantai. Arahannya direlokasi di sisi selatan
rencana tempat pemancingan. Perencanaan
dibuat akses langsung dari coastal road Teluk
Palu, serta mempertegas elemen kedua fungsi
yang berbeda dengan penataan lansekap
(vegetasi), yang mana kedua fasilitas tersebut
merupakan satu kesatuan dengan permukiman
nelayan. Untuk mendukung aktifitas keseharian
diperlukan pendaratan perahu.
c. Pengaturan
Bangunan
Terhadap
Garis
Sempadan Sungai (GSS) dan Pantai (GSP)
Untuk menjamin keselamatan permumuiman dari
bahaya abasi dan banjir dapat lakukan dengan
mengkonservasi sempadan sungai dan pantai
dengan ketentuan 50-100 meter dari titik pasang
tertinggi dan tebing sungai yang diterapkan
secara proporsional.
d. Pengelolaan persampahan
Secara hukum dan wilayah sistem pengelolaan
persampahan di kawasan studi masuk dalam
pemerintahan kota Palu. Sistem di kawasan

studi belum terselesaikan dengan baik. Kondisi
ini dapat dilihat dari aspek peran serta
masyarakat masih perlu untuk ditingkatkan,
karena masih di jumpai yang membuang
sampah bukan pada tempatnya (drainase,
sungai, pantai, lahan kosong) atau dengan
mengelola sendiri
(membakar sampah)
sehingga dapat mencemari lingkungan dan
berpotensi menyebabkan terjadinya kebakaran
dari pengelola sampah yang keliru.
Disamping itu secara teknis operasional oleh
pemerintah Kota Palu belum berjalan
sebagaimana
yang
diharapkan,
seperti
armada/sarana pengangkut sampah tidak secara
rutin mengangkut sampah yang tidak
terkumpul.
Semua
aspek
pengelolaan
persampahan perlu dibenahi dan ditingkatkan.
Sistem pengelolaan di kawasan studi
diupayakan lebih menggalakkan peran serta
masyarakat
dalam
menjaga
kebersihan
lingkungan disamping itu di sub lingkungan
disediakan transfer depo (tempat pembuangan
sementara).
e. Pengelolaan limbah domestik
Konsep dasar yang digunakan dalam menangani
air limbah kawasan permukiman adalah
bagaimana mengelola air limbah secara terpadu
(komunal), sehingga tepat guna (efektif), berdaya
guna (efisien) dan biayanya terjangkau serta
dapat dioperasikan secara berkelanjutan.

Sungai

Gambar 2. Ilustrasi Pengaturan GSS

114

Perencanaan Lingkungan Permukiman Nelayan Kampung Lere Kota Palu

Teluk Palu

Kolam Ikan
Sungai
Palu

Gambar 3. Ilustrasi Rencana Penataan Permukiman Nelayan Kampung Lere

4. Simpulan
Simpulan tulisan ini adalah kawasan
permukiman nelayan di Kampung Lere tetap
dipertahankan, mengingat kawasan ini satu-satu
permukiman nelayan yang terletak di pusat Kota
Palu. Keberadaan memiliki nilai tersendiri, hanya
saja perlu perencanaan dan atau penataan
lingkungan sehingga menjadi komunitas layak
huni. Konsep utama perencanaan lingkungan
permukiman nelayan di Kampung Lere adalah; (1)
kuantitas dan kualitas air berkesinambungan dan
terjaga, (2) sistem drainase terencana dengan baik,
(3) tersedia sistem pengelolaan sampah dan limbah
domestik, (4) tersedia aksesibilitas (jaringan jalan
dan pedestrian yang baik (6) terhindar dari bahaya
abrasi pantai dengan penerapan tanggul, dan
penanaman vegetasi, (7) pengaturan sempadan
sungai dan pantai 30-100 meter dari titik pasang
tertinggi dan dari tebing sungai, diterapkan secara
proporsional, serta (8) peningkatan kualitas fisik
binaan. Peningkatan kuantitas dan kualitas
lingkungan permukiman yang berkesinambungan
dan terjaga.
5. Pustaka
Basri, Iwan Setiawan, 2006, Perubahan
Penggunaan
Lahan dan Lingkungan
Permukiman di Sepanjang Jalan Pantai
Teluk Palu, Tesis S2, Program Studi Ilmu

“MEKTEK” TAHUN XI NO.2 MEI 2009

Lingkungan, Prog. Pascasarjana Univ.
Gadjah Mada, Yogyakarta
Budihardjo, Eko,1983, Arsitektur dan Kota di
Indonesia, Alumni, Bandung
Darmiwati, Ratna, Perencanaan Permukiman
Nelayan di Pantai Timur Surabaya, Jurnal
Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 29, No. 2,
Desember 2001
Dep. Pekerjaan Umum, Dirjen Pengembangan
Permukiman, 1999, Petunjuk Teknis
Pembangunan
Perumahan
Nelayan,
Jakarta
Dep. Pekerjaan Umum, Dirjen Penataan Ruang,
2006, Pedoman Pemanfaatan Ruang Tepi
Pantai di Kawasan Perkotaan, Jakarta
Frick, Henz, 2003, Membangun dan Menghuni
Rumah di Lerengan, Kanisius, Yogyakarta
Mudiastuti, Priyanto, 2003, Program Penataan
Kawasan Permukiman Nelayan Muara
Angke Jakarta Utara ke Laut Jawa,
Makalah Individu, Program Pascasarjana
S3, IPB, Bogor
Najib, Muhammad, 2008, Permasalahan dan
Potensi Suku Bajo Dalam Pengembangan
Kawasan
Permukiman
Transmigari
115

Nelayan, Kasus Permukiman Suku ajo di
Kabupaten Parigi Moutong, Buku 1
Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Perumahan dan Permukiman Suku Bajo di
Sulawesi Tengah, Palu.
Menteri

Negara
Perumahan
Rakyat
RI.
No.15/Permen/M/2006,
Petunjuk
Pelaksanaan
Penyelenggaraan
Pengembangan
Kawasan
Nelayan,
Jakarta.

Yunus, HS, 2005, Manajemen Kota Perspektif
Spasial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

116