Partisipasi Masyarakat Kampung Kota Dalam Meningkatkan Kualitas Lingkungan Permukiman (Kasus: Permukiman Kampung Kota Di Bandung)

(1)

xvi

PARTISIPASI MASYARAKAT KAMPUNG KOTA

UNTUK MENINGKATKAN

KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN

(

KASUS: PERMUKIMAN KAMPUNG KOTA DI BANDUNG

)

SRI HANDAYANI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

i

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul:

PARTISIPASI MASYARAKAT KAMPUNG KOTA UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN

(Kasus: Permukiman Kampung Kota Di Bandung)

adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada Perguruan Tinggi manapun. Bahan rujukan dan sumber informasi yang berasal atau dikutip pada karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2008

Sri Handayani NIM P016010041


(3)

ii ABSTRACT

Sri Handayani. 2008. Participation of Urban Village Community in Improving Settlement Quality Environment (Case: Urban Village Settlement in Bandung City). Under a Team of Advisors with Basita Ginting as Chairman; Prabowo Tjitropranoto; Margono Slamet as Member of the Advisory Commitee

Most low-income comers and urban settlers live in urban villages, some of which are squats and slums. Remaining their growth uncontrolled will result in low community health, high vulnerability to fire hazard, irregular order of land use, and high risk to flood. Eviction does not really solve the problem. It tends to take aside humanity, not to mention evictee’s tendency to squat other locations as a result of it. It is imperative that the condition be revised in avoidance of deteriorating environment.

An effective model of empowerment is required to build urban villager’s awareness in constructing quality environment as a prerequisite for quality life. The society potency should be explored so that its members participate optimally in improving the quality of their settlement. This in turn will achieve quality settlement and quality life for the settlers themselves.

This research aim at (1) Identifying the physical characteristics of urban village settlement and identifying the capital social, (2) Explain and analyzing the perception on environmental quality and the motivation to increase environment facility condition, (3) Identifying level of requirement of house and settelemnt. (4) Analyzing the characteristics of community participation in improving environment quality and Analyzing the factors which may influence community participation in improving settlement quality, (5) Arranging a right empowerment strategy for the community to develop the quality of its settlement.

Conducted in several urban villages in Bandung, the research selects four (4) loci as area samples. They are Arjuna sub-district, Cikawao sub-district, Kebon Pisang sub-district, and Cibangkong sub-district. The data was collected along April 2006 through August 2006, using closed-questionnaire interview and observation. The quantitative data is examined by Spearman’s rank correlation test, which is further tested with regression analysis and path analysis.

The research shows: some individual characteristics and the physical characteristics of urban village settlement which influence modal social. The factors are educational level, occupation, outcome, availability and condition of facilities and basic facilities of settlement area. Some factors which directly result in the participation to improve environment quality are the perception on environment quality and the motivation to increase environment facility condition.

Considering the aforementioned results, the endeavor to improve settlement quality should be emphasized on correcting society perception on environment quality which will generate society motivation to make better environment quality, by which the participation to increase environment quality grows.


(4)

iii RINGKASAN

Sri Handayani. 2008. Partisipasi Masyarakat Kampung Kota Untuk Meningkatkan Kualitas Lingkungan Permukiman (Kasus: Permukiman Kampung Kota Di Bandung). Komisi Pembimbing: Basita Ginting (Ketua), Prabowo Tjitropranoto dan Margono Slamet (Anggota)

Pendatang dan penduduk kota yang berpenghasilan rendah sebagian besar tinggal di permukiman kampung kota. Penggusuran tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah, selain tidak manusiawi, para pemukim kembali menyerobot tempat lain sehingga hilang satu tumbuh yang baru. Dikhawatirkan apabila kondisi ini tidak segera diperbaiki maka kawasan kampung kota akan semakin memburuk kualitasnya. Dalam kaitan dengan hal tersebut perlu dicari model pemberdayaan yang efektif agar masyarakat permukiman kampung kota memahami kualitas lingkungan yang baik dan dapat mendukung terbentuknya kehidupan yang lebih berkualitas, baik kualitas hidup maupun kualitas lingkungan.

Tujuan penelitian adalah untuk: (1) Mengidentifikasi karakteristik fisik permukiman kampung kota dan menganalisis modal sosial masyarakatnya; (2) Mengidentifikasi persepsi masyarakat tentang kualitas lingkungan dan menganalisis motivasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman, (3) Mengidentifikasi tingkat kebutuhan akan rumah dan permukiman pada masyarakat permukiman kampung kota; (4) Mengidentifikasi bentuk-bentuk partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan pemukiman kampung kota dan menganalisis faktor apa saja yang mempengaruhinya; dan (5) Menyusun strategi pemberdayaan yang sesuai dengan masyarakat kampung kota sehinga dapat meningkatkan kualitas lingkungan permukimannya.

Penelitian dilakukan di empat kelurahan di Kota Bandung. Pemilihan sampel lokasi dilakukan secara purposif dengan melihat keberadaan faktor-faktor penyebab menurunnya kualitas lingkungan. Lokasi terpilih adalah Kel. Arjuna, Kel. Cikawao, Kel. Kebon Pisang dan Kel. Cibangkong. Pengambilan sampel responden dilakukan secara random. Jumlah sampel penelitian ditentukan berdasarkan Metode Slovin dengan kesalahan sampling yang dapat diterima sebesar 5% sehingga jumlah keseluruhan sampel adalah 240 KK yang diambil secara random dari masing-masing lokasi penelitian yaitu sebanyak 60 KK. Data dikumpulkan antara bulan April sampai dengan Agustus 2006 dengan menggunakan angket tertutup, wawancara mendalam, FGD dan observasi.

Penelitian berbentuk explanatory research yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan dan pengaruh antar variabel penelitian melalui pengujian hipotesis dengan uji statistik. Pendekatan kualitatif dilakukan dalam upaya menjelaskan substansi hasil uji statistik yang didapat.

Hasil studi menunjukkan bahwa karakteristik fisik permukiman kampung kota ditandai dengan: (a) minimnya ketersediaan sarana prasarana permukiman dan (b) rendahnya kualitas kondisi sarana prasarana permukiman yang tersedia. Modal sosial masyarakat kampung kota dicirikan dengan: (a) rasa saling percaya antar warga berada pada kategori tinggi yang ditandai dengan saling bantu antar tetangga yang intensif; (b) relasi mutual yang tinggi ditandai dengan hubungan ketetanggaan yang erat; (c) nilai dan norma berada pada kategori cukup, namun ketaatan pada aturan masih rendah yang ditandai dengan buruknya perilaku warga dalam


(5)

iv

memperlakukan sarana prasarana lingkungan; (d) peran tokoh masyarakat dan organisasi kemasyarakatan untuk meningkatkan kualitas linkgungan berada pada kategori cukup yang ditandai dengan ikut sertanya masyarakat pada kegiatan-kegiatan yang diprakarsai oleh tokoh atau organisasi masyarakat. Persepsi tentang kualitas lingkungan yang buruk, ditandai dengan persepsi yang tidak tepat/tidak sesuai dengan standar kualitas rumah dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak huni. Motivasi meningkatkan kualitas lingkungan tinggi, namun terkendala oleh kemampuan yang rendah. Kebutuhan akan rumah pada masyarakat kampung kota berada pada kategori pemenuhan kebutuhan untuk: (a) fisiologis (survival needs or phisiological); (b) rasa aman (safety and security needs) dan (c) kebutuhan sosial (social needs or affiliation needs). Partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan dicirikan dengan: (a) sikap proaktif masyarakat masih rendah yang ditandai dengan buruknya perlakuan warga terhadap sarana prasarana lingkungan permukiman; (b) partisipasi dalam kegiatan meningkatkan kualitas lingkungan berada pada kategori cukup yang ditandai dengan ikut sertanya masyarakat pada kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan kualitas lingkungan yang diprakarsai oleh tokoh masyarakat atau organisasi masyarakat.

Faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadap partisipasi adalah: (a) persepsi tentang kualitas lingkungan, (b) motivasi meningkatkan kualitas lingkungan dan (c) peran tokoh masyarakat/organisasi masyarakat untuk menggerakkan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan peningkatan kualitas lingkungan. Untuk meningkatkan aspek-aspek tersebut diperlukan inovasi sosial yang berbasis masyarakat sehingga dapat merubah diri dari kondisi tidak tahu (kurang pengetahuan), tidak mau (kurang motivasi) dan tidak mampu (tidak terampil) menuju masyarakat yang tahu, mau dan mampu untuk meningkatkan kualitas diri, rumah dan lingkungan permukiman kampungnya. Strategi proses penyadaran masyarakat menggunakan penyuluhan permukiman dengan asas tribina (tridaya): bina warga untuk memberdayakan warga guna mencapai solusi sosial, bina lingkungan untuk solusi arsitektural dan bina usaha untuk memberdayakan masyarakat guna mencnapai kebedayaan dalam hal finansial.


(6)

v

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2007

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak mengindahkan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun.


(7)

vi

PARTISIPASI MASYARAKAT KAMPUNG KOTA

UNTUK MENINGKATKAN

KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN

(KASUS: PERMUKIMAN KAMPUNG KOTA DI BANDUNG)

SRI HANDAYANI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(8)

vii

Penguji pada Ujian Tertutup Dr. Ir. Rillus Kinseng

Penguji pada Ujian Terbuka 1.Prof. Dr. Moh. Ali, MA., MPd. 2.Prof. Dr. Sediono MP. Tjondronegoro


(9)

viii

Judul Disertasi : Partisipasi Masyarakat Kampung Kota Dalam Meningkatkan Kualitas Lingkungan Permukiman (Kasus: Permukiman Kampung Kota di Bandung)

Nama

NRP

:

:

Sri Handayani

P 016010041

Program Studi : Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN)

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA Ketua Komisi

Prof. Dr. H. R. Margono Slamet Anggota Komisi

Dr. H. Prabowo Tjitropranoto, MSc Anggota Komisi

Diketahui

Ketua Departemen

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.


(10)

ix

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung sebagai anak ke 5 dari pasangan Dimyati (almarhum) dan Chajati (almarhumah). Pendidikan SD – SMA ditempuh di Bandung. Tahun 1991 lulus sebagai sarjana Jurusan Pendidikan Arsitektur IKIP Bandung. Kesempatan untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 1996 pada Program Studi Administrasi Pendidikan yang diselesaikan pada bulan Februari 1999. Pada bulan September 2001 penulis diterima sebagai mahasiswa di Sekolah Pasca Sarjana IPB pada PS. Ilmu Penyuluhan Pembangunan dan memperoleh beasiswa pendidikan dari Depertemen Pendidikan Nasional (BPPS Dikti) pada tahun 2002.

Penulis bekerja sebagai dosen pada tahun 1992 di Politeknik Industri dan Niaga Bandung dan kemudian mengabdi di almamaternya Universitas Pendidikan Indonesia pada Jurusan Pendidikan Teknik Arsitektur hingga saat ini. Bidang Keahlian yang ditekuni penulis adalah Arsitektur Lingkungan dan Permukiman.

Selama mengikuti pendidikan S3 penulis menekuni bidang ilmu yang terkait dengan penyuluhan pembangunan yang sekaligus juga terkait dengan arsitektur lingkungan dan permukiman. Hal tersebut mengantarkannya mendapatkan hibah penelitian dari Dirjen Dikti. Beberapa diantaranya adalah: Sikap dan Perilaku Masyarakat Kampung Kota di Bandung (Penelitian Fundamental Dikti 2006); Desain Gang Kampung Kota yang Mengakomodasi Aktivitas Sosial Kultural Masyarakatnya (Penelitian Fundamental Dikti 2007); dan Transformasi Penanganan Permukiman Kumuh: Upaya Perbaikan Kualitas Hidup dan Lingkungan (Hibah Bersaing Dikti 2007). Artikel yang berjudul Partisipasi Masyarakat Permukiman Kampung Kota dalam Meningkatkan Kualitas Lingkungan akan diterbitkan pada jurnal Invotec bulan Aril 2008 merupakan karya ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi penulis.

Bogor, Februari 2008 Penulis


(11)

xvi

PARTISIPASI MASYARAKAT KAMPUNG KOTA

UNTUK MENINGKATKAN

KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN

(

KASUS: PERMUKIMAN KAMPUNG KOTA DI BANDUNG

)

SRI HANDAYANI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(12)

i

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul:

PARTISIPASI MASYARAKAT KAMPUNG KOTA UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN

(Kasus: Permukiman Kampung Kota Di Bandung)

adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada Perguruan Tinggi manapun. Bahan rujukan dan sumber informasi yang berasal atau dikutip pada karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2008

Sri Handayani NIM P016010041


(13)

ii ABSTRACT

Sri Handayani. 2008. Participation of Urban Village Community in Improving Settlement Quality Environment (Case: Urban Village Settlement in Bandung City). Under a Team of Advisors with Basita Ginting as Chairman; Prabowo Tjitropranoto; Margono Slamet as Member of the Advisory Commitee

Most low-income comers and urban settlers live in urban villages, some of which are squats and slums. Remaining their growth uncontrolled will result in low community health, high vulnerability to fire hazard, irregular order of land use, and high risk to flood. Eviction does not really solve the problem. It tends to take aside humanity, not to mention evictee’s tendency to squat other locations as a result of it. It is imperative that the condition be revised in avoidance of deteriorating environment.

An effective model of empowerment is required to build urban villager’s awareness in constructing quality environment as a prerequisite for quality life. The society potency should be explored so that its members participate optimally in improving the quality of their settlement. This in turn will achieve quality settlement and quality life for the settlers themselves.

This research aim at (1) Identifying the physical characteristics of urban village settlement and identifying the capital social, (2) Explain and analyzing the perception on environmental quality and the motivation to increase environment facility condition, (3) Identifying level of requirement of house and settelemnt. (4) Analyzing the characteristics of community participation in improving environment quality and Analyzing the factors which may influence community participation in improving settlement quality, (5) Arranging a right empowerment strategy for the community to develop the quality of its settlement.

Conducted in several urban villages in Bandung, the research selects four (4) loci as area samples. They are Arjuna sub-district, Cikawao sub-district, Kebon Pisang sub-district, and Cibangkong sub-district. The data was collected along April 2006 through August 2006, using closed-questionnaire interview and observation. The quantitative data is examined by Spearman’s rank correlation test, which is further tested with regression analysis and path analysis.

The research shows: some individual characteristics and the physical characteristics of urban village settlement which influence modal social. The factors are educational level, occupation, outcome, availability and condition of facilities and basic facilities of settlement area. Some factors which directly result in the participation to improve environment quality are the perception on environment quality and the motivation to increase environment facility condition.

Considering the aforementioned results, the endeavor to improve settlement quality should be emphasized on correcting society perception on environment quality which will generate society motivation to make better environment quality, by which the participation to increase environment quality grows.


(14)

iii RINGKASAN

Sri Handayani. 2008. Partisipasi Masyarakat Kampung Kota Untuk Meningkatkan Kualitas Lingkungan Permukiman (Kasus: Permukiman Kampung Kota Di Bandung). Komisi Pembimbing: Basita Ginting (Ketua), Prabowo Tjitropranoto dan Margono Slamet (Anggota)

Pendatang dan penduduk kota yang berpenghasilan rendah sebagian besar tinggal di permukiman kampung kota. Penggusuran tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah, selain tidak manusiawi, para pemukim kembali menyerobot tempat lain sehingga hilang satu tumbuh yang baru. Dikhawatirkan apabila kondisi ini tidak segera diperbaiki maka kawasan kampung kota akan semakin memburuk kualitasnya. Dalam kaitan dengan hal tersebut perlu dicari model pemberdayaan yang efektif agar masyarakat permukiman kampung kota memahami kualitas lingkungan yang baik dan dapat mendukung terbentuknya kehidupan yang lebih berkualitas, baik kualitas hidup maupun kualitas lingkungan.

Tujuan penelitian adalah untuk: (1) Mengidentifikasi karakteristik fisik permukiman kampung kota dan menganalisis modal sosial masyarakatnya; (2) Mengidentifikasi persepsi masyarakat tentang kualitas lingkungan dan menganalisis motivasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman, (3) Mengidentifikasi tingkat kebutuhan akan rumah dan permukiman pada masyarakat permukiman kampung kota; (4) Mengidentifikasi bentuk-bentuk partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan pemukiman kampung kota dan menganalisis faktor apa saja yang mempengaruhinya; dan (5) Menyusun strategi pemberdayaan yang sesuai dengan masyarakat kampung kota sehinga dapat meningkatkan kualitas lingkungan permukimannya.

Penelitian dilakukan di empat kelurahan di Kota Bandung. Pemilihan sampel lokasi dilakukan secara purposif dengan melihat keberadaan faktor-faktor penyebab menurunnya kualitas lingkungan. Lokasi terpilih adalah Kel. Arjuna, Kel. Cikawao, Kel. Kebon Pisang dan Kel. Cibangkong. Pengambilan sampel responden dilakukan secara random. Jumlah sampel penelitian ditentukan berdasarkan Metode Slovin dengan kesalahan sampling yang dapat diterima sebesar 5% sehingga jumlah keseluruhan sampel adalah 240 KK yang diambil secara random dari masing-masing lokasi penelitian yaitu sebanyak 60 KK. Data dikumpulkan antara bulan April sampai dengan Agustus 2006 dengan menggunakan angket tertutup, wawancara mendalam, FGD dan observasi.

Penelitian berbentuk explanatory research yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan dan pengaruh antar variabel penelitian melalui pengujian hipotesis dengan uji statistik. Pendekatan kualitatif dilakukan dalam upaya menjelaskan substansi hasil uji statistik yang didapat.

Hasil studi menunjukkan bahwa karakteristik fisik permukiman kampung kota ditandai dengan: (a) minimnya ketersediaan sarana prasarana permukiman dan (b) rendahnya kualitas kondisi sarana prasarana permukiman yang tersedia. Modal sosial masyarakat kampung kota dicirikan dengan: (a) rasa saling percaya antar warga berada pada kategori tinggi yang ditandai dengan saling bantu antar tetangga yang intensif; (b) relasi mutual yang tinggi ditandai dengan hubungan ketetanggaan yang erat; (c) nilai dan norma berada pada kategori cukup, namun ketaatan pada aturan masih rendah yang ditandai dengan buruknya perilaku warga dalam


(15)

iv

memperlakukan sarana prasarana lingkungan; (d) peran tokoh masyarakat dan organisasi kemasyarakatan untuk meningkatkan kualitas linkgungan berada pada kategori cukup yang ditandai dengan ikut sertanya masyarakat pada kegiatan-kegiatan yang diprakarsai oleh tokoh atau organisasi masyarakat. Persepsi tentang kualitas lingkungan yang buruk, ditandai dengan persepsi yang tidak tepat/tidak sesuai dengan standar kualitas rumah dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak huni. Motivasi meningkatkan kualitas lingkungan tinggi, namun terkendala oleh kemampuan yang rendah. Kebutuhan akan rumah pada masyarakat kampung kota berada pada kategori pemenuhan kebutuhan untuk: (a) fisiologis (survival needs or phisiological); (b) rasa aman (safety and security needs) dan (c) kebutuhan sosial (social needs or affiliation needs). Partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan dicirikan dengan: (a) sikap proaktif masyarakat masih rendah yang ditandai dengan buruknya perlakuan warga terhadap sarana prasarana lingkungan permukiman; (b) partisipasi dalam kegiatan meningkatkan kualitas lingkungan berada pada kategori cukup yang ditandai dengan ikut sertanya masyarakat pada kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan kualitas lingkungan yang diprakarsai oleh tokoh masyarakat atau organisasi masyarakat.

Faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadap partisipasi adalah: (a) persepsi tentang kualitas lingkungan, (b) motivasi meningkatkan kualitas lingkungan dan (c) peran tokoh masyarakat/organisasi masyarakat untuk menggerakkan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan peningkatan kualitas lingkungan. Untuk meningkatkan aspek-aspek tersebut diperlukan inovasi sosial yang berbasis masyarakat sehingga dapat merubah diri dari kondisi tidak tahu (kurang pengetahuan), tidak mau (kurang motivasi) dan tidak mampu (tidak terampil) menuju masyarakat yang tahu, mau dan mampu untuk meningkatkan kualitas diri, rumah dan lingkungan permukiman kampungnya. Strategi proses penyadaran masyarakat menggunakan penyuluhan permukiman dengan asas tribina (tridaya): bina warga untuk memberdayakan warga guna mencapai solusi sosial, bina lingkungan untuk solusi arsitektural dan bina usaha untuk memberdayakan masyarakat guna mencnapai kebedayaan dalam hal finansial.


(16)

v

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2007

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak mengindahkan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun.


(17)

vi

PARTISIPASI MASYARAKAT KAMPUNG KOTA

UNTUK MENINGKATKAN

KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN

(KASUS: PERMUKIMAN KAMPUNG KOTA DI BANDUNG)

SRI HANDAYANI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(18)

vii

Penguji pada Ujian Tertutup Dr. Ir. Rillus Kinseng

Penguji pada Ujian Terbuka 1.Prof. Dr. Moh. Ali, MA., MPd. 2.Prof. Dr. Sediono MP. Tjondronegoro


(19)

viii

Judul Disertasi : Partisipasi Masyarakat Kampung Kota Dalam Meningkatkan Kualitas Lingkungan Permukiman (Kasus: Permukiman Kampung Kota di Bandung)

Nama

NRP

:

:

Sri Handayani

P 016010041

Program Studi : Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN)

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA Ketua Komisi

Prof. Dr. H. R. Margono Slamet Anggota Komisi

Dr. H. Prabowo Tjitropranoto, MSc Anggota Komisi

Diketahui

Ketua Departemen

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.


(20)

ix

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung sebagai anak ke 5 dari pasangan Dimyati (almarhum) dan Chajati (almarhumah). Pendidikan SD – SMA ditempuh di Bandung. Tahun 1991 lulus sebagai sarjana Jurusan Pendidikan Arsitektur IKIP Bandung. Kesempatan untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 1996 pada Program Studi Administrasi Pendidikan yang diselesaikan pada bulan Februari 1999. Pada bulan September 2001 penulis diterima sebagai mahasiswa di Sekolah Pasca Sarjana IPB pada PS. Ilmu Penyuluhan Pembangunan dan memperoleh beasiswa pendidikan dari Depertemen Pendidikan Nasional (BPPS Dikti) pada tahun 2002.

Penulis bekerja sebagai dosen pada tahun 1992 di Politeknik Industri dan Niaga Bandung dan kemudian mengabdi di almamaternya Universitas Pendidikan Indonesia pada Jurusan Pendidikan Teknik Arsitektur hingga saat ini. Bidang Keahlian yang ditekuni penulis adalah Arsitektur Lingkungan dan Permukiman.

Selama mengikuti pendidikan S3 penulis menekuni bidang ilmu yang terkait dengan penyuluhan pembangunan yang sekaligus juga terkait dengan arsitektur lingkungan dan permukiman. Hal tersebut mengantarkannya mendapatkan hibah penelitian dari Dirjen Dikti. Beberapa diantaranya adalah: Sikap dan Perilaku Masyarakat Kampung Kota di Bandung (Penelitian Fundamental Dikti 2006); Desain Gang Kampung Kota yang Mengakomodasi Aktivitas Sosial Kultural Masyarakatnya (Penelitian Fundamental Dikti 2007); dan Transformasi Penanganan Permukiman Kumuh: Upaya Perbaikan Kualitas Hidup dan Lingkungan (Hibah Bersaing Dikti 2007). Artikel yang berjudul Partisipasi Masyarakat Permukiman Kampung Kota dalam Meningkatkan Kualitas Lingkungan akan diterbitkan pada jurnal Invotec bulan Aril 2008 merupakan karya ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi penulis.

Bogor, Februari 2008 Penulis


(21)

x

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirrabil’alamin puji syukur hanya untuk Allah SWT yang telah memberi kesempatan dan kekuatan sehingga penulisan disertasi yang bertajuk: Partisipasi Masyarakat Kampung Kota untuk Meningkatkan Kualitas Lingkungan Permukiman (kasus permukiman kampung kota di Bandung) ini dapat menemukan bentuknya seperti yang sekarang.

Terimakasih kepada Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen selaku Ketua Komisi Pembimbing, yang telah banyak memberikan masukan dalam diskusi-diskusi untuk penyelesaian penelitian ini. Terimakasih yang tulus untuk Prof. Dr. H. R. Margono Slamet selaku anggota komisi pembimbing yang memberi ide-ide segar untuk sempurnanya penelitian ini. Kepada Dr. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc., selaku anggota komisi, ucapan terimakasih yang tak putus-putusnya atas semangat, dan motivasi yang tiada henti kepada penulis untuk tetap menyelesaikan penelitian serta masukan-masukan yang telah diberikan sehingga disertasi ini dan terwujud dengan lebih baik. Insya Allah.

Kepada responden penelitian dan pejabat kelurahan beserta jajarannya serta ketua RT dan RW di lokasi penelitian, terimakasih setulusnya untuk partisipasinya membantu kelancaran proses penelitian ini. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebut satu per satu hingga penelitian ini dapat diselesaikan.

Kepada keluarga yang telah memberikan dukungan moril, materil dan motivasi yang tidak putus-putusnya, terimakasih yang tak terhingga atas pengertian yang telah diberikan selama ini

Dalam disertasi ini tentunya masih ditemui berbagai kelemahan, untuk itu penulis mengharapkan masukan dan kritik demi tercapainya kualitas penelitian yang lebih baik di masa mendatang. Penulis berharap semoga penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan, ilmu arsitektur lingkungan & perilaku, untuk masyarakat pemerhati masalah sosial dan masyarakat pada umumnya yang tertarik dengan permukiman kampung kota dan aspek yang terkait di dalamnya.

Bogor, Februari 2008 Penulis


(22)

xi DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ………. ii

RINGKASAN ………... iii RIWAYAT HIDUP ……….. ix KATA PENGANTAR ... x DAFTAR ISI ... xi DAFTAR TABEL ... xiii DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ……… xv

PENDAHULUAN

Latar Belakang …………... 1 Masalah Penelitian ... 2 Tujuan Penelitian ... 5 Kegunaan Penelitian ... 5 Novelty Penelitian ... 6

TINJAUAN PUSTAKA 7

Permukiman Kampung Kota ... 7 Rumah dan Permukiman ... 11 Standar Rumah dan Permukiman Sehat/Layak huni……… 14

Kebutuhan Akan Rumah ………. 19

Modal Sosial ……… 23

Partisipasi Masyarakat dalam Peningkatan kualitas permukiman …... 29 Masyarakat dan Pembangunan yang Berpusat pada Masyarakat ……… 34 Penyuluhan sebagai Sarana Perubahan Perilaku Masyarakat... 41

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS 51

Kerangka Berpikir Penelitian ... 52 Hipotesis Penelitian dan Model Hubungan antar Variabel ………... 61

METODE PENELITIAN 63

Rancangan Penelitian ... 63 Lokasi, Populasi dan Sampel ………... 64 Data dan Instrumen Pengumpulan Data ... 64


(23)

xii

Teknik dan Instrumen Pengumpul Data ….………... 65

Validitas Instrumen ……… 66

Reliabilitas Instrumen ……… 67 Variabel Penelitian ... 69 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 69 Teknik Analisis Data ... 74

HASIL DAN PEMBAHASAN 77

Tinjauan Lokasi Penelitian ……….. 77 Deskripsi Data Hasil Penelitian ... 81 Karakteristik Fisik Lingkungan Permukiman ... 81 Karakteristik Individu... 90 Modal Sosial Masyarakat ... 98 Persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan ... 107 Tingkat kebutuhan akan rumah dan lingkungan permukiman ………….. 111 Partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan ... 119 Hasil Pengujian hipotesis ………. 125 Faktor-faktor yang mempengaruhi modal sosial masyarakat ………... 125 Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan ……… 129 Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan rumah ………... 133 Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi meningkatkan kualitas

lingkungan ... 137 Strategi Gerakan Masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan …… 139 Pola Penyelenggaraan Penyuluhan Permukiman dengan asas tribina ……… 144

KESIMPULAN DAN SARAN 156

Keimpulan ... 156 Saran ... 159 DAFTAR PUSTAKA ... 161 GLOSSARY ... 164


(24)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Konsep Modal Sosial menurut beberapa ahli 24

2 Jenis Partisipasi 34

3 Ciri-ciri Pendekatan Partisipatif 37

4 Model Praktek Intervensi Komunitas menurut Rothman Tropman 39

5 Bentuk praktek di masyarakat menurut Glen 40

6 Standar Rumah dan Permukiman Sehat 52

7 Tingkatan Modal Sosial 53

8 Hirarki Kebutuhan akan Rumah 54

9 Tingkatan Partisipasi Masyarakat 55

10 Ciri-ciri Masyarakat Aktif 56

11 Metode Penelitian dan Lingkup kajian 63

12 Hasil Uji Reliabilitas 68

13 Variabel dan Indikator Karakteristik Individu 70 14 Variabel dan Indikator Karakteristik Lingkungan Fisik Permukiman 70 15 Variabel dan Indikator Modal Sosial Masyarakat 71 16 Variabel dan Indikator Persepsi dan Motivasi meningkatkan kualitas lingk. 72 17 Variabel dan Indikator Kebutuhan akan rumah 73 18 Variabel dan Indikator Partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan 73

19 Teknik analisis data 76

20 Faktor penyebab terjadikanya kekumuhan pada lokasi penelitian 77

21 Karakteristik Fisik Lingkungan Permukiman 81

22 Karakteristik individu 91

23 Modal sosial masyarakat 98

24 Persepsi tentang kualitas lingkungan 107

25 Motivasi meningkatkan kualitas lingkungan 110

26 Tingkat kebutuhan akan rumah dan lingkungan 111 27 Kondisi fisik rumah dan ketersediaan ruang 114 28 Partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan permukiman 120 29 Perlakuan dan kegiatan masyarakat terhadap jalan lingkungan 122 30 Nilai Korelasi antara karakteristik individu dan karakteristik fisik

permukiman dengan modal sosial

125

31 Nilai Korelasi antara karakteristik individu, karakteristik lingkungan dan

modal sosial 129

32 Nilai korelasi antara karakteristik individu, karakteristik lingkungan, modal sosial, persepsi dan motivasi dengan tingka kebutuhan akan rumah 133 33 Nilai korelasi antara variabel terikat dengan partisipasi meningkatkan

kualitas lingkungan 138

34 Aspek-aspek pembinaan masyarakat untuk penyuluhan permukiman dalam rangka mewujudkan masyarakat aktif untuk gerakan meningkatkan kualitas lingkungan kampung kota

144

35 Pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan secara berkelanjutan


(25)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Prioritas Perumahan 22

2 Diagram Pembangunan Perumahan 23

3 Pengaruh lingkungan terhadap perilaku manusia 42

4 Model Environmental Learning 45

5 Posisi perilaku terhadap lingkungan 45

6 Kedudukan penelitian dalam permasalahan permukiman kampung kota 51

7 Hirarki kebutuhan manusia menurut Maslow 54

8 Tingkatan Partisipasi Masyarakat 55

9 Konsep Inovasi Sosial 57

10 Kerangka Pikir Penelitian 59

11 Model Hipotetis Penelitian 60

12 Lokasi Penelitian 78

13 Kel. Kebon Pisang Kec. Sumur Bandung 79

14 Kel. Arjuna Kec. Cicendo Bandung 79

15 Kel. Cibangkong Kec. Batununggal Bandung 80

16 Kel. Cikawao Kec. Lengkong Bandung 80

17 Tipe permukiman kampung kota dilihatdari akses lingkungan sekitarnya 82 18 Diagram proses pembentukan permukiman kampung kota 83

19 Akses masuk permukiman kampung kota 84

20 Rendahnya kualitas prasarana lingkungan permukiman kampung kota 85 21 Ketiadaan ruang bermain anak di permukiman kampung kota 87 22 Rendahnya kualitas sarana lingkungan di permukiman kampung kota 88 23 Sampah yang bertumpuk saat TPA Leuwi Gajah longsor 89 24 Fasilitas tempat daur ulang sampah di kelurahan Cibangkong 90 25 Pekerjaan yang banyak digeluti warga kampung kota 93 26 Kepadatan bangunan dan kepadatan penduduk di kampung kota 95 27 Kondisi rumah-rumah yang ditempati penyewa pedagang 97 28 Hubungan akrab antar tetangga di permukiman kampung kota 99 29 Rendahnya ketaatan terhadap aturan formal 102 30 Kemeriahan pesta 17 Agustus di permukiman kampung kota 105 31 Kondisi di dalam rumah-rumah warga di kampung kota 115 32 Kondisi rumah dilihat dari arah luar bangunan rumah di kampung kota 116 33 Ketersediaan ruang pada rumah-rumah di kampung kota 117 32 Meningkatkan rumah untuk menyiasati keterbatasan lahan 118 35 Invasi lahan terhadap ruang gang milik publik oleh masyarakat 122 36 Hasil analisis jalur faktor-faktor yang mempengaruhi modal sosial 126 37 Ruang gang tempat warga kampung bersosialisasi 128 38 Hasil analisis jalur faktor yang mempengaruhi persepsi dan motivasi 130 39 Hasil analisis jalur faktor yang mempengaruhi kebutuhan akan rumah 134

40 Keeratan relasi mutual di kampung kota 137

41 Hasil analisis jalur faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadap

partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas permukiman 138 42 Lingkaran ketidakberdayaan vs kekumuhan lingkungan kampung kota 140 43 Strategi gerakan masyarakat meningkatkan kualitas lingkungan kampung 141


(26)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta penggunaan lahan existing 167

2 Peta pelayanan air bersih 168

3 Peta penanganan air limbah 169


(27)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lebih dari satu milyar penduduk dunia hidup dalam kondisi perumahan di bawah standar dan kemungkinan situasi ini akan semakin bertambah buruk di masa yang akan datang (WHO SEARO, 1986; Komisi WHO mengenai Kesehatan dan Lingkungan, 2001). Di Indonesia permasalahan di bidang permukiman saat ini menjadi permasalahan yang semakin rumit. Dari sisi kualitas, pembangunan perumahan dan permukiman di Indonesia masih tertinggal dibanding dengan negara lain. Menurut Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index-UNDP), yang memasukan faktor perumahan sebagai salah satu indikator, Indonesia menempati urutan 112 dari 175 negara. Pada tahun 2000 tercatat 10.065 lokasi permukiman kumuh dengan luas 47.393 ha yang dihuni oleh sekitar 17,2 juta jiwa dan sekitar 14,5 juta unit rumah (28,22%) kualitasnya tidak layak huni. (Direktur Bintek 2004)

Kompleksnya masalah perumahan dan permukiman di perkotaan dikarenakan kebutuhan perumahan di kota sangat tinggi. Hal ini berkaitan dengan padatnya penduduk kota, dan tingginya tingkat pertumbuhan penduduk akibat urbanisasi. Ketika pada tahun 2000 diperkirakan terdapat 6.100 juta penduduk dunia, PBB memperkirakan 75% dari jumlah tersebut tinggal di perkotaan.

Indonesia sebagai negara berkembang memiliki masalah permukiman yang lebih kompleks dibanding dengan kota di negara maju, karena karakteristik kota-kota di negara berkembang berbeda dengan kota-kota yang sudah maju. Di Indonesia, urbanisasi didorong oleh ketiadaan lapangan kerja di pedesaan, padahal kota sendiri belum mampu menyediakan lapangan kerja bagi warganya. Sementara itu daya dukung lahan serta prasarana di perkotaan tidak sebanding dengan pertumbuhan akibat urbanisasi tersebut. Hal ini menyebabkan kota-kota dihuni oleh para pendatang yang tidak memiliki pekerjaan dan akhirnya terperangkap dalam perekonomian informal dengan penghasilan rendah.

Banyaknya masyarakat berpenghasilan rendah di kota memunculkan berbagai kendala bagi pengadaan rumah di perkotaan, yang antara lain adalah: pertama, tingkat penyediaan rumah yang layak dan terjangkau masyarakat banyak menjadi sulit untuk diwujudkan. Masyarakat, swasta, maupun pemerintah kota belum mampu menyediakan perumahan yang memadai dan terjangkau masyarakat banyak yang


(28)

2

dalam hal ini masyarakat berpenghasilan rendah. Pemerintah dan swasta baru mampu memenuhi sekitar 15% dari permintaan sekitar 1,6 juta unit per tahun (data Collier International, disampaikan oleh Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional, pada Lokakarya Nasional bidang Perumahan dan Permukiman di Jakarta, 2002).

Kedua, terjadi penurunan kualitas lingkungan akibat belum memadainya pelayanan di lingkungan permukiman yang ditandai dengan meningkatnya lingkungan kumuh setiap tahunnya. Pada saat ini luas lingkungan kumuh di Indonesia telah mencapai 47.500 hektar, yang tersebar di 10.000 lokasi (Sugandhy, 2002).

Ketiga, kemampuan masyarakat berpenghasilan rendah dalam memenuhi kebutuhan perumahannya sangat rendah. Diperkirakan sekitar 65% rumah tangga tidak mampu membeli rumah sederhana dengan harga yang paling rendah sekalipun. Kredit perumahan tanpa subsidi baru hanya dapat dijangkau oleh 25% populasi yang berpendapatan tinggi. Kondisi ini membuat kelompok masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan hanya mampu mengakses lingkungan permukiman kampung kota, yang banyak diantara lingkungan permukiman tersebut, telah mengalami penurunan kualitas, yang dicirikan oleh minimnya sarana prasarana permukiman sehingga pada gilirannya menghambat potensi produktivitas para penghuninya.

Lingkungan permukiman kampung kota yang mengalami penurunan kualitas, cenderung berubah menjadi permukiman kumuh akibat daya dukung yang melebihi kapasitas, seperti kepadatan rumah dan penduduk yang tinggi. Perkembangan permukiman kampung kota yang menjurus menjadi permukiman kumuh dan tidak terkendali sesungguhnya merupakan ancaman serius bagi kesehatan dan kesejahteraan kota sehingga perlu dilakukan upaya penanganan permukiman kampung kota yang dilakukan dengan partisipasi semua pihak yaitu masyarakat, pihak swasta, pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan atau LSM sebagai pendamping masyarakat agar partisipasi dapat berjalan maksimal. Berdasarkan kondisi tersebut maka penelitian dengan topik Partisipasi Masyarakat Kampung Kota untuk Meningkatkan Kualitas Permukiman dirasa perlu dan mendesak untuk dilakukan.

Masalah Penelitian

Permasalahan menurunnya kualitas lingkungan permukiman kampung kota tidak bisa hanya dituduhkan pada satu kelompok masyarakat atau lembaga pemerintah


(29)

3

saja. Jika ditelusuri lebih jauh banyak faktor yang saling berkaitan dalam masalah tersebut. Mulai dari kebijakan pemerintah kota, urbanisasi, ketidakdisiplinan masyarakat, ketidakadilan, dan berbagai masalah lain yang harus diurai satu persatu. Karenanya permasalahan yang berkenaan dengan kualitas lingkungan permukiman kampung kota menjadi masalah yang multi dimensi. Seringkali persoalan ini dihadapkan pada hal-hal yang dilematis antara batas hak yang dimiliki warga kota, terutama masyarakat berpenghasilan rendah di satu sisi, dan masalah umum perkotaan sebagai sistem pengelolaan kota yang mengedepankan aspek tata ruang kota yang lebih teratur dan terkendali di sisi yang lainnya.

Kota Bandung dengan kepadatan 125 orang per hektar – jauh di atas standar PBB yang menetapkan kepadatan maksimun 60 orang per hektar – memiliki banyak permukiman kampung kota yang diantaranya mengalami penurunan kualitas lingkungan. Dari 139 kelurahan yang ada di Kota Bandung, 60 kelurahan dikategorikan sebagai permukiman agak kumuh, 43 dikategorikan sebagai kumuh, dan 19 dikategorikan sebagai sangat kumuh. Kelurahan yang dikategorikan tidak kumuh hanya berjumlah 17 kelurahan saja. Sebagian berada di pusat-pusat kota, dan sebagian lagi berada di sekitar lokasi industri. Hal ini cukup merisaukan pihak pemerintah kota mengingat jumlah dan penyebaran permukiman kumuh tersebut cukup tinggi.

Jika pertumbuhan lingkungan permukiman kampung kota ini dibiarkan tidak terkendali, maka kualitasnya akan menurun, derajat kesehatan masyarakat akan rendah, mudah menyebabkan kebakaran, memberi peluang kriminalitas, tidak teraturnya tata guna tanah dan sering menimbulkan banjir. Penggusuran permukiman kampung kota tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah, selain tidak manusiawi, para pemukim kembali menyerobot tanah terbuka lainnya sehingga hilang satu tumbuh yang baru. Kondisi ini diperparah dengan kurangnya warga kampung kota dalam mengelola sumber daya yang terdapat dalam permukimannya. Sebagian besar warga kampung kota masih belum memiliki akses yang cukup kepada sumber daya yang ada untuk dapat dimanfaatkan menopang kehidupannya. Oleh karenanya sudah saatnya lingkungan permukiman kampung kota yang mengalami penurunan kualitas ini memperoleh sentuhan program penataan dengan memberdayakan masyarakat penghuninya agar dapat berpartisipasi aktif meningkatkan kualitas lingkungan kampungnya.


(30)

4

Berkenaan dengan hal tersebut perlu dicari cara pandang lain untuk menempatkan masyarakat berpenghasilan rendah, yang hanya dapat mengakses perumahan di permukiman kampung kota, untuk dapat lebih menghargai hidup dan lingkungannya. Dengan cara menumbuhkan kesadaran akan adanya kebutuhan, motivasi dan keinginan untuk mandiri sehingga dapat menolong dirinya sendiri dan selanjutnya akan dapat mengelola lingkungan kampungnya dengan baik. Diharapkan dengan partispasi aktif warga kampung kota untuk bersama-sama memelihara dan mengelola lingkungan kampung, akan tercipta kualitas permukiman kampung kota yang lebih baik dan sehat yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup warga dan juga kualitas lingkungan hidup.

Agar masyarakat yang mendiami permukiman kampung kota dapat berpartisipasi meningkatkan kualitas lingkunganya, perlu dicari model pemberdayaan yang sesuai dengan karakteristik sosial warga kampung kota, agar mereka dapat memahami standar kualitas lingkungan yang baik dan dapat mendukung terbentuknya kehidupan yang lebih berkualitas dengan mengenali potensi yang dimilikinya baik potensi fisik kampung maupun potensi sosial masyarakat yang tumbuh dalam pola bermukim kampung kota. Mengacu kepada hal tersebut maka permasalahan utama dalam penelitian ini adalah: Bagaimana strategi pemberdayaan masyarakat kampung kota untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman?

Bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah: pengetahuan, kemauan, dan kemampuan, Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut maka permasalahan umum di atas dirinci sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik masyarakat permukiman kampung kota, baik karakteristik

fisik permukiman maupun karakteristik modal sosial masyarakat?

2. Bagaimana persepsi masyarakat tentang kualitas lingkungan dan bagaimana motivasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman?

3. Bagaimana tingkat kebutuhan akan rumah dan lingkungan permukiman pada masyarakat di permukiman kampung kota?

4. Bagaimana partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas lingkungan dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya?

5. Bagaimana strategi yang tepat untuk menggerakkan masyarakat kampung kota agar mereka tahu, mau dan mampu meningkatkan kualitas lingkungan?


(31)

5

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dirinci sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi karakteristik fisik lingkungan permukiman kampung kota dan menganalisis karakteristik modal sosial masyarakatnya.

2. Mengidentifikasi persepsi masyarakat tentang kualitas lingkungan dan menganalisis motivasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman kampung kota

3. Mengidentifikasi tingkat kebutuhan akan rumah dan permukiman pada masyarakat di permukiman kampung kota.

4. Mengidentifikasi bentuk-bentuk partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan pemukiman kampung kota dan menganalisis faktor apa saja yang mempengaruhinya.

5. Menyusun strategi pemberdayaan yang sesuai dengan modal sosial yang dimiliki masyarakat kampung kota untuk dapat meningkatkan kualitas lingkungan permukiman

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk khasanah ilmu pengetahuan serta bahan kajian bagi pembuat kebijakan dalam membuat keputusan yang berkenaan dengan penanganan permukiman kampung kota di masa mendatang. Secara terinci penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

Bagi pengembangan ilmu pengetahuan

1. Pengidentifikasian karakteristik modal sosial masyarakat kampung kota dan faktor-faktor fisik lingkungan permukiman yang mendukungnya memungkinkan hadirnya penjelasan yang memadai mengenai keterkaitan modal sosial yang terbentuk dengan karakteristik fisik lingkungan kampung kota. Hasil penelitian ini dapat menjadi landasan bagi penelitian selanjutnya yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat di permukiman kampung kota. Secara umum hal ini adalah setitik sumbangan pengetahuan bagi kajian ilmu arsitektur dan lingkungan 2. Penelitian ini berupaya merumuskan strategi gerakan partisipatif warga kampung

kota yang sesuai dengan modal sosial masyarakatnya untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman yang diharapkan dapa berlaku pada permukiman kampung kota lainnya di kota-kota besar di Indonesia dengan karakteristik fisik


(32)

6

dan modal sosial yang relatif sama. Hal ini diharapkan menjadi bahan pemikiran bagi ilmu penyuluhan pembangunan.

Manfaat praktis

1. Bagi masyarakat di permukiman kampung kota untuk membantu mengetahui, menggali dan menemukan potensi yang sebetulnya dimiliki namun seringkali tidak disadari dan diabaikan

2. Bagi pemerintah dan pengambil kebijakan, sebagai panduan dalam mempertemukan pendekatan top down dan bottom up dalam melakukan penanganan permukiman kampung kota yang banyak terdapat di kota-kota besar di Indonesia, dan untuk menentukan prioritas kegiatan yang bisa dilakukan guna meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan permukiman

3. Bagi pihak swasta agar dapat berpartisipasi dengan tepat sasaran dan dapat menyesuaikan program-program kerjasama dengan warga kampung untuk memperbaiki kondisi rumah dan lingkungan permukiman yang berprinsip pada kerjasama yang adil dan berkelanjutan.

4. Bagi lembaga penelitian dan lembaga penyuluhan, strategi yang dihasilkan dapat digunakan sebagai kerangka acuan penyelenggaraan proses pendidikan yang bertujuan memberikan penyadaran pada warga akan pentingnya kualitas rumah dan lingkungan yang baik, agar masyarakat tahu, mau dan mampu mengubah perilakunya ke arah yang lebih mendukung terciptanya kualitas rumah dan lingkungan yang sehat dan layak huni dengan berbasis pada partisipasi masyarakat

Novelty Penelitian

Novelty penelitian atau kebaruan dalam penelitian ini antara lain adalah:

1. Pada program studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan SPS IPB, pernelitian ini adalah yang pertama dalam mengkaji permasalahan permukiman kampung kota. 2. Untuk penelitian sejenis yang mengkaji tentang partisipasi masyarakat, penelitian

ini yang pertama menghadirkan strategi partisipatif masyarakat untuk gerakan meningkatkan kualitas lingkungan yang didasarkan pada upaya perubahan perilaku warganya dengan latar belakang karakteristik modal sosial yang dimiliki masyarakat kampung kota dengan menggunakan responden yang berasal dari 4 lokasi penelitian kampung kota di Bandung


(33)

7

TINJAUAN PUSTAKA

Permukiman Kampung Kota

Permukiman Kampung kota adalah bagian dari kota yang memiliki ciri-ciri tersendiri bila dibandingkan dengan kawasan kota lainnya. Secara harfiah kampung kota adalah lingkungan permukiman desa yang terletak di dalam wilayah kota. Kampung kota adalah lingkungan permukiman yang khas Indonesia dan ditandai oleh ciri kehidupan yang terjalin dalam ikatan kekeluargaan yang erat.

Permukiman kampung kota sudah menggejala sejak pemerintahan Hindia Belanda. Menurut Wiryomartono (1999) definisi yang tepat untuk kampung kota adalah permukiman pribumi yang masih meneruskan tradisi kampung halamannya, sekalipun tinggal di kota. Permukiman kampung kota merupakan permukiman yang tumbuh di kawasan urban tanpa perencanaan infrastruktur dan jaringan ekonomi kota. Apabila dikaji berdasarkan strukturnya, kampung kota merupakan salah satu elemen pembentuk kota. Secara fisik kondisi kampung kota saat ini pada umumnya buruk. Hal ini terutama dipicu masalah kepadatan dan tidak terorganisirnya struktur fisik lingkungan kampung kota tersebut. Ketiadaan struktur formal teritorialitas ini sering dikaitkan dengan permukiman ilegal. Dengan kata lain tidak terstrukturnya permukiman kampung kota dikarenakan tidak adanya penataan ruang yang didukung oleh infrastruktur yang terprogram secara formal.

Ciri-ciri permukiman kampung kota

Permukiman kampung kota sering kali disebut sebagai permukiman sektor informal karena banyak dihuni oleh orang-orang dengan pekerjaan yang bergerak di bidang informal. Lingkungan permukiman kampung kota sebagai suatu lingkungan fisik arsitektural sering digambarkan sebagai lingkungan yang miskin struktur, tidak teratur, dan terkesan kumuh. Hal itu terjadi, karena selain permukiman ini seringkali tidak tersentuh pola kebijakan tata ruang kota, sehingga akses masyarakat terhadap berbagai kepentingannya kurang terakomodasi. Di sisi lain kesadaran masyarakat dan latar belakang masyarakat itu sendiri seringkali kurang memahami pentingnya lingkungan permukiman yang berkualitas bagi mereka, baik secara fisik maupun sosial. Ciri-ciri permukiman kampung kota yang lebih sering disorot karena dianggap menimbulkan permasalahan bagi kawasan kota antara lain:


(34)

8

a. Tingginya kepadatan penduduk menyebabkan kurangnya ruang untuk fungsi sosial Hal ini mengakibatkan rendahnya ketersediaan ruang terbuka bagi sarana berinteraksi antar warga. Akibatnya tidak jarang fasilitas umum beralih fungsi menjadi pendukung fungsi sosial yang diperlukan masyarakat.

b. Tingkat ketersediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang rendah.

Kurangnya fasilitas sosial karena kepadatan penduduk yang tinggi mengakibatkan diversifikasi fungsi gang/jalan di kampung kota yang sekaligus menjadi tempat untuk meletakkan properti dan tempat bersosialisasi warga masyarakat.

c. Kurangnya infrastruktur

Tingginya kepadatan bangunan di kampung-kampung perkotaan tidak jarang mengakibatkan minimnya lahan yang tersedia bagi sarana infrastruktur. Kondisi ini merupakan salah satu ciri rendahnya kualitas suatu lingkungan permukiman d. Tataguna lahan yang tidak teratur

Pemanfaatan lahan hendaknya direalisasikan sesuai rencana peruntukannya. Hal ini merupakan strategi untuk mencapai keteraturan tata guna lahan. Pemanfaatan lahan secara tidak teratur dapat mengakibatkan tumpang tindihnya fungsi lahan yang pada akhirnya akan mempengaruhi keberlanjutan fungsi ruang secara luas. e. Kondisi rumah yang kurang sehat

Hunian yang kurang memadai mengakibatkan kondisi yang tidak sehat bagi penghuninya. Jendela-jendela tidak lagi berfungsi sebagai bukaan untuk memasukkan sinar matahai dan udara ke dalam hunian tetapi beralih fungsi sebagai tempat jemuran karena hunian tidak lagi memiliki lahan kosong.

Sebagai suatu komunitas, kampung kota dapat mempertahankan kelestariannya karena berinteraksi dengan struktur bagian kota lainnya dengan fungsi-fungsi spesifik yang terdapat di dalamnya. Kampung kota berfungsi sebagai perantara kehidupan kota dengan keluarga yang hidup di kampung, yang dilakukan antara lain dengan pertukaran sumber daya antara komunitas dengan masyarakat kota pada umumnya Menurut Wiryomartono (1999) terdapat dua pokok masalah dan potensi yang berkaitan dengan kehidupan bermukim masyarakat kampung kota yaitu:

Pertama, Kenyataan umum menunjukkan bahwa masyarakat kampung kota pada umumnya adalah para penduduk asli ketika daerah tersebut masih belum masuk pada struktur kota modern, dan migrasi dari desa yang mengalami modernisasi


(35)

9

pertanian. Penduduk pada kawasan kampung kota memiliki kemampuan adaptasi yang lebih tinggi terhadap segala bentuk dan struktur ruang hidup. Hal ini merupakan potensi untuk menghasilkan bentuk ruang tinggal yang tidak platonis. Dengan demikian proses pembangunan struktur fisiknya pun tidak dapat dilakukan dengan massal tetapi lahir spontan untuk nilai aksesibilitas yang efektif. Secara arsitektural, lingkungan tempat tinggal di permukiman kampung kota merupakan suatu kesatuan dalam ketidak teraturan. Dari keadaan tersebut dibutuhkan metode perencanaan dan perancangan lingkungan binaan untuk bermukim secara partisipatif. Metode partisipatif pada masyarakat kampung kota bukanlah sekedar kebutuhan untuk menciptakan rasa saling memiliki tetapi secara eksistensial mampu membangun pengertian bahwa mereka hidup dalam satu Labenswelt (dunia hidup) yang menjadi

home mereka selama mungkin.

Kedua, sejak modernisasi pertanian di pedesaan terus berlangsung, Indonesia menghadapi suatu abad yang dampak dan pengaruhnya sama seperti yang terjadi di Eropa Barat dan Amerika Utara yaitu globalisasi ekonomi/telekomunikasi. Masyarakat kampung-kota yang semula tradisional agraris dalam kebiasaan hidupnya, tidak lagi bisa bertahan dari proses perubahan karena ada dan berlangsungnya modernitas. Perubahan-perubahan ini bukan hanya dapat dianggap sebagai krisis, tetapi juga peluang yang akan mampu membentuk kerjasama sosial ekonomi dan kultural antara sektor modern dan sektor informal (kampung-kota). Kampung-kota itu sendiri merupakan bagian dari kota, walaupun dengan ciri-ciri tersendiri bila dibandingkan dengan kota lain yang lebih formal dan terorganisir ruang hidupnya. Sebagai sub-sistem dari kota, kampung kota dengan sifat komunitasnya adalah:

‰ Sistem perantara antara makro sistem masyarakat dengan mikro sistem keluarga

‰ Terdiri dari penduduk yang dapat diidentifikasi dengan jelas, karena memiliki rasa kebersamaan dan kesadaran sebagai warga suatu kesatuan

‰ Mengembangkan dan memiliki suatu keteraturan sosial dan spatial, yang ditumbuhkan dari komunitas itu sendiri (disamping ketentuan oleh kota).

‰ Menunjukkan differensiasi dalam fungsi-fungsi, sehingga bukan merupakan wilayah hunian saja namun di dalamnya terdapat warung, bengkel, salon, dsb.

‰ Menyesuaikan diri dengan lingkungan yang lebih luas melalui pertukaran sumber daya.


(36)

10

‰ Menciptakan dan memelihara berbagai bentuk organisasi dan kelembagaan, yang akhirnya memenuhi kebutuhan makrosistem masyarakat dan mikrosistem keluarga.

Kampung kota selama ini selalu disebut sebagai permukiman sektor informal karena banyak dihuni oleh masyarakat dengan penghasilan tidak tetap. Namun dugaan ini tidak sepenuhnya benar karena saat ini pegawai negeri, dan wiraswasta ekonomi kecil (home industry), merupakan populasi yang tak dapat diabaikan jumlahnya.

Penyebab terjadinya penurunan kualitas permukiman kampung kota

LPM ITB (1998) mengidentifikasi bahwa faktor penyebab timbulnya penurunan kualitas permukiman kampung di kota Bandung adalah:

1) Terbatasnya kemampuan ekonomi masyarakat.

Masyarakat berpendapatan rendah menggunakan lahan untuk kegiatan permukiman dan usaha yang kurang mempertimbangkan aspek legalitas tanah sehingga menimbulkan ketidakteraturan penggunaan lahan yang diperburuk oleh rendahnya kualitas prasarana akibat terbatasnya kemampuan masyarakat.

2) Dampak kegiatan eksternal dan internal kawasan.

Buruknya sistem drainase, alami maupun buatan, mendorong terbentuknya kekumuhan yang diperparah oleh pembuangan limbah yang relatif tinggi dan rendahnya kemampuan penduduk dalam mengantisipasi permasalahan lingkungan. Faktor kegiatan eksternal, seperti industri-industri besar yang menghasilkan limbah dalam jumlah besar dan kurang terkelola, memperberat beban fisik lingkungan 3) Dampak faktor eksternal.

Permukiman kumuh timbul akibat pertumbuhan pesat penduduk dan kegiatannya yang tidak mampu ditampung oleh sumberdaya yang ada

4) Keterbatasan sumber daya lahan.

Kekumuhan disebabkan oleh keterbatasan lahan dalam menampung permukiman, ini terjadi khususnya di tepi sungai. Permukiman kumuh ini membatasi fungsi sungai sebagai bagian sistem drainase

Kurniasih (2007) membagi penurunan kualitas lingkungan permukiman dengan a. Sebab kumuh, adalah kondisi kemunduruan atau kerusakan lingkungan hidup dilihat dari: (1) segi fisik, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alam seperti air dan udara; (2) masyarakat atau sosial: yaitu gangguan yang ditimbulkan


(37)

11

oleh manusia sendiri seperti kepadatan bangunan, lalulintas, sampah dan sejenisnya

b. Akibat kumuh: kumuh adalah akibat perkembangan dari gejala-gejala yang antara lain: (1) kondisi perumahan yang buruk, (2) penduduk yang terlalu padat, (3) fasilitas lingkungan yang kurang memadai, (4) tingkah laku menyimpang, (5) budaya kumuh, (6) apatis dan isolasi.

Sebab dan akibat kumuh ini memunculkan lingkungan permukiman kumuh, yaitu kawasan dimana rumah dan kondisi hunian masyarakat di kawasan tersebut sangat buruk. Rumah maupun sarana dan prasarana lingkungan yang ada tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik standar kebutuhan, kepadatan bangunan, persyaratan rumah sehat, kebutuhan sarana air bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan prasarana jalan, ruang terbuka, serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya.

Rumah dan Permukiman

Menurut Undang-undang RI No. 4 Tahun 1992. Rumah adalah struktur fisik yang terdiri dari ruangan, halaman dan area sekitarnya yang digunakan sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga. World Health Organization (WHO) merumuskan definisi rumah sebagai struktur fisik atau bangunan untuk tempat berlindung dimana lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosialnya baik, untuk kesehatan keluarga dan individu (Komisi WHO Mengenai Kesehatan Lingkungan, 2001)

Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa rumah bukan hanya bangunan fisik yang merupakan tempat berlindung dan beristirahat untuk memenuhi kebutuhan fisiologis manusia namun rumah juga adalah sebuah tempat dimana kebutuhan-kebutuhan dasar pada hirarki yang lebih tinggi dapat dipenuhi. Rumah sesungguhnya merupakan sarana pembinaan keluarga untuk menumbuhkan kehidupan yang sehat secara fisik, mental dan sosial seperti yang diungkapkan oleh Hayward (1987) yang dikutip Budihardjo (1998) mengenai konsep tentang rumah, yaitu: (a) Rumah sebagai pengejawantahan diri: rumah sebagi simbol dan pencerminan tata nilai selera pribadi penghuni, (b) Rumah sebagai wadah keakraban: rasa memiliki, kebersamaan, kehangatan, kasih dan rasa aman tercakup dalam konsep ini, (c) Rumah sebagai tempat menyendiri dan menyepi: rumah disini merupakan tempat melepaskan diri dari


(38)

12

dunia luar, dari tekanan dan ketegangan kegiatan rutin, (d) Rumah sebagai akar dan kesinambungan: dalam konsep ini rumah atau kampung halaman dilihat sebagai tempat untuk kembali pada akar dan menumbuhkan rasa kesinambungan dalam untaian proses ke masa depan, (e) Rumah sebagai wadah kegiatan utama sehari-hari, (f) Rumah sebagai pusat jaringan sosial dan (g) Rumah sebagai struktur fisik

Fungsi rumah sebagai wadah untuk pemenuhan kebutuhan dasar manusia, menurut Budiharjo (1998) dalam bukunya Arsitektur Perumahan Perkotaan, memiliki tiga fungsi utama, yaitu: (1) Rumah sebagai tempat tinggal, dimana seseorang bermukim untuk mencari ketenangan, lahir maupun batin; (2). Rumah sebagai mediator antara manusia dengan dunia yang memungkinkan terjadinya suatu dialektika antara manusia dengan dunianya. Dari keramaian dunia, manusia menarik diri ke dalam rumahnya dan tinggal dalam ketenangan, untuk kemudian keluar lagi menuju dunia luar, bekerja, dan berkarya. (3) Rumah sebagai arsenal, dimana manusia mendapatkan kekuatannya kembali, setelah melalukan pekerjaan yang melelahkan. Dalam rumah manusia makan, minum, dan tidur untuk memperoleh kembali kekuatannya.

Johan Silas (2002) mengatakan bahwa fungsi rumah yang diangankan sejak jaman nenek moyang manusia, masih tetap sama yaitu sebagai terminal peralihan antara kehidupan alami dengan kehidupan privat. Selanjutnya dikatakan bahwa rumah yang baik akan melindungi penghuninya secara badaniah dan rohaniah. Namun demikian rumah juga perlu menjadi perangsang timbulnya gagasan hidup (inspirator) menuju ke keadaan yang lebih baik

Sejalan dengan perkembangan sosial kultural manusia, rumah sebagai suatu objek individual tidak terpisahkan dari permukiman/perumahan sebagai objek komunitas. Pengertian permukiman secara jelas dan rinci dapat ditemukan dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman yang mengatakan bahwa Permukiman mengandung pengertian sebagai bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Dalam permukiman perlu ada prasarana dan sarana lingkungan serta utilitas lingkungan untuk mendukung berjalannya fungsi permukiman dengan optimal.


(39)

13

Prasarana lingkungan pemukiman adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan pemukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Prasarana utama ini meliputi jaringan jalan, jaringan pembuangan air limbah dan sampah, jaringan saluran air hujan, jaringan pengadaan air bersih, jaringan listrik, telepon, gas, dan sebagainya. Jaringan primer prasarana lingkungan adalah jaringan utama yang menghubungkan antara kawasan pemukiman atau antara kawasan pemukiman dengan kawasan lainnya. Jaringan sekunder prasarana lingkungan adalah jaringan cabang dari jaringan primer yang melayani kebutuhan di dalam satu satuan lingkungan pemukiman.

Sarana lingkungan pemukiman adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Contoh sarana lingkungan pemukiman adalah fasilitas pusat perbelanjaan, pelayanan umum, pendidikan dan kesehatan, tempat peribadatan, rekreasi dan olah raga, pertamanan, pemakaman. Utilitas lingkungan umum mengacu pada sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan pemukiman, meliputi jaringan air bersih, listrik, telepon, gas, transportasi, dan pemadam kebakaran. Utilitas umum membutuhkan pengelolaan profesional dan berkelanjutan oleh suatu badan usaha.

Sehubungan dengan bahasan mengenai rumah dan fungsi rumah, maka permukiman sebagai tempat dimana rumah-rumah berada, memiliki tiga fungsi utama yaitu: (1) tempat perlindungan secara fisik (phisical shelter), (2) setting (tempat) yang membentuk hubungan antara struktur di dalam (keluarga) dan ketetanggaan dimana setiap anggota keluarga dan komunitas melakukan aktivitas keseharian, dan (3) suatu pengelompokkan keluarga ke dalam komunitas yang lebih besar.

Bagi komunitas, perumahan merepresentasikan aspirasi kolektif yang dipengaruhi oleh proses sosial ekonomi. Rumah juga dapat mengeskpresikan gaya hidup penghuni yang dipengaruhi oleh aspek psikologis sosial, ekonomi, dan keseimbangan estetik.

Atas dasar itu, maka kualitas rumah dan permukiman menjadi sangat penting dalam mewadahi kebutuhan dan aspirasi penghuni dalam fungsinya memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial penghuni dan warganya dengan baik.

Apabila pengertian permukiman dikaji sesuai dengan konteks yang dibahas dalam penelitian ini maka permukiman dapat diimplementasikan sebagai suatu tempat


(40)

14

bermukim manusia yang menunjukkan suatu tujuan tertentu. Dengan demikian permukiman seharusnya memberikan kenyamanan kepada penghuninya termasuk orang yang datang ke tempat tersebut.

Standar rumah dan perumahan sehat/layak huni

Rumah sehat/layak huni

Rumah dan permukiman yang sehat merupakan salah satu sarana untuk mencapai derajat kesehatan yang optimum. Untuk memperoleh rumah yang sehat ditentukan oleh tersedianya sarana sanitasi rumah dan perumahan. Sanitasi tersebut antara lain ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami, konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan kotoran manusia, dan penyediaan air bersih (Azwar, 1990)

Menurut American Public Health Association (APHA) rumah dikatakan sehat apabila: (1) memenuhi kebutuhan fisik dasar seperti temperatur lebih rendah dari udara di luar rumah, penerangan yang memadai, ventilasi yang nyaman, dan kebisingan antara 44 – 45 dbA; (2) memenuhi kebutuhan kejiwaan; (3) melindungi penghuninya dari penularan penyakit menular yaitu memiliki penyediaan air bersih, sarana pembuangan sampah dan saluran pembuangan air limbah, dan memenuhi syarat kesehatan, serta (4) melindungi penghuninya dari kemungkinan terjadinya kecelakaan dan bahaya kebakaran seperti fondasi rumah yang kokoh, tangga yang tidak curam, bahaya kebakaran karena arus pendek listrik, keracunan, bahkan dari ancaman kecelekaaan lalulintas.

Komponen yang harus dimiliki rumah sehat menurut Ditjen Cipta Karya, (1997) adalah: (1) fondasi yang kuat untuk meneruskan beban bangunan ke tanah dasar, memberi kestabilan bangunan dan merupakan konstruksi penghubung antara bangunan dengan tanah; (2) lantai kedap air dan tidak lembab, tinggi minimum 10 cm dari pekarangan dan 25 cm dari badan jalan, bahan kedap air untuk rumah panggung dapat terbuat dari papan atau anyaman bambu; (3) memiliki jendela dan pintu yang berfungsi sebagai ventilasi dan masuknya sinar matahari dengan luas minimum 10% luas lantai; (4) dinding rumah kedap air yang berfungsi untuk mendukung atau menyangga atap, menahan angin dan air hujan, melindungi dari panas dan debu dari luar serta menjaga kerahasiaan (privacy) penghuninya; (5) langit-langit untuk menahan


(41)

15

dan menyerap panas terik matahari minimum 2,4 m. dari lantai, bisa dari bahan papan anyaman bambu, tripleks atau gipsum serta (6) atap rumah yang berfungsi sebagai penahan panas sinar matahari serta melindungi masuknya debu, angin dan air hujan.

Johan Silas (2002) menyebutkan bawah sebuah rumah disebut layak huni bila ada keterpaduan yang serasi antara: (1) perkembangan rumah dan penghuninya, artinya rumah bukan hasil akhir yang tetap tetapi proses yang berkembang, (2) rumah dan lingkungan (alam) sekitarnya, artinya lingkungan rumah dan lingkungan sekitarnya terjaga selalu baik, (3) perkembangan rumah dan perkembangan kota, artinya kota yang dituntut makin global dan urbanized memberi manfaat positif bagi kemajuan warga kota di rumah masing-masing, (4) perkembangan antar kelompok warga dengan standar layak sesuai keadaan dan tuntutan masing-masing kelompok, artinya tiap kelompok warga punya kesempatan sama untuk berkembang sesuai dengan tuntutan yang ditetapkan sendiri. (5) standar fisik dan dukungan untuk maju bagi penghuni, artinya standar fisik rumah tidak sepenting dan menentukan seperti peningkatan produktivitas yang diberikannya terhadap mobilitas penghuninya.

Kaidah perancangan rumah layak huni menurut Johan Silas (2002) perlu memperhatikan hal-hal: (1) Terdapat fleksibilitas penataan ruang, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga rumah tidak harus selalu disekat-sekat dan terbuka peluang penggunaan ganda dan over lapping, (2) Memilih bahan bangunan yang mudah diperoleh setempat dan sudah akrab dipakai oleh warga dengan kesulitan konstruksi yang mudah diatasi oleh keahlian setempat, (3) Penataan ruang yang dilakukan fleksibel dan multi guna serta tidak terkotak-kotak kecil berguna untuk menjamin kedinamisan gerak dan berbagai aktivitas lain dari penghuni serta untuk memberi keleluasaan aliran udara dan cahaya tinggi. Selanjutnya pola penataan ruang yang terbuka ini juga akan memberi kesan luas sehingga tercapai rasa psikologis yang melegakan penghuni guna merangsang produktivitas kehidupan yang tinggi. (4) Tampilan bangunan harus serasi dengan tampilan bangunan yang lazim berlaku di sekitarnya. Prinsip bangunan tropis dengan teritis yang lebar, teduh, dan angin mudah lewat serta tidak tempias oleh terpaan hujan lebat merupakan dasar yang harus diperhatikan secara sungguh-sungguh. Perlu pula memberi muatan lokal yang diambil dari prinsip dan unsur arsitektur tradisional setempat.


(42)

16

Permukiman sehat/layak huni

Menurut Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan Lingkungan (2001), permukiman atau perumahan yang sehat adalah konsep dari perumahan sebagai faktor yang dapat meningkatkan standar kesehatan penghuninya. Konsep tersebut melibatkan pendekatan sosiologis dan teknis pengelolaan faktor resiko dan berorientasi pada lokasi bangunan, kualifikasi, adaptasi, manajemen, penggunaan dan pemeliharaan rumah dan lingkungan di sekitarnya, serta mencakup unsur-unsur apakah permukiman/perumahan tersebut memiliki penyediaan air minum dan sarana yang memadai untuk memasak, mencuci, menyimpan makanan, serta pembuangan kotoran manusia maupun limbah lainnya.

Johan Silas (2002) menyebutkan kaidah perencanaan kawasan perumahan dan permukiman yang layak perlu memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal berikut: (1) penggunaan lahan yang efektif dan efisien dan terkait dengan kegiatan ekonomi dalam arti luas, (2) orientasi bangunan/gedung perlu memperhatikan arah angin di samping posisi dan pergerakan matahari. Jalan dan lorong terutama disearahkan dengan aliran angin sebagai koridor angin yang menjaga kesejukan lingkungan, (3) jalan mobil hanya disediakan sebatas kebutuhan nyata untuk keamanan dan keadaan darurat. Parkir mobil sebaiknya terpusat sehingga jalan/lorong dijadikan sebagai taman komunal, (4) tersedia fasilitas perumahan yang diadakan dan diselenggarakan secara komunal, termasuk ruang terbuka hijau serta rekreasi memakai akses utama melalui berjalan kaki dari perumahan yang ada. Sistem sarana dan prasarana harus terkait dengan sistem kota yang lebih besar.

Prasarana lingkungan permukiman adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Prasarana utama meliputi jaringan jalan, jaringan air hujan, jaringan pengadaan air bersih, jaringan listrik, telepon, gas dan sebagainya. Sarana lingkungan permukiman adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Contoh sarana lingkungan permukiman adalah fasilitas pusat perbelanjaan, pelayanan umum, pendidikan dan kesehatan, tempat peribadatan, rekreasi dan olahraga, pertamanan, pemakaman.

Menurut Sastra (2006) kata permukiman merupakan sebuah istilah yang tidak hanya berasal dari satu kata saja. Permukiman terdiri atas dua kata yang mempunyai


(43)

17

arti yang berbeda, yaitu: (1) Isi yang menunjuk kepada manusia sebagai penghuni maupun masyarakat di lingkungan sekitarnya dan (2) Wadah yang menunjuk pada fisik hunian terdiri dari alam dan elemen-elemen buatan manusia.

Kesatuan antara manusia sebagai penghuni (isi) dengan lingkungan hunian membentuk suatu komunitas yang secara bersamaan membentuk permukiman. Menurut Sastra (2005), elemen permukiman terdiri dari beberapa unsur yaitu alam, manusia, masyarakat, bangunan/ rumah, dan jaringan/networks.

‰ Alam. Alam disini meliputi kondisi geologi, topografi, tanah, air, tetumbuhan, hewan dan iklim

‰ Manusia. Di dalam satu wilayah permukiman, manusia merupakan pelaku utama kehidupan di samping makhluk hidup lain seperti hewan, tumbuhan dan lainnya. Sebagai makhluk yang paling sempurna dalam kehidupannya manusia membutuhkan berbagai hal yang dapat menunjang kelangsungan hidupnya, baik itu kebutuhan biologis (ruang, udara, temperatur dan lain-lain), perasaan dan persepsi, kebutuhan emosional serta kebutuhan akan nilai-nilai moral.

‰ Masyarakat. Masyarakat merupakan kesatuan sekelompok orang (keluarga) dalam suatu permukiman yang membentuk suatu komunitas tertentu. Hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat yang mendiami suatu wilayah permukiman adalah: (1) Kepadatan dan komposisi penduduk, (2) Kelompok sosial, (3) Adat dan kebudayaan, (4) Pengembangan ekonomi, (5) Pendidikan, (6) Kesehatan dan (7)Hukum dan administrasi

‰ Bangunan/Rumah. Bangunan (rumah) merupakan wadah bagi manusia (keluarga). Oleh karena itu dalam perencanaan dan pengembangannya perlu mendapatkan perhatian khusus agar sesuai dengan rencana kegiatan yang berlangsung di tempat tersebut. Pada prinsipnya bangunan yang bisa digunakan sepanjang operasional kehidupan manusia bisa dikategorikan sesuai dengan fungsi masing-masing yaitu: (1) Rumah pelayanan masyarakat (misalnya sekolah, rumah sakit, dan lain-lain), (2)Fasilitas rekreasi (fasilitas hiburan), (3) Pusat perbelanjaan (perdagangan) dan pemerintahan, (4) Industri dan (5) Pusat transportasi

‰ Jaringan/Networks. Jaringan atau Networks merupakan sistem buatan maupun alam yang menyediakan fasilitas untuk operasional suatu wilayah permukiman. Untuk sistem buatan, tingkat pemenuhannya bersifat relatif, di mana antara


(44)

18

wilayah permukiman yang satu dengan yang lain tidak harus sama. Sebagai contoh di daerah pegungunan air bersih dapat dengan mudah diperoleh sehingga tidak membutuhkan jaringan air bersih. Di perkotaan, jaringan air bersih mutlak diperlukan karena air dari sumur biasanya sudah tercemar limbah. Sistem buatan yang keberadaannya diperlukan di dalam wilayah permukiman antara lain adalah: (1) Sistem jaringan air bersih, (2) Sistem jaringan listrik, (3) Sistem transportasi, (4)Sistem komunikasi, (5)Drainase dan air kotor dan (6)Tata letak fisik.

Di dalam membuat perencanaan suatu permukiman dibutuhkan berbagai kajian yang tidak hanya terhadap faktor fisik saja, tetapi juga harus mempertimbangkan faktor manusia sebagai pelaku kehidupan yang utama. Karena esensi permukiman meliputi manusia serta tempatnya maka perlu untuk memahami hubungan antara elemen-elemen permukiman dengan manusia yang saling mempengaruhi keberadaan satu dengan lainnya. Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk merencanakan pengembangan sebuah permukiman diperlukan pemahaman terhadap elemen-elemen pendukung permukiman tersebut yaitu:

‰ Pemahaman atas hubungan antara alam sebagai media untuk berlangsungnya operasional permukiman tersebut, manusia sebagai pelaku utama dalam kehidupan dan masyarakat sebagai sekumpulan komunitas keluarga serta rumah sebagai tempat tinggal maupun jaringan sebagai sistem buatan yang menunjang operasional berlangsungnya kehidupan

‰ Realitas hubungan. Alam sebagai wadah Æ ada manusia Æ membentuk kelompok sosial yang berfungsi sebagai masyarakat.

Kelompok sosial membutuhkan perlindungan Æ membuat bangunan Æ menjadi lingkungan besar dan kompleks Æ terbentuk jaringan/networks Æ terbentuk permukiman (human settlements)

Kebutuhan Akan Rumah

Rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar merupakan pengejawantahan dari manusia baik sebagai pribadi maupun sebagai kesatuan dengan sesama dan lingkungannya. Dalam hubungan ini alam merupakan tempat berada dan sekaligus sarana yang menghidupi dan menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk kelestarian dan pengembangan diri manusia yang bukan saja secara fisik dilengkapi tetapi juga secara rohani dikembangkan dan dibentuk menjadi insan berkepribadian.


(1)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil dan pembahasan yang telah dilakukan, dari penelitian ini didapati kesimpulan dan temuan-temuan sebagai berikut:

1. Karakteristik fisik permukiman kampung kota dicirikan dengan (1) ketersediaan sarana prasarana permukiman yang minim dan (2) kondisi sarana prasarana permukiman yang kualitasnya sudah menurun. Hal tersebut ditandai dari rendahnya kualitas jalan lingkungan (gang), saluran air hujan yang tidak terpelihara dan penuh sampah, sistem persampahan yang belum terkelola, terbatasnya saluran air bersih, minimnya ruang terbuka dan tempat bermain anak sehingga kegiatan sosialisasi warga banyak dilakukan di ruang gang yang fungsi utamanya adalah sebagai sarana sirkulasi.

2. Karakteristik fisik rumah-rumah di permukiman kampung kota banyak yang kualitasnya rendah, tidak sehat dan tidak layak huni. Hal ini ditandai oleh (1) kurangnya bukaan (ventilasi) untuk sirkulasi udara dan pencahayaan akibat padatnya bangunan, (2) material bangunan dan konstruksi bangunan yang rendah atau sudah menurun kualitasnya (lapuk, bobrok, dinding tidak diplester, lantai hanya diplur, penutup atap dari seng), (3) rata-rata luas bangunan rumah sangat minim, kurang dari 36m2 dengan jumlah penghuni lebih dari 6 orang; (4) ketersediaan ruang yang terbatas sehingga satu ruang memiliki banyak fungsi. 3. Karakteristik individu masyarakat di permukiman kampung kota dicirikan dengan:

(a) pendidikan rendah (SD dan SLTP), (b) pendapatan rendah berkisar antara Rp. 1.000.000 – Rp. 1.250.000 yang besarnya sama dengan pengeluaran. (c) pekerjaan banyak bergerak di sektor informal, mayoritas adalah pedagang kecil, (d) jumlah keluarga dalam satu rumah lebih dari satu keluarga inti.

4. Karakteristik modal sosial masyarakat di permukiman kampung kota dicirikan dengan (a) rasa saling percaya antar warga dan komunitas (trust) berada pada kategori tinggi ditandai dengan saling bantu antar tetangga yang cukup intensif; (b) relasi mutual yang tinggi ditandai dengan hubungan ketetanggaan yang erat; (c) nilai dan norma berada pada kategori cukup, namun ketaatan pada aturan masih rendah, ditandai dengan perilaku warga dalam hal membuang sampah dan memperlakukan sarana prasarana lingkungan dengan buruk; (d) peran tokoh


(2)

masyarakat dan organisasi kemasyarakatan untuk meningkatkan kualitas linkgungan berada pada kategori cukup yang ditandai dengan ikut sertanya masyarakat pada kegiatan-kegiatan yang diprakarsai oleh tokoh atau organisasi masyarakat. Namun kegiatan-kegiatan ini masih kurang jumlahnya terbatas hanya pada kegiatan tahunan seperti bersih kampung menjelang 17 agustusan, kalaupun ada kegiatan peningkatan kualitas kampung di luar itu sifatnya hanya insidental dan tidak berkelanjutan.

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi secara langsung terhadap modal sosial masyarakat kampung kota adalah: (1) pendidikan, (2) pekerjaan, (3) pendapatan, (4) ketersediaan sarana prasarana lingkungan permukiman dan (5) kondisi sarana prasarana lingkungan permukiman.

6. Persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan dicirikan dengan (a) Persepsi tentang kualitas lingkungan yang buruk, hal ini ditandai dengan persepsi yang tidak tepat/tidak sesuai dengan standar kualitas rumah dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak huni, (b) Motivasi meningkatkan kualitas lingkungan tinggi, namun motivasi yang cukupan ini tidak bisa mewujud dalam bentuk rumah/lingkungan permukiman yang sehat karena kurangnya kemampuan yang dimiliki warga.

7. Faktor-faktor yang mempengaruhi secara langsung terhadap persepsi tentang kualitas lingkungan adalah: (1) ketersediaan sarana dan prasarana lingkungan permukiman, (2) kondisi sarana prasarana lingkungan permukiman, dan (3) pekerjaan.

8. Faktor-faktor yang mempengaruhi Motivasi meningkatkan kualitas lingkungan adalah: (1) pendapatan, (2) jumlah keluarga, (3) ketersediaan sarana prasarana lingkungan permukiman, (4) peran tokoh masyarakat dan organisasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman dan (5) relasi mutual antar warga dan komunitas kampung kota.

9. Kebutuhan akan rumah pada mayoritas masyarakat kampung kota masih berada pada kategori pemenuhan kebutuhan untuk: (1) fisiologis (survival needs or phisiological); (2) rasa aman (safety and security needs) dan (3) kebutuhan sosial (social needs or affiliation needs)


(3)

10. Kebutuhan akan rumah dipengaruhi secara langsung oleh faktor-faktor: (1) pendidikan, (2) ketersediaan sarana prasarana lingkungan permukiman, (3) peran tokoh masyarakat dan organisasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan, (4) relasi mutual antara tetangga dan warga komunitas, (5) kondisi sarana prasarana lingkungan permukiman, dan (6) persepsi tentang kualitas lingkungan.

11. Partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman dicirikan dengan: (a) sikap proaktif masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan masih rendah yang ditandai dengan buruknya perlakuan warga terhadap sarana prasarana lingkungan permukiman; (b) partisipasi dalam kegiatan bersama untuk meningkatkan kualitas lingkungan berada pada kategori cukup yang ditandai dengan ikut sertanya masyarakat pada kegiatan-kegiatan yang diprakarsai oleh tokoh masyarakat atau organisasi masyarakat; dan (c) frekuensi partisipasi masyarakat dalam kegiatan meningkatkan kualitas lingkungan berada pada kategori cukup yang ditandai dengan jumlah keikutsertaan warga dalam kegiatan meningkatkan kualitas lingkungan kampungnya.

12. Faktor-faktor yang berpengaruh secara langsung terhadap sikap proaktif masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan adalah: (1) pendidikan, (2) pendapatan dan (3) kondisi sarana prasarana lingkungan permukiman.

13. Faktor-faktor yang berpengaruh secara langsung terhadap partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas lingkungan adalah: (1) pendapatan, (2) ketersediaan sarana prasarana lingkungan permukiman dan (3) persepsi tentang kualitas lingkungan.

14. Faktor-faktor yang berpengaruh secara langsung terhadap frekuensi partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas lingkungan adalah: (1) ketersediaan sarana prasarana lingkungan permukiman, (2) peran tokoh masyarakat dan organisasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman, (3) motivasi meningkatkan kualitas lingkungan dan (4) jumlah anggota keluarga. 15. Persepsi tentang kualitas lingkungan, motivasi meningkatkan kualitas lingkungan,

peran tokoh dan organisasi masyarakat berpengaruh secara langsung terhadap partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan. Persepsi menyangkut tingkat pengetahuan/pendidikan individu (aspek kognitif), motivasi berhubungan dengan


(4)

aspek afektif. Agar partisipasi masyarakat dapat ditingkatkan maka perlu dilakukan perbaikan pada aspek kognitif, afektif dan psikomotor (keterampilan) individu-individu warga agar menjadi masyarakat aktif yang mampu berbuat lebih baik untuk meningkatkan kualitas diri, rumah dan lingkungan permukimannya. Untuk meningkatkan aspek-aspek tersebut diperlukan inovasi sosial yang berbasis masyarakat sehingga dapat merubah diri dari kondisi tidak tahu (kurang pengetahuan), tidak mau (kurang motivasi) dan tidak mampu (tidak terampil) menuju masyarakat yang tahu, mau dan mampu untuk meningkatkan kualitas diri, rumah dan lingkungan permukiman kampungnya.

16. Permukiman kampung kota terdiri dari: (1) lingkungan permukiman dan sarana prasarana permukiman yang menjadi wadah bagi terselenggaranya kehidupan masyarakat, sehingga inovasi sosial harus mampu menyentuh dan memperbaiki aspek-aspek: (1) SDM individu/warga (masyarakat), (2) lingkungan dan (3) finansial. Maka strategi pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan dilakukan melalui penyuluhan permukiman berasas tridaya: pemberdayaan warga sebagai solusi sosial, pemberdayaan lingkungan fisik permukiman sebagai solusi arsitektural dan pemberdayaan usaha sebagai solusi keterbatasan finansial. Selain untuk mengakomodasi aspek-aspek tersebut juga untuk mengakomodasi hak-hak masyarakat seperti yang tercantum dalam Undang-undang yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan.

Saran

1. Pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman perlu mendapat dukungan dari semua pihak, sehingga diperlukan kerjasama antara lembaga pemerintah (kementrian perumahan rakyat, departemen pendidikan nasioanl, kementian lingkungan hidup), lembaga pendidikan tinggi (lembaga penelitian dan pengabdian pada masyarakat), LSM, arsitek/lembaga arsitek, pengembang dan pihak perbankan atau lembaga keuangan yang akan berkepentingan untuk meminjamkan dana bagi modal masyarakat untuk meningkatkan kualitas hunian dan lingkungan kampungnya.


(5)

2. Penyelenggaraan dan penetapan pelaku penyuluhan permukiman (penyuluh permukiman) disarankan berpedoman kepada Undang-undang Republik Indonesia No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan.

3. Persepsi masyarakat yang tinggal di kawasan kumuh permukiman kampung kota tentang kualitas lingkungan perlu diperbaiki dengan memberikan pemahaman yang benar mengenai standar rumah dan lingkungan yang sehat dan layak huni agar persepsi mayarakat tentang kualitas lingkungan mendekati nilai standar kualitas lingkungan yang telah dibakukan atau minimal mendekati standar kualitas baku. Untuk keperluan tersebut diusulkan agar sanitasi lingkungan dan pola hidup bersih dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan formal sejak masih di bangku Sekolah Dasar sehingga sejak kecil terbiasa hidup bersih dan sehat karena menyadari pentingnya kesehatan diri dan lingkungannya.

4. Kawasan kumuh di permukiman kampung kota terkait erat dengan kemiskinan para penghuninya. Untuk dapat memperbaiki kawasan kumuh ini maka perlu dibuka akses-akses kepada masyarakat berpenghasilan rendah tersebut agar mereka dapat meningkatkan tingkat kehidupan mereka.

5. Hubungan ketetanggaan dan kegotongroyongan yang tumbuh dalam akar budaya masyarakat di permukiman kampung kota perlu dipelihara dan ditransformasikan dalam berbagai bentuk kegiatan yang diarahkan bukan saja untuk meningkatkan kualitas rumah dan lingkungan tapi juga untuk meningkatkan daya rekat kelompok, seperti kegiatan perbaikan lingkungan (bersih kampung, perbaikan selokan, perbaikan MCK umum, perkerasan jalan gang di kampung dan sebagainya).

6. Dalam peningkatan kualitas lingkungan permukiman, masyarakat perlu difasilitasi dengan pembentukan lembaga organisasi/koperasi di tingkat RW sehingga dapat mengakomodasi aspirasi masyarakat dan membuka peluang untuk mendapatkan akses bantuan dari Pemerintah/pihak luar untuk perbaikan kampung mereka.

7. Selain organisasi-organisasi masyarakat yang telah ada di kampung, perlu dikembangkan organisasi lintas kampung misalnya dalam bentuk perserikatan kampung atau jaringan antara kampung dengan agenda pertemuan yang teratur (bulanan atau 3 bulanan) untuk mengkomunikasikan dan mengungkapkan aneka ragam permasalahan yang terjadi di kampung sehingga antar kampung dapat saling


(6)

berbagi informasi, pengalaman, gagasan dan pemikiran untuk rencana atau pelaksanaan program-program pembangunan kampung.

8. Pada kawasan perkotaan yang rawan kumuh seperti permukiman kampung kota perlu mendapatkan perhatian yang lebih tegas dan terkoordinasi untuk mengantisipasi bertambah luasnya kawasan permukiman kumuh.

9. Kota Bandung seringkali terlilit masalah penanganan sampah. Untuk menangani hal tersebut perlu dipikirkan pembentukan koperasi pengelolaan sampah kota dengan pertimbangan di permukiman kampung kota tenaga kerja melimpah dan dapat dipekerjakan dalam berbagai tahap pengelolaan mulai dari pengumpulan, pemilahan, pengangkutan dan pembuangan.